1
Amin Abdullah dan Sharon Shiddique (Ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta :
LP3ES,1989), hlm. 9.
2
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.120.
3
Harun Nasution mengartikan "modernisasi" sebagai pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah faham-
faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-
pada prinsip-prinsip mendasar, muamalah, dapat dilakukan interpretasi baru dengan cara “selektif”
mengambil atau bahkan meniru Barat, yang dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
organisasi mengungguli Umat Islam di masa itu. Untuk kepentingan itulah nampaknya Abduh
menyeruhka perlunya ijtihad, dan sekaligus menyatakan perang dengan taklid.
1. Mengenal Sosok dan Biografi Muhammad Abduh
Charles C. Adams, sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis,4 membagi masa hidup Muhammad
Abduh menjadi tiga periode, yaitu periode petumbuhan, pemunculan di depan publik dan periode
puncak karir.Untuk mempermudah perjalanan karir Muhammad Abduh, maka dalam makalah ini
pelunis mempergunakan teori perioderasi tersebut.
pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Saiful Mujani
(Ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995) , hlm. 181.
4
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, hlm. 121
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa sebelum tampil sebagai pembaharu, diri Abduh
telah diperkaya dengan berbagai khazanah keilmuan, bukan saja ilmu agama, melainkan juga ilmu-
ilmu lain yang diperoleh di luar al-Azhar. Hal itu tentu memberikan peran penting untuk
mengantarkan diri Abduh tampil di muka publik sebagai pembaharu ulung. Di samping itu, pada
periode ini, Abduh juga menyaksikan berbagai persoalan, utamanya bidang pendidikan, yang
menurutnya perlu diperbaiki. Hanya saja, sikap kritisme Abduh pada masa ini masih nampak
belum matang dan cenderung emosional. Hal itu, antara lain, nampak dalam respon-respon yang
ia kedepankan. Sungguh pun demikian, semua itu telah memberikan andil besar buat Abduh ketika
tampil sebagai pembaharu.
5
Istilah ini dikemukakan ole Fazlur Rahman, dalam pengertian sebagai proyeksi pengadopsian modernisme Barat
kepada masyarakat non-Barat. Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor Book, 1968), hlm. 327.
6
Rahman, Islam, hlm. 328.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syams al-Din
al-Qalamuny. Ia dilahirkan di Qalmun, suatu perkampungan sekitar 4 km dari Tripoli (Libya),
pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H./1865 M. Secara genetis, ia memiliki garis keturunan sampai
dengan Rasulullah melalui Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad SAW.
Oleh karena itu, di depan namanya ditambah gelar “sayyid” yang menunjukkan bahwa ia
merupakan orang yang berdarah bangsawan Arab. 7
Pendidikannya dimulai dari Madrasah tradisional yang ada di desanya, yang ketika itu
dinamai al-Kuttab. Di sanalah ia mulai diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan dasar-dasar
berhitung, disamping pendidikan yang diberikan orang tuanya. Setelah tamat, ia dikirim oleh orang
tuanya ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Di sana ia belajar nahwu, akidah, sharf,
fiqh, berhitung dan geografi. Di madrasah ini, bahasa pengantar yang dipakai adalah Bahasa Turki,
karena pada saat itu Libanon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. 8
Namun demikian, Rasyid Ridha tidak begitu tertarik untuk meneruskan studynya di
madrasag tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka yang berlajar di madrasah tersebut akan di
persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena Rasyid Ridha tidak tertarik untuk
menjadi pegawai negeri, maka setahun kemudian (1299 H./ 1882 M.), ia pindah ke sekolah Islam
Negeri (Madrasah al-Wathaniyah al-Islami) di Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah terbaik
yang ada pada saat itu, yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh Syeikh Husein al-Jisr, seorang
alim yang pemikiran-pemikiran keagamaannya (Islam) telah dipengaruhi oleh perkembangan ide-
ide modern. Gurunya inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap corak
perkembangan pemikirannya. Meskipun ketika sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki,
hubungan antara keduanya tak pernah putus. Pada tahun 1314 H/1897 M., Al-Jisr memberikan
ijazah kepada Rasyid Ridha dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. 9
7
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam (Jakarta : Dep. Agama RI, 1988), hlm. 992.
