Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad

ke-20 yang pengaruhnya sangat besar di dalam dunia Islam. Beliau termasuk orang yang

sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman

modern.

Di dunia Islam Ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan, yang

menyerukan umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Beliau

juga terkenal dengan pembaharuannya di bidang pergerakan (politik), di mana ia bersama

Jamaludidn al-Afghani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang isinya mampu

menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.

Selain dikenal sebagai pembaharu di bidang keagamaan dan pergerakan (politik), ia juga

sebagai pembaharu di bidang pendidikan Islam, di mana ia pernah menjabat sebagai syekh

atau rektor Universitas al-Azhar di Cairo, Mesir. Pada masa menjabat sebagai rector, dari

situlah ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut,yang pengaruhnya

sangat luas dalam dunia Islam. Dan adapun usaha–usaha pembaharuan beliau yang akan

dibahas dalam makalah ini.

           

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abduh

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di

desa Mahallaj Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada

tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan

bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam,

Umar bin Khattab.

Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al-Qur'an, dan

berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun ia telah hafal kitab suci di usia

12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia dikirim ayahnya ke perguruan agama di

masjid Ahmadi yang terletak di desa Thantha.

Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat membosankan, bahkan

membawanya pada rasa putus asa untuk menimba ilmu. Ia tidak puas dengan metode

pengajaran yang diterapkan yang hanya mementingkan hafalan tanpa pemahaman.

Bahkan ia berpikir, lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu untuk

menghafal istilah-istilah dalam ilmu nahu dan fiqih yang tidak dipahaminya, sehinnga ia

kembali ke Mahallaj Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan

pernikahan dalam usia 16 tahun.1

Akan tetapi orang tuanya tidak setuju dengan langkah yang diambilnya, sehingga ia

diperintahkan untuk kembali lagi ke Masjid Ahmad di Thanta. Dengan terpaksa ia turuti

kemauan orang tuanya, akan tetapi di tengah perjalanan ia malah berbelok ke arah lain,

sebuah desa tempat tinggal pamannya, Syekh Darwisy Khadir. Syeh Darwisy pun tahu

1
Arabiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
hlm. 113.

2
penyebab keengganan Muhammad Abduh untuk belajar di Thanta, karena itu ia selalu

membujuk Muhammad Abduh supaya mau membaca buku bersamanya.

Akan tetapi Muhammad Abduh pada saat itu benci melihat buku, dan buku yang

diberikan Syekh Darwisy ia lempar jauh-jauh. Kemudian Syekh Darwisy pun memungut

buku itu dan dikembalikan lagi pada Muhammad Abduh. Syekh Darwisy selalu bersabar

menghadapi Muhammad Abduh, hingga akhirnya Muhammad Abduh mau membaca buku

tersebut beberapa baris. Stiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan mengenai arti dan

maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Pada akhirnya Muhammad Abduh berubah

sikap terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia pun mulai paham dengan apa yang

dibacanya, dan setelah itu ia kembali lagi ke Thanta pada tahun 1865 M/1286 H.

Selanjutnya Muhammad Abduh melanjutkan pendidikannya di Thanta, namun 6 bulan di

sana ia meninggalkan tempat tersebut dan menuju al-Azhar, yang diyakininya menjadi tempat

yang sesuai baginya untuk mencari ilmu. Akan tetapi di al-Azhar ia hanya mendapatkan

pelajaran agama saja, di sini juga ia menemukan metode yang sama dengan yang di Thanta.

Hal inilah yang membuatnya kembali kecewa. Pada salah satu tulisannya ia melemparkan

rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis telah

merusak akal dan daya nalarnya. 2 Sehingga rasa kecewa itulah yang menyebabkannya fokus

pada dunia mistik dan hidup sebagai sufi. Pada tahun 1871 Ia kemudian bertemu dengan

Sayyid Jamaluddin al-Afghani yang datang ke Mesir pada saat itu. Dan dari Jamaluddinlah ia

mendapatkan ilmu pengetahuan filsafat, ilmu kalam, dan ilmu pasti, meskipun ia sebelumnya

pernah mendapatkan ilmu tersebut di luar al-Azhar. Metode yang dipakai Jamaluddin yang

dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu pengetahuan dari guru barunya

tersebut. Seperti yang ia ungkapkan, bahwa Jamaluddin telah melepaskannya dari

kegoncangan jiwa yang dialaminya.

