Anda di halaman 1dari 21

B.

Muhammad Abduh dan Pembaharuan Islam


Kemunculan serorang pembaharu Muslim dengan sejumlah ide ide pembaharuannya
senantiasa dilatari oleh situasi dan kondisi tertentu yang menentangnya. Kondisi yang dimaksud,
secara umjum merupakan kondisi yang dianggap dekaden dan timpang dalam dunia Islam, baik
karena faktor internal maupun eksternal. Jika demikian, hakekat ide-ide pembaharuan itu
merupakan suatu respon pembaharu terhadap tantangan tersebut. Dalam hal ini, sebagai
dinyatakan Chandra Muzaffar,1 semua pembaharu memiliki esensi tujuan yang sama, yaitu
memperbaiki atau mengembalikan umat Islam kepada kemajuan. Jika ada perbedaan hanyalah
dalam hal-hal instrumental sifatnya, misalnya dalam hal pendekatan atau titik tekan pembaharuan.
Dalam konteks ini, tantangan yang menjadi motivasi para perintis awal atau para pelopor
pembaharu di Mesir, termasuk Abduh, sangat kompleks sifatnya. Secara internal, kompleksitas
tantangan itu mewujudkan ke dalam bentuk kebodohan dan kemunduran bangsa Mesir, yang
menurut pandangan Volney2-- orang Prancis yang mengunjungi Mesir di akhir abad ke-8-- hampir
pada semua bidang dan lapisan sosial; tradisi kejumudan, disintegrasi politik, kondisi
perekonomian yang semakin memburuk serta kemrosotan spiritualitas dan moralitas masyarakat,
utamanya dikalangan elit penguasa. Kondisi internal semacam itu, kemudian diperparah oleh
adanya rongrongan Barat yang berujung pada penetrasi dan dominasi politiknya terhadap dunia
Islam, termasuk Mesir.
Kompleksitas tantangan tersebt selanjutnya sangat mempengaruhi kompleksitas ide-ide
pembaharuan Abduh. Berkaitan dengan hal-ini, ide-ide pembaharuan Abduh memiliki cukupan
dan sasaran yang sangat kompleks, misalnya dalam bidang politik, teologi, dan huku, meskipun
pada akhirnhya nampaknya Abduh lebih menekankan pada bidanh pendidikan, ddengan
pendekatan evolusi (tidak radikal).
Seperti tokoh puritan dan reformis lain, Abduh nampaknhya juga berasumsi bahwa
kemunduran umat Islam itu di karenakan ia meninggalkan ajarannya yang murni (asli). Bermula
dari sikap taklid, mereka hanya berpegang pada hasil pemikiran ulama' terdahulu, yang dalam
beberapa segi bertentangan dengan ajaran Islam secara diametral. Oleh sebab itu, agar umat Islam
maju -- kata Abduh – mereka harus memulihkan vitalitasnya dengan kembali kepada ajaran Islam
yang murni, Islam yang diajarkan Nabi kemudian diamaklkan dan dihayati para salaf yang shalih.
Sungguh pun demikian, purifikasi semata –menurut Abduh-- belumlah cukup untuk
membawa umat Islam ke puncak kemajuan. Karena perbedaan tuntutan dan kondisi sekarang
dengan abad pertama hijrah, maka purifikasi itu haruslah diikuti oleh -- meminjam istilah Harun
Nasution-modernisasi.3 Dalam konteks ini, terhadap aspek ajaran Islam yang tidak menyentuh

1
Amin Abdullah dan Sharon Shiddique (Ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara (Jakarta :
LP3ES,1989), hlm. 9.
2
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm.120.
3
Harun Nasution mengartikan "modernisasi" sebagai pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah faham-
faham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-
pada prinsip-prinsip mendasar, muamalah, dapat dilakukan interpretasi baru dengan cara “selektif”
mengambil atau bahkan meniru Barat, yang dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
organisasi mengungguli Umat Islam di masa itu. Untuk kepentingan itulah nampaknya Abduh
menyeruhka perlunya ijtihad, dan sekaligus menyatakan perang dengan taklid.
1. Mengenal Sosok dan Biografi Muhammad Abduh
Charles C. Adams, sebagaimana dikutip Arbiyah Lubis,4 membagi masa hidup Muhammad
Abduh menjadi tiga periode, yaitu periode petumbuhan, pemunculan di depan publik dan periode
puncak karir.Untuk mempermudah perjalanan karir Muhammad Abduh, maka dalam makalah ini
pelunis mempergunakan teori perioderasi tersebut.

Pertama, Periode Pertumbuhan


Periode ini dimulai sejak saat kelahiran sampai selesainya pendidikan Abduh di al-Azhar
(1877), menjelang karirnya sebagai pengajar dan penulis. Ada dua hal penting untuk dikemukakan
dalam periode pertumbuhan ini, yaitu seputar kelahiran dan pendidikan yang ditempuhnya.
Tentang kelahiran Abduh, seperti tertulis di dalam biografinya, ia lahir pada tahun 1849 M. di desa
Mahallah Nasr. Ayahanya bernama Abdul Hasan Khairullah, berasal dari Turki dan menetap di
Mesir. Ibunya berasal dari keturunan Arab asli, yang menurut satu riwayat, silsilahnya sampai ke
Umar bin Khatab. Kedua orang tuanya bukanlah dari kalangan terpelajar, tetapi mereka memiliki
komitmen tinggi terahadap agama.
Adapun tentang pendidikannya, setelah Abduh belajar membaca-menulis dan menghafal al-
Qur'an, ia dimasukkan di sekolah agama di Thanta (1862). namun, dikarenakan metode
mengajarnya sangat konvensional (hafalan) dan membosankan, maka Abduh keluar dari sekolah
tersebut dan baru mau belajar kembali atas bujukan adik kakeknya, Syaikh Darwisy pada tahun
1866 M. Setelah belajar di Tanta, Abduh melanjutkan studinya ke al-Azhar hanya mengerjakan
ilmu-ilmu agama dengan metode konvensional-verbalis, yang menurut penilaian Abduh metode
semacam ini tak akan menjadikan manusia cerdas, tetapi justru merusak akal dan daya nalar.
Pada tahun 1871 M, ketika masih di al-Azhar, Abduh berkenalan dengan Jamaludin al-
Afghani yang datang ke Mesir. Pertemuan ini memiliki peranan penting bagi perjalanan karir
Abduh sebagai pembaharu, karena dari tokoh inilah abduh membelajari berbagai ilmu yang tidak
ditemuinya di al-Azhar, seperti teologi, filsafat, politik dan matematika, dengan metode
pembelajaran yang cenderung pada pengembangan nalar, yaitu metode diskusi. Di samping itu,
Abduh juga memperoleh berbagai pengetahuan praktis, seperti berpidato dan menulis artikel.
Meskipun demikian Abduh tidak melupakan tugasnya sebagai mahasiswa al-Azhar, sehingga pada
tahun 1877 M. ia berhasil menyelesaikan studinya di al-Azhar dengan predikat 'alim.

pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Saiful Mujani
(Ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995) , hlm. 181.
4
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah, hlm. 121
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa sebelum tampil sebagai pembaharu, diri Abduh
telah diperkaya dengan berbagai khazanah keilmuan, bukan saja ilmu agama, melainkan juga ilmu-
ilmu lain yang diperoleh di luar al-Azhar. Hal itu tentu memberikan peran penting untuk
mengantarkan diri Abduh tampil di muka publik sebagai pembaharu ulung. Di samping itu, pada
periode ini, Abduh juga menyaksikan berbagai persoalan, utamanya bidang pendidikan, yang
menurutnya perlu diperbaiki. Hanya saja, sikap kritisme Abduh pada masa ini masih nampak
belum matang dan cenderung emosional. Hal itu, antara lain, nampak dalam respon-respon yang
ia kedepankan. Sungguh pun demikian, semua itu telah memberikan andil besar buat Abduh ketika
tampil sebagai pembaharu.