8
M. Quraih Shibab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 60.
9
Ibrahim Ahmad al-‘Adawiy, Rasyid Ridha : al-Imam al-Mujahid (Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964), hlm. 21.
ukhrawi semata-mata, akan tetapi juga sebagai agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan
duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya
dengan sungguh-sungguh dan komprehensif.10
Semenjak itu, ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istanbul. Akan
tetapi niatnya itu tak terwujud. Sewaktu Abduh berada dalam pembuangan di Beirut pada tahun
1885 M., ia mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengan murid al-Afghani
itu.11 Pertemuan dan dialognya dengan Abduh sangat berkesan baginya. Rasyid Ridha juga sempat
berdiskusi dengan Abduh seputar kitab tafsir yang cukup representatif waktu itum yaitu tafsir al-
Kasysyaf karya al-Zamakhsyari.12
Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H./1894 M. juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha
menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan baginya untuk menanyakan segala
sesuatu yang masih kabur baginya. Selama lima tahun dari pertemuan kedua, baru kemudian pad
23 Rajab 1315 H./ 18 Januari 1898 terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Hijrahnya Rasyid
Ridha ke Mesir ini disebabkan karena ia mendapat kecaman dan intimidasi dari pihak pemerintah
Turki Usmani lantaran ia mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan di negerinya (Syuriah). 13
Di Mesir, Rasyid Ridha kemudian menjadi murid dan pengikut abduh, dalam usaha
melaksanakan ide pembaharuannya. Langkah pertama dalam merealisasikan ide-idenya itu,
Rasyid Ridha mengemukakan rencananya --kepada Abduh-- untuk menerbitkan surat kabar yang
berupaya mengangkat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Semula, rencana tersebut
ditolak oleh Abduh, dengan alasan terlalu banyak media massa yang terbit dan mengangkat topik-
topik tersebut. Namun berkat tekadnya yang gigih dan argumentasinya yang cukup rasional,
akhirnya Abduh merestui penerbitan majalah tersebut dengan nama al-Manar, dari sekian banyak
nama yang diusulkan Rasyid Ridha. 14
Majalah al-Manar terbit pertama kali pada tanggal 22 Syawal 1315 H./ 17 Maret 1898 M. ia
berupa majalah mingguan yang berisi sebanyak delapan halaman. Ternyata perkembangan majalah
yang diterbitkan Rasyid Ridha bersama gurunya ini mendapat sambuan hangat oleh pembaca.
Bukan saja di Mesir atau negara-negara Arab sekitarnya, akan tetapi juga masyarakat Eropa,
bahkan sampai masyarakat Indonesia.
Sebagaimana majalah al-Urwah al-Wutsqa, al-Manar juga berfungsi sebagai media
penyebaran ide-ide pembaharuan, yang meliputi bidang agama, sosial, ekonomi, pemberantasan
takhyul, khurafat serta bid’ah yang telah masuk ke dalam Islam ; menghilangkan faham-faham
fatalis (jabariah, determinism) serta ajaran-ajaran atau praktik tarekat dan tasawuf yang salah,
10
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha, hlm. 88.
11
Nasution, Pembaharuan, hlm. 70.
12
Shibab, Studi Kritis, hlm. 64.
13
Tim penulis, Ensiklopedi Islam. Lihat juga Nasution, Pembaharuan.
14
Shihab, Studi Kritis.
meningkatkan mutu pendidikan, 15 dan membela umat Islam dari permainan politik penjajah. 16 Di
bidang pendidikan, menurutnya perlu ditambahkan beberapa pelajaran umum --selain pelajaran
agama-- dalam kurikulum pendidikan, yaitu seperti bidang studi teologi, pendidikan moral,
sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa asing, dan ilmu
keterampilan keluarga. Di bidang keagamaan, ia melihat perlunya penafsiran tafsir modern dari
al-Qur’an. Dari idenya inilah, akhirnya Abduh mengarang tafsir al-Qur’an, oleh Rasyid Ridha
dibukukan dan dinamakan Tafsir Al-Manar.