2
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 264.

3
Metode pengajaran yang digunakan Jamaluddin al-Afghani yaitu metode praktis yang

mengutamakan pemahaman dengan cara berdiskusi, sehingga metode itu juga yang

diterapkan Muhammad Abduh setelah ia menjadi pendidik. Selain pengetahuan teoritis,

Jamaluddin al-Afghani juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis

artikel, dan sebagainya. Sehingga dengan demikian, mampu membawa Muhammad Abduh

tampil di depan publik dan juga secara langsung melihat situasi sosial politik negaranya.

Meskipun ia aktif mencari ilmu di luar al-Azhar, namun di al-Azhar pun ia tidak

melalaikan tugasnya sebagi mahasiswa sampai ia meraih gelar ‘Alim pada tahun 1877. Akan

tetapi pada tahun 1877-1882, ia diasingkan di Beirut karena terlibat masalah politk. Di

pengasingannya ini, ia mempunyai kegiatan, yaitu sebagai guru dan penulis.

Kariernya sebagai guru ia tempuh di tiga lembaga pendidikan formal, yaitu al-Azhar, Dar

al-Ulum, dan perguruan bahasa Khedevi. Ia memegang berbagai mata pelajaran, seperti

teologi, sejarah, ilmu politik, dan kesusastraan Arab.

Adapun hal-hal yang ditekankan dalam memberikan pengajaran, yaitu metode diskusi

yang diwarisi dari gurunya Jamaluddin al-Afghani, dan semangat pembaharuan yang

ditanamkannya dalam setiap mata pelajaran. Tujuan dari pengajaran tersebut ternyata

menjadi salah satu penyebab ia dicurigai oleh Khedevi, ia dianggap tidak mendukung

kebijaksanaan pemerintah dan bekerjasama dengan Inggris, sehingga ia tidak lagi mengajar di

Dar al-Ulum dan lembaga bahasa.

Akan tetapi di sisi lain kariernya menanjak, lebih-lebih setelah ia diangkat menjadi

pimpinan redaksi surat kabar al-Waqa’i al-Misyriyyah yang merupakan salah satu organ

pemerintahan. Jabatan inilah yang membuat ia lebih mudah melancarkan kritikan terhadap

pemerintahan dengan artikel-artikel yang ditulisnya, baik masalah agama, sosial, politik, dan

kebudayaan.

4
Pada tahun 1882, Abduh dibuang ke Syiria (Beirut) karena dianggap ikut andil dalam

pemberontakan yang terjadi di Mesir pada saat itu. Disinilah ia mendapat kesempatan untuk

mengajar di Universitas Sulthaniyah selama kurang lebih satu tahun.

Pada permulaan tahun 1884, Abduh pergi ke Paris atas panggilan al Afghani yang pada

waktu itu telah berada di sana. Bersama al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan untuk

memberikan kesadaran kepada seluruh umat Islam yang bernama "al 'Urwatul Wutsqa".

Untuk mencapai cita-cita gerakan tersebut, diterbitkanlah pula sebuah majalah yang juga

diberi nama "al 'Urwatul Wutsqa". Suara kebebasan yang ditiupkan al-Afghani dan Abduh

melalui majalah ini menggema ke seluruh dunia dan memberikan pengaruh yang cukup kuat

terhadap kebangkitan umat Islam. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, kaum

imperialis merasa khawatir atas gerakan ini dan akhirnya pemerintah Inggris melarang

majalah tersebut masuk ke wilayah Mesir dan India.

Pada akhir tahun 1884, setelah majalah tersebut terbit pada edisi ke-18, pemerintah

Perancis melarang diterbitkannya kembali majalah 'Urwatul Wutsqa. Kemudian Abduh

diperbolehkan kembali ke Mesir dan al-Afghani melanjutkan pengembaraannya ke Eropa.

Setelah kembali ke Mesir, Abduh kembali diberi jabatan penting oleh pemerintah Mesir.