Kedua, Periode Penampilan di Ruang Publik


Periode kedua ini dimulai sejak Abduh menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar (1877)
sampai tahun 1882, ketika ia diasingkan ke Beirut. Dalam periode ini ada dua aktivitas penting
bagi Abduh, yaitu sebagai pengajar dan penulis. Usai studi di al-Azhar, Abduh mulai merintis
karirnya sebagai pengajar. Semula ia mengajar di almamaternya, kemudian atas prkarsa Perdana
Menteri Riadh Pasya, Abduh diangkat menjadi dosen di Universitas Darul Ulum, bahkan juga di
rumahnya sendiri.
Karirnya sebagai pengajar ini tampaknya dimanfaatkan oleh Abduh sebagai rintisan untuk
menggulirkan ide-ide pembaharuannya, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan. Minimal
ada tiga alasan untuk memperkuat tesis ini, yaitu: pertama, Abduh tidak lagi menggunakan
metode mengajar tradisional-verbalistis, tetapi menggantinya dengan metode modern-rasional
yang cenderung mendidik mahasiswa untuk termotivasi berpikir kritis; kedua, Abduh tidak hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama an sich, tetapi juga ilmu-ilmu lain seperti politik, teologi dan
sebagainya; ketiga, Abduh melancarkan kritik terhadap politik pemerintah umumnya, utamanya
politik pengajarannya yang cenderung mematikan semangat patriotisme, sehingga rela
dipermaikan oleh politik penjajah.
Sayangnya, baru sekitar dua tahun Abduh berkecimpung dalam dunia pendidikan, di Mesir
(1879) terjadi pergantian kepemimpinan. Khedevi Ismail digantikan oleh Taufiq Pasya, yang
bersikap kolot dan anti pembaharuan. Akibatnya, dengan alasan yang kurang jelas, Abduh
diberhentikan dari karirnya sebagai pengajar, dan berakhirlah karir Abduh sebagai pengajar di
Mesir.
Setelah lepas dari jabatan sebagai pengajar, pada th. 1880 Abduh dipercaya untuk memimpin
majalah resmi al-Waqa'i al-Mishriyah. Pengalihan pada jabatan baru ini ternyata tidak
menyurutkan semangat pembaharuan Abduh Lubiss, media ini merupakan pembuka jalan bagi
Abduh untuk terlibat dalam dunia politik, yang kemudian berujung pada pengasingannya ke luar
negeri karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya (1822 M). Semula ia ke Beirut,
kemudian ke Paris bergabung dengan Afghani (1884). Di paris keduanya menerbitkan majalah al-
Urwah al-Wutsqa, sebagai media kegiatan politik dan dakwahnya, yaitu membangkitkan semangat
umat Islam untuk bangkit melawan kolonialis barat. Namun, majalah ini tidak berusia panjang,
karena dilarang publish oleh kolonialisme Barat.
Semangat pembaharuan Abduh di Paris, jika dicermati secara seksama, tampaknya lebih
cenderung ke bidang politik. Hal ini sangat logis, mengingat tujuan al-Urwah al-Wutsqa adalah
untuk mempersatukan umat Islam guna melawan kolonialisme Barat. Dalam hal ini, nampaknya
Abduh lebih menjadi penyebar ide-ide al-Afghaani melalui berbagai tulisannya dalam majalah itu.
Pada tahun 1885 M. Abduh kembali ke Beirut. Di tempat ini, Abduh menghentikan aktivitas
politiknya dan memfokuskan diri pada kegiatan mengajar, menulis, dan menterjemahkan kitab-
kitab ke dalam bahasa Arab. Di kota inilah Abduh berhasil menyelesaikan bukunya yang sangat
terkenal, Risalah Tauhid, yang ditulis selama dirinya mengajar di Madrasah Sulthaniyah. Di
samping itu, ia juga berhasil menyalin dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab, yakni satu-satunya
karya al-Afghani yang cukup berarti, yang berisi sanggahan terhadap atheisme. Seiring bergulirnya
waktu, pada tahun 1888 M. Abduh diampuni dan diizinkan kembali ke Mesir.

Ketiga, Periode Puncak Karir


Meskipun Abduh sudah diizinkan kembali ke Mesir, tetapi ia tidak diizinkan mengajar.
Mula-mula ia diangkat sebagai hakim Pengadilan Negeri di Benha. Kemudian ia dipindahkan ke
Zagazig, lalu ke Kairo dengan tugas yang sama. Pada tahun 1890 M. ia diangkat sebagai penasehat
pada Mahkama Tinggi, dan akhirnya pada tahun 1899 kepadanya dipercayakan menduduiki
jabatan keagamaan tertinggi di Mesir, yaitu sebagai mufti negara. Pada tahun itu juga, ia dipilih
menjadi anggota majlis Syura, dewan legislatif falam pemerintahan Mesir.
Semula Abduh menolak jabatan baru itu, karena kurang efektif untuk dijadikan wahana
penyebaran ide-ide pembaharuannya, dibanding jabatan mengajar. Tetapi, karena nampaknya
tidak ada jalan lain, akhirnya Abduh menerimanya dan seperti semula tetap menjadikannya sebagai
media untuk mengembangkan ide-ide pembaharuannya. Bahkan dapat dibilang, pada periode
inilah Abduh berhasil merealisasikan cita-cita pembaharuannya, meskipun mendapat reaksi
khususnya dari kalangan ulama tradisional dan penguasa. Faktor ini pulalah yang dijadikan alasan
oleh Charles J. Adams untuk mengkategorikan periode ini sebagai periode puncak karir Abduh.
Sepanjang perjalanan meniti karir dan mengukir pemikiran dalam bidang politik, hukum,
pendidikan, sosial-budaya dan agama, sampailah tanggal 11 Juli 1905 M, suatu hari yang
menandai wafatnya sang pembaharu, dan jenazahnya dimakamkan di Kairo.

2. Ide-ide Pembaharuan Muhammad Abduh


Sebagai pembaharu, Abduh bukanlah sekedar konseptor-teoretikus tetapi juga sekaligus
praktisi. Pandangan ini di dasarkan pada kenyataan sejarah bahwa Abduh tidak hanya sekedar
menyeruh betapa pentingnya pembaharuan dan melontarkan ide-ide pembaharuannya saja, tetapi
ia juga secara aktif terjun secara langsung untuk mengaplikasikan ide-ide pembaharuannya ke
dalam tatanan kehidupan sosia-masyarakat bangsa Mesir.
Dalam perjalanan sejarahnya, tampaknya ada semacam pergeseran pandangan dan orientasi
pembaharuan Muhammad Abduh. Ketika ia masih bergabung dengan Jamaludin al-Afghani lebih
mengorientasikan arah pembaharuannya dalam bidang politik, Abduh segera beralih pada bidang
sosio-kultural/kebudayaan. Jika uraian ini dikonfirmasi dengan penjelasan H.A.R. Gibb, maka
bidang pembaharuan Abduh dapat disimplifikasikan atas tiga bidang utama, yaitu politik, agama
dan yang paling penting adalah pendidikan.
a. Bidang Politik dan Pemerintahan
Seperti al-Afghani, Muhammad Abduh juga melakukan pembaharuan dan reformasi bidang
politik. Secara umum ide pembaharuan politik yang diperjuangkan adalah pelaksanaan ajaran
Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat),
pembatasan terhadap kekuasaan dan kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-
undang, serta pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan
sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi Barat.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa minimal ada tiga hal yang bersifat prinsip
berkaitan dengan ide pembaharuan Abduh dalam bidang politik, yaitu: pertama, negara yang
berkonstitusi. Hal ini berarti kekuasaan itu tidak bersifat mutlak dan absolut, tetapi dibatasi oleh
konstitusi yang jelas. Karena itu, jika penguasa mematuhi konstitusi yang diwajibkan atasnya, serta
berlaku adil, maka rakyat wajib taat dan patuh terhadapnya. Kedua, negara yang berparlemen.
Parlemen merupakan lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat. Karena itu, tuntunan
negara berparlemen secara otomatis merupakan tuntutan pengaplikasian prinsip “musyawarah”,
bahkan hal itu merupakan suatu yang wajib, demikian kata Abduh. Ketiga, untuk menciptakan
suasana politik yang demokratis, harus disertai pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk
mendukungnya. Dengan kata lain, rakyat harus dididik agar sadar dan mengeti kehidupan
berparlemen.
Dalam hal ini, Abduh berbeda pendapat dengan al-Afghani tentang tentang cara mencapai
tujuan itu. Jika Jamaluddin al-Afghani mengehendaki cara revolusioner, maka bagi Abduh justru
sebaliknya, yaitu melalui cara evolusi serta usaha bertahap. Tahap pertama, rakyat harus
dipersiapkan kemampuan intelektualnya melalui jalur pendidikan. Dengan demikian,
pembaharuan politik harus dibaringi dengan reformasi bidang pendidikan. Sebab, hanya dengan
reformasi pendidikan umat Islam di satu sisi akana mendapatkan kebebasan dan kemampuan
berpikir serta mengetahui akan hak-haknya, dan di sisi lain meningkatkan kesadaran akan
tanggung jawab dan kewajibannya.Reformasi politik akan disertai pembaharuan dalam bidang
pendidikan akan berakibat rakyat hanya pindah majikan, dari kepala negara yang despotik kepada
“wakil-wakil rakyat” yang memanipulasi kebodohan dan kelemahan rakyat untuk kepentingan diri
sendiri atau kelompoknya. Dalam konteks inilah Abduh mengecam Urabi Pasya yang menuntut
pembentukan parlemen melalui cara pemberontakan (konfrontatif). Bahkan dalam sebuah
artikelnya di majalah al-Waqa'i al-Mishriyah terbitan bulan April 1881 M. Abduh
mengkategorikan cara semacam itu sebagai salah satu “kesalahan” para cendekiawan. Alasan
Abduh, karena pada saat itu rakyat, baik yang diberi hak memilih maupun yang akan dipilih untuk
mewakili rakyat dalam dewan “belum cukup dewasa” untuk melaksanakan hak dan tanggung
jawab masing-masing. Jika dalam kondisi semacam ini ditempuh dengan cara revolusioner, maka
justru akan merusak persatuan umat Islam dan menimbulkan korban besar, yang akhirya akan
memperlemah dunia Islam dalam menghadapi kolonialisme dan dominasi Barat.
Tahap kedua, setelah secara intelektual dinilai sudah siap, selanjutnya barulah dibentuk
dewan perwakilan. Semula melalui pembentukan atau pemanfaatan dewan-dewan kota, dengan
kewenangan dan tugas yang masih belum begitu besar dan sangat terbatas. Kemudian setelah
dianggap siap betul barulah dibentuk dewan perwakilan rakyat tingkat nasional dengan segala
atribut dan kewenangannya. Dalam hubungan ini, Abduh dengan tegas menyatakan bahwa tidak
ada salahnya umat Islam meniru barat, yang pada masa itu bidang administrasi dan organisasi
kepemerintahannya sudah lebih maju dibanding dunia Islam.
Dari uraian di atas dapat dipahami, Abduh tidaklah mengklaim bahwa al-Qur'an itu sudah
mencakup segala-galanya, termasuk sistem politik dan sistem kenegaraan. Al-Qur'an hanyalah
menetapkan prinsip-prinsip dan dasar-dasar umumnya saja, misalnya “prinsip musyawarah”
sebagai mana dijelaskan diatas, selanjutnya tentang penjabarannya secara lebih lanjut diserahkan
pada ijtihad manusia. Oleh karena itu, Abduh nampaknya tidak menetapkan bentuk negara
tertentu, apakah berbentuk kekhalifahan, kerajaan, republik, atau lainnya. Karena, hal itu lebih
merupakan ijtihad manusia yang bersifat kondisional. Dalam konteks ini nampaknya patut
dikedepankan butir ke V Program Partai Nasional Mesir, yang penyusuannya dipercayakan kepada
Abduh , yang diumumkan pada bulan Desember 1881 M.
Partai Nasional adalah suatu partai politik, dan bukan partai agama, yang keanggotaannya
terdiri dari orang-orang dari berbagai kepercayaan mazhab, termasuk orang-orang Nasrani dan
Yahudi serta semua yang bercocok tanam di atas bumi Mesir dan berbicara bahasa Mesir, karena
partai ini tidak melihat perbedaan keyakinan, dan (sebaliknya) didasarkan atas kesadaran bahwa
semua orang (Mesir) itu saudara satu sama lain, dan bahwa hak-hak mereka dalam politik adalah
sama.
Menurut Abduh, yang demikikian itu didasarkan kepada syariat Islam yang melarang sikap
membenci, dan mengajarkan persamaan tanpa membeda-bedakan. Jika diktum diatas dianggap
sebagai penceminan pandangan politik Abduh, maka -- kata Munawir Sadzali-- tampaknya Abduh
mendambakan berdirinya negara nasional Mesir yang kewarganegaraannya meliputi seluruh
penduduk Mesir, baik yang beragama Islam, Yahudi dan Nasrani, dengan hak-hak yang sama
dalam bidang politik dan ekonomi, serta dimuka hukum. Karena itu, lanjut Munawir Sadzali,
bukan tidak mungkin jika dinyatakan bahwa pandangan inilah yang merupakan salah satu faktor
yang kemudian mendorong sahabat dan murid Abduh untuk cenderung ke arah paham
nasionalisme dan sekularisme, seperti Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq.
Sebagai konsekuensi dari pandangannya di atas, Abduh menolak paham negara teokrasi,
yang kepala negaranya dianggap mendapat mandat dan sebagai bayangan dari Tuhan. Menurut
Abduh, kepala negara adaldah seorang penguasa sipil, yang diangkat oleh rakyat dan harus
bertanggung jawab kepadanya., bukan seorang wakil Tuhan yang pangkatnya berdasar mandat
dari Tuhan. Oleh karena itu, rakyat merupakan pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang
sesungguhnya, dan yang berhak menurunkan kepala negara dari tahta. Jadi, penguasa itu bukanlah
bayangan dari Tuhan di bumi, tetapi sebagai “penguasa sipil” yang diangkat oleh rakyat dan harus
bertanggung jawab kepadanya.

