Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Peran Umat Islam dalam Memperjuangkan


Kemerdekaan Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang

Disusun Sebagai Nilai Tugas


Ujian Sekolah
Mata Pelajaran: Sejarah Indonesia

Disusun Oleh:
Nama: Lazuardi Alif Pratama
Kelas : XII TP2(23)
Paket Keahlian: Teknik Pemesinan
NIS: 3595

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah


Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
SMK Negeri Nusawungu 2019/2020

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, masa yang panjang itu diakhiri oleh
Jepang. Jepang menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang singkat (3 ½ tahun) namun
memberikan dampak menyeluruh dalam kehidupan beragama di Indonesia, terutama agama
Islam. Penjajahan Jepang yang dimulai dari akhir tahun 1940 hingga Agustus 1945 cukup
mengubah pasang-surut umat Islam.

Penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu tak heran apabila
banyak muslim yang turut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, baik
melalui non-kekerasan maupun peperangan. Dua jalur tersebut memiliki pengikut dan
keduanya pun merubah wajah Indonesia menuju kemerdekaan. Pada makalah ini kami
mencoba sedikit mengupas peran umat Islam dalam memperjaungkan kemerdekaan
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

 Siapa saja tokoh-tokoh Islam haluan religius yang berjuang pada masa penjajahan
Jepang?
 Apa saja cara perjuangan yang digunakan umat Islam:
 Melalui jalur non-kekerasan (non-violence)
 Menggunakan peperangan
 Apa pengaruh yang dihasilkan umat Islam seusai kemerdekaan Indonesia dan
perjuangan melawan Jepang?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sekilas Tokoh-Tokoh Perjuangan


Tokoh-tokoh Islam yang berperan penting memperjuangkan kemerdekaan
indonesia secara umum terbagi menjadi dua bentuk perjuangan, yaitu non-kekerasan
dan peperangan.

1. Non-Kekerasan
a. K.H. Mas Mansur
K.H. Mas Mansur berasal dari lingkungan pesantren di Surabaya. Ayahnya
bernama K.H. Mas Ahmad Marzuki, seorang alim yang dikenal luas, tidak hanya
di Jawa Timur, tetapi juga di Yogyakarta. Ia sering kali menghadiri pertemuan
para kiai di Yogyakarta itu dan juga bersahabat baik dengan K.H. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyyah.
Mas Mansur dilahirkan pada tanggal 15 Muharram 1314 H atau 25 Juni 1896
M di Kampung Sawahan No. 4 Surabaya Utara. Kampung sawahan terletak tak
jauh dari kompleks makam dan masjid Sunan Ampel, seorang tokoh Wali Sanga
yang paling disegani. Masyarakat mennjuluki daerah sekitar komplek situ dengan
julukan “kampung santri” karena terdapat beberapa pesantren dan tempat-tempat
pengajian atau juga kampung Arab karena banyak masyarakat keturunan Arab
yang berdomisili disana.
Mas Mansur termasuk beruntung karena dikaruniai otak yang cerdas. Pada
masa kanak-kanaknya Mas Mansur gemar sekali membaca dan mendengarkan
fatwa dari orang-orang tua. Menurut Muslihah, kakak Mas Mansur, bakat
kepemimpinannya sudah mulai tampak sejak masa kanak-kanak. Mas Mansur-lah
yang paling menonjol diantara kawan-kawan sebayanya dalam pergaulan sehari-
hari. Ia termasuk santri yang paling rajin, selalu menepati janji, kata-katanya
teratur, hematdan bijaksana.
Pendidikan pertama yang diterima Mas Mansur tentu saja dari ayahnya di
Pesantren Sawahan.Setelah mendalami dasar-dasar ilmu agama dari ayahnya,
pada tahun 1906 Mas Mansur dikirim belajar ke pesantren Kademangan di
Bangkalan, Madura. Pesantren ini dipimpin oleh K.H. Kholil, kyai yang masyhur
di Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di pesantren
inilah Mas Mansur belajar Al-Qur’an dan Alfiyah Ibn Malik.
Pada tahun 1908, Mas Mansur belajar ke Makkah. Namun pada tahun 1910,
timbul pergolakan politik di wilayah Hijaz. Dengan maksud agar orang-orang
asing tidak ikut terlibat dengan pergolakan tersebut maka penguasa Makkah saat
itu Syarif Husein memerintahkan kepada segenap orang asing untuk segera
meninggalkan kota suci itu. Maka dari itu, Mas Mansur pun memutuskan untuk
melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Akan tetapi
ayahnya tidak mengizinkannya karena khawatir ikut masuk dalam pergerakan
pembaharuan di Mesir saat itu. Meskipun begitu, Mas Mansur tetap bertekad bulat
hingga akhirnya dia belajar di Unversitas Al-Azhar dengan Fakultas Al-Din (ilmu
agama) yang mempelajari ilmu-ilmu ‘ubudiyyah dan siyasatul islamiyyah.
Selama pengembaraannya menuntut ilmu di Makkah dan Kairo inilah benih-
benih patriotisme dan nasionalisme tumbuh didalam jiwa Mas Mansur. Perhatian
dan minat Mas Mansur terhadap bangkitnya gerakan kebangsaan dan
pembaharuan pemikiran agama di tanah air tidak mustahil timbul selama ia berada
di Timur Tengah. Para santri yang sedang belajar di Makkah dan Kairo senantiasa
mengikuti perkembangan situasi di tanah air melalui berita-berita yang dibawa
oleh jamaah haji atau para santri yang baru tiba disana, kemudian mereka
mendiskusikannya serta berusaha mencari pola dan bentuk perjuangan, baik dalam
rangka membangkitkan kesadaran beragama maupun berbangsa.