Ia juga membuat perbaikan-perbaikan di Universitas al Azhar. Puncaknya, pada tanggal 3

Juni 1899, Abduh mendapatkan kepercayaan dari pemerintah Mesir untuk menduduki jabatan

sebagai Mufti Mesir menggantikan Syekh Hasanuddin al-Nadawi. Usaha pertama yang

dilakukannya di sini adalah memperbaiki pandangan masyarakat, bahkan pandangan mufti

sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Karena mufti-mufti sebelumnya

berpandangan, bahwa sebagai mufti bertugas menjadi penasihat hukum bagi kepentingan

negara. Akan tetapi di luar itu mereka seakan melepaskan diri dari orang yang mencari

kepastian hukum.3 Mufti baginya bukan hanya berkhidmat pada negara, tetapi juga pada

3
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1987), hlm. 429.

5
masyarakat luas. Dengan demikian, kehadirannya tidak hanya dibutuhkan oleh negara,

melainkan juga oleh masyarakat luas. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan Muhammad

Abduh untuk kembali berjuang meniupkan ruh perubahan dan kebangkitan kepada umat

Islam.

Bisa dikatakan, bahwa pembaharuan ketiga yang dilakukannya ialah dibuktikan dengan

didirikannya organisasi sosial yang bernama al-Jami’at al-Khairiyyah al-Islamiyyah pada

tahun 1892. Organisasi ini bertujuan untuk menyantuni fakir miskin dan anak yang tidak

mampu dibiayai oleh orang tuanya. Adapun masalah wakaf yang merupakan salah satu

institusi yang tidak luput dari perhatiannya. Sehingga ia pun membentuk majelis administrasi

wakaf yang dengannya ia berhasil memperbaiki perangkat masjid.4

Dalam kenyataannya, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh

dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang yang utama yang dihadapinya

adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam yang mengikuti mereka.

Khedevi sendiri pun akhirnya tidak setuju dengan pembaharuan fisik yang dibawa oleh

Muhammad Abduh, terutama mengenai institusi wakaf yang menyangkut masalah keuangan.

Karena banyaknya rintangan yang dihadapi justru membuat Muhammad Abduh jatuh

sakit dan meninggal pada 8 Jumadi Awwal 1323 H/11 Juli 1905. Kemudian jenazah

Muhammad Abduh dikebumikan di Kairo (Pemakaman Negara).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi

pemikirn Muhammad Abduh, di antaranya ada faktor sosial, budaya, dan politik. Ketiga

faktor inilah yang mempengaruhi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai

bidang. Adapun pemikiran yang berkaitan dengan teologi di fokuskan pada perbuatan

manusia, qadha’ dan qadar, serta sifat-sifat Allah.

Kaitannya denagan perbuatan manusia, Muhammad Abduh berpendapat bahwa terdapat

tiga unsur yang mendukung suatu perbuatan, yaitu akal, kemauan, dan daya. Ketiga hal
4
Arbiyas Lubis, op. cit., hlm. 135.

6
tersebut merupakan pemberian Tuhan untuk manusia yang digunakan dengan bebas dalam

memilih perbuatan.

Selain itu juga, menurut beliau qadha’ dan qadar merupakan salah satu pokok akidah

dalam agama yang harus dipahami dan di artikan dengan benar, karena akidah bertempat

pada hati (Qalbiyyah) manusia. Ia bisa terlihat pada sikap dan perbuatan. Dari situlah akidah-

akidah yang menyimpang dapat menimbulkan sifat yang tidak menguntungkan, fatalistis,

bahkan menimbulkan pemahaman yang salah terhadap ajaran-ajaran agama yang lain dari

pada itu. Menurut beliau, keyakinan terhadap qadha’ dan qadar yang menyimpang juga telah

membawa kehancuran dalam sejarah umat Islam, dan sama halnya dengan aqidah yang benar

telah mengantarkan umat Islam pada masa-masa kejayaan.

B. Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh dalam Pendidikan

Islam di Mesir

Dalam melakukan perbaikan, Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan

tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan

sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode

pemikiran pada umat islam melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq, juga

dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan

pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan

dalam menjalankan ajaran agama. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan

membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak

perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran

dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa

pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan

7
Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat yang selama ini

sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam sendiri.

Gerakan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan

wataknya yang cinta terhadap ilmu pengetahuan. Gibb dalam salah satu karya terkenalnya

“Modern Trends in Islam” menyebutkan empat agenda pembaharuan Muhammad Abduh.

Kempat agenda tersebut merupakan pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan

amalan yang tidak benar, yaitu:

1. Purifikasi

Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad

Abduh yang berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan

orang Islam.

2. Reformasi

Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas

almamaternya, yaitu al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar

tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam

untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak dalam mempelajari sains

modern, serta sejarah dan agama Eropa, supaya mengetahui sebab-sebab kemajuan yang telah

mereka capai.5 Adapun usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjauangkan

mata kuliah filsafat agar diajarkan di al-Azhar, karena dengan belajar filsafat, semangat

intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat dihidupkan kembali.6

3. Pembelaan Islam

5
A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), h. 365.
6
Nurchalish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Jakarta: Paramadina, tt), h. 311.

8
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret pribadi

Islam. Hal tersebut bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur asing yang merupakan bukti

bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam.

4. Reformulasi

Adapun reformulasi yang dilakukan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali

pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan oleh dua faktor, yaitu

eksternal dan internal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam

telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, karena di sini manusia

dalam keadaan tidak terkekang.

Pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatarbelakangi faktor

situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu. Situasi sosial

keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir

dalam memahami dan melaksakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Krisis

yang menimpa umat Islam pada saat itu bukan hanya dalam bidang akidah dan syari’ah,

tetapi juga akhlaq dan moral.

Pada abad ke-19, pembaharuan pemikiran di Mesir telah dimulai. Perkembangan yang

hanya menekankan perkembangan aspek intelek dan mewariskan dua tipe pendidikan pada

abad ke-20. Tipe pertama adalah sekolah agama, dan tipe yang kedua yaitu sekolah modern.

Kedua tipe pendidikan tersebut tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya. Masing-

masing berdiri sendiri memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya. Di sini

sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam kurikulum maupun metode

pengajaran yang diterapkan. Sebaliknya, sistem pendidikan yang terjadi pada sekolah-sekolah

pemerintah di pihak lain tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan barat

sepenuhnya, tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulum tersebut.

9
Selain terjadi kasus-kasus demikian, dualisme pendidikan tersebut melahirkan dua kelas

sosial dengan spirit yang berbeda.karena hal yang demikian, Muhammad Abduh melihat

segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran tersebut. Ia memandang bahwa pemikiran yang

pertama tidak dapat dipertahankan lagi, karena jika dipertahankan juga akan menyebabkan

umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedang

pemikiran kedua justru akan membuat bahaya yang bisa mengancam sendi-sendi agama dan

moral yang digoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari situlah Muhammad

Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua instansi tersebut, sehingga jurang

yang lebar bisa dipersempit.

Situasi demikiaman melahirkan pemikiran Muhammad Abduh mengenai bidang formal

dan nonformal. Adapun dalam bidang formal tujuannya yang esensial adalah menghapus

dualisme pendidikan yang tampak dengan adanya kedua institusi di atas. Untuk itu ia bertolak

pada tujuan pendidikan yang dirumuskan, yaitu mampu mendidik akal dan jiwa, serta

menyampaikanya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.7

Di samping pendidikan akal, ia juga mementingkan pendidikan spiritual, tujuannya agar

lahir generasi yang mampu berpikir dan punya akhlaq mulia dan memiliki jiwa yang bersih.

Tujuan pwndidikan tersebut ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum dari tngkat dasar

sampai tingkat atas. Di antara kurikulum tersebut adalah:

1. Kurikulum al-Azhar

Kurikulum perguruan tinggi al-Azar disesuaikanya dengan kebutuhan masyarakat pada

saat itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern ke

dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini di lakukan agar outputnya dapat menjadi ulama

modern.8
7
Harn Nasution, op. cit., hlm. 190.
8
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam
di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 47.

