Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH BIOGRAFI K.

H MASYKUR
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas ke NUan
Yang diampu oleh Charisma Ilhamma.s

Nama Mahasiswa /Kelompok


1. Nadzif Widya L
2. Dwi Wulan H
3. Faiz Ulul L
4. M Fatan S
5. Rizki Setyo W
6. Zahra Audatun N

MA 11 NU PERON
LIMBANGAN KENDAL
JAWA TENGAH
BAB I
PENDAHULUAN

A. Biografi K.H Mansur

Riwayat dan Kelahiran

KH Masykur lahir di Malang, Jawa Timur, 30 Desember 1902. Dirinya pernah menjabat sebagai
Menteri Agama Indonesia pada tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955.
Kiai Masykur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada usia
sembilan tahun, Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Kiai Masykur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada usia
sembilan tahun, Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH.
Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di pesantren
ini, Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di
pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.
Kiai Masykur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada usia
sembilan tahun, Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH.
Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di pesantren
ini, Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di
pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.

Mengembara Menuntut Ilmu

Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH.


Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di pesantren
ini, Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di
pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.
Selama 4 tahun, KH Masykur menempuh pendidikan di Pesantren Siwalan Panci, Jawa Timur.
Selanjutnya dia pernah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian di Pesantren Kiai Kholil, Bangkalan, Madura selama 1 tahun dan pernah pula
menempuh pendidikan di Madrasah Mamba'ul Ulum, Jamsaren, Solo selama 7 tahun.
Di Jawa Barat, pria kelahiran Malang ini pernah pula menempuh pendidikan di Pesantren
Ngamplang, Garut selama 2 tahun.

Menikah

Kiai Masykur menikah pada 1923, dengan cucu KH. Tahir, gurunya di pesantren Bungkuk,
Malang. Di usia 16 tahun pernikahan mereka, sang istri meninggal dan belum dikaruniai
keturunan. Atas saran Kiai Khalil Genteng, Kiai Masykur kemudian menikahi adik istrinya,
bernama Fatimah. Sejak saat itulah, pasangan dari keluarga pesantren inilah, kemudian bersama-
sama mengabdi dan berjuang untuk syiar Islam.
Perjalanan Karier Beliau

1. Ketua Cabang NU, Malang (1926-1930)


2. Anggota PB NU (1930-1945)
3. Ketua Umum PB NU (1950-1956)
4. Ketua Golongan Islam DPR/MPR (1957*1971)
5. Ketua I PB NU (1957*1959)
6. Ketua Umum Pusat Sarbumusi (1960*1969)
7. Rois Awal PB NU (1963*1972)
8. Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PPP/Wakil Presiden PPP (1973* 1985)
9. Rois Tsani PB Syuriah NU (1979*1984)
10. Mustasyar PB NU (1984*sekarang)
11. Pendiri Peta di Jawa (1943*1945)
12. Anggota Pengurus Latihan Kemiliteran di Cisarua (1944*1945)
13. Pimpinan Tertinggi Hizbullah Sabilillah (1945)
14. Anggota PP Legiun Veteran RI (1975)
15. Ketua III Dewan Harian Nasional Angkatan 45 (1976*1994)
16. Anggota PPKI (1944)
17. Anggota KNIP (1945*1946)
18. Anggota Dewan Pertahanan Negara (1946*1948)
19. Menteri Agama RI (1948*1950)
20. Kepala Kantor Urusan Agama Pusat (1950*1953)
21. Menteri Agama RI (1953*1955)
22. Anggota DPR (1956*1960)
23. Anggota DPRGR (1960*1971)
24. Biro Politik Kotrar (1962*1966)
25. Anggota DPA (1968)
26. Kemudian pada tahun 1930 hingga 1945, KH Masykur menjadi anggota PB NU. Lima tahun
kemudian dia dipercaya untuk menduduki posisi Ketua Umum PB NU pada periode 1950-1956.
27. Selanjutnya, pada tahun 1963-1972, KH Masykur didapuk menjadi Rois Awal PB NU.
28. Rois Tsani PB Syuariah NU juga pernah disandangnya pada tahun 1979-1984.
29. Dirinya aktif menjadi Ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) dari tahun 1980
hingga akhir hidupnya.