b. K.H. Wahid Hasyim


Wahid Hasyim dilahirkan pada hari Jumat, 5 Rabiul Awwal 1333 H atau
bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Ia adalah anak kelima dan sebagai laki-laki
tertua dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dan Ny. Nafiqah putra Ilyas. KH.
Hasyim Asy’ari sendiri merupakan ulama besar (seringkali digelari Hadratus
Syaikh di depan namanya) yang membidani lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) dan
juga pendiri Pesantren Tebuireng. Pengaruhnya sangat luas di tengah masyarakat
Indonesia, khususnya di daerah Jawa dan Madura. Sedangkan Ny. Nafiqah sendiri
adalah putra dari Kiai Ilyas Madiun. Silsilah keduanya bertemu di satu titik, yakni
Sultan Brawijaya V, yang dikenal dengan Lembu Peteng.

Walaupun ia tidak pernah mengecap pendidikan formal, namun sejak kecil ia


dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan kreatif. Di bawah bimbingan ayahnya,
sejak umur 5 tahun ia sudah fasih membaca al-Qur’an. Dalam usia 7 tahun ia
mulai mempelajari kitab Fath Al-Qarib,al-Minhaj al-QawimdanAl-Mutammimah.
Pada usia 12 tahun, ia sudah menamatkan pendidikan keagamaannya di Madrasah
Salafiyah dekat rumahnya. Selain itu, ia sangat menggemari buku-buku
kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ (Kumpulan penyair
dengan syair-syairnya).

Berbeda dengan putra kiai pada umumnya yang menempuh pendidikan di


pesantren-pesantren besar dalam jangka waktu yang lama, Wahid Hasyim justru
lebih memilih untuk menjadi santri kelana. Ia belajar dari satu pesantren ke
pesantren lain dalam waktu yang singkat. Belajar 25 hari di pesantren Siwalan
Pandji, Sidoarjo, kemudian melanjutkan ke Lirboyo, Kediri, juga dalam waktu
yang tidak lama. Akan tetapi, berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia mampu
menguasai ilmu-ilmu yang biasa dipelajari di pesantren. Bahkan, dalam usia 16
tahun, sudah mampu menguasai dan mengajar beberapa kitab, seperti kitab al-
Durara al-Bahiya dan Kafrawi.

Kecerdasan yang dimiliki Wahid Hasyim tersebut sebenarnya tidak diperoleh


secara tiba-tiba; namun melalui kerja keras dan kerajinanannya dalam membaca.
Sejak kembali ke Tebuireng pada tahun 1929, ia memilih untuk belajar otodidak
di rumahnya, dengan menekuni beragam kitab dan buku bacaan. Tidak hanya
kitab klasik yang menjadi konsumsi hariannya, tapi juga buku-buku dalam bahasa
Inggris dan Belanda. Ia juga berlangganan majalah seperti Penjebar Semangat,
Daulat Rakjat, Panji Pustaka, dan Sumber Pengetahuan, di samping majalah
berbahasa Arab seperti Ummul Qura dan Shantull Hijaz. Kegemarannya dalam
membaca ditengarai merupakan faktor penting dalam mempengaruhi
pemikirannya tentang pembaruan-pembaruan pendidikan yang dilontarkan di
kemudian hari.

Bersama sepupunya, Muhammad Ilyas, Wahid Hasyim pergi ke Mekkah pada


tahun 1932. Kepergiannya ke Mekkah selain untuk menunaikan rukun Islam
kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Di Mekkah inilah
hemat penulis, Wahid Hasyim banyak bersinggungan dengan de-ide pembaruan
Islam yang saat itu masif terjadi di Timur Tengah dan dunia Arab pada umumnya.

Sepulang dari Mekkah ia mulai aktif di organiasi dan politik hingga menjadi
tokoh yang disegani dan dihormati di level nasional. Karir organisasinya dimulai
dengan menjadi sekretaris ranting NU desa Cukir pada tahun 1938. Berkat
kecerdasan dan kharisma ayahnya, karirnya melesat dengan cepat. Di tahun yang
sama, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua NU cabang Jombang, Ketua bidang
Ma’arif NU tahun 1940, hingga menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU pada tahun
1946. Selain di NU, Wahid Hasyim menjadi ketua MIAI (Majelis al-Islam al-A’la
Indonesia) pada tahun 1940, serta membidani lahirnya Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia) pada tahun 1943 (bersama M. Natsir).