10
2. Tingkat Sekolah Dasar

Muhammad Abduh juga beranggapan, bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya

dimulai dari masa kanak-kanak. Untuk itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan inti

dari semua mata pelajaran.

3. Tingkat Atas

Adapun di sini upaya yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan mendirikan

sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli di berbagai lapangan administrasi,

militer, kesehatan, perindustrian, dan lainnya. Selain itu, melalui lembaga pendidikan

Muhammad Abduh juga merasa perlu memasukkan beberapa materi, khusunya pendidikan

agama Islam, serta bagaimana sejarah dan kebudayaanya.9

Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran

agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak

memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Dengan demikian,

dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan

yang pokok, yaitu fiqih, sejarah Islam, akhlaq, dan bahasa.

Adapun dalam bidang nonformal, Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan.

Dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama

dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Di luar pendidikan formal pun Muhammad

Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari

Barat. Di samping itu, Abduh juga sangat menganjurkan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu

modern.

C. Analisis Pemikiran Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah salah seorang murid Jamaludin Al-Afghani yang cerdas,

Abduh melakukan konsep dunia Islam dengan cara menyadarkan dan membangkitkan

semangat berpikir masyarakat Islam melalui pendidikan dengan mengobarkan semangat


9
Ibid., hlm. 48.

11
ijtihad, sehingga dengan kerja kerasnya dia mampu meraih apa yang diharapkan meskipun

banyak tantangan yang dihadapinya.

Terkait dengan pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaharuan pendidikan Islam

di Mesir, banyak membuat perubahan dari segi intelektual dan kejiwaan pada masyarakat

Mesir, umumnya umat Islam saat itu, sehingga sedikit demi sedikit mampu mempersempit

jurang kebodohan dan menghalangi peluang masuknya budaya Barat yang merusak ajaran

agama Islam.

12
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Jadi, demikianlah tentang pengajaran yang dibawa Muhammad Abduh terkait dengan

pemikirannya. Perjuangan beliau sangat panjang, dimulai dari keluarga yang tidak mampu

dan akhirnya menjadi orang besar. Insiatif beliau sangat luar biasa dalam pembaharuan yang

dilakukannya. Dalam mengembangkan pemikirannya, muhammad abduh mengambil

beberapa asapek, yaitu mendirikan reformasi pendidikan, mendirikan lembagaa sosial,

mendirikan sekolah-sekolah pemikiran dan lainnya, sehingga banyak memberi perubahan

yang pesat pada umat Islam saat itu.

13
DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Arbiyyah, Pemikiran Muhammadiyyah dan Muhammad Abduh, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1993).

Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006).

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas

Indonesia, 1987).

Ali, A. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995).

Mdjid, Nurchalish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh

Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005).

14
MAKALAH

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH DALAM


PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI MESIR

Oleh kelompok III (IID):

Nama NIM
Nurlina Safitri 15.1.11.1.128
Siti Ramlah 15.1.11.1.131
Hudzaifatul Mar’i 15.1.11.1.146

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

MATARAM

2011/2012

15
Kata Pengantar

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sang Pencipta alam
semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
tema “Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pembaharuan Pendidikan Islam di
Mesir” yang sederhana ini tidak kurang daripada waktunya.
Tidak lupa juga kita haturkan shalawat dan salam kepada panutan kita, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kepada orang-orang yang berjuang bersama beliau, semoga
mendapat ridha Allah SWT.
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, serta merupakan
bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Bapak dosen selaku dosen mata kuliah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, serta semua
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Demikian kata pengantar yang dapat penulis sampaikan, di mana penulis pun sadar
bahwasanya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza wa Jalla, sehingga dalam
penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa di balik ketidak sempurnaan penulisan dan
penyusunan makalah ini, ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan
hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa/i IAIN Mataram. Amien ya
Rabbal ‘Alamin.

Mataram, April 2012

Penulis

i
16
DAFTAR ISI

Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Pembahasan
A. Biografi Muhammad Abduh
B. Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam di Mesir
C. Analisis Pemikiran Muhammad Abduh
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka

ii
17

Anda mungkin juga menyukai