Tutup Usia

Perjalanan panjangnya dalam berjuang untuk kemerdekaan dan pengabdiannya pada negara
menjadi teladan bagi lintas generasi. Di usia senjanya, Kiai Masykur menjadi penggagas
sekaligus pendiri Universitas Islam Malang (Unisma). Kiai Masykur menghembuskan nafas
terakhirnya pada 19 Desember 1992.

Perjalanan panjangnya dalam berjuang untuk kemerdekaan dan pengabdiannya pada negara
menjadi teladan bagi lintas generasi. Di usia senjanya, Kiai Masykur menjadi penggagas
sekaligus pendiri Universitas Islam Malang (Unisma). Kiai Masykur menghembuskan nafas
terakhirnya pada 19 Desember 1992.
B. Latar Belakang K.H Masykur

Periode perjuangan yang menjadi bagian penting dalam narasi kemerdekaan Indonesia, adalah
peristiwa Surabaya, November 1945. Perjuangan untuk mengawal kemerdekaan ini, menjadi catatan
penting dalam sejarah bangsa, yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Akan
tetapi, dalam narasi besar sejarah perjuangan bangsa, peran para kiai dan santri yang ikut berjuang
mengomando perjuangan hanya sayup-sayup terdengar. Bagaimana kisahnya?   Pada kurun revolusi,
salah satu nama penting dalam perjuangan kebangsaan yang perlu dicatat adalah Kiai Masykur.
Bersama para kiai lain, Kiai Masykur menjadi komando laskar kiai, yakni Laskar Sabilillah. Dalam
catatan militer dan perjuangan bangsa, Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbullah memiliki sumbangsih
besar untuk mengawal kemerdekan Indonesia.     Siapakah Kiai Masykur, pemimpin Laskar
Sabilillah? Bagaimana sumbangsih dan pengabdiannya untuk perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia?     Kiai Masykur lahir di Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1902. Pada
usia sembilan tahun, Masykur kecil diajak orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di tanah suci.
Sekembali dari Makkah-Madinah, ia disekolahkan di Pondok Pesantren Bungkuk, pimpinan KH.
Thahir. Kemudian, ia melanjutkan nyantri di Pesantren Sono, Buduran, Sidoarjo. Di pesantren ini,
Masykur kecil mempelajari ilmu nahwu sharaf. Selang empat tahun kemudian, ia mengaji di
pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo untuk mendalami ilmu fiqh.   Setelah berpetualang di beberapa
pesantren, Masykur muda kemudian mendekat ke Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari (1875-1947). Di
pesantren Tebu Ireng, Jombang, ia belajar ilmu tafsir dan hadits. Setelah merampungkan mengaji di
Tebu Ireng, Kiai Masykur kemudian melanjutkan tabarrukan ke pesantren Bangkalan, Madura, untuk
mengaji Qiraat al-Qur'an kepada Syaichona Cholil.   Minat belajar Kiai Masykur tidak berhenti di
tanah Madura. Setelah suntuk belajar di bawah asuhan Syaichona Cholil, Kiai Masykur kemudian
meneruskan mengaji di pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah. Selepas merampungkan mengaji di
Jamsaren, Kiai Masykur kemudian memantabkan kaki untuk mengabdi di tanah kelahirannya, di
Singosari Malang. Di Singosari, Kiai Masykuri mendirikan madrasah bernama Mishbahul Wathan
atau Pelita Tanah Air.   Kiai Masykur menikah pada 1923, dengan cucu KH. Tahir, gurunya di
pesantren Bungkuk, Malang. Di usia 16 tahun pernikahan mereka, sang istri meninggal dan belum
dikaruniai keturunan. Atas saran Kiai Khalil Genteng, Kiai Masykur kemudian menikahi adik
istrinya, bernama Fatimah. Sejak saat itulah, pasangan dari keluarga pesantren inilah, kemudian
bersama-sama mengabdi dan berjuang untuk syiar Islam.   Berorganisasi, Mengabdi pada Kiai   Karir
organisasi Kiai Masykur dimulai sejak ia menetap di Singosari Malang. Meski, selama mengaji di
pesantren bakat organisasinya sudah terasah, namun kepemimpinan dan pengabdiannya pada
masyarakat dan agama tersemai ketika menggerakkan pendidikan di Singosari Malang. Kiai Masykur