b. Pemikiran dalam Bidang Agama dan Keagamaan


Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kemunduran umat Islam itu lebih disebabkan karena
umat Islam mengamalkan dan menghayati ajaran Islam yang tidak murni lagi, sudah tercemar oleh
faktor dari luar. Kemudian, karena menggejalanya sikap Jumud, ajaran yang sudah tercemar itu
dipeganginya begitu saja. Tanpa melalui pemahaman secara kritis. Karena itu, untuk
mengembalikan kemajuan umat Islam, mereka harus kembali kepada kemurnian ajarannya, dan
sekaligus memikirkan kemungkinan interpretasinya sesuai dengan situasi dan pemikiran modern.
Tentang ide pembaharuan Abduh di bidang agama ini dapat dikategorikan atas tiga bidang utama,
yaitu dalam bidang teologi, bidang hukum Islam, dan bidang pendidikan.
Pertama, Pemikiran Bidang Teologi. Dari visi teologis, sikap jumud yang menyebabkan
kemunduran umat Islam mewujud dalam bentuk faham Jabariyah (fatalisme). Itulah sebabnya,
Abduh dangat mengecam taklid, manifestasi faham Jabiriyah,bukan saja dalam soal-soal
keyakinan, tetapi juga argumen yang mendukungnya.
Faham Jabiriyah, kata Abduh, tidak saja bertentangan dengan wahyu al-Qur'an, tetapi juga
dengan sifat fitri manusia. Manusia diciptakan dengan dua sifat dasar yang khusus, berpikir dan
memilih perbuatan sesuai dengan pemikirannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan
akibat dari perbuatan yang akan dilakukannya, kemudian dengan kemauannya sendiri mengambil
keputusan, dan selanjutnya dengan daya yang sudah ada pada dirinya mewujudkan ke dalam
bentuk perbuatan nyata.
Uraian konsep perbuatan di atas menunjukkan bahwa Abduh memiliki faham qadariyah.
Karena itu, dalam pemikiran teologisnya ia menempatkan rasio pada posisi yang tinggi, tentu
dengan tetap mengakui otoritas wahyu. Bahkan Sulaiman Dunia yang kemudian juga didukung
Harun Nasution berkesimpulan bahwa Abduh lebih dekat dengan Mu'tazilah, dan bahkan dalam
hal-hal tertentu, dalam kajian akal dan wahyu, Abduh melebihi Mu'tazilah dalam memposisikan
akal (rasio), meskipun sebenarnya ia bukan seorang Mu'tazilah. Hal ini tampak ketika dituduh al-
Laisi sebagai Mu'tazilah, Abduh menjawab bahwa ia tidak ingin taklid kepada siapapun termasuk
pada Mu'tazilah. Kata Syahtah, Abduh menggunakan rasio tidak untuk membela madzhab tertentu,
tetapi menggunakan pemikiran Mu'tazilah dengan maksud memperkuat pandangan madzhabnya.
Meskipun Abduh berpendapat bahwa manusia itu memiliki kebebasan dalam berbuat, tetapi
kebebasannya tersebut tidaklah bersifat absolut tanpa batas. Bagi Muhamad Abduh, yang
membatasi manusia ada dua, yaitu taqshir (kelalaian manusia) sendiri dan sebab-sebab alami (al-
asbab al-kauniyyat) yang tak diduga-duga. Kejadian-kejadian alami yan dimaksud adalah
sunnatullah. Atas dasar ini, selanjutnya dapatlah dikatakan bahwa kegagalan-kegagalan yang
dialami manusia adalah karena kelalaiannya dalam menangkap dan memperhitugkan langkah
langkahnya, seseuai dengan sunnatullah. Itulah sebabnya, kata Abduh, manusia sendiri yang
berhak disalahkan atas kegagalan itu.
Menurut Abduh, disamping adanya faktor luar, munculnya faham Jabariyah dikalangan
umat Islam lebih disebabkan oleh adanya kekeliruan umat Islam dalam memahami istilah qadla
dan qadar. Pada umumnya istilah kedua itu dipahaminya secara statis, padahal sebenarnya dinamis.
Dalam konteks ini, Abduh mengedepankan konsep qadla qadar yang bersifat dinamis, dan
sekaligus menolak interpretasi yang bersifat fatalistis, baik dari kalangan umat Islam sendiri
maupun dari cendekiawan Barat.
Bagi Abduh, qadla adalah “kaitan antara ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui”,
sedangkan qadar “terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan”. Dengan demikian, qadla dan
qadar itu tidak menunjukkan adanya paksaan Tuhan kepada manusia. Dalam hal ini, Tuhan hanya
mengetahui apa yang dilakukan manusia, bukan menetapkan apa yang harus dilakukan manusia.
Manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih dan melakukan perbuatannya, hanya saja semua
itu selalu berada dalam pengetahuan Tuhan.
Kedua, pemikiran di Bidang Hukum Islam. Dari segi hukum Islam, kejumudan
menyebabkan kemunduran umat Islam merefleksi kedalam sikap taklid buta terhadap hasil ijtihad
ulama' fiqh terdahulu. Implikasinya, ijtihad menjadi syarat mutlak bagi kemajuan umat Islam. Bagi
Abduh, ijtihad disini tidak hanya berarti kembali kepada ajaran yang murni (asli), tetapi sekaligus
ajaran yang asli itu perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang.
Menurut Harun Nasution, bagi Abduh bahwa kata penyesuaian itu dapat dijalankan. Untuk
keperluan ini, Abduh membagi syariat atas qath'i al-dilalah dan dzanni al-dilalah. Yang pertama
adalah hukum-hukum yang tunjukannya sudah pasti menyangkut soal-soal ibadah dan pokok-
pokok agama. Terhadap hukum yang demikian ini akal tidak punya tempat untuk ijtihad.
Sedangkan yang kedua, dzanni al-dilalah, adalah hukum-hukum yang datang dengan tunjukan
nash atau ijma' yang tidak pasti (akham ghair tsabitah bi-nash), yang umumnya menyangkut
muamalah dan sosial kemasyarakatan. Disinilah ijtihad dari para mujtahid mutlak diperlakukan.
Bagi orang awam, menurut Abduh, mempunyai keharusan ber-ittiba’, bukan sekedar taklid,
terlebih taklid buta.
Hasil ijtihad kebenarannya bersifat relatif, terbuka bagi timbulnya perbedaan. Karena itu,
hasil ijtihad itu harus ditanggapi secara kritis dan penuh kedewasaan, supaya tidak membawa ke
arah perpecahan umat. Jika terjadi perbedaan, yang hal ini ternyata sangat dihargai Abduh, maka
harus dikembalikan kepada sumber asli, al-Qu'an dan al-Sunah. Bagi mujtahid pengembalian itu
dilakukan melalui ijtihad langsung kepada al-Qur'an dan sunah, sedangkan bagi orang awam
menanyakan kepada ahlinya dengan dalil-dalilnya sekali. Inilah nampaknya yang dimaksudkan
oleh ungkapan Abduh, “orang awam tidak mempunyai madzhab; madzhabnya adalah madzhab
orang yang memberi fatwa kepadanya”.
Meskipun Abduh mengagungkan ijtihad, tetapi ia tidak menolak adanya madzhab. Hanya
saja, Abduh mengartikan madzhab lebih merujuk pada metode pemahaman dan pengisttimbatan
hukum dari al-Qur'an yang ditempuh oleh mujtahid.Dengan demikian bermadzhab bukanlah
sekedar mengikut dan tunduk pada sil ijtihad imam mujtahid tertentu, tetapi adalah dengan
mengikuti cara-cara yang mereka tempuh dalam melakukan istimbath hukum.
Di samping itu, dari seruan konsep ijtihad Abduh seperti dijelaskan diatas dapat dipahami
betapa besarnya semangat Abduh untuk menjadikan syariat itu mampu melayani kebutuhan umat
manusia, bukan justru mengikat dan membelunggunya. Dalam konteks inilah nampaknya Abduh
memandang al-salaf al-shalih sebagai masa keemasan, karena di masa itu syariat benar-benar telah
dapat melayani kebutuhan umat dengan ijtihad Nabi dan para sahabatnya.
Sebagai pembaharu, Abduh juga merupakan praktisi, dalam arti mengaplikasikan ide-ide
pembaharuannya ke dalam kehidupan nyata. Menurut Arbiyah Lubis, hal ini minimal dapat dilihat
dari tiga hal, yaitu ketika ia memegang jabatannya menjadi hakim, menjadi mufti, dan melihat dari
penafsirannya terhadap teks-teks al-Qur'an.
Ketika menjadi hakim, Abduh lebih menekankan prinsip keadilan, kemaslahatan dan