Adapun karirnya di pemerintahan dimulai dengan menjadi wakil kepala


Kantor Urusan Agama (Shumubu) Pusat di masa Jepang, lalu menjadi semacam
anggota DPR, Anggota BPUPKI, dan menjadi anggota Tim Perumus pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, mewakili kelompok Islam. Setelah kemerdekaan,
Wahid Hasyim diangkat menjadi menteri Negara pada kabinet Soekarno (1945)
dan Kabinet Syahrir III (1946-1947), kemudian menduduki jabatan Menteri
Agama selama tiga kabinet, Hatta (1949-1950), Natsir (1950-1951), dan Sukiman
(1951). Pada saat menjadi menteri agama inilah, banyak jasa besar beliau yang
telah ditorehkan, semisal mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) yang saat ini telah berkembang menjadi IAIN maupun UIN.

K.H. A. Wahid Hasyim wafat pada hari Ahad, 19 April 1953, setelah
mengalami kecelakaan mobil. Pada hari sebelumnya ia bermaksud pergi ke
Sumedang, Jawa Barat, untuk menghadiri rapat NU setempat dengan menaiki
mobil Chevrolet miliknya. Ia berangkat ditemani seorang supir dari Harian
Pemandangan dan Argo Sucipto (tata usaha majalah Gema Muslimin). Putra
sulungnya Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur) juga turut serta dalam
perjalanannya. Ia dan Argo Sucipto meninggal dunia sedangkan sopir dan Gus
Dur selamat tak mendapat luka apa-apa.

c. Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat. Beliau


berasal dan keluarga keturunan Keraton Yogyakarta. Beliau mengganti namanya
tanpa gelar bangsawan agar dapat lebih dekat dengan rakyat. Setelah menyelesaikan
pendidikan dasarnya, beliau belajar di STOVIA, tetapi tidak menamatkannya karena
sakit. BeIiau kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain
De Express, Utusan Hindia,dan Kaum Muda. Sebagai penulis yang handal, tulisannya
mampu membangkitkan semangat antikolonialisme rakyat Indonesia.

Ki Hajar Dewantara juga aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi


Utomo, lalu mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia pada tanggai 25 Desember 1912 bersama kedua rekannya,
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo . Ki Hajar Dewantara juga ikut
membidani terbentuknya Komite Bumiputra di tahun 1913 sebagai bentuk protes
terhadap rencana Belanda memeringati kemerdekaannyaa dan Perancis. Beliau
kemudian membuat sebuah tulisan pedas di harian De Express yang berjudui “Als lk
een Nederlander” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Melalui tulisan ini, beliau
menyindir Belanda yang hendak merayakan 100 tahun kemerdekaannyaa dan
Perancis di negeri jajahan dengan menggunakan uang rakyat indonesia. Berikut ini
kutipannya.

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta


kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh Si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. ide untuk
menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk
pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu ! Kalau aku
seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”

Akibatnya, Belanda pun langsung menjatuhkan hukuman pengasingan. Bersama


Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesomo, beliau dibuang ke Belanda. Di
Belanda, Ki Hajar Dewantara memanfaatkan kesempatan mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran. Setelah kembali ke tanah air, Ki Hajar Dewantara
memusatkan perjuangan melalui pendidikan dengan mendirikan perguruan Taman
Siswa pada tanggal 3 JuIi 1922. Perguruan ini merupakan wadah untuk menanamkan
rasa kebangsaaan kepada anak didik. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah
ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Artinya
adalah di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, dan di belakang
memberi dorongan. Berkat jasanya yang besar di bidang pendidikan maka pemerintah
menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan dan tanggal lahirnya, 2 Mei sebagai
Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun 1957, beliau mendapat gelar Doctor Honoris
Causa dan Universitas Gadjah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar tersebut,
beliau meninggal dunia pada tanggat 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan
di Taman Wijaya Brata.

2. Peperangan

a. Sutomo ( Bung Tomo )

Sutomo lebih dikenal dengan sapaan akrab oleh rakyat sebagai Bung Tomo,
adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat
rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA, yang
berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai
Hari Pahlawan. Sutomo dilahirkan di Kampung Blauranpadatanggal3 Oktober 1920 di
pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala
keluarga dari kelas menengah. Ia pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan,
sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak
pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku
mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro
yang dikebumikan di Malang. Ibunya berdarah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan
Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di
kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke
Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer.

Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara


dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki
keadaan. Pada usia 12 tahun, ketika ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di
MULO, Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi
dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan
pendidikan HBS-nya lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus. Sutomo
kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan
Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran
nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan
pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi
terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai
peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya
dicapai oleh tiga orang Indonesia.