Selain sebagai seorang jurnalist, Rasyid Ridha juga ternyata seorang penulis karya ilmiah
yang cukup profesional dan produktif. Di antara karya-karyanya adalah: Tarikh al-Ustadz al-
Imam al-Syeikh ‘Abduh, Nida’ li al-Jins al-Lathif, Al-Wahyu al-Muhammadi, Yusr al-Islam wa
Ushul al-Yasri’ al-‘Am, Al-Khilafat, Al-Wahabiyyah wa al-Hijaz, Muhawwarat al-Muslih wa al-
Muqallid, Zikra al-Maulid al-Nabawi, Syuhbaht al-Nashara wa Hujaj al-Islam, Al-Azhar al-
Manar, Al-Hikmah al-Syariah fi Muhakamat al-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, Risalat al-Hujaj al-
Islam al-Ghazali, Al-Sunnah wa al-Syi’ah, Al-Wahdah al-Islamiyah, Haqiqah al-Riba, danTafsir
al-Manar.17
Rasyid Ridha --setelah dalam waktu yang cukup panjang melontarkan ide-ide
pembaharuannya-- wafat pada tanggal 13 Jumadil Ula 1353 H./22 Agustus 1935 M. akibat
kecelakaan mobil, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Sa’ud al-Feisal ke kapal Suez. 18
Dengan ide-ide yang ditinggalkannya, sedikit banyak telah mampu menggugah kesadaran
dinamika intelektual umat Islam. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika namanya dikelompokkan pada
deretan pelopor pembaruan dunia Islam.
15
Nasution, Pembaharuan, hlm. 71.
16
M. Ridwan Lubis dan Mhd. Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam (Medan: Pustaka Widyasarana,
1993), hlm. 59.
17
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, hlm. 993.
18
Shibab, Studi Kritis, hlm. 66. Lihat juga Nasution, Pembaharuan, hlm. 72.
19
Albert Hourani, Arabic Thougt in The Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), hlm.
228.
yang sama, yaitu konsep salafiah. 20
Apa yang dikembangkan oleh “Tiga Serangkai” di atas, menurut Munawir Syadzali,
merupakan bentuk aliran salafiah baru (neo-salafi), yang terdiri dari tiga komponen pemikiran,
yaitu: pertama, keyakinan bahwa keagungan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud bila umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang Murni. Umat harus meneladani pola
kehidupan para sahabat nabi, khususnya khulafa al-rasyidin. Kedua, melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme dan dominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Ketiga,
pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang keilmuan dan teknologi. Oleh karena itu, umat
Islam harus belajar dari barat dalam kedua bidang tersebut, yang pada hakekatnya hanya
mengambil kembali “barang titipan” yang dahulu disumbangkan dunia Islam kepada barat.
Kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi barat itu untuk membangun
kembali kejayaan peradaban dunia Islam. 21
Bila referensi di atas dikembangkan, maka secara garis besar, reformasi dan modernisasi
yang ditawarkan dan dikembangkan Rasyid Ridha, dapat dikelompokkan pada tiga bidang, yaitu :
pertama, reformasi bidang agama. Pada bidang ini, sebagaimana yang dijelaskan di atas,
merupakan ciri khas aliran Salafiah, yang ingin mengembalikan umat Islam kepada dinamika
ajaran Islam yang murni sebagaimana yang terdahulu dipraktikkan oleh generasi pertama. 22
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam menjadi mundur karena tidak lagi melaksanakan ajaran Islam
yang sebenarnya. Umat Islam --waktu itu-- telah memahami ajaran Islam dengan keliru.
Perbuatan-perbuatan umat telah banyak yang menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenarnya. 23
Ajaran Islam telah banyak ,masuk dan bercampur dengan bid’ah yang merugikan dinamika
perkembangan dan kemajuan umat Islam. Di antara bid’ah yang dilihat Ridha adalah tentang
pendapat bahwa dalam ajaran Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya
memperoleh suatu kekuatan. Dengan kekuatan itu, pemiliknya (orang yang mengamalkan) akan
memperoleh segala yang dikehendakinya. 24 Contoh bid’ah yang lain adalah ajaran para syekh
tarekat yang menanamkan ajaran tentang keutamaan kehidupan akherat dan mengecam kehidupan
dunia, pengertian tawakkal yang misinterpretasi sebagai bentuk sikap fatalis, dan terlalu memuja
dan patuh secara berlebihan kepada eksistensi seorang syekh atau wali,25 bahkan terkesan
“mentuhankannya”.