kepentingan umum dalam memutuskan suatu perkara, meskipun secara lahiriyah nampak
bertentangan dengan hukum fotmal yang tertulis. Sebagai misal dalam hal ini adalah kasus orang
berhutang yang tidak mampu membayar hutangnya dengan rentenya sekali. Dalam hal ini, Abduh
memutuskan agar si terdakwa, orang yang behutang mengembalikan pinjaman pokoknya saja,
tanpa mewajibkan membayar bunga.
Adapun ketika menjadi mufti, Abduh memiliki dua jenis fatwa, yaitu fatwa resmi dan fatwa
tidak resmi.36 Jenis pertama merupakan fatwa yang ia berikan sesuai dengan madzhab Hanafiah
(madzhab negara). Sejauh tidak bertentangan dengan situasi, kondisi dan kepentingan umum.
Tetapi jika bertentangan dengannya, maka Abduh melakukan ijtihad sendiri. Dengan demikian,
sebagai dijelaskan Rasyid Ridla, bahwa Abdu berfatwa melalui dua cara, yaitu mentarjih pendapat
ulama' utamanya pendapat ulama' Malikiah dan Hanafiah, dan dengan ijtihad sendiri. Diaantara
fatwa yang terkenal adalah kebolehan Islam bekerja sama dengan orang kafir, kebolehan memakai
topi orang kafir Eropah di Mesir, dan kebolehan memakan sembelihan ahli kitab.
Selanjutnya, tentang metode tafsir Abduh, ada yang mrngkategorikannya sebagai tafsir al-
abadiy wa al-ijtima'iy, yaitu tafsir yang dalam kajiannya lebih menekankan pada aspek sastra,
budaya dan kemasyarakatan. Dalam kaitan ini, Mahmud Syahatah menemukan sembilan prinsip
metode penafsiran Abduh. dari sembilan prinsip itu nampaknya ada tig prinsip yang paling penting
untuk dikemukakan yaitu, penempatan akal dan posisi yang tinggi, berhati-hati dalam menerima
riwayat serta menolak israiliyat, serta merelevansikan ayat-ayat al-Qur'an dengan kebutuhan
masyarakat.
Ketiga, pemikiran dalam Bidang Pendidikan. Abduh tampaknya percaya betul bahwa
pembaharuan pendidikan merupakan sarana terbaik untuk memajukan bangsa Mesir. Dalam hal
ini, Abduh memusatkan pembaharuannya di al-Azhar, karena al-Azhar menurutnya merupakan
pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam. Menurut Arbiyah Lubis, munculnya ide-ide pembaharuan
pendidikan dari Abduh dilatari oleh dua faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi
pendidikan yang ada pada saat itu.
Adapun yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan adalah sikap yang diambil umat
Islam Mesir dalam upaya memahami dan mengamalkan Islam. Pada umumnya, umat Islam tidak
memahami Islam dari sumber aslinya, melainkan secara taklid mengikuti pendapat ulama'
terdahulu. Akibatnya, apa yang mereka tangkap dan amalkan sebenarnya bukanlah ajaran Islam
yang murni. Inilah penyakit yang menyebabkan kemunduran umat Islam masa itu. Dengan
demikian, kemunduran itu lebih disebabkan oleh faktor ketidak ketahuan umat Islam terhadap
ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajarinya dengan cara yang kurang tepat.
Karena itu, supaya mereka memahami Islam secara benar perlu dilakukan pelurusan cara
pemahaman, dan hal itu hanya dapat dicapai melalui pembaharuan pendidikan.
Adapun tentang situasi pendidikan saat itu, di Mesir terjadi semacam dualisme pendidikan
yang bertentangan secara diametral. Di satu pihak, ada lembaga pendidikan modern yang hanya
menekankan pengembangan intelektual semata dengan kurikulum ilmu-ilmu Barat sepenuhnya,
tanpa memasukkan ilmu-ilmu agama di dalamnya. Sedangkan dipihak lain, ada lembaga
pendidikan tradisional yang melupakan pengembangan intelektual, dengan kurikulum ilmu-ilmu
agama melulu, tanpa memasukkan ilmu-ilmu dari Barat. Selanjutnya dualisme semacam ini akan
melahirkan dua kelas sosial yang memiliki spirit berbeda. Dari sekolah tipe pertama, muncul para
intelektual ulung, tapi kurang menunjukkan sikap taat kepada agama (kurang bermoral),
sedangkan dari pendidikan tipe kedua, lahir ulama tradisional-kolot yang taat, tetapi kurang
memiliki wawasan intelektual. Menurut Abduh kedua jenis lembaga pendidikan diatas tidak dapat
dipertahankan, karena itu perlu dilakukan perbaikan terhadap kedua institusi tersebut, sehingga
jurang antara keduanya dapat dipersempit.
Adapun ide dan usaha pembaharuan Abduh di bidang pendidikan (formal) meliputi: sistem
pengajaran, administrasi, kesejahteraan dan pembangunan sarana fisik. Tentang sistem pengajaran
Abduh bertolak pada tujuan prndidikan yang menacakup pendidikan akal dan spiritual. Dengan
kata lain, tujuan pendidikan adalah mencetak pribadi Muslim yang memiliki struktur kejiwaan
secara seimbang antara intelektual dan spiritualnya. Kemudian, pencapaian tujuan itu didukung
oleh seperangkat kurikulum sejak tingkat dasar hingga atas, dengan menggunakan pendekatan
modern-rasional, bukan tradisional-verbalis.
Dalam bidang administrasi, abduh mengusulkan dibentuknya dewan pimpinan al-Azhar
yang terdiri atas ulama' dari empat madzhab, pengangkatan pembantu rektor. Dalam bidang
kesejahteraan, Abduh menertibkan honor yang layak bagi pengajar. Sedangkan pada bidang fisik,
Abduh mengusulkan pembangunan asrama mahasiswa, perpustakaan, ruang rektor dan
peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa. Itulah sejumlah ide dan usaha-usaha yang
dilakukan Abduh dalam rangka memperbaik pendidikan di Mesir. Dan selanjutnya, dapat
dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki dan memajukan bangsa Mesir pada umumnya.
Sebagai seorang reformis (pembaharu), Abduh dapat dikategorikan sebagai pembaharu
salaf-modernis. Sebagai salaf, karena ia bermaksud mengembalikan kemurnian ajaran Islam,
sebagai yang diajarkan Nabi, yang kemudian diamalkan dan di hayati para salaf-al-shalih.
sedangkan sebagai modernis, Abduh bermaksud memahami ajaran Islam yang murni itu dengan
pemikiran-pemikiran modern.
C. Rasyid Ridha, Tradisionalisme dan Modernisasi Islam
Gerakan modernisme di Timur tengah, khususnya di Mesir yang dirintis oleh tiga Serangkai
guru dan murid ; Jamaluddin al-Afghani, Muhammad abduh, dan Rasyid Ridha, pada dasarnya
memiliki corak yang hampir sama, yaitu sebagai reaksi terhadap dominasi Barat di dunia Islam.
Semenjak kedatangan Napoleon Bonaparte ke Mesir yang membawa ide-ide baru dalam struktur
kehidupan sosial politik, telah mampu menggugah para pemikir Muslim -khususnya Mesir- untuk
melakukan pembaharuan di kalangan umat Islam.
Pada umumnya, gerakan modernisme Islam –pada masa itu-- mengambil bentuk
Westernisme,5 baik dalam bidang perkembangan dan dinamika intelektual, maupun dalam
transformasi sosial kultural lainnya. Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, gerakan
modernis --khususnya Mesir-- mengalami perubahan dan pecah menjadi dua arah atau bentuk.
Pertama, pola Muhammmad Abduh di satu fihak yang hampir mempergunakan bentuk
pendekatan westernis. Kedua, pola Rasyid Ridha di pihak lain, yang membawa pola gerakan
Salafiyah. Ia bergerak pada faham fundamentalis yang sangat erat hubungannya dengan
Wahabisme.6 Referensi di atas memberikan nuansa yang cukup menarik untuk mengkaji lebih
lanjut spesifikasi corak pemikiran Rasyid Ridha, yang justru berbeda dengan pemikiran gurunya,
Muhammad Abduh. Wacana ini lebih menarik karena ternyata pola pemikirannya ini telah mampu
mempengaruhi dan mewarnai reformasi di beberapa kawasan Islam.