Bung Tomo merupakan pribadi yang shaleh dan taat akan agama Islam. Beliau
meninggal dunia ketika sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah, tepatnya pada
saat melaksanakan wuquf di Padang Arafah pada tanggal 7 Oktober 1978. Jenazah
Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel,
Surabaya. Bung Tomo, pahlawan pengobar semangat juang arek-arek Surabaya ini
mendapat gelar pahlawan secara resmi dari pemerintah pada tahun 2008.
b. K.H. Zaenal Mustafa
KH Zainal Mustafa adalah seorang ulama asal Tasikmalaya, Jawa Barat yang
gugur ketika melakukan pemberontakan pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah
RI mengangkatnya sebagai pahlawan nasional pada 6 November 1972 melalui Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064 / TK / Tahun 1972.
K.H. Zainal Mustafa lahir di Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya
padatahun 1899 (pendapat lain menyebut ia lahir tahun 1901 dan 1907) dari pasangan
Nawapi dan Ny. Ratmah. Sewaktu masih kecil ia bernama Umri dan sepulang dari
pesantren berganti nama menjadi Hudaemi. Selain memperoleh pendidikan formal di
Sekolah Rakyat, ia belajar agama dari berbagai pesantren di Jawa Barat yang
membuatnya memiliki pengetahuan agama yang luas dan mahir berbahasa Arab. Di
antaranya Pesantren Gunung Pariselama 7 tahun, Pesantren Cilenga, Singaparna
selama 3 tahun, Pesantren Sukaraja, Garut selama 3 tahun, Pesantren Sukamiskin,
Bandung selama 3 tahun, dan Pesantren Jamanis selama 1 tahun.
Pada 1927 KH Zainal Mustafa mendirikan pesantren yang merupakan cita-
citanya. Pesantren yang ia dirikan dinamai Persantren Sukamanah, bertempat di
Kampung Cikembang Girang Desa Cimerah (sekarang Kampung Sukamanah
DesaSukarapih), Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya. Nama Sukamanah  merupakan
nama pemberian dari orang yang mewakafkan tanah pesantren tersebut. Beberapa
tahun kemudian, tahun 1933 K.H Zainal Mustafa bergabung dengan organisasi yang
didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, Nahdhatul Ulama (NU), dan diangkat sebagai
wakil Ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.
Zainal Mustafa merupakan kiai muda yang berjiwa revolusioner. Ia menganut
paham pendidikan yang sifatnya "Non Cooperation", tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah Belanda. Secara terang-terangan ia mengadakan kegiatan yang
membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan
penjajah. Melalui khutbah-khutbahnya ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial
Belanda.
c. K. H. Zainul Arifin
KH. Zainul Arifin, seorang pahlawan kemerdekaan yang mengawali perjuangan
pergerakan nasional di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Pada zaman Jepang, pergerakan Zainul Arifin dengan nama organisasi Majelis
Islam Ala Indonesia (MIAI), yang kelak kemudian berganti nama menjadi Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Di bidang kemiliteran, Zainul pernah menjabat
Panglima Hizbullah (Tentara Allah) untuk seluruh Indonesia dan Sekretaris Pucuk
Pimpinan TNI. Setelah kemerdekaan, ia berturut-turut menjadi anggota Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara (DPRS), Wakil II Perdana Menteri, Wakil Ketua DPR , dan Ketua
DPRGR.

Gemeente Batavia atau Kotapraja Jakarta, itulah pekerjaan Zainul Arifin pada
masa pendudukan Belanda. Dengan demikian, beliau adalah seorang pegawai negeri
yang mendapat upah atau gaji dari pemerintah kolonial Belanda. Bekerja seperti itu
memang sudah lajim pada zaman itu. Namun bedanya, walaupun bekerja pada
pemerintah Belanda, pria kelahiran Barus, Tapanuli, tahun 1909, ini aktif dalam
pergerakan nasional. Beliau masuk organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah
organisasi keislaman yang waktu itu juga sekaligus menjadi partai.

Dalam perjalanan sejarah, pemerintah pendudukan Belanda akhirnya harus keluar


dari bumi Indonesia akibat kalah perang dari Jepang pada Perang Dunia Kedua.
Pemerintahan Belanda di Indonesia kemudian digantikan Jepang. Pemerintah
pendudukan Jepang ini menerapkan kebijakan baru mengenai partai-partai. Semua
partai yang ada dilarang berdiri, tak terkecuali Partai NU. Tapi kemudian
mengizinkan berdirinya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai satu-
satunya wadah bagi umat Islam. Zainul Arifin yang memperoleh pendidikan Sekolah
Dasar dan pesantren, kemudian memasuki organisasi tersebut yang kemudian terpilih
sebagai Kepala Bagian Umum.

Di bidang kemiliteran, Zainul Arifin boleh dikata merupakan salah seorang tokoh
yang sukses. Sebelum masuk ke dunia militer, beliau terlebih dulu latihan militer
selama dua bulan. Selepas menjalani latihan, beliau masuk Hizbullah, sebuah
organisasi semi militer yang anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda Islam.
Organisasi ini merupakan salah satu laskar di antara sekian banyak laskar bersenjata
di Indonesia yang melakukan perjuangan di samping tentara resmi.