Munculnya bid’ah, khurafat, maupun pemujaan kepada wali atau syekh tarekat itu, jika
20
Yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali
kepada ajaran Islam yang murni, seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama, yang disebut salaf (pendahulu).
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 831-832
21
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990), hlm. 124-
125.
22
Uraian lebih lanjut mengenai persoalan ini dapat dibaca Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta :
Paramadina, 1992), hlm. 374-387.
23
Nasution, Pembaharuan.
24
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha,hlm. 154.
25
Nasution, Pembaharuan, hlm. 73.
ditelusuri, berawal sejak kehancuran dinasti-dinasti Islam oleh sebuah Mongol (1258 M.), yang
berlanjut dengan masa kemunduran umat Islam di berbagai bidang. Meskipun disadari, bahwa
secara fisik, Islam dapat dihancurkan, namun secara spiritual, Islam masih tetap mengakar. Akan
tetapi eksistensi spiritual Islam waktu itu dalam versi yang lain, yaitu aktivitas esoterik.
Selanjutnya, dalam waktu yang panjang, perilaku esoterik ini --sebahagian-- memunculkan bid’ah,
khurafat dan pengkultusan individu Syekh. Akibatnya, peran akal dikesampingkan 26 sementara
dipihak lain, semakin mekar dan semaraknya faham fatalis, sebagai konsekwensi dari sikap
tawakkal berlebihan yang terlepas dari bingkai ajaran agama yang hanif.
Melihat fenomena semacam ini, Rasyid Ridha berupaya untuk meluruskan kembali sikap
umat yang jelas-jelas telah tergelincir jauh dari rule of system ajaran Islam yang sebenarnya. Ridha
memandang, sikap inilah yang telah menjadi penyebab kemunduran dan kejumudan umat Islam,
sehingga tertinggal jauh di belakang bangsa Eropa.27 Untuk itu, Ridha berupaya untuk meletakkan
akal pada kedudukan yang tinggi. Ia menekankan perlunya umat Islam untuk mengembangkan
dinamika pemikiran ingtelektual mereka. Namun demikian, Ridha menempatkan kedudukan akal
manusia (umat Islam) dalam mempelajari peradaban barat, hanyalah dipergunakan kepada hal-hal
yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, bnukan masalah ibadah yang sudah jelas
ketentuannya dalam al-Qur’an dan Hadis. Kedudukan akal dalam melakukan ijtihad hanya
dipergunakan apabila menyangkut masalah sosial kemasayarakatan (modern), serta segala sesuatu
yang tidak ada penjelasannya atau penjelasan-penjelasan yang bersifat global dalam al-Qur’an dan
Hadis.28
Dalam versi lain, Ridha melarang umat Islam terkait dengan pendapat-pendapat ulama-
ulama yang terdahulu yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Untuk itu umat
harus memiliki ghirah ijtihad yang dinamis dan adaptik. Untuk itu Ridha memberikan rambu-
rambu bagi umat dalam melakukan ijtihadnya, yaitu: 1) masalah Ibadat dengan Tuhan. Bila telah
ditunjuk oleh nash yang qath’i atau hadis yang mutawatir, maka kedudukan akal mengikuti nash
tersebut. Tetapi jika nash tersebut masih bersifat zhanni, akal dapat memainkan peranannya
sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam; 2) masalah muamalat, Ridha
melihat perlu adanya kesatuan mazhab, atau setidaknya toleransi mazhab. Ia melihat, perpecahan
kesatuan umat dan kebekukan intelektual umat, salah satu penyebabnya adalah fanatik mazhab
yang berlebihan.29
Bila dilihat dari pandangannya ini, Ridha nampaknya telah memberikan konsep yang jelas
bila dibandingkan konsep yang ditawarkan Muhammad ibn Abd al-Wahab, yang sama-sama
26
Simuh “Tradisi Tasawuf dan Inovasi Keislaman di Indonesia”, dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini,
Dan Esok (Jakarta : Yayasan Festifal Istiqlal, 1993), hlm. 333.
