Anda di halaman 1dari 5

SINOPSIS

Biografi Singkat Sang Pendiri Ponpes Mamba’ul Ma’arif

DISAMPAIKAN PADA BEDAH BUKU


SEJARAH KH. BISHRI SYAMSURI
SELASA, 09 AGUSTUS 2022

KELUARGA BESAR MAN 4 DENANYAR


PONDOK PESANTREN MAMBA’UL MA’ARIF JOMBANG

1
1. Sejarah Hidup Pendiri
KH. M. Bishri Syansuri, adalah pendiri Pondok Pesantren
Mamba’ul Ma’arif Denayar, Jombang. Beliau lahir pada hari Rabu, 28
Dzulhijjah tahun 1304 H/18 September 1886 M. di Tayu, sebuah
ibukota kecamatan yang letaknya sekitar 100 km, arah timur laut kota
Semarang, Jawa Tengah. Sebuah kawasan pesisir pantai utara yang
salah satu jalur pengembangan ajaran Islam. Sehingga daerah tersebut
memiliki tingkat biuaya sosial keagamaan yang cukup kuat. 1
Tayu merupakan latar belakang geografis yang sangat
mewarnai pandangan hidup M. Bishri Syansuri kelak yang sedikit
banyak membentuk karakter dan kepribadiannya. Hal ini tidak lain,
dikarenakan Bishri, begitu nama kecilnya, lahir di tengah-tengah
keluarga yang sangat agamis dan mayoritas menjadi ulama besar pada
masa, terutama dari jalur sang ibu, seperti almarhum KH. Kholil Lasem
(1366/1945), almarhum KH. Baidlowi Lasem (1390/1970), hingga saat
ini pun masih merupakan suatu pesantren induk bagi banyak
pesantren lainnya, sehingga tidak heran dari tradisi keluarga yang
demikian inilah pada akhirnya mengantarkan KH. M. Bishri Syansuri
menjadi ulama’ besar yang ikut mewarnai perpolitikan bangsa dan
sebagai salah satu tokoh berdirinya Nahdlatul Ulama’.2
Beliau dilahirkan dari pasangan seorang ayah yang bernama
Syansuri bin Abd. Shomad dan Mariah. Beliau bersaudara lima orang,
tiga diantaranya laki-laki dan dua perempuan. Mas’ud, demikianlah
nama saudaranya yang sulung, kemudian Sumiati, Bishri, Muhdi, dan
yang bungsu bernama Syarifatun. Jadi beliau merupakan anak yang ke
tiga.
Nama Bishri di Indonesia tentu banyak sekali, baik digunakan
oleh para pemimpin atau ulama’. Namun, kalau saja disebut dengan
nama Kyai Bishri, maka hampir pasti nama yang dimaksud adalah
KH.M. Bishri Syansuri, seorang tokoh besar yang dikenal luas di
kalangan masyarakat, kalangan politisi, penguasa, kaum pergerakan,
bahkan kalangan pemuda dan pers sekalipun nama itu sudah tidak
asing lagi.
Sejarah pendidikan kecil Bishri dimulai dari orang tuanya
sendiri. Pada usia tujuh tahun beliau belajar agama secara teratur,
mulai belajar Al-Quran dengan tajwidnya sekaligus pada KH. Sholeh
Tayu. Pendidikan menguasai bacaan Al-Quran dengan sempurna itu

1
Abdurrohman Wahid (1989), Kiai Bisri Syansuri, Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, Majalah
AMANAH, Jakarta, hal. 5, lihat, Abd. Aziz Masyhuri, Al-Maghfurlah KHM. Bsihri Syansuri, Cita-cita
dan Pengabdiannya, Perc. Rochim, Jombang, t.th. hal. 21
2
Abd. Aziz Masyhuri, Ibid.