juga menjadi Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Malang.   Kiai Masykur juga merupakan salah satu
tokoh penting dalam jaringan paramiliter santri. Ia mengomando Laskar Sabilillah, yang merupakan
titik jaringan pejuang pesantren dari level kiai dan pengasuh pesantren. Laskar Sabilillah,
berkoordinasi dengan Laskar Hibzullah pimpinan Kiai Zainul Arifin (1909-1963) untuk berjuang
menjemput kemerdekaan. Dalam catatan sejarah pesantren, peran Laskar Sabilillah dan Hizbullah
sangat besar untuk menggerakkan semangat perjuangan kebangsaan. Ketika meletus perlawanan Arek
Suroboyo pada November 1945, perjuangan Laskar Sabilillah dan Hizbullah mengobarkan semangat
kaum santri. Terlebih, setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari menggemakan Resolusi Jihad pada 22
Oktober 1945.   Kepemimpinan Kiai Masykur dalam menggerakkan Laskar Sabilillah menjadi
catatan penting. Beliau juga dikenal dekat dengan kiai-kiai yang mendirikan Nahdlatul Ulama,
semisal Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Wahid Hasyim dan beberapa kiai pesantren di penjuru Jawa. Kiai Masykur juga dekat Panglima
Sudirman, ketika bersama-sama menggerakkan pemuda untuk berjuang pada periode revolusi
kemerdekaan.   Laskar Sabilillah, Berjuang untuk Merdeka Meski Indonesia telah merdeka pada 17
Agustus 1945, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda tidak rela bahwa negara Indonesia menyatakan
kemerdekaan. Pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian disusul tentara
berikutnya mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentu, situasi ini sangat mencekam, karena
intimidasi, propaganda dan trik militer yang dilancarkan oleh tentara sekutu dilancarkan secara
periodik. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands
East Indies), yang bertugas melucuti senjata tentara Jepang.   Akan tetapi, misi tentara Sekutu dalam
AFNEI, ditunggangi kepentingan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tentara NICA
bertujuan untuk mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda, sebagai
jajahan Hindia Belanda. Tentu saja, hal ini mengobarkan kemarahan penduduk Indonesia, terutama
mereka yang berdiam di kawasan Jawa Timur. Para kiai pesantren yang selama ini berjuang untuk
kemerdekaan, merapatkan barisan. Di antaranya, KH. Wahid Hasyim (1914-1953), Kiai Wahab
Chasbullah (1888-1971), Kiai Mas Mansyur, Bung Tomo (1920-1981) serta pejuang nasiolis Roeslan
Abdul Ghani (1914-2005), dan Dul Arnowo, seorang arek Suroboyo. Laskar Sabilillah di bawah
komando Kiai Masykur segera merapatkan barisan, juga laskar Hizbullah pimpinan Kiai Zainul
Arifin. Kiai Wahab Chasbullah mengonsolidasi barisan pemuda santri dalam Laskar Mujahidin
(Bizawie, 2014).   Ketika menjelang pertemupuran 10 November 1945, barisan laskar dari Malang
bergerak cepat menuju Surabaya. Pasukan dari Malang, terutama TKR Resimen 38 Kompi
Sochifuddin dan Kompi III dengan kapten M. Bakri, bergerak bersama-sama penduduk yang berjuang
dengan api semangat menyala. Laskar Hizbullah berangkat ke medan perang, di bawah komando KH.
Nawawi Thohir dan Abbas Sato dengan jumlah 168 pasukan. Laskar Sabilillah dari Malang juga
mengonsolidasi barisan. Para Kiai ikut berjuang di bawah pimpinan Panglima Divisi Untung
Suropati, Jenderal Imam Soedjai (Dimyati, 2014: 50-52).   Pada pertempuran Surabaya, strategi
militer digunakan oleh para komando laskar. Pertempuran terbagi dalam beberapa sektor. Daerah
pertahanan Laskar Sabilillah berada di sektor tengah garis kedua, yang berada di depan Stasiun
Gubeng dan Jalan Pemuda. Kawasan ini, dipertahankan oleh Laskar Sabilillah bersama Laskar
Hizbullah dan TKR Malang.   Di tengah deru pertempuran di Surabaya, KH. Masykur dengan gigih
mengomando barisan Laskar Hizbullah. Para laskar yang ikut berjuang pada perang Surabaya,