1. Biografi Rasyid Rihda

5
Istilah ini dikemukakan ole Fazlur Rahman, dalam pengertian sebagai proyeksi pengadopsian modernisme Barat
kepada masyarakat non-Barat. Fazlur Rahman, Islam (New York: Anchor Book, 1968), hlm. 327.
6
Rahman, Islam, hlm. 328.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syams al-Din
al-Qalamuny. Ia dilahirkan di Qalmun, suatu perkampungan sekitar 4 km dari Tripoli (Libya),
pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H./1865 M. Secara genetis, ia memiliki garis keturunan sampai
dengan Rasulullah melalui Husein bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad SAW.
Oleh karena itu, di depan namanya ditambah gelar “sayyid” yang menunjukkan bahwa ia
merupakan orang yang berdarah bangsawan Arab. 7
Pendidikannya dimulai dari Madrasah tradisional yang ada di desanya, yang ketika itu
dinamai al-Kuttab. Di sanalah ia mulai diajarkan membaca al-Qur’an, menulis, dan dasar-dasar
berhitung, disamping pendidikan yang diberikan orang tuanya. Setelah tamat, ia dikirim oleh orang
tuanya ke Tripoli untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah. Di sana ia belajar nahwu, akidah, sharf,
fiqh, berhitung dan geografi. Di madrasah ini, bahasa pengantar yang dipakai adalah Bahasa Turki,
karena pada saat itu Libanon berada di bawah kekuasaan Turki Usmani. 8
Namun demikian, Rasyid Ridha tidak begitu tertarik untuk meneruskan studynya di
madrasag tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka yang berlajar di madrasah tersebut akan di
persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena Rasyid Ridha tidak tertarik untuk
menjadi pegawai negeri, maka setahun kemudian (1299 H./ 1882 M.), ia pindah ke sekolah Islam
Negeri (Madrasah al-Wathaniyah al-Islami) di Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah terbaik
yang ada pada saat itu, yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, di samping
bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan dan dipimpin oleh Syeikh Husein al-Jisr, seorang
alim yang pemikiran-pemikiran keagamaannya (Islam) telah dipengaruhi oleh perkembangan ide-
ide modern. Gurunya inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap corak
perkembangan pemikirannya. Meskipun ketika sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki,
hubungan antara keduanya tak pernah putus. Pada tahun 1314 H/1897 M., Al-Jisr memberikan
ijazah kepada Rasyid Ridha dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa, dan filsafat. 9

2. Pertemuan Rasyid Ridha dengan Muhammad Abduh


Sebagaimana yang telah diketahui, Muhammad Abduh merupakan salah seorang tokoh
reformer dan modernis di Mesir. Abduh, dalam memperkenalkan ide-idenya, ia menggunakan
sarana media cetak (Majalah al-Urwah al-Wutsqa) sebagai media ampuh saat itu, bersama
gurunya, Jamaluddin al-Afghani. Melalui media inilah Rasyid pertama kali mengenal corak
pemikiran Abduh. Pemikrian-pemikiran Abduh tersebut ternyata memberikan pengaruh besar
pada jiwanya, sebagaimana yang dikatakannya:
“Dengan membacanya (al-Urwahal-Wutsqa), aku berpindah kesatu jalan baru dalam
memahami agama Islam, yakni bahwa Islam bukan hanya membicarakan ajaran ruhani-

7
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam (Jakarta : Dep. Agama RI, 1988), hlm. 992.
8
M. Quraih Shibab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 60.
9
Ibrahim Ahmad al-‘Adawiy, Rasyid Ridha : al-Imam al-Mujahid (Kairo: Mathba’ah Mishr, 1964), hlm. 21.
ukhrawi semata-mata, akan tetapi juga sebagai agama ruhani dan jasmani, ukhrawi dan
duniawi, yang bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya
dengan sungguh-sungguh dan komprehensif.10
Semenjak itu, ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istanbul. Akan
tetapi niatnya itu tak terwujud. Sewaktu Abduh berada dalam pembuangan di Beirut pada tahun
1885 M., ia mendapatkan kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengan murid al-Afghani
itu.11 Pertemuan dan dialognya dengan Abduh sangat berkesan baginya. Rasyid Ridha juga sempat
berdiskusi dengan Abduh seputar kitab tafsir yang cukup representatif waktu itum yaitu tafsir al-
Kasysyaf karya al-Zamakhsyari.12
Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H./1894 M. juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha
menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan baginya untuk menanyakan segala
sesuatu yang masih kabur baginya. Selama lima tahun dari pertemuan kedua, baru kemudian pad
23 Rajab 1315 H./ 18 Januari 1898 terjadi pertemuan ketiga di Kairo, Mesir. Hijrahnya Rasyid
Ridha ke Mesir ini disebabkan karena ia mendapat kecaman dan intimidasi dari pihak pemerintah
Turki Usmani lantaran ia mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan di negerinya (Syuriah). 13
Di Mesir, Rasyid Ridha kemudian menjadi murid dan pengikut abduh, dalam usaha
melaksanakan ide pembaharuannya. Langkah pertama dalam merealisasikan ide-idenya itu,
Rasyid Ridha mengemukakan rencananya --kepada Abduh-- untuk menerbitkan surat kabar yang
berupaya mengangkat masalah-masalah sosial, budaya, dan agama. Semula, rencana tersebut
ditolak oleh Abduh, dengan alasan terlalu banyak media massa yang terbit dan mengangkat topik-
topik tersebut. Namun berkat tekadnya yang gigih dan argumentasinya yang cukup rasional,
akhirnya Abduh merestui penerbitan majalah tersebut dengan nama al-Manar, dari sekian banyak
nama yang diusulkan Rasyid Ridha. 14
Majalah al-Manar terbit pertama kali pada tanggal 22 Syawal 1315 H./ 17 Maret 1898 M. ia
berupa majalah mingguan yang berisi sebanyak delapan halaman. Ternyata perkembangan majalah
yang diterbitkan Rasyid Ridha bersama gurunya ini mendapat sambuan hangat oleh pembaca.
Bukan saja di Mesir atau negara-negara Arab sekitarnya, akan tetapi juga masyarakat Eropa,
bahkan sampai masyarakat Indonesia.
Sebagaimana majalah al-Urwah al-Wutsqa, al-Manar juga berfungsi sebagai media
penyebaran ide-ide pembaharuan, yang meliputi bidang agama, sosial, ekonomi, pemberantasan
takhyul, khurafat serta bid’ah yang telah masuk ke dalam Islam ; menghilangkan faham-faham
fatalis (jabariah, determinism) serta ajaran-ajaran atau praktik tarekat dan tasawuf yang salah,