2
yang di kemudian hari akan menjadi salah satu perhatian khusus
beliau dalam mendidik para santrinya. Beliau belajar pada salah
seorang keluarga dekatnya yang menjadi ulama besar dan membuka
pesantren sendiri di Desa Kajen, sekitar 8 Km dari Tayu, yaitu KH. Abd.
Salam seorang hafidz Al-Quran.3
Setelah dirasa memiliki bekal pengetahuan agama, terutama
pemahaman tentang al-Quran, makaketika telah mencapai usia 15
tahun, maka beliau mulai merantau untuk menimbah ilmu-ilmu
agama. Mula-mula pondok yang datangi adalah pondok yang diasuh
oleh KH. Kholil Kasingan Rembang (wafat 1358/1939) dan KH. Syu’aib
Sarang Lasem. Dengan pendidikan di dua ulama besar dan terkemuka
di daerah pesisir utara itu ditempuhnya dengan waktu yang cukup
singkat, yaitu dilakukan hanya pada bulan puasa atau dalam istilah
pesantren disebut ngaji kilatan, 4
Kemudian sekitar tahun 1901, beliau berpindah lagi ke pondok
pesantren di Demangan Bangkalan, asuhan KH. Kholil, seorang ulama’
besar yang mejadi guru hampir semua kyai yang terpandang di Jawa
waktu itu, termasuk perjumpaannya dengan Abdul Wahab Hasbulah
yang kelak menjdai karib sekaligus kakak iparnya. Dari jalinan
hubungan keduanya inilah menjadi titik balik dan sejarah yang sangat
penting bagi perjalan agama Islam beberapa puluh tahun di Jombang.
Setelah bersama-sama Abdul Wahab Hasbullah belajar
tentang perpaduan antara fiqh dan thareqat pada KH. Kholil Bangkalan
kurang lebih dihabiskan selama 5 tahun, maka Bishri muda kembali
mengayunkan langkah untuk mencari ilmu di daerah Jombang,
tepatnya belajar kepada KH. Hasyim Asy’ari sekitar tahun 1905.
Keputusan ini tidak lepas dari kawan barunya, Wahab Hasbullah yang
kebetulan berasal dari Jombang untuk menimbah ilmu pada Hadratus
Syaekh Hasyim Asy’ari. Disinilah beliau memperdalam ilmu
pengetahuan agama; fiqh, tauhid, tafsir, hadits dan lain-lain, dan di sini
pulalah terdapat hubungan yang erat antara beliau dengan hadratus
Syaekh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau tinggal di pesantren Tebuireng
hingga 6 tahun lamanya atau sekitar sampai tahun 1911 M. Dan tentu
hubungannya dengan Abd. Wahab Hasbullah pun semakin erat dan
akrab melebihi saudara.5

3
Abd. Aziz Masyhuri, Ibid., hal. 25
4
Ngaji seperti ini kerap dilakukan pondok pesantren pada waktu-waktu tertentu terutama pada
bulan puasa dan menjelang liburan baik sekolah formal maupun salafi. Dan kitab yang dikaji cenderung
kitab-kitab kecil. Sebab program pengajian itu terkesan khusus dengan jarak waktu tidak kurang dari
sebulan saja dan digunakan untuk keperluan menyegarkan kembali orientasi para alumni terhadap teks-
teks utama pada literatur keagamaan lama. Lihat, Abd. Aziz Masyhuri, Ibid., hal. 26
5
Abdurrohman Wahid, op. cit., hal. 8-9

