Anda di halaman 1dari 4

Muhammad Abduh memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan

Khairullah, ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Syubra Khit, provinsi al-Buhairah, Mesir
pada tahun 1266 H (1849 M) dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya bernama Muhammad
Abduh ibn Hasan Khairullah, beliau adalah seorang petani keturunan Turki, sedangkan
ibunya adalah keturunan Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin
Khattab ra.1
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di
rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya mengirimnya ke
Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode
pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah
nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak
akan kembali lagi belajar. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain adalah
metode hapalan diluar kepala tanpa pengertian, sehingga membuat Muhammad Abduh
merasa tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan. Rasa kecewa akan apa yang
ada di Thanta, membuat Muhammad Abduh memutuskan menuntut ilmu di Al-Azhar.
Namun kekecewaan kembali ia dapat saat mengetahui bahwa metode yang digunakan sama
dengan apa yang digunakan di Thanta. Selain itu, pelajaran yang ia dapat di Al-Azhar hanya
seputar agama. Keputus asaan mulai ia rasakan hingga ia bertemu dengan Sayyid Jamaludin
A.Afghani yang datang ke Mesir pada masa itu. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh
menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak
mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai
mengajak  kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui
artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah
itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam
bidang pendidikan.
Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi masyarakat tempat Muhammad
‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta
mengabaikan peranan akal dalam memahami syari'at. Sementara, di Eropa khususnya,
kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih setelah penemuan-penemuan
ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.
Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau
menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya
memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta
tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu
agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat
dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk
belajar dan membaca buku.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid
Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar
di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi
yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan
merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah
haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam
sebenarnya.

1 Toto suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 215.
Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat
pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah sementara di
eropa khususnya kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal. Kondisi demikian, pada
dekade selanjutnya akan berpengaruh terhadap keadaan mesir.
Namun pengaruh tersebut dirasakan Muhamad Abduh pada saat ia memasuki
universitas Al-Azhar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang membina dan ulama-
ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganut pola taqlid yang
merupakan kelompok yang mayoritas dan yang kedua, kelompok yang menganut pola tajdid
dan merupakan kelompok minoritas. Muhamad Abduh berada di kelompok minoritas yang
ketika itu di pelopori antara lain: Syekh Muhamad Al-Basyuni (ahli sastra) dan Syekh Hasan
Thawil (ahli filsafat dan logika)
Pada tahun 1889 Muhammad Abduh pulang ke Mesir.[10] Di Mesir, ia diusung
menjadi anggota Majlis A’la Azhar. Sebagai anggota ia berpeluang untuk menuangkan ide-
ide pembaharuannya dalam bidang pendidikan sampai Azhar menjadi universitas yang lebih
modern. 
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 dalam umur 55 tahun . Banyaknya orang
yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar
penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena
pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas
meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.

Karya-karya Muhammad Abduh


Dalam masa hidupnya, Muhammad Abduh banyak menulis buku ilmiah agamis.
Diantaranya yang termashur adalah Risalah Tauhid yang isinya merupakan kumpulan dari
ceramah-ceramahnya di Beirut tahun 1885 M. Menurut M. Abduh dalam Risalah Tauhidnya,
ia menjauhi perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi diantara aliran-aliran teologi dahulu.
Karya ilmiah yang berisi teologi adalah Hasyiaah ‘ala syarh al-Dawwani li al-‘aqaid
al-‘adudiah yang ia tulis pada tahun 1876 M. Muhammad Abduh menyatakan pendapat-
pendapat dan sikapnya dalam menghadapi perbedaan-perbedaan ajaran teologi yang ia
alami. Kalau dalam Risalah Tauhid ia bersikap netral, sedangkan dalam Hasyiah ia bersikap
memihak (mempunyai pendapat sendiri).
Karyanya yang lain dari M. Abduh adalah tafsir al-manar terutama sampai ayat 125
surat an-Nisa’ yang mencerminkan sikap dan ijtihadnya yang ia berikan dalam ceramah-
ceramahnya di masjid Al-Azhar Kairo. Mengenai karya-karya M. Abduh, M. Sharif
menjelaskan ada beberapa buku yang telah ia tulis, yaitu:
1. Risalah al-Waridat, ditulis pada tahun 1874.
2. Hasyiah ‘Ala Syar al-Dawwani al-Aqoid al-‘Adudiyah, ditulis pada tahun 1876.
3. Nahj al-Balaghah, ditulis tahun 1885.
4. Al-Radd ‘Ala al-Dahriyin, ditulis tahun 1886, buku ini adalah terjemahan buku karya
Jamaluddin al-Afghani dalam bidang teologi.
5. Syarh kitab al-Bashair al-Nashraniyah fi al-‘ilmil mantiq, ditulis tahun 1888.
6. Maqomat Badi’uzzaman al-hamadani, ditulis tahun 1889.
7. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-syar’iyyah ditulis 1900.
8. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-ilm wa al-madaniyah, ditulis tahun 1903.
9. Risalah al-Tauhid ditulis tahun 1897.
10. Tafsir Al-Manar.
Dari karya-karyanya itu Nampak jelas bahwa M. Abduh mempunyai perhatian yang
besar dalam masalah teologi dan system pemikiran teologinyapun lebih dekat atau sejalan
dengan muktazilah dan Ibn Rusyd yang menghargai dan menjunjung tinggi fungsi dan
kekuatan akal.
Di tahun 1905, Muhammad Abduh mencetuskan konsep pembentukan Kampus Mesir.
Gagasan ini mendapat respon yg demikian antusias dari pemerintah ataupunpenduduk,
terbukti dgn disediakannya sebidang tanah buat tujuan tersebut. Tetapi sayang, kampus yg
dicita-citakan ini baru berdiri sesudah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah dan
kampus inilah yang selanjutnya jadi “Universitas Kairo” Tanggal 11 Juli 1905 adalah
wafatnya Muhammad Abduh se, ketika periode puncak aktivitasnya mendidik umat,
Muhammad Abduh wafat di Kairo, Mesir.

Corak Pemikiran Muhammad Abduh


Moderenisasi
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad
Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha
mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah
kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh
tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh,
Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka,
serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti
hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan
oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal
yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
1) Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
2) Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah
mencapai kesempurnaan.
3) Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya
untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang
berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun
menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya
yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa
memperhatikan hujahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang
modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi
segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat
kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis
yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha
menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern. 2
Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan
moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.

2 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), 258.


Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis.
Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas
kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk
mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan
apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga
karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan
pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh
“harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta
membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan
tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia
mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.
Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya
bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat
tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat
survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini
tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang
bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis. 3
Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif,
hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri
Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam
karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas
dan keunggulan.4
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis,
reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan
Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran
Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek
slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang
peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam
membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga
memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam
melalui finalitas dan keunggulan Islam.

3 Ibid., 265.
4 Ibid., 266.

Anda mungkin juga menyukai