10
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha, hlm. 88.
11
Nasution, Pembaharuan, hlm. 70.
12
Shibab, Studi Kritis, hlm. 64.
13
Tim penulis, Ensiklopedi Islam. Lihat juga Nasution, Pembaharuan.
14
Shihab, Studi Kritis.
meningkatkan mutu pendidikan, 15 dan membela umat Islam dari permainan politik penjajah. 16 Di
bidang pendidikan, menurutnya perlu ditambahkan beberapa pelajaran umum --selain pelajaran
agama-- dalam kurikulum pendidikan, yaitu seperti bidang studi teologi, pendidikan moral,
sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa asing, dan ilmu
keterampilan keluarga. Di bidang keagamaan, ia melihat perlunya penafsiran tafsir modern dari
al-Qur’an. Dari idenya inilah, akhirnya Abduh mengarang tafsir al-Qur’an, oleh Rasyid Ridha
dibukukan dan dinamakan Tafsir Al-Manar.
Selain sebagai seorang jurnalist, Rasyid Ridha juga ternyata seorang penulis karya ilmiah
yang cukup profesional dan produktif. Di antara karya-karyanya adalah: Tarikh al-Ustadz al-
Imam al-Syeikh ‘Abduh, Nida’ li al-Jins al-Lathif, Al-Wahyu al-Muhammadi, Yusr al-Islam wa
Ushul al-Yasri’ al-‘Am, Al-Khilafat, Al-Wahabiyyah wa al-Hijaz, Muhawwarat al-Muslih wa al-
Muqallid, Zikra al-Maulid al-Nabawi, Syuhbaht al-Nashara wa Hujaj al-Islam, Al-Azhar al-
Manar, Al-Hikmah al-Syariah fi Muhakamat al-Dadiriyah wa al-Rifa’iyah, Risalat al-Hujaj al-
Islam al-Ghazali, Al-Sunnah wa al-Syi’ah, Al-Wahdah al-Islamiyah, Haqiqah al-Riba, danTafsir
al-Manar.17
Rasyid Ridha --setelah dalam waktu yang cukup panjang melontarkan ide-ide
pembaharuannya-- wafat pada tanggal 13 Jumadil Ula 1353 H./22 Agustus 1935 M. akibat
kecelakaan mobil, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Sa’ud al-Feisal ke kapal Suez. 18
Dengan ide-ide yang ditinggalkannya, sedikit banyak telah mampu menggugah kesadaran
dinamika intelektual umat Islam. Untuk itu, tidaklah berlebihan jika namanya dikelompokkan pada
deretan pelopor pembaruan dunia Islam.

3. Ide-Ide Pembaharuan Rasyid Ridha


Bila di lihat, secara umum (general), gerakan modernisme atau refeormisme yang dilakukan
oleh “Tiga Serangkai”; al-Afghani, Abduh, dan Ridha yang memandang penyebab utama
keterbelakangan umat Islam waktu itu tidak lain dikarenaka umat tidak lagi mengamalkan pesan-
pesan ajaran agama secara murni seperti yang dipraktikan pada masa nabi dan sahabat.
Mereka kurang memiliki dinamika intelektual yang tinggi, sebab terkadang oleh sikap
jumrud dan fatalis. Untuk keluar dari dilema itu, umat Islam haruslah melakukan perubahan
dengan kembali melaksanakan ide-ide Qur’an dan Hadis secara murni dan dinamis. 19 Dalam hal
ini, ketiganya memiliki kesamaan --dalam keragaman-- sudut pandang dengan berpijak pada akar

15
Nasution, Pembaharuan, hlm. 71.
16
M. Ridwan Lubis dan Mhd. Syahminan, Perspektif Pembaharuan Pemikiran Islam (Medan: Pustaka Widyasarana,
1993), hlm. 59.
17
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, hlm. 993.
18
Shibab, Studi Kritis, hlm. 66. Lihat juga Nasution, Pembaharuan, hlm. 72.
19
Albert Hourani, Arabic Thougt in The Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), hlm.
228.
yang sama, yaitu konsep salafiah. 20
Apa yang dikembangkan oleh “Tiga Serangkai” di atas, menurut Munawir Syadzali,
merupakan bentuk aliran salafiah baru (neo-salafi), yang terdiri dari tiga komponen pemikiran,
yaitu: pertama, keyakinan bahwa keagungan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud bila umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang Murni. Umat harus meneladani pola
kehidupan para sahabat nabi, khususnya khulafa al-rasyidin. Kedua, melakukan perlawanan
terhadap kolonialisme dan dominasi barat, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Ketiga,
pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang keilmuan dan teknologi. Oleh karena itu, umat
Islam harus belajar dari barat dalam kedua bidang tersebut, yang pada hakekatnya hanya
mengambil kembali “barang titipan” yang dahulu disumbangkan dunia Islam kepada barat.
Kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi barat itu untuk membangun
kembali kejayaan peradaban dunia Islam. 21
Bila referensi di atas dikembangkan, maka secara garis besar, reformasi dan modernisasi
yang ditawarkan dan dikembangkan Rasyid Ridha, dapat dikelompokkan pada tiga bidang, yaitu :
pertama, reformasi bidang agama. Pada bidang ini, sebagaimana yang dijelaskan di atas,
merupakan ciri khas aliran Salafiah, yang ingin mengembalikan umat Islam kepada dinamika
ajaran Islam yang murni sebagaimana yang terdahulu dipraktikkan oleh generasi pertama. 22
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam menjadi mundur karena tidak lagi melaksanakan ajaran Islam
yang sebenarnya. Umat Islam --waktu itu-- telah memahami ajaran Islam dengan keliru.
Perbuatan-perbuatan umat telah banyak yang menyeleweng dari ajaran Islam yang sebenarnya. 23
Ajaran Islam telah banyak ,masuk dan bercampur dengan bid’ah yang merugikan dinamika
perkembangan dan kemajuan umat Islam. Di antara bid’ah yang dilihat Ridha adalah tentang
pendapat bahwa dalam ajaran Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya
memperoleh suatu kekuatan. Dengan kekuatan itu, pemiliknya (orang yang mengamalkan) akan
memperoleh segala yang dikehendakinya. 24 Contoh bid’ah yang lain adalah ajaran para syekh
tarekat yang menanamkan ajaran tentang keutamaan kehidupan akherat dan mengecam kehidupan
dunia, pengertian tawakkal yang misinterpretasi sebagai bentuk sikap fatalis, dan terlalu memuja
dan patuh secara berlebihan kepada eksistensi seorang syekh atau wali,25 bahkan terkesan
“mentuhankannya”.
Munculnya bid’ah, khurafat, maupun pemujaan kepada wali atau syekh tarekat itu, jika

20
Yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali
kepada ajaran Islam yang murni, seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama, yang disebut salaf (pendahulu).
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 831-832
21
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta : UI Press, 1990), hlm. 124-
125.
22
Uraian lebih lanjut mengenai persoalan ini dapat dibaca Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta :
Paramadina, 1992), hlm. 374-387.
23
Nasution, Pembaharuan.
24
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha,hlm. 154.
25
Nasution, Pembaharuan, hlm. 73.
ditelusuri, berawal sejak kehancuran dinasti-dinasti Islam oleh sebuah Mongol (1258 M.), yang
berlanjut dengan masa kemunduran umat Islam di berbagai bidang. Meskipun disadari, bahwa
secara fisik, Islam dapat dihancurkan, namun secara spiritual, Islam masih tetap mengakar. Akan
tetapi eksistensi spiritual Islam waktu itu dalam versi yang lain, yaitu aktivitas esoterik.
Selanjutnya, dalam waktu yang panjang, perilaku esoterik ini --sebahagian-- memunculkan bid’ah,
khurafat dan pengkultusan individu Syekh. Akibatnya, peran akal dikesampingkan 26 sementara
dipihak lain, semakin mekar dan semaraknya faham fatalis, sebagai konsekwensi dari sikap
tawakkal berlebihan yang terlepas dari bingkai ajaran agama yang hanif.
Melihat fenomena semacam ini, Rasyid Ridha berupaya untuk meluruskan kembali sikap
umat yang jelas-jelas telah tergelincir jauh dari rule of system ajaran Islam yang sebenarnya. Ridha
memandang, sikap inilah yang telah menjadi penyebab kemunduran dan kejumudan umat Islam,
sehingga tertinggal jauh di belakang bangsa Eropa.27 Untuk itu, Ridha berupaya untuk meletakkan
akal pada kedudukan yang tinggi. Ia menekankan perlunya umat Islam untuk mengembangkan
dinamika pemikiran ingtelektual mereka. Namun demikian, Ridha menempatkan kedudukan akal
manusia (umat Islam) dalam mempelajari peradaban barat, hanyalah dipergunakan kepada hal-hal
yang menyangkut masalah sosial kemasyarakatan, bnukan masalah ibadah yang sudah jelas
ketentuannya dalam al-Qur’an dan Hadis. Kedudukan akal dalam melakukan ijtihad hanya
dipergunakan apabila menyangkut masalah sosial kemasayarakatan (modern), serta segala sesuatu
yang tidak ada penjelasannya atau penjelasan-penjelasan yang bersifat global dalam al-Qur’an dan
Hadis.28
Dalam versi lain, Ridha melarang umat Islam terkait dengan pendapat-pendapat ulama-
ulama yang terdahulu yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Untuk itu umat
harus memiliki ghirah ijtihad yang dinamis dan adaptik. Untuk itu Ridha memberikan rambu-
rambu bagi umat dalam melakukan ijtihadnya, yaitu: 1) masalah Ibadat dengan Tuhan. Bila telah
ditunjuk oleh nash yang qath’i atau hadis yang mutawatir, maka kedudukan akal mengikuti nash
tersebut. Tetapi jika nash tersebut masih bersifat zhanni, akal dapat memainkan peranannya
sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam; 2) masalah muamalat, Ridha
melihat perlu adanya kesatuan mazhab, atau setidaknya toleransi mazhab. Ia melihat, perpecahan
kesatuan umat dan kebekukan intelektual umat, salah satu penyebabnya adalah fanatik mazhab
yang berlebihan.29
Bila dilihat dari pandangannya ini, Ridha nampaknya telah memberikan konsep yang jelas
bila dibandingkan konsep yang ditawarkan Muhammad ibn Abd al-Wahab, yang sama-sama

