PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tokoh-tokoh pembaru mulai bermunculan pada awal abad ke-18 banyak sekali
tokoh-tokoh pemikirna islam merusmskan sebuah garakan pembaharuan. Tujuan mereka
tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengajak kita untuk keluar dari kejumuddan.
Gerakan-gerakan yang ditawarkan oleh tokoh pembaru adalah Gerakan yang tidak hanya
memandang syariat dalam satu sudut pandang, namun dari berbagai pandangan dengan
ilmu-ilmu umum.
Di Indonesia sendiri banyak tokoh-tokoh pembaharu sejak awal abad ke-19. Salah
satu nama tokoh pembaru yang akan kita angkat pada tema pembahasan kali ini ialah
Muhammad Yunus sang tokoh pembaharu yang menggerakan motorika pergerakan
pembaharuan dalam ilmu Pendidikan islam. Dari beliau kita banyak belajar betapa
pentingnya seorang umat muslim menjadi seorang yang bukan hanya berilmu dalam ilmu
agama tetapi juga dengan ilmu umum.
Maka dari itu diharapkan dari adanya makalah ini dapat diambil sebuah intisari yang
bisa menyemangati kita untuk semangat belajar.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Siapa Mahmud Yunus?
2. Apa itu kitab tafsir Al Quran Al Karim?
3. Bagaiman Metode dan Coraknya?
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak kecil, Muhammad Yunus didik dalam lingkungan agama. Muhamad yunus
tidak pernah duduk di sekolah umum. Ketika berumur tujuh tahun, Mahmud berguru
dengan kakeknya sendiri untuk belajar Al-Quran serta ibadah lainnya. Muhammad
Yunus dulu sempat duduk di sekolah desa selama tiga tahun, namun di tahun setelahnya
pada kelas empat beliau hengkang dari sekolah itu sebab merasa tidak betah dengan
pelajaran yang diulang-ulang. Setelah itu ia memutuskan memasuki Madrasah di Surau
Tanjung Pauh bernama Madras School, diasuh oleh H.M Thalin Umar, seorang tokoh
pembaru Islam Minangkabau.
H,M Umar tahlib tercatat sebagai orang yang erpengaruh dalam pembentukan
keilmuan Muhammad Yunus. Melalui tulisan-tulisan dari gurunya itu, Muhammad Yunus
lahir semangat pembaharuan. Contoh semangat pembaruan yang diwariskan adalah dalm
kitab Al-Munir, ditekankan untuk menguasai pengetahuan umum serta bahasa Eropa.
Karena itu pula santri di surau asuhan H.M Umar Thalib diwajibkan mempelajari ilmu
agama, Bahasa Eropa maupun ilmu pengeahuan umum. Maksudnya agar para santri dapa
juga memanfaatkan ilmu-ilmu tersebut bagi peningkatan kesejahteraan umat dan
kemajuan islam.
Bersama staf pengajar lainnya yang bergiat di gerakan pembaruan, tahun 1920
Muhammad yunus membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang bernama
Sumatera Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan majalah al-
Basyir dengan Muhammad Yunus menjadi pemimpin redaksinya. Interaksi yang kian
intens dengan gerakan pembaru, mendorongnya untuk menimba pengetahuan lebih jauh
di Mesir. Tidak mudah untuk mewujudkan hasratnya itu, berbagai kendala dihadapi.
Namun pada akhirnya kegigihanya, ia dapat mengantarkannya ke al-Azhar, Kairo, tahun
1924.
Selama duduk disana ia mempelajarai ushul fiqih, ilmu tafsir, fiqih Hanafi dan ilmu
lainnya. Muhammad yunus adalah seorang murid yang cerdas. Hanya dalam satu tahun,
ia erhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi orang Indonesia
kedua yang memperoleh predikat itu.
Perkuliahanya berakhir dengan lancar. Tahun 1929, ia menerima ijazah dipoma guru
dengan spesialisasi bidang ilmu kependidikan. Setelah itu, ia Kembali ke kampung
halamannya di Sungyang Batusangkar. Gerakan pembaruan ternyata telah berkembang
disana. Tentu ini merupakan angin segar bagi Muhammad Yunus yang setelahnya
mendirikan dua Lembaga Pendidikan Islam, ahun 1931, yaitu al-Jamiah Islamiah di
Sungayang dan Norma Islam di Padang. Di kedua Lembaga ini diterapkanlah
pengetahuan dan pengalaman yang didapatya dari Dar al-Ulum, kairo. Karena
kekurangan pengajar, al-jamiah Islamiyah ditutup tahun 1933. Sedangkan norma islam
hanya menerima tamatan madrasah 7 tahun dan dimasudkan untuk mendidik calon guru.