27
Simuh “Tradisi Tasawuf”, hlm. 74.
28
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2 (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 101.
29
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.
162-163.
menekankan agar umat kembali memurnikan ajaran agama. Ia juga memberikan kemerdekaan
bermazhab bagi umat Islam, meskipun ia sendiri merupakan pengikut mazhab Ibn Hambal yang
kental.
Kedua, reformasi bidang pendidikan. Ide-ide pembaharuannya dalam bidang ini cenderung
mengikuti ide-ide gurunya (Abduh). Menurutnya, umat Islam dapat maju dan menyongsong
ketertinggalannya dengan cara menguasai bidang pendidikan. Untuk itu Ridha menghimbau dan
mendorong untuk menggunakan kekayaannya guna pembangunan sarana dan prasarana yang
menunjang pelaksanaan pendidikan Islam yang dimaksud. Ia bahkan lebih menekankan
keutamaan pembangunan sekolah daripada membangun masjid. 30
Alasan di atas agaknya cukup rasional dikemukakan Ridha, karena melihat tuntutan waktu
itu yang cukup besar bagi keberadaan lembaga pendidikan. Dengan lembaga pendidikan, umat
akan terbangun dengan tidurnya dan menyadari akan ketertinggalannya selama inim sehingga akan
memotivasi bagi tumbuhnya dinamika intelektual umum secara aktif dalam membangun dan
memajukan peradaban dunia Islam.
Dalam mengaktualkan ide-idenya, Ridha melihat umat Islam harus melihat dan mencontoh
peradaban Eropa yang sudah maju sebagai modal untuk nanti dianalisa dan warnai dengan ruh dan
moral Islam. Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi --yang dikembangkan barat secara
epiistemologi-- tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Islam dengan ajarannya yang
universal sangat mendorong umatnya untuk mengembangkan dan menguasai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selama ini, menurut Ridha, umat tidak memiliki ketertarikan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan dikuasainya ilmu dan teknologi, umat akan memiliki
kemampuan --yang dibalut moral dan nilai-nilai religi-- yang dapat diandalkan sebagai modal
utama mengembangkan peradaban dunia Islam. 31 Untuk menumbuhkan semangat tersebut, Ridha
menyerukan adanya konsep (terma) jihad, dalam pengertian umum sebagai pendorong timbulnya
ghirah umat untuk berlomba-lomba mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern,32 yang kini tlah dikuasai barat.
Alasan Ridha di atas dalam memotivasi umat Islam mencontoh dan mengambil sistem
pendidikan barat, cukup valid dan strategis. Sebab, menurut pandangan Ridha, sistem pendidikan
yang selama ini berlaku di dunia Islam, hanya menekankan kepada kajian ilmu agama Islam an-
sich yang tidak memberikan penekanan pada pengkajian ilmu-ilmu keduniaan kontemporer.
Akibatnya, mahasiswa atau ulama Islam tidak banyak yang tau apa yang tengah terjadi di dunia
lain (barat) dengan revolusi teknologinya. Untuk itu, ia memandang perlu untuk mengkaji ulang
eksistensi muatan kurikulum yang berlaku, dengan menambahkan muatan materi pelajaran umum
seperti yang dikembangkan barat di lembaga pendidikan Islam, di samping tetap mempertahankan
30
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hlm. 163.
31
Hourani, Arabic Thougt, hlm.229.
32
Hourani, Arabic Thougt, hlm.229.
eksistensi ilmu-ilmu agama Isllam seperti liaknya yang diajarkan di madrasah tradisional. 33
Dengan perpaduan ini akan memungkinkan untuk terciptanya ilmuan Muslim yang mampu untuk
berkompetisi dalam mengembangkan peradaban Islam.