Di laskar Hizbullah ini, Zainul Arifin kemudian terpilih menjadi Panglima


Hizbullah seluruh Indonesia. Di bawah organisasi tersebutlah ia melakukan
perjuangan. Hingga era revolusi kemerdekaan, mereka berjuang bersama tentara resmi
untuk mempertahankan kemerdekaan.

Dalam rangka penyatuan satu wadah tentara sebagai kekuatan pertahanan


nasional, maka semua laskar yang ada dilebur atau disatukan ke dalam Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Begitu pula halnya dengan Hizbullah, kemudian melebur
menjadi TNI. Zaenul Arifin yang hingga akhir keberadaan Hizbullah duduk dalam
pucuk pimpinan, kemudian diangkat sebagai Sekretaris Pucuk Pimpinan TNI hasil
penggabungan.

Begitulah perjalanan hidup dan perjuangan salah seorang putra terbaik bangsa,
KH Zainul Arifin. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap mengabdi kepada nusa dan
bangsa. Beliau meninggal dunia di usia 54 tahun, tepatnya pada 2 Maret 1963 di
Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam pahlawan Kalibata, Jakarta.
Mengingat jasa-jasanya pada nusa dan bangsa, maka negara menganugerahkan gelar
penghormatan kepada KH Zainul Arifin sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Gelar penghormatan tersebut dikukuhkan dengan SK Presiden Republik Indonesia
No.35 Tahun 1963, tanggal 4 Maret 1963.

2.2 Jalur yang Digunakan dalam Berjuang


 Jalur Non-Kekerasan
Perjuangan non-kekerasan baru mempunyai bentuk pada akhir abad ke-19, hal
ini disebabkan pada tahun-tahun sebelumnya rakyat Indonesia berjuang dengan cara
kekerasan atau perang namun tidak efisien karena berjuang secara perdaerahan bukan
mengelompok besar atau berbentuk nasional, berjuang karena adanya pemimpin yang
kharismatik dan rentan bubar apabila sang pemimpin wafat, apalagi diperparah
dengan gaya politik licik yang dilancarkan oleh penjajah, politik tersebut bernama
divide et impera. Perjuangan non-kekerasan dimulai dari kalangan terpelajar bangsa
Indonesia yang mendapatkan pendidikan baik yang didapat melalui non-formal
(madrasah dan pesantren) ataupun formal (HIS, HLS, Sekolah Rakyat, MULO, d.s.b).
Dari kalangan terpelajar inilah muncul pemberontakan pemikiran yang dapat
menyadarkan banyak rakyat, sehingga banyak kalangan terpelajar yang dipenjara atau
diasingkan karena karya-karya mereka yang dianggap membahayakan pemerintah
penjajah.

Perjuangan non-kekerasan disebar luaskan dan banyak dikenal di dunia melalui


Mahatma Ghandi, tokoh dari India. Beliau menyampaikan ajaran-ajaran yang
mengajak kepada cinta kasih. Ajarannya yang terkenal yaitu ahimsa, satyagraha, dan
swadesi. Kata ahimsa gabungan dari dua kata yaitu a (tidak) dan himsa (kekerasan).
Sesuai dengan asal katanya, ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia
untuk menjunjung tinggi semangat non-kekerasan (non-violence) dalam setiap laku
kehidupannya. Pengertian lain Secara harfiah, ahimsa  memiliki makna tidak
menyerang, tidak melukai atau tidak membunuh. Ajaran ini sebenarnya merupakan
ajaran klasik dari agama Hindu yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam
kehidupan.

Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam hal berjuang non-kekerasan, semisal
Ir. Soekarno dengan orasi dan buku-bukunya, K.H. Wahid Hasyim dengan
pesantrennya, K.H. Mas Mansur dengan kepiawaiannya mencari celah membuat
kebijakan yang dibentuk pemerintah penjajah, dan sebagainya. Perjuangan ini bisa
dikatakan efektif karena tidak menimbulkan banyak jatuh korban namun dapat
memicu pemberontakan yang luas dan mencerahkan pemikiran rakyat.

Memerdekakan Indonesia tidak cukup dengan mengangkat senjata, pada dasarnya


sebuah negara diakui oleh negara lain itu juga karena peran aktif para tokoh yang
bergerak secara diplomatis dan tentunya non-kekerasan untuk mengusahakan
terbentuknya Indonesia secara de facto dan de jure. Bahkan sesudah kemerdekaan pun
para tokoh ini dibutuhkan untuk memimpin dan mengarahkan rakyat Indonesia ke
gerbang kesajahteraan.

Agama Islam adalah agama yang mencintai kemerdekaan dan membenci segala
bentuk perbudakan, bahkan dalam syari’ar-syari’atnya ada beberapa ketentuan yang
harus membebaskan budak apabila melanggar syari’at tersebut, semisal orang yang
melakukan hubungan suami-istri di siang hari di waktu puasa Ramadhan, ia wajib
memilih salah satu dari tiga hukuman, yaitu: memberi makan 60 orang fakir miskin,
membebaskan budak, atau berpuasa tiga bulan berturut-turut. Oleh karena itu, agama
yang paling membenci dan paling rajin mengusir penjajah adalah agama Islam.
Agama Islam tidak hanya mengajarkan jihad, namun juga mengajarkan
mengusahakan kemerdekaan dengan cara yang paling damai, itulah jalan non-
kekerasan.