3
Di pesantren Tebuireng, beliau juga belajar bersama dengan
sejumlah pemuda pilihan yang kemudian menjadi ulam’-ulama’ besar
yang berpengaruh bagi perkembangan Islam ala ahlussunah wa al-
jama’ah, diantaranya Abd. Manaf Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad
Baidlowi Banyumas, Abd. Kariem Gresik, Nahrowi Malang, pemuda
Abbas dari Jember, Ma’shum (kakak KH. Adlani Ali) Maskumbang
Gresik, dan lain-lain.
Selama 6 tahun di pesantren Tebuireng itu, beliau memperoleh
ijazah (perkenan ilmu) dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab
agama yang terkenal dalam literature lama. 6
Setelah itu, beliau berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan
pendidikannya pada tahun 1911-1914 bersama sahabatnya yang sejak
di Bangkalan Madura, yaitu Abd. Wahab Hasbullah. Kedua sahabat
yang berwatak saling bertolak belakang itu menghabiskan waktu-
waktunya untuk belajar dengan ulama’-ulama’ yang terkenal di tanah
suci, seperti Syekh M. baker, Syeh M. Said al-Yamani, Syekh Umar
bajened, Syekh M. Sholeh Bafadlol, Syekh Jamal al-Maliki, Syekh
Abdullah, Syejh Ibrohim al-Madani, juga belajar kepada gurunya
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari seperti Syeh Ahmad Khotib Padang
(wafat 1334 H/1915 M), Syekh Syu’aib Doghestani, dan Kiyai Mahfudl
Termas (wafat 1338 H/1919) dan lain-lain.
Di antara hal-hal yang menarik selama KH.M. Bishri Syansuri
berada di Mekkah untuk dua sampai tiga tahun, dan secara tidak
langsung beliau melibatkan diri dalam pembentukkan sebuah cabang
Syariat Islam yang dipelopori oleh Abd. Wahab Hasbullah, bersama-
sama dengan Abbas dari Jember, Asnawi dari Kudus dan Dahlan dari
Kertosono. Terlepas dari motif yang melatari berdirinya Syariat Islam
cabang Mekkah, yang jelas peristiwa itu merupakan cikal bakal yang
memberikan nilai positif pada karakter Bishri Syansuri ke depan.

2. Pernikahan Untuk Merajut Sejarah Baru


Pada tahun 1914, adik Abd. Wahab Hasbullah yang bernama
Nor Khodijah menuaikan ibadah haji bersama ibunya. Peristiwa ini
tidak disia-siakan oleh sang kakak, Abd. Wahab Hasbullah, untuk
menjodohkan adiknya itu dengan sahabat karib yang telah lama
bersama, Bishri Syansuri. Dan ternyata, tanpa persoalan yang berbelit
kesepakatanpun tercapai dengan baik.
Lambat laun pengembaraan di tanah suci Mekkah bagi beliau
sangat menyenangkan, sehingga keilmuan yang dipelajari semakin luas.
Beliau tidak henti-hentinya untuk selalu bertukar pikiran dengan para

6
Abdurrohman Wahid, Ibid., hal. 10

4
guru besar di Mekkah. Beberapa masalah dan segala kesulitan tentang
agama khususnya mulai terurai. Pada saat itulah, muncul
kerinduannya dengan tanah air yang telah lama ditinggalkannya
semenjak masih muda. Akhirnya beliau meninggalkan tanah suci
kembali ke tanah air. “Setinggi terbang punai akhirnya hinggap juga di
tanah”, dengan meninggalkan iparnya Abd. Wahab Hasbullah yang
masih melanjutkan pelajarannya di Mekkah. Selain membuat beliau
harus meninggalkan tanah suci pada tahun 1914 lebih dari perkiraan
yang telah direncanakan,7 namun, keputusan itu merupakan langkah
awal untuk merancang-bangun pondasi kepesantrenan yang akhirnya
beliau kembangkan di Denanyar dengan berbekal sebidang tanah atas
pemberian mertuanya KH. Hasbullah.

3. Putra dan para Dzuriyah-nya


Dari perkawinannya dengan gadis rupawan KH. Hasbullah
Tambak beras yang bernama Nor Khodijah, almarhum KH.M. Bishri
Syansuri dikaruniai 9 putra-putri yang tidak semuanya hidup sampai
dewasa, yaitu:
1) ……meninggal dunia
2) Ahmad Athoillah
3) Muasshomah
4) Muslihatin
5) Solihah
6) Musyarofah
7) Sholihun
8) Ali Abd. Aziz
9) Shohib
Dan sampai pada hari wafatnya beliau sekitar tahun 1980,
beliau meninggalkan putra-putri 3 orang, masing-masing: Ny. Solihah
Wahid Hasyim; Ny. Musyarofah Fattah Hasyim; dan KH. Shohib
Bishri8

Wallahu a’lam

KH. Abdussalam Shohib


Cucu KH. Bishri Syansuri

7
Abd. Aziz Masyhuri, op. cit., hal. 29
8
Abd. Aziz Masyhuri, Ibid., hal. 31

Anda mungkin juga menyukai