Ilmu yang diajarkan berupa ilmu agama, bahasa Arab, pengetahuan umm, ilmu mengajar,
ilmu jiwa dan ilmu Kesehatan.
4. Bidang Tafsir
Tafsir Al-Qur’an Karim 30 Juz Tafsir Al-Fatihah (Sa’adiyah Putra, Padang Panjang
Jakarta, 1971), Tafsir Ayat Akhlak (Al- Hidayah Jakarta, 1975), Juz ’Amma dan
Terjemahnya (Hidakarya Agung, Jakarta, 1978), Tafsir Al-Qur’an Juz 110-, Pelajaran
Huruf Al-Qur’an I-II, 1973: Kesimpulan Isi Al-Qur’an, Tahun 1978, Alif Ba Ta wa Juz
’Amma Muhadharat Al-Israiliyat fi Tafsir wal Hadits (Cerita Israiliyat dalam tafsir dan
hadist), Tafsir Al-Qur’an Karim Juz II 20, 1973, Tafsir Al-Qur’an Karim juz 211973 ,30-,
Kamus Al-Qur’an I: Kamus Al-Qur’an II Kamus Al-Qur’an Juz 130- (Hidakarya Agung
Jakarta, 1978: Surat Yasin dan Terjemahannya, 1977).
5. Bidang Akhlak
Keimanan dan Akhlak I (1979): Keimanan dan Akhlak II (1979): Keimanan dan Akhlak
III (1979): Keimanan dan Akhlak II (1979): Beriman dan Berbudi Pekerti (Hidakarya
Agung, Jakarta 1981): Lagu-lagu Baru Pendidikan Agama/ Akhlak Bahasa Indonesia:
Moral Pembangunan dalam Islam: Akhlak (1978).
6. Bidang Sejarah Islam
Sejarah Islam di Minangkabau tahun 1971: Tarikh Al-Islam (Hidakarya Agung, Jakarta,
1971).
8. Bidang Dakwah
Buku Tentang Doa seperti: Kumpulan Do’a (Hidakarya Agung Jakarta, 1976), Doa-doa
Rasulullah (Hidakarya Agung, Jakarta, 1979).
Mari Kembali ke Al-Qur’an (Hidakarya Agung Jakarta, 1971) dan Al-Syuhur Al-
Arabiyah fil Bilad Al-Islamiyah.
Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya (Hidakarya Agung, Jakarta, 1980), Khulashah
Tarikh Hayat Al-Ustadz Mahmud Yunus (Ringkasan Biografi Mahmud Yunus).
Minat Mahmud Yunus terhadap studi Al-Qur’an serta bahasa Arab telah
menimbulkan hasrat besar dalam dirinya. Sehingga Pada tahun 1922, beliau mulai
menterjemahkan Al-Qur’an dan diterbitkan dengan huruf Arab- Melayu untuk memberi
pemahaman bagi mayarakat yang belum begitu paham bahasa Arab. Meskipun waktu itu
umumnya ulama Islam mengatakan haram menterjemah Al-Qur’an, tetapi beliau sekali
tidak terpengaruh bantahan tersebut dan beliaupun tetap melanjutkan usahanya
menterjemahkan Al-Quran Al-Karim tersebut.
Karya ini merupakan salah satu pionir bagi karya dalam kajian Al-Qur’an di
Indonesia dalam bentuk baru, yaitu dilihat dari sudut keberanian menampilkan
terjemahan Al-Qur’an di tengahtengah masyarakat yang masih menganggap haram
menterjemahkan Al-Qur’an di luar bahasa Arab. Karena menurut gagasan mayoritas
dalam ortodoksi Islam, bahwa terjemahan Al-Quran dalam pengertian yang sebenarnya
dari kata tersebut adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada
karakter i’jaz (keunikan) Al-Quran yang tidak bisa diimitasi atau ditandingi manusia
dengan cara apapun. Menurut sudut pandang ini, karakteristik tersebut akan hilang dalam
terjemahan Al-Quran, karena terjemahan dibuat oleh manusia.