26
Simuh “Tradisi Tasawuf dan Inovasi Keislaman di Indonesia”, dalam Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini,
Dan Esok (Jakarta : Yayasan Festifal Istiqlal, 1993), hlm. 333.
27
Simuh “Tradisi Tasawuf”, hlm. 74.
28
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 2 (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 101.
29
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.
162-163.
menekankan agar umat kembali memurnikan ajaran agama. Ia juga memberikan kemerdekaan
bermazhab bagi umat Islam, meskipun ia sendiri merupakan pengikut mazhab Ibn Hambal yang
kental.
Kedua, reformasi bidang pendidikan. Ide-ide pembaharuannya dalam bidang ini cenderung
mengikuti ide-ide gurunya (Abduh). Menurutnya, umat Islam dapat maju dan menyongsong
ketertinggalannya dengan cara menguasai bidang pendidikan. Untuk itu Ridha menghimbau dan
mendorong untuk menggunakan kekayaannya guna pembangunan sarana dan prasarana yang
menunjang pelaksanaan pendidikan Islam yang dimaksud. Ia bahkan lebih menekankan
keutamaan pembangunan sekolah daripada membangun masjid. 30
Alasan di atas agaknya cukup rasional dikemukakan Ridha, karena melihat tuntutan waktu
itu yang cukup besar bagi keberadaan lembaga pendidikan. Dengan lembaga pendidikan, umat
akan terbangun dengan tidurnya dan menyadari akan ketertinggalannya selama inim sehingga akan
memotivasi bagi tumbuhnya dinamika intelektual umum secara aktif dalam membangun dan
memajukan peradaban dunia Islam.
Dalam mengaktualkan ide-idenya, Ridha melihat umat Islam harus melihat dan mencontoh
peradaban Eropa yang sudah maju sebagai modal untuk nanti dianalisa dan warnai dengan ruh dan
moral Islam. Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi --yang dikembangkan barat secara
epiistemologi-- tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Islam dengan ajarannya yang
universal sangat mendorong umatnya untuk mengembangkan dan menguasai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Selama ini, menurut Ridha, umat tidak memiliki ketertarikan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan dikuasainya ilmu dan teknologi, umat akan memiliki
kemampuan --yang dibalut moral dan nilai-nilai religi-- yang dapat diandalkan sebagai modal
utama mengembangkan peradaban dunia Islam. 31 Untuk menumbuhkan semangat tersebut, Ridha
menyerukan adanya konsep (terma) jihad, dalam pengertian umum sebagai pendorong timbulnya
ghirah umat untuk berlomba-lomba mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern,32 yang kini tlah dikuasai barat.
Alasan Ridha di atas dalam memotivasi umat Islam mencontoh dan mengambil sistem
pendidikan barat, cukup valid dan strategis. Sebab, menurut pandangan Ridha, sistem pendidikan
yang selama ini berlaku di dunia Islam, hanya menekankan kepada kajian ilmu agama Islam an-
sich yang tidak memberikan penekanan pada pengkajian ilmu-ilmu keduniaan kontemporer.
Akibatnya, mahasiswa atau ulama Islam tidak banyak yang tau apa yang tengah terjadi di dunia
lain (barat) dengan revolusi teknologinya. Untuk itu, ia memandang perlu untuk mengkaji ulang
eksistensi muatan kurikulum yang berlaku, dengan menambahkan muatan materi pelajaran umum
seperti yang dikembangkan barat di lembaga pendidikan Islam, di samping tetap mempertahankan

30
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hlm. 163.
31
Hourani, Arabic Thougt, hlm.229.
32
Hourani, Arabic Thougt, hlm.229.
eksistensi ilmu-ilmu agama Isllam seperti liaknya yang diajarkan di madrasah tradisional. 33
Dengan perpaduan ini akan memungkinkan untuk terciptanya ilmuan Muslim yang mampu untuk
berkompetisi dalam mengembangkan peradaban Islam.
Untuk merealisasikan ide dan cita-citanya ini, pada tahun 1912, Ridha mendirikan sebuah
lembaga pendidikan yang bernama Madrasah al-Da’wah wa al-Irsyad. Lembaga ini berupaya
mengharmoniskan ilmu dan agama, sehingga para tamatannya akan memiliki wawasan keilmuan
umum dan keislaman secara luas. Lembaga ini memilih pelajarnya yang terbaik untuk dikirim ke
luar jazirah arab guna mengembangkan ide-idenya, terutama ke Indonesia dan Cina. Bahkan dalam
penerimaan pelajar yangg ingin sekolah di lembaga pendidikannya, lebih diutamakan mereka yang
berasal dari Indonesia, Cina, dan daerah-daerah lainnya.34
Penyaringan yang ia lakukan dengan mengutamakan pelajar dari luar jazirah arab kemudian
mengirimnya kembali ke daerah –daerah, di satu sisi terkesan bersifat kurang universal. Padahal
lembaga pendidikan merupakan sarana yang tidak mengenal pengklasifikasian peserta didik pada
kotak-kotak tertentu. Tapi, pada hakekatnya, disisi lain, kebijaksanaannya ini mengandung nilai
politis tersendiri. Bukan mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dan merugikan
kelompokkan yang lain, akan tetapi sebagai upaya untuk “membumikan” ide-idenya di seluruh
dunia Islam. Dengan pesan-pesan idenya lewat perantara para pelajar tersebut, dimaksudkan agar
umat termotivasi dan tumbuh semangatnya untuk bangkit dari ketertinggalannnya selama ini. Di
sisi lain, dengan semangat yang dilontarkan lewat ide-idenya berupaya untuk menumbuhkan
semangat nasional-keagamaan umat Islam seluruh Islam dunia untuk bersatu dalam misi dan visi
Islam, sehingga umat tidak terbelenggu dan terkotak yang mudah dihancurkan oleh umat yang lain
(barat). Melihat idenya ini, merupakan langkah yang cukup briliyan dan strategis yang dilakukan
Rayid Ridha sebagai kelanjutan dari ide-ide pembaharuannya.
Ketiga, reformasi bidang politik. Dalam bidang ini, --sebagaimana mana al-Afghani dan
Abduh-- Ridha melihat, keterbelakangan umat Islam tidak lain disebutkan karena umat tidak lagi
menghidupkan manusia ijtihad dan persatuan umat. Umat Islam tekotak-kotak pada beberapa
bagian, yang antara bagian yang satu dengan yang lain saling mencurigai. 35 Untuk menghindari
hal yang demikian, Ridha menekankan pentingnya membangun kembali ukhuwwah Islamiyyah
(kesatuan, persaudaraan Islam), sebagai wahana pemersatu umat Islam, yaitu atas dasar satu
keyakinan yang sama, bukan atas dasar bahasa dan negara. Umat Islam harus bersatu di bawah
satu keyakinan, di sistem moralm sistem pendidikan, dan sistem hukum dan perundang-undangan,
tanpa dibatasi oleh batas teritorial suatu negara. 36
Kesatuan misi dan visi dalam Islam di atas, tidak akan dapat tercapai bila tanpa ada kesatuan
pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun bentuk pemerintahan yang menjadi model

