Disusun oleh :
Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga makalah yang “ Pemikiran Dan Pembaruan Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha Di Mesir Serta Muhammad Abdul Wahab Di Jazirah Arab “ini dapat diselesaikan.
Tidak lupa terimakasih juga kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah PPMDI bpk.
Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag dan Labib Elmuna, Lc., MA serta seluruh pihak terkait
yang telah berkontribusi demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
pembaca. Makalah ini memberikan informasi terkait apa dan bagaimana konsep pemikiran
dan pembaruan islam dari ketiga tokoh tersebut.
Penulis menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, kritik dan
saran sangat dibutuhkan demi penyempurnaan dan bahan evaluasi penulis untuk kedepannya.
Penulis juga berharap bahwa tulisan ini mampu menambah pengetahuan dan wawasan
pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang besar pada masa itu.
Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia
merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode
pembelajaran yang dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Majid,
1987:462). Metode
pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa
memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. Pada masa ini Jamaluddin Al-
Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad
Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan
mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-
Azhar.
Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka
mengenai arti beberapa ayat AlQur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya
sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad
Abduh (Nasution, 1975:60-61). Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di
mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang
paling setia. Al-Afghani memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan
filsafat, yang pada waktu itu di AlAzhar dianggap dan disamakan dengan
bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang dianggap
berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy.
Bukan saja guru sufy itu menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa
filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling
selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh
dan sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang
paling jahat, yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fachri,
1987:462).
Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-
Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-
Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara
buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih,
Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot
yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857
5
(Nasution, 1975:61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad Abduh
untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah
pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir
semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad
Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras.
Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan
mengajarnya di Dar AlUlum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali
oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor.
Kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u
Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat berpengaruh dalam
membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998:38).Muhammad abduh turut
serta memainkan peran dalam revolusi Urabi Pasya, yaitu gerakan yang
bermula dari usaha perwira-perwira militer Mesir yang berhasil mendobrak
kontrol perwira-perwira Turki dan Sarkas yang menguasai Mesir. Selanjutnya
gerakan di bawah pimpinan Urabi Pasya ini dapat menguasai pemerintahan,
namun kekuasaan golongan nasionalis ini dianggap berbahaya dan
mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Akibatnya, untuk menjatuhkan
Urabi Pasya, pada tahun 1882 Inggris membom Alexandaria dari laut.
Dalam pertempuran ini kaum nasionalis dapat dikalahkan dan Mesir jatuh
ke bawah kekuasaan Inggris. Sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya,
Muhammad Abduh ditangkap dan dipenjarakan. Pada akhir tahun 1882 ia
dibuang ke Beirut kemudian ke Paris pada tahun 1884. Di Paris Muhammad
Abduh bertemu kembali dengan Al-Afghani, kemudian mereka mendirikan
organisasi yang sangat berpengaruh walaupun usianya sangat pendek yaitu
Al-‘Urwat Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat).
Tujuan Organisasi ini adalah menyatukan ummat Islam dan sekaligus
melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini juga
menerbitkan koran yang diberi nama sama dengan organisasinya (Al-‘Urwat
Al-Wutsqa) dan berhasil terbit sebanyak delapan edisi, didedikasikan untuk
tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non Barat tentang
bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan Mesir dari
pendudukan Inggris. Yang menjadi fokusnya adalah kaum muslimin, karena
6
faktanya mayoritas bangsa yang dikhianati dan dihinakan, serta sumber
dayanya dijarah oleh pihak asing, adalah ummat Islam (Rahnema, 1998:38-
39).
Organisasi ini akhirnya bubar dan pada tahun 1885 Muhammad Abduh
kembali ke Beirut melalui Tunisia. Di Beirut ia kembali mengajar (menjadi
guru). Pada tahun 1888, atas usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang
Inggris, ia dibolehkan kembali pulang ke Mesir, tetapi tidak diizinkan
mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya terhadap
Mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun
1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis A’la dari Al-Azhar. Sebagai
anggota majelis ini, ia membawa perubahan perubahan dan perbaikan-
perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Pada tahun 1889 ia
diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini didudukinya sampai ia
meninggal dunia pada tahun 1905 (Nasution, 1975:62).
Pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaruan islam
7
lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami
seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema,
1998) Faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan
ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam
kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada
perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak
menghendaki perubahan dantidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya
berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam)
yang kemudian dapat mERrampas puncakpuncak kekuasaan politik di dunia
Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal
sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an.
Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu
pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu Pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan
membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar
mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan
membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-
lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada
ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada
qadha’ dan qadar. Dengan demikian akal akan membeku dan berhentilah
pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam
masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua
adalah bid’ah. Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam
bid’ah itulah yang membuat ummat Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh
menyeleweng dari masyarakat Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya.
(Nasution, 1996). Menurut Abduh dalam Nasution, (1996)Permusuhan di antara
kelompok-kelompok
keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian diperuncing oleh kaum
politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan
keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan antara ilmu dan agama
yang telah dielesaikan AlQur’an muncul kembali untuk kedua kalinya. Maka,
8
untuk selanjutnya Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali
kepada satu sumber sejati ajaran Islam, yaitu AlQur’an. Dia menegaskan bahwa
Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak
akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus
kemajuan serta kejayaan suatu bangsa.
9
keadaan modern. Penyesuaian itu, menurut Muhammad Abduh sebagaimana
dikutip Nasution, dapat dijalankan, dengan merujuk pada pendapat Ibnu Taimiyah
yang membagi ajaran Islam kepada dua kategori yakni, ibadah dan mualamah
(hidup kemasyarakatan manusia). Abduh melihat bahwa ajaran-ajaran yang
terdapat dalam Al-Quran secara terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai
hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum yang
tidak terperinci.
10
baik di bidang keagamaan, pendidikan, politik, politik, maupun hukum cukup
hanya dengan mengembalikannya kepada ajaran aslinya, tetapi perlu disesuaikan
dengan keadaan modern sekarang.
Penyesuaian itu menurut Muhammad Abduh menunjukkan bahwa ajaran
Islam dapat dibagi kepada dua kategori yaitu ibadat dan mu’amala, artinya dalam
aspek ibadah kita harus bertaklid kepada ulama namun dalam aspek mu’amalah
kita harus berijtihad dengan menyesuaikan kebetuhan umat Islam khususnya
dalam konsep Manajemen Pendidikan Islam”.
Satria Ricky, (2019) menambahkan bahwa “Dalam konteks masa kini,
intelektual muslim banyak yang salah dalam merepresentasikan makna kembali ke
Al-Qur’an. Kesan yang timbul adalah sebatas jargon-jargon yang dangkal tapi
tidak
tau makna hakikat dari yang dimaksud. Media sosial dimerihakan dengan ajakan
kembali ke Al-Qur’an namun mereka bingung tafsir Al-Qur’an yang benar.
Begitupun Lembaga Pendidikan Islam ikut meramaikan ajakan kembali al-quran
melalui mimbar akademik.
Sehingga pada akhirnya mereka memaksakan kebeneran kelompok
tertentu dan menyalahkan kelompok lain yang pada akhirnya memunculkan
perpecahan. Padahal Kembali ke Al-Qur’an menurut Muhammad Abduh adalah
melihat konteks ayat dan disesuikan dengan keadan saat ini dengan landasan ilmu
bukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu”.
“Muhammad Abduh sangat menentang sikap taklid kepada ulama.
Menurutnya taklid tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi, karena
taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat
maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang
menimbulkan faham taklid. Menurutnya sikap ulama ini membuat umat Islam
berhenti berfikir.
11
di Al-Qolamun. Kemudian dia meneruskan pelajarannya kesekolah nasional Islam
(madrasah Al-Wathoniyah Al-Islamiyah) di Tripoli. Disekolah ini selain
pengetahuan agama dan bahasa arab, diajarkan pula pengetahuan modern dan
bahasa Perancis serta Turki. Tetapi karena mendapatkan hambatan politik dan
pemerintah kerajaan usmani maka operasi sekolah tersebut tidak berlangsung
lama. Dan Rasyid Rida pun pindah ke sebuah sekolah agama yang ada di Tripoli.
Namun
demikian hubunganya dengan guru utamanya disekolah nasional Islam. Yang juga
pendiri sekolah tersebut terus berlanjut. Syeh Al-Jisr inilah yang menjadi
pembimbingnya di masa muda.
12
Kedalam Islam telah banyak masuk bid‟ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat. Diantara bid‟ah itu pendapat bahwa dalam
Islam terdapat ajaran kekuatan bathin yang membuat pemiliknya dapat
memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagian di akhirat dan di
dunia diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan tuhan, demikian Rasyid
Rida berpendapat. Satu bid‟ah lain yang mendapatkan tantangan keras dari Rasyid
Rida ialah ajaran syeihk terikat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang
tawakal dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syeikh dan wali.
Rasyid Rida sebagaimana Muhamad Abduh menghargai akal manusia.
Sungguh pun penghargaanya terdapat akal tidak setinggi penghargaan
yang diberikan gurunya. Menurutnya akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran
mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak untuk ibadah, ijtihad diperlukan
hanya untuk soal-soal ibadah tidak di berikan lagi. Ijtihad diperlukan hanya untuk
soal-soal hidup masyarakat terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas.
Ijtihad tidak dipakai lagi.
Akal dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadist yang tidak
mengandung arti yang tegas. Dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak
tersebut dalam al quran dan hadist.Menurutnya, umat Islam harus dibawa kembali
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Yaitu ajaran yang murni dari segala
bid‟ah yang menggerogoti ajaran Islam itu, Islam murni itu sederhana sekali
menurutnya, kesederhanaan itu terletak dalam ibadah dan muamalat.
Ibadah kelihatan berat dan ruwet karena dalam hal-hal yang wajib pada
ibadah telah ditambahkan sesuatu yang bukan wajib. Padahal yang sebenarnya
hanya sunnah mengenai hal-hal yang sunah inilah terdapat perbedaan paham yang
akibatnya timbulah kekacauan dan bahkan pertentangan. Dalam soal muamalat
juga amat simpel, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan,
pemerintah syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan
kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup
kemasyarakatan, sungguh pun itu didasarkan atas Al-Quran dan Al-hadist tidak
boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai
dengan suasana tempat dan zaman ia timbul.
2.4 Pandangan Rasyid Rida Tentang Ijtihad
13
Syariat secara bahasa “jalan menuju sumber air” jalan menuju sumber air
disini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan . Dalam
masa-masa awal, syariat di indentikan dengan al nushus al muqaddasah dari al
quran dan al hadist mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pikiran
manusia. Syariat sering juga disebut Al-thariq Al-mustaqimah (jalan yang lurus)
pengertian ini sejalan dengan maksud firman Allah dalam surat al jatsiyh ayat 18:
ُثَّم َجَع ْلٰن َك َع ٰل ى َش ِرْيَعٍة ِّم َن اَاْلْم ِر َفاَّتِبْع َها َو اَل َتَّتِبْع َاْهَو ۤا َء اَّلِذ ْيَن اَل َيْع َلُم ْو َن
18. Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan)
dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan
orang-orang yang tidak mengetahui.
Dengan demikian, syariat harus dipahami tidak hanya ajaran-ajaran yang
telah dibawa nabi muhammad saja, tetapi juga jaran-ajaran yang dibawa oleh nabi
dan rosulnya sebelumnya. Demikian pula muatan yang terkandung dalam syariat
para nabi tersebut tidak hanya berkaitan dengan hukum fiqh saja tetapi meliputi
pula aqidah, amaliyah dan khuluqiyah.
Penetapan hukum dengan berijtihad diakui Rasyid Rida dengan alasan
bahwa ayat-ayat yang berkandung dalam al quran tidak lebih dari 510 ayat yang
terdiri atas ayat-ayat tentang hukum politik dan selebihnya ayat-ayat tentang
ibadah dan muamalah. Sedang hadist ahkam berjumlah 500 hadist dari 4000
hadist pada umumnya. Oleh karena itu penggunaan ijtihad dalam menempatkan
hukum disamping berdasarkan pada adanya persetujuan nabi bagi siapa saja yang
mencari ketentuan hukum, juga dari adanya kenyataan baik Al-Qur‟an maupun
hadist yang menunjukan kandungan hukum secara tegas tersurat, sangat terbatas
jumlahnya.