Namun usaha Mahmud Yunus tersebut terhenti, karena beliau pergi melanjutkan
studinya ke Mesir pada tahun 1924 M. Ketika belajar di Darul ‘Ulum beliau mendapatkan
pelajaran dari Syaikh di sana, bahwa menterjemahkan Al-Qur’an itu hukumnya adalah
mubah (boleh), bahkan dianjurkan atau termasuk fardhu kifayah dengan tujuan untuk
menyampaikan dakwah Islamiyah kepada bangsa asing yang tidak mengetahui bahasa
Arab. Karena bagaimana mungkin dapat menyampaikan kitabullah kepada mereka, jika
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Dengan menerima pelajaran tersebut
membuat Mahmud Yunus merasa berbesar hati, karena hal itu sesuai dengan usaha
menterjemahkan Al-Qur’an yang selama ini beliau tekuni.
Setelah kembali dari Mesir, maka dengan berbagai ilmu yang telah diserap pada
bulan Ramadhan tahun 1354 H (Desember 1935) beliau mulai kembali menterjemahkan
Al-Quran dan disertai tafsir ayat-ayatnya yang dianggap penting yang kemudian beliau
beri nama : Tafsir Al-Quran Al-Karim.
Dengan susah payah karya tafsir tersebutpun di terbitkan 2 juz setiap bulan.
Sedang dalam menterjemahkan juz 7 sampai dengan 18 Mahmud Yunus dibantu oleh
H.M.K. Bakry. Sehingga pada bulan April 1938 dengan pertolongan Allah Ta’ala
selesailah terjemahan Al-Qur’an dan tafsirnya lengkap 30 juz dan didistribusikan ke
seluruh Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1950 dengan petunjuk menteri Agama
pada waktu itu Wahid Hasyim, salah seorang penerbit Indonesia berkeinginan untuk
menerbitkan Tafsir Al-Quran Al-Karim ini dengan mendapatkan fasilitas kertas dari
Menteri Agama dan di cetak sebanyak 200.000 eksemplar. kritikan dari Ulama
Yogyakarta, supaya pencetakan Tafsir Al-Quran Al-Karim ini dihentikan. Kritikan itu
dikirim kepada Menteri Agama RI, akan tetapi beliau sendiri tidak menerima kritikan
tersebut. Boleh jadi karena kritikan itu karena sebab-sebab yang lain, pemilik percetakan
itu tidak mau melanjutkan mencetak Tafsir Al-Quran Al-Karim ini, padahal pada waktu
itu sudah mulai dicetak dengan jumlah yang cukup banyak. Akhirnya diambil alih oleh
M. Baharata direktur percetakan Al Ma’arif Bandung, kemudian Tafsir ini dicetak dan di
terbitkan sebanyak 200.000 eksemplar dan dijualnya dengan harga Rp. 21 per eksemplar.
Ditegaskan oleh Mahmud Yunus bahwa tafsir ini yang juga disertai dengan
kesimpulan isi Al-Quran, bukanlah merupakan tejemahan dari kitab bahasa arab,
melainkan hasil penelitiannya sejak berusia 20 tahun sampai saat itu berumur 73 tahun.
Sebab itu tafsir ini berbeda dengan tafsir-tafsir yang lain pada masa itu. Dalam tafsir ini
yang paling dipentingkan ialah menerangakan dan menjelaskan petunujuk-petunjuk yang
termaktub dalam Al-Quran untuk diamalkan kaum Muslimin khususnya dan seluruh umat
manusia pada umumnya sebagai petunjuk universal. Selain itu ditegaskan pula sebab-
sebab majunya satu umat dan sebab- sebab mundurnya, sebab kuat dan lemahnya, sebab
tegaknya dan jatuhnya, sebab hidup dan matinya. Demikian itu dengan mengambil ‘ibrah
dan pengajaran dari sejarah umat terdahulu.