Untuk merealisasikan ide dan cita-citanya ini, pada tahun 1912, Ridha mendirikan sebuah
lembaga pendidikan yang bernama Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Lembaga ini berupaya
mengharmoniskan ilmu dan agama, sehingga para tamatannya akan memiliki wawasan keilmuan
umum dan keislaman secara luas. Lembaga ini memilih pelajarnya yang terbaik untuk dikirim ke
luar jazirah arab guna mengembangkan ide-idenya, terutama ke Indonesia dan Cina. Bahkan dalam
penerimaan pelajar yangg ingin sekolah di lembaga pendidikannya, lebih diutamakan mereka yang
berasal dari Indonesia, Cina, dan daerah-daerah lainnya.34
Penyaringan yang ia lakukan dengan mengutamakan pelajar dari luar jazirah arab kemudian
mengirimnya kembali ke daerah –daerah, di satu sisi terkesan bersifat kurang universal. Padahal
lembaga pendidikan merupakan sarana yang tidak mengenal pengklasifikasian peserta didik pada
kotak-kotak tertentu. Tapi, pada hakekatnya, disisi lain, kebijaksanaannya ini mengandung nilai
politis tersendiri. Bukan mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dan merugikan
kelompokkan yang lain, akan tetapi sebagai upaya untuk “membumikan” ide-idenya di seluruh
dunia Islam. Dengan pesan-pesan idenya lewat perantara para pelajar tersebut, dimaksudkan agar
umat termotivasi dan tumbuh semangatnya untuk bangkit dari ketertinggalannnya selama ini. Di
sisi lain, dengan semangat yang dilontarkan lewat ide-idenya berupaya untuk menumbuhkan
semangat nasional-keagamaan umat Islam seluruh Islam dunia untuk bersatu dalam misi dan visi
Islam, sehingga umat tidak terbelenggu dan terkotak yang mudah dihancurkan oleh umat yang lain
(barat). Melihat idenya ini, merupakan langkah yang cukup briliyan dan strategis yang dilakukan
Rayid Ridha sebagai kelanjutan dari ide-ide pembaharuannya.
Ketiga, reformasi bidang politik. Dalam bidang ini, --sebagaimana mana al-Afghani dan
Abduh-- Ridha melihat, keterbelakangan umat Islam tidak lain disebutkan karena umat tidak lagi
menghidupkan manusia ijtihad dan persatuan umat. Umat Islam tekotak-kotak pada beberapa
bagian, yang antara bagian yang satu dengan yang lain saling mencurigai. 35 Untuk menghindari
hal yang demikian, Ridha menekankan pentingnya membangun kembali ukhuwwah Islamiyyah
(kesatuan, persaudaraan Islam), sebagai wahana pemersatu umat Islam, yaitu atas dasar satu
keyakinan yang sama, bukan atas dasar bahasa dan negara. Umat Islam harus bersatu di bawah
satu keyakinan, di sistem moralm sistem pendidikan, dan sistem hukum dan perundang-undangan,
tanpa dibatasi oleh batas teritorial suatu negara. 36
Kesatuan misi dan visi dalam Islam di atas, tidak akan dapat tercapai bila tanpa ada kesatuan
pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun bentuk pemerintahan yang menjadi model
33
Nasution, Pembaharuan, hlm. 71.
34
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha, hlm. 184-185.
35
Tim Penyusun,Ensiklopedi Islam, hlm. 163.
36
Nasution, Pembaharuan, hlm. 74. Lihat juga, Lubis dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan.