bertekad bulat dengan niat: isy kariman au mut syahidan (hidup mulia atau mati syahid). Api
semangat para santri dan laskar-laskar pemuda inilah, yang kemudian membakar perjuangan rakyat di
Surabaya hingga kemudian—atas izin Allah—berhasil mengalahkan tentara sekutu yang ingin
merampas kemerdekaan negeri. Di panggung perjuangan rakyat inilah, Kiai Masykur mencatatkan
pengabdiannya bersama para kiai-santri lainnya untuk mengawal kemerdekaan negeri.   Ketika
Indonesia merdeka, Kiai Masykur termasuk salah satu dari sekian kader santri yang ikut membantu
perjuangan di pemerintahan. Pada November 1947, Kiai diberi amanah oleh Presiden Soekarno untuk
menjadi Menteri Agama, pada akhir masa Kabinet Amir Syarifuddin ke-2. Pada Kabinet Hatta II,
Kiai Masykur juga terpilih sebagai Menteri Agama. Pada 1949, ketika terbentuk Kabinet Peralihan,
Kiai Masykur juga mendapat amanah sebagai Menteri Agama. Latar belakang pesantren, pejuang
kemerdekaan, afiliasi Nahdlatul Ulama, serta kedekatan komunikasinya dengan beberapa pendiri
bangsa dan kiai pesantren, menjadikan Kiai Masykur sangat layak berada di jajaran tertinggi dalam
komando kebijakan negara tentang agama. Kemudian, pada Kabinet Ali Wongso Arifin, Kiai
Masykur juga mengemban amanah sebagai Menteri Agama. Jelaslah, bahwa Kiai Masykur sangat
legendaris sebagai Menteri Agama, yang menjabat selama empat kali periode kabinet.   Ketika
menjadi Menteri Agama, salah satu prestasi penting yang menjadi catatan sejarah adalah prakarsanya
atas Konferensi Ulama yang diadakan di Cipanas, Jawa Barat, pada 1954. Pada waktu, para kiai
menetapkan Soekarno dengan gelar: "Waliyyul amri dlaluri bis-syaukah (pemegang pemerintah
dalam keadaan darurat dengan kekuasaan penuh). Pada waktu itu, negara sedang dalam keadaan
genting, karena terjadi perdebatan sengit dan pergolakan yang disulut oleh gerakan DI/TII pimpinan
Kartosoewirjo. Para kiai dan ulama yang tergabung dalam barisan Nahdlatul Ulama, mendukung
Soekarno—meski dengan status pemimpin darurat—agar kepemimpinan negara tidak oleng.   Pada
tahun 1952, Kiai Masykur juga terpilih sebagai Ketua Dewan Presidium Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Ia kemudian ditetapkan sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Nahdlatul Ulama. Dalam
menggerakkan organisasi PBNU, Kiai Masykur juga menjadi salah satu tokoh pengawal lahirnya
Sarbumusi (Serikat Buruh Muslimin Indonesia).  Bahkan, di bawah komando Kiai Masykur,
Sarbumusi melakukan lawatan ke Uni Sovyet untuk kunjungan organisasi sekaligus melihat
perkembangan Islam di negeri tersebut.   Kiai Masykur juga pernah menjadi anggota Syou Sangkai
(DPRD), ketika masa pendudukan Jepang. Ia juga terpilih sebagai anggota PPKI dan Konstituante,
yang berjasa penting untuk merumuskan dasar negara, bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya. Pada
1978-1983, Kiai Masykur ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPR RI.   Perjalanan panjangnya dalam
berjuang untuk kemerdekaan dan pengabdiannya pada negara menjadi teladan bagi lintas generasi. Di
usia senjanya, Kiai Masykur menjadi penggagas sekaligus pendiri Universitas Islam Malang
(Unisma). Kiai Masykur menghembuskan nafas terakhirnya pada 19 Desember 1992.   Munawir
Aziz, Dosen dan Peneliti, Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr PBNU. Saat ini, sedang
merampungkan buku "Pahlawan Santri". Email: moena.aziz@gmail.com   Referensi: MA Dimyati.
KH. Masjkur dalam Laskar Sabilillah (1945-1949). Thesis UIN Surabaya. 2014. Subagiyo Ilham
Notodijoyo. KH. Masjkur: Sebuah Biografi. Jakarta: Gunung Agung. 1982. Saiful Umam. Menteri-
Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: Balitbang Kementrian Agama. 1998. Zainul
Milal Bizawie. Laskar Ulama-Santri & Resolusi JIhad.

C. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah: ARTA

1. Menguraikan profil K.H. Masjkur mulai dari latar belakang keluarga


hingga aktivitasnya.

2. Menjelaskan kondisi Kementerian Agama sebelum dibawah kepemimpinan K.H. Masjkur

3. Menjelaskan kiprah K.H. Masjkur dan pengaruh kebijakannya terhadap umat Islam di
Indonesia

Adapun manfaat dari penelitian ini ialah:

1. Sebagai bahan pelengkap dari penelitian sebelumnya mengenai


kepemimpinan K.H. Masjkur selama menjadi Menteri Agama.

2. Sebagai perenungan bagi pemimpin bangsa, terutama kepada kaum muda


agar tetap solid dalam membangun bangsa ini kearah yang lebih baik.

3. Sebagai bahan untuk menambah khazanah penulisan dan referensi bagi pembaca
yang memerlukan terutama bagi mahasiswa sejarah yang ingin menulis mengenai
salah satu tokoh Menteri Agama.

D. Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini membahas tentang Kepemimpinan K.H. Masjkur dalam

Kementerian Agama Tahun 1947-1955 M. Kepemimpinan yang dimaksudkan ialah


melakukan pengawasan, pengarahan yang dilakukan oleh KH. Masjkur terhadap para jajaran
Kementerian Agama dalam menjalankan tugas yang sudah direncanakan. Pada tatanan
Menteri Agama, periodesasi jabatan K.H. Masikur terjadi beberapa kali dalam kurun waktu
dari tahun 1947-1955 M. Pemilihan tahun 1947 merupakan awal mula kiprah K.H. Masjkur
menjabat sebagai Menteri Agama, sedangkan tahun 1955 berdasarkan Keppres No. 123
tahun 1953 adalah jabatan terakhir K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama.

Oleh karena itu, maka peneliti merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana profil K.H. Masjkur?

2. Bagaimana kondisi Kementerian Agama sebelum kepemimpinan K.H.


Masjkur?

3. Bagaimana kiprah K.H. Masjkur sebagai Menteri Agama dan pengaruh


kebijakannya terhadap umat Islam di Indonesia?

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Kepemimpinan K.H. Masjkur dalam Kementerian Agama belum banyak
mendapatkan perhatian. Namun ada beberapa karya yang telah ditemukan yang berkaitan
dengan K.H. Masjkur selama menjabat sebagai Menteri Agama.

Pertama, buku yang berjudul Menteri-Menteri Agama RI Biografi Sosial-Politik oleh editor
Azyumardi Azra dan Saiful Umam. Buku yang diterbitkan oleh INIS, PPIM, dan Badan
Litbang Agama Departemen Agama RI

di Jakarta pada 1998, berisi tentang biografi beberapa Menteri Agama yang pernah menjabat
salah satunya adalah biografi K.H. Masjkur. Buku ini membahas mulai masa kecil hingga
menjelang akhir hayatnya sebelum akhirnya pada tahun 1992 K.H. Masjkur meninggal dunia.
Buku ini menguraikan biografi K.H. Masjkur secara gambaran umum, tetapi dalam skripsi
ini lebih spesifik membahas mengenai aktivitas K.H. Masjkur saat menjabat sebagai Menteri
Agama.

Kedua, huku yang berjudul K.H. Masjkur Sebuah Biografi karya Soebagijo LN. Buku ini
diterbitkan oleh PT. Gunung Agung di Jakarta pada 1982. Buku ini berisi tentang biografi
K.H. Masjkur hingga aktivitasnya. Dilengkapi dengan foto-foto K.H. Masjkur diantaranya
foto Ibu Maemunah (ibu KH. Masjkur). dan foto K.H. Masikur melakukan kunjungan ke
Yogyakarta.

Ketiga, skripsi dari Achmad Afandi yang berjudul Peran K.H.A. Wahid Hasyim Dalam
Pengembangan Kementerian Agama (1949-1952 M) Jurusan Sejarah dan Kebudayan Islam
Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Surabaya tahun 2015. Skripsi ini
berisi peran K.H. Abdul Wahid Hasyim dalam Kementerian Agama mulai dari
memperjuangkan didirikannya Kementerian Agama hingga pengembangan dan pendirian
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Skripsi ini dapat menjadi acuan dalam
penelitian ini karena bidang yang sama yaitu salah satu tokoh Menteri Agama yang memiliki
peran penting dalam Kementerian Agama
Keempat, artikel yang berjudul K.H. Masykur: Menjadi Menteri Empat Kabinet ditulis oleh
Republika http://www.republika.co.id/berita/shortlink/34408. dan Artikel diakses ini dari
berisi perjalanan K.H. Masjkur saat belajar agama ke berbagai pesantren di Jawa dan
Madura, kemudian saat ia menjabat sebagai Ketua Nahdlatul Ulama Cabang Malang, hingga
keaktifannya dalam laskar Sabilillah.