33
Nasution, Pembaharuan, hlm. 71.
34
Al-‘Adawi, Rasyid Ridha, hlm. 184-185.
35
Tim Penyusun,Ensiklopedi Islam, hlm. 163.
36
Nasution, Pembaharuan, hlm. 74. Lihat juga, Lubis dan Syahminan, Perspektif Pembaharuan.
dari ide Ridha adalah pemerintahan yang berbentuk kekhalifahan (khilafah), seperti yang
dipraktikkan oleh Nabi dan Khulafa al-Rasyidin. Untuk itu, jabatan khalifah harus dipegang oleh
seorang mujtahid dan tidak bersifat absolut atau bersifat monarchi. Khalifah merupakan pemimpin
pemerintahan bagi seluruh umat. Ia merupakan pengembang “amanat” Nabi dan Khulafa al-
Rasyidin dalam memelihara kehidupan umat, baik itu kehidupan dunia, maupun akhirat (agama). 37
Oleh karenanya, jabatan khalifah adalah merupakan kewajiban Syar’iah, sebab, eksistensi khalifah
sangat penting dalam menegakkan dan menerapkan hukum-hukum syari’at Islam yang
memungkinkan untuk membangkitkan kembali semangat keagamaan dan dinamika kebudayaan
umat seperti pada masa kejayaan Islam pada periode awal. Sebab, Islam adalah merupakan agama
untuk kedaulatan, politik, dan pemerintahan, yang bertujuan membawa umatnya berkebudayaan
tinggi sebagai upaya pelaksanaan amanat yang diberikan Allah kepadanya, yaitu sebagai ‘abd dan
khalifah fi al-ardh.38
Agar khalifah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pemimpin umat, seperti yang dilakukan
oleh sistem kekhalifahan pada periode awal, dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, maka
dalam menjalankan roda pemerintahannya, ia dibantu oleh para ulama --yang terdiri dari ulama
dan pemuka masyarakat-- yang bertugas mengawasi dan memberikan sarann-saran kepada
khalifah dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Dewan ini (ahl al-hall wa al-’aqd)
berfungsi untuk mengawasi tindakan-tindakan khalifah yang dianggap menyalahi nash sehingga
dengan segera dapat dihindari.39
Dengan perpaduan dan kerjasama antara khalifah dan ulama --yang terhimpun dalam majlis
syura-- akan sangat membantu khalifah dan keadilan, memelihara agama, demokrasi, dapat
terwujudkan. Bila ini terjalin, akan berdampak sangat positif dalam menyelamatkan umat dari
keterbelakangan dan penindasan, sehingga akan mampu membangun kembali peradaban Islam
yang telah hilang.40
Untuk merealisasikan ide-idenya tentang politik yang berupaya menyatukan umat pada satu
sistem pemerintahan, ia mencoba menyebarkannya lewat media tulisan (majalah al-Manar). Lewat
majalah al-Manar, ia menulis dan memuat karangan-karangannya yang bernuansa menentang
pemerintahan absolut yang dipraktikkan kerajaan Turki Usmani. Namun di sisi lain, tulisan-
tulisannya juga menentang politik Inggris dan Prancis yang berupaya memecahbelahkan dunia
arab, yang kemudian membagi dunia arab di bawah kekuasaan koloni mereka. Bila ini terjadi,
menurut pandangan Ridha, akan mengancam eksistensi dunia Islam sendiri, sekaligus akan
menempatkan Islam di bawah hegemoni barat. Untuk mengantisipasi agar kondisi ini tidak terjadi,
Ridha berupaya menggagalkan rencana politik Inggris dan Prancis, dengan cara melakukan
kunjungan ke beberapa negara Arab untuk menjelaskan bahaya politik bila Arab mau bekerjasama

37
Rasyid Ridha, al-Khilafat aw al-Imamat al-‘Uzhmat, (Kairo: Al-Manar, tt.), hlm. 10.
38
Rasyid Ridha, al-Wahyu al-Muhammadi (Mesir: Mathba’at al-Qahirat, 1960), hlm. 239.
39
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam.
40
Hourani, Arabic Thought, hlm. 234.
dengan Prancis dan Inggris untuk menjatuhkan Kerajaan Turki Usmani, 41 sebab antara Arab dan
Turki Usmani merupakan saudara terikat oleh benang akidah islamiyah.
Mengikuti alur pemikirannya di atas, sekilas terkesan agak kontradiktif. Sebab, di satu sisi,
ia menentang sistem politik Turki Usmani yang otoriter, namun di sisi lain, Ridha berupaya mati-
matian untuk menggagalkan aliansi negara-negara Arab dengan Inggris dan Pranci, yang berusaha
merebut dan menggulingkan kekuasaan Turki Usmani. Sesungguhnya, penentangannya terhadap
politik Turki Usmani itu lantaran citra kekhalifahannya yang telah memudar, bahkan berubah
menjadi absolut. Absolutisme inilah yang ditentang oleh Ridha, bukan eksistensi Turki
Usmaninya, yang memiliki warna keyakinan yang sama, yaitu aqidah Islamiyah.
Bila melihat dari ide-ide yang dikemukakan Ridha di atas, menurut penilaian Ira M. Lapidus,
Ridha merupakan seorang pemikir agamis konservatif, 42 sebab ide-idenya tersebut terkesan
bersifat untuk melakukan pemurnian ajaran keagamaan, sebagaimana yang telah “diselewengkan”
oleh umat Islam waktu itu. Bahkan, menurut Henry Muncon, Jr., Ridha, dibanding Abduh
(gurunya), tak lebih merupakan seorang penengah polemik daripada seorang pemimpin politik. 43
Ia masih terikat kepada pendapat-pendapat ulama abad pertengahan, padahal ia telah berhadapan
dengan zaman modern dan menyaksikan kelemahan sistem khilafah yang dihapus oleh Mustafa
Kemal Attaturk. Di sini terlihat Ridha tidak memunculkan pemikiran-pemikiran yang orisinil.
Tampaknya ia hanya berupaya mempertahankan pemikiran-pemikiran yang telah ada dan dinilai
mampu mengangkat peradaban dunia Islam. Pandangan ini secara jelas juga diungkapkan William
L. Cleveland, yang mengatakan bahwa ide-ide Ridha terlihat cenderung bersifat mempertahankan
tradisionalitas ketimbang sebagai seorang pembaharu.44

4. Ide Pembaharuan Rasyid Ridha dan Pengaruhnya di Dunia Islam


Terlepas dari setuju atau tidak dalam menilai ide-ide yang dikembangkan Ridha di atas,
menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan salafiyah yang dikembangkan Rasyid Ridha, bergerak
dengan tetap ke arah suatu jenis faham fundamentalis yang erat hubungannya dengan
Wahabisme.45 Statemen ini dapat dilihat dengan disahutinya gema pembaharuan yang ditawarkan
Ridha dikawasan dunia Islam lainnya, melalui media majalah al-Manar.
Di Jazirah Saudi Arabia, gaung pembaharuan Rasyid Ridha diterima oleh kalangan penjabat
tinggi kerajaan, sehingga membangkitkan kembali semangat Wahabisme yang telah lama
terpendam. Ide ini kemudian dikembangkan dan dijadikan sebagai warna pemerintahan Saudi
Arabia dengan nama Neo Wahabi, di bawah protektorat Raja Abdul Aziz Ibn Sa’ud. 46

41
Nasution, Pembaharuan, hlm. 72.
42
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York : Cambridge University Press, 1988), hlm. 666.
43
Henry Munson, Jr., Islam and Revolution in The Midle East (New Heaven and London : Yale University Press,
1988), hlm. 76.
44
William L. Cleveland, A History of The Modern Middle East (Colorado: Westview Press Inc., 1994), hlm. 220.
45
Rahman, Islam.
46
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam. Terj. Mahnun Husen (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 62-63.
Sementara di Aljazair, ide-ide Rasyid Ridha diterima dan disebarkan oleh kelompok yang
dinamakan diri “Perhimpunan Ulama Aljazair”, yang menunjukan ide-ide Ridha untuk melawan
kelompok Murabitah dan tarekat-tarekat sufi, di bawah pimpinan Abdul Hamid bin Badis (1889-
1940).47 Kelompok-kelompok lain yang serupa, yang juga mengembangkan ide-ide Ridha juga
terdapat di Marokko, dengan tujuan utama untuk melepaskan diri dari kolonialisme Prancis dan
Spanyol.48 Pengaruh ide-ide Ridha tampak jelas menjadi stimuli dan faktor penting dalam konteks
munculnya gerakan-gerakan modernis yang bertujuan ganda, baik sebagai pemurnian ajaran Islam
maupun reaksi untuk mengusir penjajah dari nusantara. Gerakan-gerakan tersebut dapat dilihat,
seperti munculnya gerakan Muhammadiyah, 49 Persatuan Islam (Persis),50 al-Irsyad,51 dan gerakan-
gerakan kepemudaan lainnya.
Gerakan-gerakan ini dimulai ketika para pelajar dan mahasiswa Indonesia belajar di Tanah
Suci dan Mesir, sehingga selain mereka bisa merasakan sendiri secara langsung pengaruh ide
pembaharuan “neo-Salafi” nya Ridha, mereka juga berhasil menyelundupkan majalah al-Manar
ke tanah air, sehingga dapat dipelajari oleh pemuda-pemuda Islam di seluruh persada nusantara. 52
Dengan semangat yang diperkenalkan Ridha lewat majalah al-manar, telah mampu menyadarkan
dan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan banagsa. Menggugah dinamika intelektual
dan politik bangsa, untuk melawan kolonialisme di tanah air. Ini akhirnya terbukti --tanpa
menafikan faktor lain-- dengan di proklamirkannya kemerdekaan Indonesia.

47
Gibb, Aliran-Aliran Modern, hlm. 63-64.
48
Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, hlm. 164.
49
Uraian mengenai kelahiran Muhammadiyah beserta aktivitasnya lebih lanjut lihat M. Yusron Asrofi, K.H.A. Dahlan
: Pemikiran dan Kepemimpinannya (Yogyakarta : Offset Yogyakarta, 1983). Lihat juga Jammes L. Peacock, Purifying
the Faith : The Muhammadiyah Movement in Indonesia (California : The Benjamins/Cumming Publishing Company,
1978).
50
Howard M. Fiderspield, Persatuan Islam : Islamic Reform in Twentienth Century Indonesia (New York: Cornel
University, 1970), baca juga Syafiq A. Mughni, A. Hasan Bandung : Pemikir Islam Radikal (Surabaya: Bina Ilmu,
1980).
51
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942 (Jakarta : LP3ES, 1982).
52
Mukti Ali, Modern Islamic Thought in Indonesia (Yogyakarta : Yayasan NIDA, 1972), hlm. 31.

Anda mungkin juga menyukai