dari ide Ridha adalah pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan (khilafah), seperti yang
dipraktikkan oleh Nabi dan Khulafa al-Rasyidin. Untuk itu, jabatan khalifah harus dipegang oleh
seorang mujtahid dan tidak bersifat absolut atau bersifat monarchi. Khalifah merupakan pemimpin
pemerintahan bagi seluruh umat. Ia merupakan pengembang “amanat” Nabi dan Khulafa al-
Rasyidin dalam memelihara kehidupan umat, baik itu kehidupan dunia, maupun akhirat (agama). 37
Oleh karenanya, jabatan khalifah adalah merupakan kewajiban Syar’iah, sebab, eksistensi khalifah
sangat penting dalam menegakkan dan menerapkan hukum-hukum syari’at Islam yang
memungkinkan untuk membangkitkan kembali semangat keagamaan dan dinamika kebudayaan
umat seperti pada masa kejayaan Islam pada periode awal. Sebab, Islam adalah merupakan agama
untuk kedaulatan, politik, dan pemerintahan, yang bertujuan membawa umatnya berkebudayaan
tinggi sebagai upaya pelaksanaan amanat yang diberikan Allah kepadanya, yaitu sebagai ‘abd dan
khalifah fi al-ardh.38
Agar khalifah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin umat, seperti yang dilakukan
oleh sistem kekhalifahan pada periode awal, dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka
dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia dibantu oleh para ulama --yang terdiri dari ulama
dan pemuka masyarakat-- yang bertugas mengawasi dan memberikan sarann-saran kepada
khalifah dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Dewan ini (ahl al-hall wa al-’aqd)
berfungsi untuk mengawasi tindakan-tindakan khalifah yang dianggap menyalahi nash sehingga
dengan segera dapat dihindari.39
Dengan perpaduan dan kerjasama antara khalifah dan ulama --yang terhimpun dalam majlis
syura-- akan sangat membantu khalifah dan keadilan, memelihara agama, demokrasi, dapat
terwujudkan. Bila ini terjalin, akan berdampak sangat positif dalam menyelamatkan umat dari
keterbelakangan dan penindasan, sehingga akan mampu membangun kembali peradaban Islam
yang telah hilang.40
Untuk merealisasikan ide-idenya tentang politik yang berupaya menyatukan umat pada satu
sistem pemerintahan, ia mencoba menyebarkannya lewat media tulisan (majalah al-Manar). Lewat
majalah al-Manar, ia menulis dan memuat karangan-karangannya yang bernuansa menentang
pemerintahan absolut yang dipraktikkan kerajaan Turki Usmani. Namun di sisi lain, tulisan-
tulisannya juga menentang politik Inggris dan Prancis yang berupaya memecahbelahkan dunia
arab, yang kemudian membagi dunia arab di bawah kekuasaan koloni mereka. Bila ini terjadi,
menurut pandangan Ridha, akan mengancam eksistensi dunia Islam sendiri, sekaligus akan
menempatkan Islam di bawah hegemoni barat. Untuk mengantisipasi agar kondisi ini tidak terjadi,
Ridha berupaya menggagalkan rencana politik Inggris dan Prancis, dengan cara melakukan
kunjungan ke beberapa negara Arab untuk menjelaskan bahaya politik bila Arab mau bekerjasama
37
Rasyid Ridha, al-Khilafat aw al-Imamat al-‘Uzhmat, (Kairo: Al-Manar, tt.), hlm. 10.
38
Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi (Mesir: Mathba’at al-Qahirat, 1960), hlm. 239.
39
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam.
40
Hourani, Arabic Thought, hlm. 234.
dengan Prancis dan Inggris untuk menjatuhkan Kerajaan Turki Usmani, 41 sebab antara Arab dan
Turki Usmani merupakan saudara terikat oleh benang akidah islamiyah.
Mengikuti alur pemikirannya di atas, sekilas terkesan agak kontradiktif. Sebab, di satu sisi,
ia menentang sistem politik Turki Usmani yang otoriter, namun di sisi lain, Ridha berupaya mati-
matian untuk menggagalkan aliansi negara-negara Arab dengan Inggris dan Pranci, yang berusaha
merebut dan menggulingkan kekuasaan Turki Usmani. Sesungguhnya, penentangannya terhadap
politik Turki Usmani itu lantaran citra kekhalifahannya yang telah memudar, bahkan berubah
menjadi absolut. Absolutisme inilah yang ditentang oleh Ridha, bukan eksistensi Turki
Usmaninya, yang memiliki warna keyakinan yang sama, yaitu aqidah Islamiyah.
Bila melihat dari ide-ide yang dikemukakan Ridha di atas, menurut penilaian Ira M. Lapidus,
Ridha merupakan seorang pemikir agamis konservatif, 42 sebab ide-idenya tersebut terkesan
bersifat untuk melakukan pemurnian ajaran keagamaan, sebagaimana yang telah “diselewengkan”
oleh umat Islam waktu itu. Bahkan, menurut Henry Muncon, Jr., Ridha, dibanding Abduh
(gurunya), tak lebih merupakan seorang penengah polemik daripada seorang pemimpin politik. 43
Ia masih terikat kepada pendapat-pendapat ulama abad pertengahan, padahal ia telah berhadapan
dengan zaman modern dan menyaksikan kelemahan sistem khilafah yang dihapus oleh Mustafa
Kemal Attaturk. Di sini terlihat Ridha tidak memunculkan pemikiran-pemikiran yang orisinil.
Tampaknya ia hanya berupaya mempertahankan pemikiran-pemikiran yang telah ada dan dinilai
mampu mengangkat peradaban dunia Islam. Pandangan ini secara jelas juga diungkapkan William
L. Cleveland, yang mengatakan bahwa ide-ide Ridha terlihat cenderung bersifat mempertahankan
tradisionalitas ketimbang sebagai seorang pembaharu.44
41
Nasution, Pembaharuan, hlm. 72.
42
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York : Cambridge University Press, 1988), hlm. 666.
43
Henry Munson, Jr., Islam and Revolution in The Midle East (New Heaven and London : Yale University Press,
1988), hlm. 76.
44
William L. Cleveland, A History of The Modern Middle East (Colorado: Westview Press Inc., 1994), hlm. 220.
45
Rahman, Islam.
46
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam. Terj. Mahnun Husen (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 62-63.
Sementara di Aljazair, ide-ide Rasyid Ridha diterima dan disebarkan oleh kelompok yang
dinamakan diri “Perhimpunan Ulama Aljazair”, yang menunjukan ide-ide Ridha untuk melawan
kelompok Murabitah dan tarekat-tarekat sufi, di bawah pimpinan Abdul Hamid bin Badis (1889-
1940).47 Kelompok-kelompok lain yang serupa, yang juga mengembangkan ide-ide Ridha juga
terdapat di Marokko, dengan tujuan utama untuk melepaskan diri dari kolonialisme Prancis dan
Spanyol.48 Pengaruh ide-ide Ridha tampak jelas menjadi stimuli dan faktor penting dalam konteks
munculnya gerakan-gerakan modernis yang bertujuan ganda, baik sebagai pemurnian ajaran Islam
maupun reaksi untuk mengusir penjajah dari nusantara. Gerakan-gerakan tersebut dapat dilihat,
seperti munculnya gerakan Muhammadiyah, 49 Persatuan Islam (Persis),50 al-Irsyad,51 dan gerakan-
gerakan kepemudaan lainnya.
Gerakan-gerakan ini dimulai ketika para pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Tanah
Suci dan Mesir, sehingga selain mereka bisa merasakan sendiri secara langsung pengaruh ide
pembaharuan “neo-Salafi” nya Ridha, mereka juga berhasil menyelundupkan majalah al-Manar
ke tanah air, sehingga dapat dipelajari oleh pemuda-pemuda Islam di seluruh persada nusantara. 52
Dengan semangat yang diperkenalkan Ridha lewat majalah al-manar, telah mampu menyadarkan
dan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan banagsa. Menggugah dinamika intelektual
dan politik bangsa, untuk melawan kolonialisme di tanah air. Ini akhirnya terbukti --tanpa
menafikan faktor lain-- dengan di proklamirkannya kemerdekaan Indonesia.
47
Gibb, Aliran-Aliran Modern, hlm. 63-64.
48
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hlm. 164.
49
Uraian mengenai kelahiran Muhammadiyah beserta aktivitasnya lebih lanjut lihat M. Yusron Asrofi, K.H.A. Dahlan
: Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta : Offset Yogyakarta, 1983). Lihat juga Jammes L. Peacock, Purifying
the Faith : The Muhammadiyah Movement in Indonesia (California : The Benjamins/Cumming Publishing Company,
1978).
50
Howard M. Fiderspield, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentienth Century Indonesia (New York: Cornel
University, 1970), baca juga Syafiq A. Mughni, A. Hasan Bandung : Pemikir Islam Radikal (Surabaya: Bina Ilmu,
1980).
51
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1982).
52
Mukti Ali, Modern Islamic Thought in Indonesia (Yogyakarta : Yayasan NIDA, 1972), hlm. 31.