Cara pengusiran penjajah Jepang juga memakai jalur non-kekerasan, dan cara yang
paling disukai ialah bergabung dengan organisasi massa besar. Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) adalah organisasi pelopor yang menyatukan beberapa organisasi
terkemuka di Indonesia menjadi satu induk. Badan federasi yang dibentuk dari hasil
pertemuan pada tanggal 18-21 September 1937 ini dipelopori oleh K.H. Hasyim
Asy’ari, badan federasi ini pula menarik hati K.H Mas
Mansur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Syarekat Islam. MIAI
mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan umat Islam menghadapi
politik Belanda seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib militer bagi
umat Islam. KH Hasyim Asy'ari menjadi ketua badan legislatif dengan 13 organisasi
tergabung dalam MIAI.

Karena Jepang menganggap keberadaan MIAI tidak menguntungkan Jepang bahkan


muncul benih-benih pemberontakan akhirnya MIAI dibubarkan. Namun untuk
meredam umat Islam yang marah dan supaya merekatkan hubungan Jepang dengan
umat Islam, dibentuklah organisasi pengganti MIAI, yaitu Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (MASYUMI).

Masyumi didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Majelis


Islam A’la Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang
dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian,
Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman
Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga
pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha
memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan.
Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat
menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun
tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di
dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.
Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan
federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul
Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam
Indonesia.

Dalam sejarahnya Masyumi berperan penting untuk menekan kebijakan pemerintah


Jepang yang dianggap semakin kejam. Pelarangan romusha (kerja paksa) dan
pengkritikan sekirei (membungkukkan badan ke arah matahari terbit sebagai bukti
tunduk kepada kaisar) merupakan dua contoh dari berbagai kasus yang digugat.
Terutama kegiatan sekirei, kegiatan sekirei ditentang karena pada budaya tersebut
mirip dengan gerakan sholat dalam Islam, yaitu rukuk. Penyerupaan rukuk dan sekirei
membuat panas umat Islam.
Masyumi menjadi badan federasi yang kuat karena kenyataannya bahwa dia
merupakan suatu manifestasi persetujuan kerja antara Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama’, gabungan keduanya bukan fusi paksaan antara islam modernis dan
tradisional. Meskipun begitu, kelahiran Masyumi juga menimbulkan kebencian kaum
nasionalis, karena kehadiran Masyumi bisa dikatakan cepat bertumbuh pada sembilan
bulan pertama pada tahun 1944 sedangkan kekuatan kaum nasionalis merosot. Belum
lagi Masyumi menghadapi keirian dari berbagai serikat-seikat lain karena serikat
selain Masyumi tidak diakui oleh pemerintah Jepang.

Perjuangan non-kekerasan mebuahkan hasil, pada tanggal 7 September 1944 Perdana


Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan “di masa depan yang dekat”. Janji ini
menimbulkan euforia di kalangan masyarakat namun cepat menjadi uap ketika Jepang
menyerah kepada sekutu karena Hiroshima dan Nagasaki di bom nuklir. Perubahan
yang cepat dan vacum of power (kekosongan kekuasaan) menyebabkan rakyat
menjadi bingung, namun perubahan tersebut disiasati dengan menyatakan
kemerdekaan Indonesia secara de facto.

 Jalur Peperangan
Jalur peperangan dilakukan karena adanya ketidakpuasan antara dua belah
pihak. Dalam hal ini antara penjajah dan yang dijajah. Sejarah manusia penuh
diwarnai darah peperangan, mulai dari peperangan Troya yang terkenal hingga Perang
Dunia II. Meskipun peperangan dibenci, namun jalur ini sering dilakukan demi
mencapai tujuan. Peperangan tak semuanya buruk, peperangan yang dilandaskan
semangat memerdekakan diri atau mencapai tujuan yang diridhoi Allah, peperangan
inilah yang baik.

Adapun penyebab-penyebab peperangan adalah sebagai berikut:

1. Penyebab perang disebabkan oleh alasan perolehan ekonomi, diukur dalam hal
perolehan sumber daya alam seperti emas, perak, minyak, atau monopoli perdagangan
atau akses pasar, bahan mentah (raw materials) dan investasi.
2. Perang dilangsungkan untuk alasan keamanan, untuk menentang atau melawan
ancaman yang datang dari luar terhadap integritas bangsa ataupun kemerdekaan
3. Permasalahan perang dilancarkan untuk mendukung tujuan ideologi, political faith,
atau menyebarluaskan nilai-nilai agama.
2.3 Ketiga penyebab perang diatas dihadapi oleh rakyat Indonesia. Jadi, tidak salah apabila
umat Islam melakukan peperangan karena tiga prinsip diatas mengenai mereka, terutama
mengenai prinsip ketiga, rakyat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam
kemudian disuruh tunduk kepada pimpinan yang non-Islam jelas menimbulkan bibit-
bibit kebencian, apalagi Jepang juga memaksakan budaya mereka yang terlalu hormat
kepada kaisar, yaitu budaya sekirei.
2.4 . Dampak Dari Perjuangan Umat Islam Seusai Penjajahan Jepang
Pada saat menjelang kemerdekaan kaum muslim telah berhasil menghimpun
kekuatan menjadi satu dalam satu wadah yaitu MIAI (Majelis Syura A’la Indonesia),
yang merupakan suatu kekuatan perjuangan. Untuk mendapatkan kemerdekaan
bersama PNI, PSII, dan lain-lain yang mewujudkan suatu persatuan yang besar,
disebut gabungan politik Indonesia (GABI) (1939).

Dapat dikatakan perjuangan fisik kaum muslimin benar-benar positif


meskipun tidak seluruh kekuatan ditempati, akan tetapi boleh dikatakan mengambil
bagian paling besar. Kemudian pada perjuangan melawan Jepang dan akhirnya
melawan NICA dan Gurkha (gerakan bukan Islam), perjuangan kaum muslim seperti
Hizbullah dan Sabilillah yang turut mengantarkan pada terbentuknya TNI.

Selanjutnya para patriot pembela tanah air bergabung dalam PETA (Pembela
Tanah Air) dan TREP (Tentara Indonesia Pelajar) sebagian besar adalah pemuda-
pemuda muslim yang taat agamanya. Dari fakta-fakta tersebut ,jelaslah eksistensi
perjuangan umat Islam dalam mencapai kemerdekaan benar-benar positif meskipun
tidak meliputi seluruh bagian , tetapi tidak dapat disangkal kaum muslim mengambil
bagian besarnya. Kalau ada perjuangan atas nama yang lain tetapi sebagian besar
pendukung perjuangan umat Islam.

 Fase Setelah Kemerdekaan


Penyebaran agama pasca kemerdekaan, berbeda dengan zaman penjajahan.
Dinamika penyebaran agama pasca kemerdekaan diwarnai dengan lahirnya tokoh-
tokoh agama dari berbagai corak pemikiran, seperti corak pemikiran nasionalis yang
dimotori oleh Sukarno serta corak pemikiran Islamis yang dimotori oleh Masyumi. Di
samping itu muncul gerakan-gerakan dakwah seperti Muhammadiyah, Nahdatul
Ulama, Persis, Dewan Dakwah Islam. Pada masa orde baru, pola penyebaran
penyiaran Islam dilakukan melalui mimbar di samping kegiatan organisasi
keagamaan. Peroses penyiaran Islam acap kali berbenturan dengan kepentingan
Negara yang acap kali tidak bisa dielakkan terjadinya benturan antara penyebar
dakwah. Mulai pada saat itu maka penyebar agama, harus memiliki izin, sebab
ceramah tanpa izin, langsung ditangkap. Melihat kenyataan tersebut, maka tokoh-
tokoh agama yang tergabung dalam Korps Muballigh Indonesia (KMI), memberi
tanggapan dengan membuat petisi yang disebut Ikrar Umat Islam Jakarta (Jakarta
Muslims Pledge). Pada masa reformasi, dinamika dan problema penyebaran Islam
tidak lagi sama dengan problema pada orde lama dengan orde baru. Penyebaran ajaran
Islam memulai babak baru dengan lepasnya ikatan yang menakutkan yang disebut era
kebebasan. Semua problema sosial kemasyarakatan teransparan. Dalam konteks ini
muncul kembali atribut-atribut gerakan Islam seperti : Forum Pembela Islam (FPI),
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahli Sunnah
Waljamaah (FKSW), dan Hizbut Tahrir. Dinamika kemunculan berbagai atribut
gerakan Islam memunculkan problema baru di kalangan umat Islam, dengan berbagai
tuduhan yang ditujukan kepada gerakan Islam, Seperti Radikal, Teroris, Eksklussin,
Reaksioner. Problema lainnya terjadinya komplik horizontal di tengah-tengah
masyarakat di berbagai daerah, seperti di Ambon, di Poso, dan berbagai daerah
lainnya.

 Perankelembagaan Islam sesudahkemerdekaan


 Departemen Agama

Tujuan dan fungsi Departemen Agama yang dirumuskan pada tahun 1967
adalah sebagai berikut :

1.      Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah, serta


membimbing perguruan-perguruan agama

2.      Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan agama dan
keagamaan

3.      Memberi penerangan dan penyuluhan agama

4.      Mengurus dan mengatur peradilan agama serta mengelesaikan masalah


yang berhubungan dengan hokum agama
5.      Mengurus dan memperkembangan IAIN, perguruan tinggi agama swasta
dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada
perguruan-perguruan tinggi

6.      Mengatur, mengurus, dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.

 Pendidikan

Setelah merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan


pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat dalam bulan Desember 1945 menganjutkan agar pendidikan
madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan
kepada madrasah. Departemen Agama dengan segera membentuk seksi khusus yang
bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi
pengangkatan guru-guru Agama, dan mengwasi pendidikan agama. Pada tahun 1946,
Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang diantaranya
kemudian diangkat sekolah guru dan hakim Islam di Solo.

 Hukum Islam
Salah satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh
Departemen Agama adalah hokum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hokum muamalat bersifat peribadi. Hokum
muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk; hokum warisitu.
(paraid/manicure faraidh, wakaf hibah dan baitul mal.

Keberadaan lembaga keadilanagama di masa Indonesia merdeka adalah


kelanjutan dari masa colonial belanda. Pada masa pendudukan adalah kelanjutan dari
masa colonial Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, pengadilan agama tidak
mengalami perubahan. Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama
bertambah,tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam
tampak keta dan kaku, karena hanya berpegang pada ahab Syafi’i. Sementara itu,
belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para
hakim dan pengadilan Agama didominasi oleh golongantradisionalis. Karena itulah,
sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-
perguruan tinggi Islam didirikan.
 Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno.


Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin
keamanan. Di Jawa Barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958 diketuai oleh seorang
panglima Militer.

Dalam pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres
tersebut, Majelis Ulama Indonesia berfungsi :

1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah keagamaan dan


kemasyarakatn kepada pemerintahan dan umat Islam umumnya sebagau amar ma’ruf
nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.

2. Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan


suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa.

3. Mewakili umat Islam dalam konsultasai antarumat beragama.

4. Penghubung antara ulama dan umara (pemerintahan) serta menjadi


penerjemah timbal balik antara pemerintahan dan umat guna menyukseskan
pembangunan nasional
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tokoh-tokoh yang turut berjuang dalam mengusir penjajah banyak jumlahnya,
mayoritas dari mereka adalah beragama Islam. Peran serta tokoh Islam ini tidak bisa
dipandang sebelah mata karena perjuangan melalui jalur non-kekerasan maupun
peperangan mereka yang mendominasi dapat membuat perubahan yang signifikan.
Pengusiran para penjajah itu karena sumbangsih mereka yang sangat besar.

Cara perjuangan yang dilakukan umat Islam bisa dibagi menjadi dua jalur, yakni
jalur non-kekerasan dan peperangan. Keduanya penting dan saling mempengaruhi
satu sama lain. Peperangan dapat mengusir musuh namun juga butuh usaha diplomatis
untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de facto maupun de jure. Tidak ada
anggapan orang yang berperang lebih baik daripada orang yang menggunakan jalur
non-kekerasan, karena keduanya memberikan perubahan besar menuju Indonesia
merdeka.

Setelah Indonesia merdeka dari tangan para penjajah, Indonesia mulai berbenah
diri, termasuk umat Islam. Dalam pengembangannya Masyumi berubah menjadi
partai politik dan turut serta dalam kancah pemilu di Indonesia. Sesudah
dibubarkannya Masyumi, muncullah beberapa lembaga atau instansi yang mewakili
agama Islam di Indonesia, seperti Departemen Agama dan Majelis Ulama’ Indonesia
(MUI). Perkembangan ini penting karena ini merupakan bukti eksistensi Islam
sesudah kemerdekaan.

3.2 Saran -Saran


- Sebaiknya kita sebagai warga nagara Indonésia harus menghargai
sejarah perjuangan pahlawan kita dalam Memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia
- Kita dapat meneladani jiwa patriotisme para pahlawan Indonesia
- Kita dapat mencontoh sikap para pahlawan dan mengamalkan untuk
masa depan bangsa dan negara Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Goto, Ken’ichi. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. penerjemah: Hiroko
Otsuka, Nandang Rahmat dan Edy Mulyadi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa
Pendudukan Jepang. Penerjemah: Daniel Dhakidae. Bandung: Pustaka Jaya

2020. Pembaruan Pesantren Perspektif Wahid Hasyim.


http://pascasarjana.instika.ac.id/pembaruan-pesantren-perspektif-wahid-hasyim/.
(diakses pada 28 Maret 2020)
2020. Riwayat Hidup Bung Tomo. http://www.pmarrisalah.com/riwayat-hidup-bung-
tomo.html. (diakses 28 Maret 2020)

2020. Biografi Pahlawan Nasional Sutomo. https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-


pahlawan-nasional-sutomo-bung-tomo/. (diakses 29 Maret 2020)
2020. Biografi Pahlawan Pendidikan Ki Hajar Dewantara.
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-pendidikan-ki-hajar-
dewantara/. (diakses 29 Maret 2020)
Mz, Shofiyullah, dkk. 2011. KH. A. Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi
Agama dan Bangsa. Jombang: Pesantren Tebuireng.
Aqsha, Darul. 2005. Kiai Haji Mas Mansur (1986-1946) Perjuangan dan Pemikiran. Jakarta:
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai