Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PEMIKIRAN DAN PEMBARUAN MUHAMMAD ABDUH, RASYID


RIDHA DI MESIR SERTA MUHAMMAD ABDUL WAHAB DI
JAZIRAH ARAB
Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PPMDI
Dosen Pengampu : Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag dan
Labib Elmuna, Lc., MA.

Disusun oleh :

FAISAL DJUN NURAIN (10030121036)


YAFIE RIFQI FAUZAN (10030121042)
MUHAMMAD FAHRI RAMDANI (10030121027)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
TAHUN 2021/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga makalah yang “ Pemikiran Dan Pembaruan Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha Di Mesir Serta Muhammad Abdul Wahab Di Jazirah Arab “ini dapat diselesaikan.
Tidak lupa terimakasih juga kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah PPMDI bpk.
Dr. H. Aep Saepudin, Drs., M.Ag dan Labib Elmuna, Lc., MA serta seluruh pihak terkait
yang telah berkontribusi demi kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
pembaca. Makalah ini memberikan informasi terkait apa dan bagaimana konsep pemikiran
dan pembaruan islam dari ketiga tokoh tersebut.
Penulis menyadari adanya kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, kritik dan
saran sangat dibutuhkan demi penyempurnaan dan bahan evaluasi penulis untuk kedepannya.
Penulis juga berharap bahwa tulisan ini mampu menambah pengetahuan dan wawasan
pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pembaharuan Islam muncul sebagai respons terhadap krisis yang dihadapi


umat Islam sejak abad ke-18 Masehi. Krisis tersebut meliputi kemunduran
ilmiah, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dialami oleh dunia Islam
akibat dari penjajahan dan imperialisme Barat. Umat Islam merasa tertinggal
dan terancam oleh dominasi Barat yang lebih maju dan kuat. Selain itu, umat
Islam juga menghadapi masalah internal seperti konflik sektarian, fanatisme
mazhab, penyimpangan akidah, dan pengabaian ijtihad2.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran dan pembaruan islam oleh Muhammad Abduh Wahab?


2. Bagaimana pemikiran dan pembaruan islam Rasyid Ridho?
3. Bagaimana pemikiran dan pembaruan islam oleh Muhammad Bin Abdul
Wahhab?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui konsep pemikiran dan pembaruan islam oleh Muhammad Abduh


Wahab.
2. Mengetahui konsep bagaimana pemikiran dan pembaruan islam oleh Rasyid
Ridho.
3. Mengetahuikonsep pemikiran dan pembaruan islam oleh Muhammad Bin Abdul
Wahhab.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. PEMBAHARUAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN MUHAMMAD


ABDUH

1.1 Biografi Muhammad Abduh


Muhammad Abduh lahir lahir pada tahun 1849 di sebuh perkampungan
Mahallah Nashr, Syubkhait, Provinsi Buhaira, Mesir. Ayahnya, Abduh bin
Hasan Khairullah mempunyai silsilah keturunan bangsa Turki, sedang ibunya
mempunyai silsilah keturunan sampaikepada Umar bin al-Khaththab.
Muhammad Abduh lahir dan tumbuh dewasa dalam lingkungan desa di
bawah asuhan ayah dan ibunya yangtidak ada hubungannya dengan
pendidikan formal, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.
1.2 Riwayat Pendidikan
Ketika berusia tiga belas tahun, Muhammad Abduh belajar di masjid
Ahmadi di Tanta. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah
universitas Al-Azhar dari segi tempat belajar Al-Qur’an dan menghafalnya.
Sistem pembelajaran dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di
luar kepala, yang tidak memberi kesempatan untuk memahami, membuat
Muhammad Abduh merasa tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad
untuk tidak kembali lagi ke kehidupan akademis.
Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun (Rahnema, 1998:37).
Tak lama kemudian Muhammad Abduh berjumpa dengan pamannya, Syaikh
Darwisy Khadr, seorang guru dari tarekat Syadzily. Dari guru ini Muhammad
Abduh mendapat pengajaran tentang disiplin ilmu etika, moral serta praktek
kezuhudan tarekatnya. Pada mulanya ia enggan belajar, namun
perjumpaannya dengan Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya
secara mendalam sehingga dengan bimbingannya semangat belajarnya
kembali berkobar (Majid, 1987:462). Pada tahun 1866, Muhammad Abduh

4
masuk ke Al-Azhar, sebuah pusat ilmu pengetahuan yang besar pada masa itu.
Dia bertahan selama empat tahun, tetapi kemudian dia
merasa kecewa dengan kurikulum-kurikulum dan metode-metode
pembelajaran yang dianggapnya kolot yang dipergunakan di sana (Majid,
1987:462). Metode
pembelajaran di sini sangat menonjolkan penghafalan di luar kepala tanpa
memahami, seperti yang ditemuinya di Tanta. Pada masa ini Jamaluddin Al-
Afghani datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istanbul. Di sinilah Muhammad
Abduh bertemu dengan Al-Afghani untuk yang pertama kalinya, ketika ia dan
mahasiswa lainnya berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-
Azhar.
Dalam pertemuan itu Al-Afghani mengajukan pertanyaan kepada mereka
mengenai arti beberapa ayat AlQur’an, kemudian beliau berikan tafsirannya
sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik dalam diri Muhammad
Abduh (Nasution, 1975:60-61). Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di
mesir pada tahun 1871, Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang
paling setia. Al-Afghani memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan
filsafat, yang pada waktu itu di AlAzhar dianggap dan disamakan dengan
bid’ah. Sebelum berguru kepada Al-Afgani dan menekuni ilmu yang dianggap
berbahaya itu, Muhammad Abduh minta nasihat kepada Syaikh Darwisy.
Bukan saja guru sufy itu menghapus kecemasannya, bahkan menjamin bahwa
filsafat (al-Hikmah) dan ilmu pengetahuan merupakan jalan yang paling
selamat untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh
dan sembrono yang pada hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang
paling jahat, yang memandang mata kuliah ini sebagai bid’ah (Fachri,
1987:462).
Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-
Azhar dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-
Azhar kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara
buku-buku yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih,
Muqaddimah Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot
yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857

5
(Nasution, 1975:61). Kesempatan ini juga dimanfaatkan Muhammad Abduh
untuk berbicara dan menulis masalah politik, sosial dan khususnya masalah
pendidikan nasional, yang pada waktu itu kesadaran nasional di Mesir
semakin meningkat. Tahun berikutnya (1879) Al-Afghani dan Muhammad
Abduh diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang dianggap terlalu keras.
Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan
mengajarnya di Dar AlUlum. Namun tahun 1880 ia segera diaktifkan kembali
oleh perdana menteri serta diangkat menjadi salah satu editor.
Kemudian editor kepala surat kabar resmi pemerintah Mesir Al-Waqai’u
Al-Mishriyyah. Dalam posisi ini ia menjadi sangat berpengaruh dalam
membentuk pendapat umum (Rahnema, 1998:38).Muhammad abduh turut
serta memainkan peran dalam revolusi Urabi Pasya, yaitu gerakan yang
bermula dari usaha perwira-perwira militer Mesir yang berhasil mendobrak
kontrol perwira-perwira Turki dan Sarkas yang menguasai Mesir. Selanjutnya
gerakan di bawah pimpinan Urabi Pasya ini dapat menguasai pemerintahan,
namun kekuasaan golongan nasionalis ini dianggap berbahaya dan
mengancam kepentingan Inggris di Mesir. Akibatnya, untuk menjatuhkan
Urabi Pasya, pada tahun 1882 Inggris membom Alexandaria dari laut.
Dalam pertempuran ini kaum nasionalis dapat dikalahkan dan Mesir jatuh
ke bawah kekuasaan Inggris. Sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya,
Muhammad Abduh ditangkap dan dipenjarakan. Pada akhir tahun 1882 ia
dibuang ke Beirut kemudian ke Paris pada tahun 1884. Di Paris Muhammad
Abduh bertemu kembali dengan Al-Afghani, kemudian mereka mendirikan
organisasi yang sangat berpengaruh walaupun usianya sangat pendek yaitu
Al-‘Urwat Al-Wutsqa (Mata Rantai Terkuat).
Tujuan Organisasi ini adalah menyatukan ummat Islam dan sekaligus
melepaskannya dari sebab-sebab perpecahan mereka. Organisasi ini juga
menerbitkan koran yang diberi nama sama dengan organisasinya (Al-‘Urwat
Al-Wutsqa) dan berhasil terbit sebanyak delapan edisi, didedikasikan untuk
tujuan umum memberi peringatan kepada masyarakat non Barat tentang
bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan Mesir dari
pendudukan Inggris. Yang menjadi fokusnya adalah kaum muslimin, karena

6
faktanya mayoritas bangsa yang dikhianati dan dihinakan, serta sumber
dayanya dijarah oleh pihak asing, adalah ummat Islam (Rahnema, 1998:38-
39).
Organisasi ini akhirnya bubar dan pada tahun 1885 Muhammad Abduh
kembali ke Beirut melalui Tunisia. Di Beirut ia kembali mengajar (menjadi
guru). Pada tahun 1888, atas usaha teman-temannya, di antaranya ada seorang
Inggris, ia dibolehkan kembali pulang ke Mesir, tetapi tidak diizinkan
mengajar karena pemerintah Mesir takut akan pengaruhnya terhadap
Mahasiswa. Ia bekerja sebagai hakim di salah satu mahkamah dan pada tahun
1894 ia diangkat menjadi anggota Majelis A’la dari Al-Azhar. Sebagai
anggota majelis ini, ia membawa perubahan perubahan dan perbaikan-
perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai universitas. Pada tahun 1889 ia
diangkat sebagai Mufti Besar. Jabatan tinggi ini didudukinya sampai ia
meninggal dunia pada tahun 1905 (Nasution, 1975:62).
Pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaruan islam

1. Analisis muhammad abduh dalam penyebab kemunduran islam


Muhammad Abduh menyadari kemunduran masyarakat muslim bila
dikontraskandengan masyarakat Eropa. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan
terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal, seperti hegemoni Eropa yang
mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan faktor internal, yaitu situasi yang
diciptakan kaum muslimin sendiri. Menurut Muhammad Abduh dalam (Iswanto,
2020) bahwa bangsa Eropa telah memasuki fase baru yang bercirikan peradaban
yang berdasarkan ilmu pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan,
serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan yang disangga
oleh sarana baru, seperti melakukan perang, dan didukung oleh senjata yang
mampu menyapu bersih banyak musuh.
Mereka dianggap sebagai agresor, karena berusaha merebut negeri bangsa
lain, Muhammad Abduh ditanya bagaimana pendapatnya tentang keadaan
kebijakan Mesir dan Inggris di sana, maka ia menjawab:“Kami, bangsa Mesir dari
Partai Liberal, pernah percaya kepada liberalisme dan simpati Inggris. Kini kami
tidak lagi percaya karena fakta lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata. Kami

7
lihat sikap leberal anda hanyalah untuk anda sendiri, simpati anda kepada kami
seperti simpatinya serigala kepada domba yang akan disantapnya.” (Rahnema,
1998) Faktor internal yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan
ummat Islam adalah paham jumud yang terdapat dikalangan ummat Islam. Dalam
kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada
perubahan. Karena dipengaruhi paham jumud itulah maka ummat Islam tidak
menghendaki perubahan dantidak mau menerima perubahan, ummat Islam hanya
berpegang pada tradisi. Sikap ini dibawa oleh orang-orang bukan Arab (‘ajam)
yang kemudian dapat mERrampas puncakpuncak kekuasaan politik di dunia
Islam. Mereka bukan dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal
sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Qur’an.
Mereka berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal dengan ilmu
pengetahuan. Mereka memusuhi ilmu Pengetahuan karena ilmu pengetahuan akan
membukakan mata rakyat. Rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohannya agar
mudah diperintah. Mereka memasukkan ke dalam Islam ajaran-ajaran yang akan
membuat rakyat berada dalam keadaan statis, seperti memuja secara berlebih-
lebihan kepada syekh atau wali, kepatuhan membuta kepada ulama, taklid kepada
ulama-ulama terdahulu, dan tawakkal serta pasrah yang membabi buta kepada
qadha’ dan qadar. Dengan demikian akal akan membeku dan berhentilah
pemikiran dalam Islam. Semakin lama faham jumud semakin meluas di dalam
masyarakat di seluruh dunia Islam. Muhammad Abduh menganggap ini semua
adalah bid’ah. Sebagaimana Muhammad bin Abd Al-Wahab dan Jamaluddin Al-
Afghani, Muhammad Abduh berpendapat bahwa masuknya berbagai macam
bid’ah itulah yang membuat ummat Islam lupa kepada ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Bid’ah-bid’ah itu pula yang menjadikan masyarakat Islam jauh
menyeleweng dari masyarakat Islam yang seharusnya dan yang sebenarnya.
(Nasution, 1996). Menurut Abduh dalam Nasution, (1996)Permusuhan di antara
kelompok-kelompok
keagamaan dan intelektual yang berbeda-beda kemudian diperuncing oleh kaum
politisi, lebih jauh menambah keresahan masyarakat. Akhirnya, kebodohan dan
keserbakaburan menjadi gejala umum, dan pertentangan antara ilmu dan agama
yang telah dielesaikan AlQur’an muncul kembali untuk kedua kalinya. Maka,

8
untuk selanjutnya Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali
kepada satu sumber sejati ajaran Islam, yaitu AlQur’an. Dia menegaskan bahwa
Al-Qur’an jelas-jelas memperlihatkan sunan Allah, yaitu hukum Allah yang tak
akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran, dan siklus
kemajuan serta kejayaan suatu bangsa.

Mengikuti hukum-hukum ini merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkitan


ummat Islam. Tegaknya suatu masyarakat yang baik dan adil tentulah karena
mengikuti ajaran Al-Qur’an.
2. Pemikiran muhammad abduh dalam pembaruan islam
Menurut Ansharuddin (2017), “Pemikiran pembaharuan Muhammad
Abduh dalam bidang agama antara lain tentang kemunduran umat Islam yang
disebabkan oleh umat Islam sendiri yang tidak melaksanakan ajaran Islam
sebenarnya. Mereka lebih cenderung pada tarekat yang ekstrim dan menimbulkan
pengkultusan syeikh tarekat serta dijadikannya perantara dengan Tuhan”.
Sebagaimana yang dikatakan Nasution, (1992), “Yang menjadikan umat Islam
mundur menurut Abduh adalah
paham “jumud” yang terdapat dalam Islam. Dalam kata jumud mengandung arti
keadaan membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena pengaruh paham
jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima
perubahan, umat Islam berpegang teguh pada tradisi”. Oleh karenanya, Abduh
menuntut agar umat Islam tidak terjebak pada kejumudan dan mampu
menggunakan akal sehatnya dengan benar agar dapat memperoleh pengetahuan
yang benar yang sesuai dengan agama Islam yang sangat menghargai akal pikiran,
dan dengan akal yang benar bisa menambah kepercayaan kita dalam mengimani
Allah dengan sempurna.
Sejalan dengan yang dikutip oleh Harun, “tidak cukup hanya kembali pada
ajaran-ajaran asli itu, sebagai yang dianjurkan oleh Muhammad Abd Al-Wahab.
Karena zaman dan suasana umat Islam sekarang telah jauh berubah dari zaman
dan
suasana umat Islam zaman klasik, ajaran-ajaran Islam itu disesuaikan dengan

9
keadaan modern. Penyesuaian itu, menurut Muhammad Abduh sebagaimana
dikutip Nasution, dapat dijalankan, dengan merujuk pada pendapat Ibnu Taimiyah
yang membagi ajaran Islam kepada dua kategori yakni, ibadah dan mualamah
(hidup kemasyarakatan manusia). Abduh melihat bahwa ajaran-ajaran yang
terdapat dalam Al-Quran secara terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai
hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum yang
tidak terperinci.

Selanjutnya ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Quran


dan Hadis mengenai sosial kemasyarakatan itu, hanya sedikit jumlahnya.
Sehingga bagi Abduh diperlukan adanya penyesuaian dengan tuntutan zaman.
Untuk menyesuaikan dan melakukan reinterpretasi baru tersebut maka menurut
Abduh perlunya pintu ijtihad di buka. Ijtihad menurutnya bukan hanya boleh,
mala hpenting dan perlu diadakan. Namun demikian, yang dimaksudkan adalah
tidak semua orang bebas untuk melakukan ijtihad, hanya mereka yang sudah
memenuhi syarat-syarat.
Sedangkan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat, harus mengikuti
pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya. Lapangan bagi ijtihad, ialah hanya
mengenai soal-soal muamalah saja. Adapun soal ibadat, karena ini merupakan
hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia,
tidak menghendaki perubahan menurut zaman. Oleh karena itu, ibadah bukanlah
lapangan ijtihad sebenarnya untuk zaman modern ini”.
Selanjutnya berdasarkan pendapat dari Ansharuddin, (2017), “Salah satu
gerakan salaf yang berpegang teguh pada pemakaian ijtihad dan menolak secara
konsisten taqlid.
Adapun gerakan atau organisasi yang sama bermunculan untuk
mengadakan pembaharuan di Indonesia, antara lain Sumatra Tawalib, Gerakan
Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Salah satu organisasi yang mewakili kelompok
modernis di Indonesia yaitu Muhammadiyah yang merupakan salah satu
organisasi terbesar yang ada di Indonesia”.
Merujuk pada pendapat Satria Ricky, (2019), “Perlu ditegaskan bahwa
menurut Muhammad Abduh “konsep pemikiran dan upaya-upaya pembaharuan

10
baik di bidang keagamaan, pendidikan, politik, politik, maupun hukum cukup
hanya dengan mengembalikannya kepada ajaran aslinya, tetapi perlu disesuaikan
dengan keadaan modern sekarang.
Penyesuaian itu menurut Muhammad Abduh menunjukkan bahwa ajaran
Islam dapat dibagi kepada dua kategori yaitu ibadat dan mu’amala, artinya dalam
aspek ibadah kita harus bertaklid kepada ulama namun dalam aspek mu’amalah
kita harus berijtihad dengan menyesuaikan kebetuhan umat Islam khususnya
dalam konsep Manajemen Pendidikan Islam”.
Satria Ricky, (2019) menambahkan bahwa “Dalam konteks masa kini,
intelektual muslim banyak yang salah dalam merepresentasikan makna kembali ke
Al-Qur’an. Kesan yang timbul adalah sebatas jargon-jargon yang dangkal tapi
tidak
tau makna hakikat dari yang dimaksud. Media sosial dimerihakan dengan ajakan
kembali ke Al-Qur’an namun mereka bingung tafsir Al-Qur’an yang benar.
Begitupun Lembaga Pendidikan Islam ikut meramaikan ajakan kembali al-quran
melalui mimbar akademik.
Sehingga pada akhirnya mereka memaksakan kebeneran kelompok
tertentu dan menyalahkan kelompok lain yang pada akhirnya memunculkan
perpecahan. Padahal Kembali ke Al-Qur’an menurut Muhammad Abduh adalah
melihat konteks ayat dan disesuikan dengan keadan saat ini dengan landasan ilmu
bukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu”.
“Muhammad Abduh sangat menentang sikap taklid kepada ulama.
Menurutnya taklid tidak perlu dipertahankan bahkan mesti diperangi, karena
taklid inilah yang membuat umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak dapat
maju. Muhammad Abduh dengan keras mengkritik ulama-ulama yang
menimbulkan faham taklid. Menurutnya sikap ulama ini membuat umat Islam
berhenti berfikir.

2. PEMBAHARUSAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN RASYID RIDHO


2.1 Biografi Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridho dilahirkan pada tahun 1865 M di Al-qolamun suatu
desa di Lebanon Latar belakang pendidikannya dimulaidari madrasah tradisional

11
di Al-Qolamun. Kemudian dia meneruskan pelajarannya kesekolah nasional Islam
(madrasah Al-Wathoniyah Al-Islamiyah) di Tripoli. Disekolah ini selain
pengetahuan agama dan bahasa arab, diajarkan pula pengetahuan modern dan
bahasa Perancis serta Turki. Tetapi karena mendapatkan hambatan politik dan
pemerintah kerajaan usmani maka operasi sekolah tersebut tidak berlangsung
lama. Dan Rasyid Rida pun pindah ke sebuah sekolah agama yang ada di Tripoli.
Namun
demikian hubunganya dengan guru utamanya disekolah nasional Islam. Yang juga
pendiri sekolah tersebut terus berlanjut. Syeh Al-Jisr inilah yang menjadi
pembimbingnya di masa muda.

2.2 Riwayat Pendidikan Rasyid Ridha


Pendidikan tinggi Rasyid Ridha ada di Al Azhar pada tahun 1898 Masehi.
Beliau berguru pula kepada Muhammad Abduh. Bersama gurunya Muhammad
Abduh beliau telah menerbitkan majalah Al Manar. Majalah tersebut memiliki
tujuan yang sama dengan Al urwatul wutsqa. Di antara isinya adalah mengenai
pembaruan di bidang agama sosial ekonomi, serta memberantas khurafat dan
bid'ah, menghilangkan pula paham fatalisme, serta paham-paham yang dibawa
tarekat.Majalah itu mengemukakan buah pikiran dimana Taimiyah, Abdul Wahab,
Jamaludin Al afghani, serta Muhammad Abdul Sang Guru. Dia pun mendesak
Sang Guru Muhammad Abduh untuk menulis Alquran yang kemudian atau saat
ini dikenal dengan tafsir Al Manar. Rasyid Ridha wafat pada tanggal 23 Jumadil
Ula tahun 1354 Hijriah atau 22 Agustus 1935.

2.3 Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridho


Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Rida, tidak
banyak beda dengan ide-ide gurunya. Muhamad Abduh dan Jamaludin Al-
Afghani . ia juga berpendapat bahwa umat Islam mudur karena tidak lagi
menganut ajaran-ajaran islam sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-
ajaran agama salah dan perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam sebenarnya.

12
Kedalam Islam telah banyak masuk bid‟ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat. Diantara bid‟ah itu pendapat bahwa dalam
Islam terdapat ajaran kekuatan bathin yang membuat pemiliknya dapat
memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedang kebahagian di akhirat dan di
dunia diperoleh melalui hukum alam yang diciptakan tuhan, demikian Rasyid
Rida berpendapat. Satu bid‟ah lain yang mendapatkan tantangan keras dari Rasyid
Rida ialah ajaran syeihk terikat tentang tidak pentingnya hidup duniawi, tentang
tawakal dan tentang pujaan dan kepatuhan berlebih-lebihan pada syeikh dan wali.
Rasyid Rida sebagaimana Muhamad Abduh menghargai akal manusia.
Sungguh pun penghargaanya terdapat akal tidak setinggi penghargaan
yang diberikan gurunya. Menurutnya akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran
mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak untuk ibadah, ijtihad diperlukan
hanya untuk soal-soal ibadah tidak di berikan lagi. Ijtihad diperlukan hanya untuk
soal-soal hidup masyarakat terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas.
Ijtihad tidak dipakai lagi.
Akal dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadist yang tidak
mengandung arti yang tegas. Dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak
tersebut dalam al quran dan hadist.Menurutnya, umat Islam harus dibawa kembali
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Yaitu ajaran yang murni dari segala
bid‟ah yang menggerogoti ajaran Islam itu, Islam murni itu sederhana sekali
menurutnya, kesederhanaan itu terletak dalam ibadah dan muamalat.
Ibadah kelihatan berat dan ruwet karena dalam hal-hal yang wajib pada
ibadah telah ditambahkan sesuatu yang bukan wajib. Padahal yang sebenarnya
hanya sunnah mengenai hal-hal yang sunah inilah terdapat perbedaan paham yang
akibatnya timbulah kekacauan dan bahkan pertentangan. Dalam soal muamalat
juga amat simpel, hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan,
pemerintah syura. Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan
kepada umat untuk menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup
kemasyarakatan, sungguh pun itu didasarkan atas Al-Quran dan Al-hadist tidak
boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai
dengan suasana tempat dan zaman ia timbul.
2.4 Pandangan Rasyid Rida Tentang Ijtihad

13
Syariat secara bahasa “jalan menuju sumber air” jalan menuju sumber air
disini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan . Dalam
masa-masa awal, syariat di indentikan dengan al nushus al muqaddasah dari al
quran dan al hadist mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pikiran
manusia. Syariat sering juga disebut Al-thariq Al-mustaqimah (jalan yang lurus)
pengertian ini sejalan dengan maksud firman Allah dalam surat al jatsiyh ayat 18:
‫ُثَّم َجَع ْلٰن َك َع ٰل ى َش ِرْيَعٍة ِّم َن اَاْلْم ِر َفاَّتِبْع َها َو اَل َتَّتِبْع َاْهَو ۤا َء اَّلِذ ْيَن اَل َيْع َلُم ْو َن‬
18. Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan)
dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan
orang-orang yang tidak mengetahui.
Dengan demikian, syariat harus dipahami tidak hanya ajaran-ajaran yang
telah dibawa nabi muhammad saja, tetapi juga jaran-ajaran yang dibawa oleh nabi
dan rosulnya sebelumnya. Demikian pula muatan yang terkandung dalam syariat
para nabi tersebut tidak hanya berkaitan dengan hukum fiqh saja tetapi meliputi
pula aqidah, amaliyah dan khuluqiyah.
Penetapan hukum dengan berijtihad diakui Rasyid Rida dengan alasan
bahwa ayat-ayat yang berkandung dalam al quran tidak lebih dari 510 ayat yang
terdiri atas ayat-ayat tentang hukum politik dan selebihnya ayat-ayat tentang
ibadah dan muamalah. Sedang hadist ahkam berjumlah 500 hadist dari 4000
hadist pada umumnya. Oleh karena itu penggunaan ijtihad dalam menempatkan
hukum disamping berdasarkan pada adanya persetujuan nabi bagi siapa saja yang
mencari ketentuan hukum, juga dari adanya kenyataan baik Al-Qur‟an maupun
hadist yang menunjukan kandungan hukum secara tegas tersurat, sangat terbatas
jumlahnya.

3. PEMBAHARUSAN ISLAM MENURUT PEMIKIRAN MUHAMMAD


IBN ABD AL-WAHHAB

3.1 Biografi Muhammad ibn Abd Al-Wahhab


Nama lengkapnya Muhammad ibn Abdul Wahab ibn Sulaiman ib Ali ibn
Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid ibn Barid ibn Muhammad ibn al-Masyarif al-
Tarmini al-Hanbali al-Najed. Dilahirkan di kampung di Uyainah, Najed 70 km

14
sebelah barat daya Riyadh, Arab Saudi. Ayahnya bernama Abdul Wahab ibn
Sulaiman seorang ketua jabatan agama setempat. Kakeknya Sulaiman ibn Ali
seorang mufti besar di Najed.
Dia hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun. Selain itu dia senang membaca
buku-buku tafsir, hadis, dan fikih. Alur pendidikannya dimulai dari ayahnya yang
sangat terpengaruh oleh madzhab Hanbal. Kemudian berguru kepada Syaikh
Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayyat al-Sindi di Madinah.
Selanjutnya dia juga banyak melakukan perjalanan ke berbagai negara. Di
antaranya Bashrah selama 4 tahun, di Baghdad selama 5 tahun, di Kurdistan
selama 1 tahun, di Hamazan 2 tahun, kemudian mempelajari filsafat dan tasawuf
di Isfahan 4 tahuan, dan terakhir 1 tahun di kota Qum.

Muhammad ibn Abdul Wahab memiliki ketertarikan terhadap ajaran


Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah. Rangkaian perjalanan panjang Ibn Abdul
Wahab menuntut ilmu dari satu kota ke kota lain, telah memperkuat wawasan
pemikirannya. Muhammad ibn Abdul Wahab wafat pada 1787 M.

3.2 Gerakan Pembaharuan


Muhammad Ibn Abd al-Wahab dikategorikan pemikir penting karena
metode dakwahnya. Teknik yang dipakai Wahab adalah kembali ke masa lalu. Ia
sangat cenderung mengagungkan prinsip Salafiyah. Muhammad Ibn Abd al-
Wahab kelihatan sangat mendambakan Ibn Hanbal (164–241 H 780–855 M) dan
Ibn Taimiyah 661–728 H 1263–1328 M), dan Ibn al-Qayyim al-Jauzi (691–751
H/1292–1350 M). Ketiga tokoh ini walaupun dengan masa yang berbeda tetapi
punya prinsip yang sama. Inti paham mereka adalah dakwah, yaitu kembali
kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah Saw., Al-Qur‟an dan Sunnah ini adalah
dasar pemersatu. Yang benar itu adalah yang ditentukan oleh Al-Qur‟an dan
Sunnah.
Setelah dilihat secara teliti metode Muhammad Ibn Abd alWahab lebih
tepat dikatakan sebagai metode kritik, terutama dalam soal akidah. Sebagai orang
yang kuat iman, tetapi berasal dari masyarakat Badwi menyebabkan Muhammad

15
Ibn Abd al-Wahab tidak perlu berdebat panjang lebar, tetapi yang perlu adalah
aktivitas langsung menjurus kepada perbaikan akidah umat.
Muhammad Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif mewujudkan
pemikirannya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibn Su’ud dan putranya
Abdul Aziz di Nejed. Paham-paham Muhammad Abdul Wahab tersebar luas dan
pengikutnya bertambah banyak sehingga di tahun 1773 M mereka dapat menjadi
mayoritas di Ryadh. Di tahun 1787, beliau meninggal dunia tetapi ajaran-
ajarannya tetap hidup dan mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama
Wahabiyah.
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga mendapat julukan rajul ad-da’wah
(pejuang dakwah), bahkan dia termasuk orang terdepan dalam pasukan kerajaan
yang daerahnya meluas sampai meliput timur Jazirah dan sebagian Yaman,
Makkah, Madinah, dan Hijaz.
Pembaruan Ibnu Abdul Wahhab dan ijtihadnya lebih banyak berupa
pemilihan yang masih dalam lingkup mazhab Hambali serta mengajak kepada
nash dan ucapan para tokohnya-khususnya ucapan pendiri mazhab, Imam Ahmad
bin Hambal (164-241 H/780-855 M) dan Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328
M) daripada kreasi pemikiran, penemuan, dan hal-hal baru. Ijtihadnya adalah
pilihan dalam lingkup mazhab, mengajak kepada nash dan pendapat yang
memurnikan akidah tauhid dari tanda-tanda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.

2.3 Dasar-Dasar Pemikiran


Inti dari pemikiran Muhammad abd Al-Wahhab adalah Tauhid dan
memurnikan ajaran Islam, yaitu mengembalikan Islam kepada Al Quran dan As
Sunah (Hadis). Dia mempromosikan kepatuhan ketat terhadap hukum Islam
tradisional, menyatakan perlunya kembali langsung ke Quran dan Hadis daripada
mengandalkan interpretasi abad pertengahan, dan bersikeras bahwa setiap Muslim
pria dan wanita secara pribadi membaca dan mempelajari Quran. Dia menentang
taqlid (pengikutan buta) dan menyerukan penggunaan ijtihad (penalaran hukum
independen melalui penelitian kitab suci). Dia memiliki pelatihan dasar awal
dalam tradisi Muslim Suni klasik, Ibnu ʿAbdul Wahhab secara bertahap menjadi
menentang banyak populer, namun diperebutkan, praktik keagamaan seperti

16
kunjungan ke dan pemujaan tempat suci dan makam orang-orang suci Muslim,
yang menurutnya merupakan bid'ah atau bahkan penyembahan berhala.
Seruannya untuk reformasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada doktrin
kunci tauhid (keesaan Tuhan). Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mempunyai pengaruh adalah:

1. Hanya Al-Qur’an dan Hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran-
ajaran Islam. Pendapat Ulama tidak merupakan sumber.
2. Taklid kepada Ulama tidak dibenarkan.
3. Pintu Ijtihad terbuka.

2.4 Kritik Terhadap Akal


Adapun kritik yang disampaikan Muhammad Ibn Abd al-Wahab kepada
setiap aliran itu sangat berbeda bentuknya. Untuk aliran Mu‟tazilah Muhammad
Ibn Abd al-Wahab memberikan kritik tentang nafy sifah. Usaha Mu‟tazilah
menafikan sifat Allah secara logika menurut Muhammad Ibn Abd al-Wahab ada
benarnya dan tujuannya hanya untuk menentang pendapat aliran Musyabbihah
dan Mujassimah yang sangat menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk
sampai kepada tingkat yang berlebihan. Aliran Musyabbihah ini -- kata
Muhammad Ibn Abd al-Wahab -- terlalu jauh mengikuti paham Yahudi dan
Nasrani yang telah menyamakan Khalik dengan makhluk. Selanjutnya pikiran
Mu‟tazilah itu terlalu sangat khawatir keyakinan umat Islam menjadi sama
dengan paham Nasrani itu. Di samping itu Mu‟tazilah juga mengikuti filsafat
Yunani bahwa zat Tuhan itu satu, maka sifat-Nya juga harus satu.
Analisis Muhammad Ibn Abd al-Wahab bahwa sejak semula Islam ada
atas dasar iman. Orang yang mencari jalan dengan menggunakan akal untuk
mendapatkan iman sebenarnya berjalan dalam kegelapan, tidak mendapat
petunjuk kepada yang hak demikian juga terhadap yang batal dan itu sangat
berbahaya bagi manusia tanpa iman. Posisi akal terhadap wahyu itu adalah faktor
penting dalam sejarah pemikiran Islam, dan realisasinya terdapat dalam filsafat
Islam dan ilmu kalam. Mutakallimun selalu menggunakan akal di belakang
wahyu, sementara filsuf mengemukakan pembahasan mereka dalam konteks ini

17
bahwa hasil pikiran yang benar itu pasti sesuai dengan syariat dan tidak akan
meleset dan pasti bertemu dengan apa yang diberikan wahyu.
Filsuf (Muslim) kata Muhammad Ibn Abd al-Wahab terlalu bersusah
payah menonjolkan filsafat untuk mempertemukan agama dan akal karena mereka
terlalu kagum dengan Aristoteles dan beberapa filsuf asal Yunani lainnya
sehingga harus menakwilkan nash agar dapat diterima akal dan pikiran seperti ini
jauh sekali dari ruh Islam. Adapun aliran Zahiri yang berpegang kepada zahir nash
dan tidak mengakui akal dikatakan Muhammad Ibn Abd al-Wahab sebagai aliran
yang berlawanan dengan filsafat sama dengan penilaiannya terhadap aliran
Hasywiyah.
Diakui dakwah Muhammad Ibn Abd al-Wahab sangat berpengaruh
terhadap gerakan pembaruan agama di Saudi. Dengan dukungan pemerintah
aturan syariat dapat berdiri dengan baik. Dakwah ini bukan hanya tegak di Saudi
saja, tetapi juga di dunia Islam lain karena usaha pemberantasan kemusyrikan
memang menjadi semarak di mana-mana termasuk di Indonesia. Karena sangat
menekankan pada kesucian dan kemurnian, maka ini dinamakan mazhab Wahabi
dan diyakini sebagai mazhab ahl al-Sunnah, atau Ahl al-Hadis, bahkan ahl Al-
Qur‟an.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam pemikiran ketiga tokoh yang telah dibahas, pembaharuan Islam


menurut mereka bertiga memiliki kesamaan. Bahwa, Islam harus kembali kepada
ajaran yang murni tanpa ada kontaminasi dari ajaran dari luar baik itu adat atau
budaya setempat. Dalam pemikiran pembaharuan Islam menurut Muhammad Ibn
abd Al-Wahhab memiliki inti adalah Tauhid dan memurnikan ajaran Islam, yaitu
mengembalikan Islam kepada Al-Quran dan As-Sunah (Hadis). Seruannya untuk
reformasi sosial dalam masyarakat didasarkan pada doktrin kunci tauhid (keesaan
Tuhan). Adapun kritik yang disampaikan Muhammad Ibn Abd al-Wahab kepada
setiap aliran itu sangat berbeda bentuknya. Dia menentang taqlid (pengikutan

18
buta) dan menyerukan penggunaan ijtihad (penalaran hukum independen melalui
penelitian kitab suci).
Dalam pemikiran Muhammad Abduh, ia menyadari kemunduran
masyarakat muslim bila dikontraskan dengan masyarakat Eropa. Menurut
analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat muslim, dan
faktor internal, yaitu situasi yang diciptakan kaum muslimin sendiri. Dan menurut
pemikiran pembaharuan rasyid ridho adalah Islam itu mundur karena tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam sebenarnya jadi menurutnya harus dibawa kembali
kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. yaitu ajaran yang murni dari segala
bid'ah yang menggerogoti ajaran islam itu sendiri. Islam murni itu sangat
sederhana, kesederhanaan itu terletak dalam ibadah dan muamalat.

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, F. (2017). PEMIKIRAN MUHAMMAD IBN ABD AL-WAHAB. 17-


20.
Basit, A. (2018). MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB:PEMIKIRAN
TEOLOGI DAN TANGGAPAN ULAMA. 54-55.

(Sanusi & Pascsarjana, 2018)Sanusi, A., & Pascsarjana, M. P. (2018). Pemikiran


Rasyid Ridha Tentang Pembaharuan Hukum Islam. TAZKIYA Jurnal
Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, 19(2), 28–52.

Abbas, Nurlaelah. Muhammad Abduh Dan Konsep Rasionalisme Dalam Islam,


Jurnal Dakwa
Tabligh, Vol. 15, No. 1, Juni 2014, 53

19

Anda mungkin juga menyukai