Kelima, artikel yang berjudul K.H. Masjkur, Menteri Agama dan Panglima Laskar Sabilillah
Asal Malang ditulis oleh Mayasari Setiyaningsih dan diakses dari
http://hanyadiindonesia.uniktapifakta.com/2016/10/kh- masjkur-menteri-agama-dan-
panglima.html. Artikel ini berisi perjalanan K.H. Masikur dalam belajar agama di berbagai
pesantren di Jawa. Seusai ia berkelana menimba ilmu, ia kembali ke kampung halamannya
dan membuka UNI pesantren bernama Misbahul Wathan pada tahun 1923. Diuraikan pula
saat ia melakukan gerilya dalam melawan penjajah hingga ia jatuh sakit, namun ia tetap
mempertahankan jabatannya sebagai Menteri Agama.

Keenam, artikel yang berjudul K.H. Masjkur Layak Sebagai Pahlawan Nasional
pahlawan.ditulis oleh kyaiku .Artikel ini berisi mengenai K.H. Wahab Chasbullah yang
dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo sebagai tokoh pahlawan nasional. Bentuk
apresiasi yang diberikan pemerintah ini sangat tepat dan perlu ditingkatkan lagi karena masih
banyak kyai yang berjasa besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari
tangan penjajah. Pemberian gelar tokoh pahlawan nasional kepada kyai-kyai yang telah
berjasa pada negara memang harus diprioritaskan lagi, seperti halnya penyematan gelar
pahlawan nasional pada K.H. Masjkur. K.H. Masjkur yang pernah mengemban amanah
sebagai Menteri Agama merupakan seorang kyai yang ikut berjuang dalam merebut dan
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah dan terdaftar sebagai
salah satu "the founding father".

Ketujuh, artikel yang berjudul Mengenal Sosok Panglima Laskar Sabilillah Bernama K.H.
Masjkur ditulis oleh Akaibara dan diakses dari http://ngalam.co/2016/12/02/mengenal-sosok-
panglima-laskar-sabilillah- bernama-kh-masjkur. Artikel ini berisi mengenai latar belakang
pendidikannya dalam menimba ilmu agama, kes kemudian awal karir militernya saat ia
ditunjuk oleh Karesidenan Malang untuk mengikuti latihan kemiliteran di Bogor yang
kemudian disusul dengan latihan khusus bagi ulama. Saat pecah perang Surabaya, ia dan
pasukannya ikut andil dalam perang tersebut.Beberapa karya di atas, peneliti belum
menemukan pembahasan mengenai kepemimpinan K.H. Masjkur selama menjadi Menteri
Agama dari 11 tahun 1947-1955. Namun, telah diuraikan secara singkat dalam beberapa
karya di atas tentang sekilas profil K.H. Masjkur dan beberapa aktivitas semasa hidupnya.
Perbedaan penelitian ini dengan karya-karya di atas ialah penelitian ini secara sistematis
membahas mengenai kepemimpinan K.H. Masjkur saat menjabat sebagai Menteri Agama.
Mulai dari latar belakang terpilih hingga kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh K.H.
Masjkur dan pengaruhnya terhadap umat Islam di Indonesia, sedangkan karya-karya di atas
hanya menguraikan secara singkat biografi K.H. Masjkur. Posisi penelitian yang sedang
dikaji ini sebagai pelengkap dari penelitian-penelitian yang sudah ada.
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan

K.H. Masjkur lahir di Singosari, Malang, pada 1899 dari pasangan Maksum dan
Maemunah. Pendidikan yang diberikan K.H. Masikur ialah pendidikan pesantren karena
sikap non-kooperatif orang tuanya kepada Belanda yang tidak menginginkan anaknya
sekolah di sekolah pemerintah. KH. Masjkur menikah dua kali karena pada pernikahan
yang pertama, istrinya meninggal dunia diusia pernikahan 16 tahun. Satu tahun kemudian
K.H. Masjkur menikah dengan adik almarhumah istrinya bernama Fatimah dan
dikaruniai seorang anak bernama Syaiful Islam. Berbagai aktivitas yang dijalani K.H.
Masjkur bermula dari mendirikan sebuah madrasah bernama Misbhachul Wathon.
Disusul dengan menjabat Ketua Nahdhatul Ulama Cabang Malang dan Ketua Nahdhatul
Ulama Surabaya, memimpin pasukan LAMIC UNIVERSITY laskah Hisbu dan laskar
Sabilillah hingga akhirnya menjadi Menteri Agama.
Sejak zaman yang Belanda sudah didirikan kantor yang mengurusi pribumi dengan
agama bernama Kantoor voor Inlandsche Zaken lalu pada zaman Jepang berubah nama
menjadi Shumubu (Kantor Urusan Agama Pusat), dan Shumuka (Kantor Urusan Agama
Daerah). Pada sidang KNIP yang dihadiri oleh para KNI Daerah mengusulkan untuk
didirikannya kementerian yang mengurusi urusan agama. Usulan itu disampaikan oleh
anggota KNI Daerah Banyumas bernama K.H. Abudardiri. Usulan tersebut diterima dan
berdirilah Kementerian Agama yang berdiri pada 3 Januari 1946. Jabatan Menteri Agama
sebelum K.H. Masjkur ialah H. Mohammad Rasjidi pada Kabinet Syahrir I dan K.H.
Fathurrahman Kafwari pada Kabinet Syahrir II, hingga akhirnya K.H. Masjkur menjadi
Menteri Agama di awal periodesasinya pada Kabinet Amir Syarifuddin II.
Periodesasi K.H. Masjkur dalam menjabat sebagai Menteri Agama adalah pada Kabinet
Amir Syarifuddin II berdasarkan penunjukkan oleh Presiden Soekarno. Periode
selanjutnya pada Kabinet Hatta I berdasarkan Maklumat Presiden No. 3 tahun 1948.
Kabinet selanjutnya Kabinet Darurat pada pemerintahan di Sumatra Menteri Agama
dijabat oleh Teuku Moh. Hassan, dan K.H. Masjkur tetap menjabat sebagai Menteri
Agama di Komisariat PDRI di Jawa. Kabinet selanjutnya ialah Kabinet Hatta II, K.H.
Masjkur masih menjabat sebagai Menteri Agama berdasarkan Penetapan Presiden No. 6
tahun 1949. Kabinet selanjutnya ialah Kabinet Susanto Tirtoprojo, dan untuk periodesasi
yang terakhir ialah pada Kabinet Kabinet Ali Sastroamijoyo I berdasarkan Keppres No.
123 tahun 1953.
Salah satu kebijakan pada masa kepemimpinan K.H. Masjkur ialah melakukan misi haji
pertama. Para tokoh yang melakukan misi haji setelah kembali ke Indonesia
menyampaikan dukungan dari Raja Ibnu Saud Abdul Aziz dan masyarakat tanah suci
kepada masyarakat Indonesia untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan tanpa
menyerah. Selain itu, Konferensi Ulama yang dilaksanakan di Cipanas, Jawa Barat juga
menimbulkan pro kontra antara para ulama karena gelar Waliyul Amri Dharuri Bis-
Syaukah yang diberikan kepada Presiden Soekarno. Namun perselisihan dapat
terselesaikan setelah melakukan kajian terhadap Presiden Soekarno dan memang pantas
gelar tersebut diberikan Presiden Soekarno bukan hanya kepada seorang raja ataupun
sultan.

B. Saran

Peneliti menyadari terdapat banyak kekurangan dalam karya ini. Masih banyak hal yang
dapat dikembangkan dalam karya ini, diantaranya latar belakang setiap kebijakan yang
dikeluarkan K.H. Masjkur selama menjadi Menteri Agama dan perang gerilya yang
dilakukan K.H. Masikur saat Belanda datang menangkap para tokoh Indonesia. Oleh
karena itu, peneliti berharap penelitian ini dapat memberi inspirasi peneliti lain untuk
lebih memperbanyak penulisan mengenai Kementerian Agama ataupun tokoh- tokoh
Menteri Agama yang menurut penulis masih kurang perhatian.

Anda mungkin juga menyukai