14
sebelah barat daya Riyadh, Arab Saudi. Ayahnya bernama Abdul Wahab ibn
Sulaiman seorang ketua jabatan agama setempat. Kakeknya Sulaiman ibn Ali
seorang mufti besar di Najed.
Dia hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun. Selain itu dia senang membaca
buku-buku tafsir, hadis, dan fikih. Alur pendidikannya dimulai dari ayahnya yang
sangat terpengaruh oleh madzhab Hanbal. Kemudian berguru kepada Syaikh
Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayyat al-Sindi di Madinah.
Selanjutnya dia juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara. Di
antaranya Bashrah selama 4 tahun, di Baghdad selama 5 tahun, di Kurdistan
selama 1 tahun, di Hamazan 2 tahun, kemudian mempelajari filsafat dan tasawuf
di Isfahan 4 tahuan, dan terakhir 1 tahun di kota Qum.
15
Ibn Abd al-Wahab tidak perlu berdebat panjang lebar, tetapi yang perlu adalah
aktivitas langsung menjurus kepada perbaikan akidah umat.
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan
pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya
Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan
pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi
mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-
ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama
Wahabiyah.
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah
(pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan
yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman,
Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa
pemilihan yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada
nash dan ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad
bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328
M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah
pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang
memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.
16
kunjungan ke dan pemujaan tempat suci dan makam orang-orang suci Muslim,
yang menurutnya merupakan bid'ah atau bahkan penyembahan berhala.
Seruannya untuk reformasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada doktrin
kunci tauhid (keesaan Tuhan). Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mempunyai pengaruh adalah:
1. Hanya Al-Qur’an dan Hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-
ajaran Islam. Pendapat Ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada Ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu Ijtihad terbuka.
17
bahwa hasil pikiran yang benar itu pasti sesuai dengan syariat dan tidak akan
meleset dan pasti bertemu dengan apa yang diberikan wahyu.
Filsuf (Muslim) kata Muhammad Ibn Abd al-Wahab terlalu bersusah
payah menonjolkan filsafat untuk mempertemukan agama dan akal karena mereka
terlalu kagum dengan Aristoteles dan beberapa filsuf asal Yunani lainnya
sehingga harus menakwilkan nash agar dapat diterima akal dan pikiran seperti ini
jauh sekali dari ruh Islam. Adapun aliran Zahiri yang berpegang kepada zahir nash
dan tidak mengakui akal dikatakan Muhammad Ibn Abd al-Wahab sebagai aliran
yang berlawanan dengan filsafat sama dengan penilaiannya terhadap aliran
Hasywiyah.
Diakui dakwah Muhammad Ibn Abd al-Wahab sangat berpengaruh
terhadap gerakan pembaruan agama di Saudi. Dengan dukungan pemerintah
aturan syariat dapat berdiri dengan baik. Dakwah ini bukan hanya tegak di Saudi
saja, tetapi juga di dunia Islam lain karena usaha pemberantasan kemusyrikan
memang menjadi semarak di mana-mana termasuk di Indonesia. Karena sangat
menekankan pada kesucian dan kemurnian, maka ini dinamakan mazhab Wahabi
dan diyakini sebagai mazhab ahl al-Sunnah, atau Ahl al-Hadis, bahkan ahl Al-
Qur‟an.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
18
buta) dan menyerukan penggunaan ijtihad (penalaran hukum independen melalui
penelitian kitab suci).
Dalam pemikiran Muhammad Abduh, ia menyadari kemunduran
masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa. Menurut
analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan
faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri. Dan menurut
pemikiran pembaharuan rasyid ridho adalah Islam itu mundur karena tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam sebenarnya jadi menurutnya harus dibawa kembali
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. yaitu ajaran yang murni dari segala
bid'ah yang menggerogoti ajaran islam itu sendiri. Islam murni itu sangat
sederhana, kesederhanaan itu terletak dalam ibadah dan muamalat.
DAFTAR PUSTAKA
19