Mahmud Yunus juga menegaskan bahwa jika tafsir ini dan isi kesimpulan Al-
Qur’an yang disertakan di dalamnya memilki nilai kebenaran, maka hal itu semata-mata
merupakan hidayah dan karunia Allah. Sebaliknya, jika terdapat kekhilafan dan kesalahan
maka kesalah tersebut tidak lain merupakan kesalahan dari dirinya sendiri. Sehingga
beliau di dalam pendahuluan tafsirnya berdoa: “Ya Tuhan kami, jangan siksa kami jika
kami lupa atau salah. Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Dan terimalah terima taubat kami, sesungguhnya Engkau penerima taubat
lagi Maha Penyayang”.1
1
http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/al-fikra/article/viewFile/3665/2446
Membaca setiap lembar dari karya mahmud Yunus ini, maka akan dapati
penyajian ulasan ayat- ayat Al Qur’an dalam Tafsir Al Qur’an Al Karim lebih
menonjolkan aspek-aspek metode ijmali (Hal ini jika mengikuti teori yang
diklasifikasikan oleh Al Farmawi yang membagi menjadi empat metode tafsir, yaitu:
tahlili, ijmali, muqaran dan maudhu’i. Metode ijmali adalah suatu penafsiran ayat-ayat Al
Qur’an, di mana penjelasan yang dilakukan cukup singkat dan global. Dengan kata lain
penafsiran dengan metode ini berusaha menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an secara ringkas
tapi dengan menggunakan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca.
Sedangkan mufassir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna dalam bingkai
suasana Qur’ani. Maksudnya, penyajian tafsir dengan metode ini tidak terlalu jauh dari
gaya bahasa Al Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap
mendengar Al Qur’an. Sehingga dengan penggunaan metode ini, akan timbul kesan mirip
dengan terjemahan secara tafsir
Pendapat lain berucap bahwa metode yang digunakan ialah metode tahlili yang
mana penulisnya menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surah demi surah sesuai urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata,
konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, dan tak ketinggalan pendapat pendapat
yang berkenaan dengan tafsir ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh nabi,
sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.2
Sebagai contoh bagaimana Mahmud Yunus menjelaskan arti kosa kata pada ayat
tertentu adalah misalnya kata ولي ج أولي**اءpada ayat 175 dalam surah ali Imran/3, ia
menguraikan :
Arti waliy = maulaa, yakni yang menolong, yang memelihara, yang memimpin,
seperti: Allahu waliyu’lmukminin artinya, Allah wali = Yang menoling orang2 Mukmin.
Arti waliy = yang ditolong, yang dipelihara yang dipimpin, seperti: al-Mukminu
waliyu’llaah, artinya: orang Mukmin wali = yang ditolong Allah, dan seperti Asy-
syaithanu yukhauwifu auliya-ah, artinya: Syaitan itu mempertakuti wali2nyayang
dipimpinnya, yang ditolongnya.
2
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), hlm. 31
Arti waliy = wali nikah, wali anak yatim dsb. Pendeknya arti wali itu = dua orang
yang sangat berdekatan, menolong atau ditolong.3
Salah satu contoh Mahmud yunus menggunakan metode bil Ma’tsur ialah Ketika
Mahmud Yunus seringkali menafsirkan satu ayat Mahmud Yunus seringkali
menafsirkanya dengan ayat lain pada surah yang berbeda. Ketika menafsirkan ayat 41
dari surah al-rum/30 tentang kerusakan yang terjadi di darat dan di lautan karena ulah
manusia, ia menjelaskan ayat ini dengan menghubungkannya dengan ayat 208.
Ringkasnya kerusakan yang terjadi karena peperangan itu, tidak dapat kita
lukiskan dengan tulisan. Cukuplah tuan-tuan membacanya dalam surat-surat kabar.
Semuanya itu sebabnya ialah karena usaha manusia itu sendiri, supaya mereka menerima
sebagian dari balasan (siksa) Allah karena tidak mau menurut perintahnya. Mudah-
mudahan mereka insaf dan taubat kepada Allah.
Tentang kejadian langit dan bumi. Jika kita perhatikan peralanan bumi mengedari
matahari, bulan mengedari bumi dan bintang-bintang beredar, semuanya berjalan dengan
3
Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, hlm. 98
teratur, sepeti kereta api yang berjalan diatas relnya. Menurut akal yang waras, tak dapat
tidak mestilah ada yang mengaturnya dan yang mengadakannya. Jika terlalai yang
memelihara itu satu menitpun, niscaya perjalanannya menjadi gagal atau rusak.
Sebenarnya di sana ada kekuatan tarik menarik, tetapi kekuatan itu Allah juga yang
mengadakannya.
4
http://digilib.uinsgd.ac.id/30649/2/MENELUSURI%20PENGARUH%20PEMBAHARUAN%20DI
%20MESIR.pdf
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN