Anda di halaman 1dari 5

Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh ibn Hasan Khayr merupakan salah satu figur penting Islam pada
abad ke-20. Di tempat asalnya, Mesir ia dikenal sebagai ilmuwan besar dan seorang
pembaharu dalam dunia Islam. Selama masa hidupnya ia menggiatkan modernisme
Islam dengan cara menyintesiskan ajaran Islam dengan pemikiran modern.

Keluarga Muhammad Abduh


Muhammad Abduh lahir dari keluarga petani pada 1849 di desa Mahallat Nasr, Delta
Nil.

Meskipun tidak berasal dari keluarga kaya, ayahnya, Abduh ibn Hasan Khaurallah
mampu mendatangkan guru mengaji ke rumahnya.  Abduh pun mampu
menyelesaikan hafalan alquran pada usia 12 tahun.

Ketika menginjak usia 13 tahun atau tepatnya tahun 1862, ia memutuskan belajar di
masjid-akademi Ahmadi di kota provinsi Tanta (kota asal ibunya). Namun Abduh
kurang begitu betah di Tanta karena sistem pendidikan yang ia anggap kaku, oleh
sebab itu ia memutuskan untuk kembali ke desa asalnya.

Di Mahallat Nasr ia menjadi petani sama seperti ayahnya. Memasuki usia 16 tahun ia
memutuskan untuk menikah.

Pengaruh Sufiisme Pamannya

Setelah menghabiskan 40 hari berbulan madu, Muhammad Abduh memutuskan


kembali ke Tanta. Dalam perjalanannya ia berhenti untuk tinggal sementara dengan
pamannya bernama Darwish yang seorang sufi.

Paman Abduh merupakan  penganut Tarekat Maddaniya, sebuah tarekat yang aktif
dalam pergerakan revitalisasi dan reformasi Islam. Berkat hubungan dengan
pamannya itu, benih-benih reformis mulai berkembang di pikiran Abduh.

Abduh kembali ke Tanta sebagai seorang yang berbeda, tidak hanya karena telah
menikah tetapi juga sebagai seorang Sufi.

Belajar di al-Azhar
Pada 1866 atau di usianya yang ke-17 tahun, Abduh meninggalkan Tanta untuk
melanjutkan studi di Kairo.

Pada masa itu Azhar dipimpin oleh seorang rektor bernama Mustafa al-Arusi. Ia
merupakan sosok yang menggiatkan reformasi di sekolah itu. Namun, ia mendapatkan
tantangan keras, sehingga ia akhirnya diberhentikan.

Di sekolah barunya itu, Muhammad Abduh masih melanjutkan jalan sufinya. Ia begitu
mendalami ajaran sufi, bahkan sampai memutuskan untuk membatasi hubungan
sosialnya dengan orang lain. Pada 1871, pamannya memperingatkan bahwa yang
dilakukannya melampaui batas, Abduh pun menuruti nasehat pamannya.

Pertemuan Muhamamd Abduh dengan Jamaluddin al-


Afghani

Jamaluddin al-Afghani
Salah satu titik balik dalam kehidupan Abduh adalah ketika mengikuti diskusi dengan
kelompok kecil yang dipimpin Jamuluddin al-Afghani (seorang aktivis politik yang
gencar menyuarakan persatuan Islam) di Kairo pada 1872. Saat keduanya bertemu
usia Abduh baru menginjak 23 tahun, sementara Jamal berusia 33 tahun.

Bersama dengan beberapa temannya seperti Saad Zaghlul dan Abdullah al-Nadim,
Abduh dengan tekun mengikuti pembelajaran di kelompok itu. Jamal mengenalkan
buku-bukur filsafat kepada murid-muridnya, seperti karya Ibnu Sina, Aristoteles, dan
al-Farabi. Pembelajaran filsafat merupakan hal yang ganjil dalam pendidikan di Mesir
saat itu.
Tidak hanya itu, Jamal juga mengajarkan para muridnya untuk mengkritisi karya-
karya itu dan mengajukan pertanyaan. Sebuah sistem yang berbeda dari model
pembelajaran di Tanta.

Selain belajar filsafat, Abduh juga mempelajari konsep kebebasan berpikir yang mirip
seperti konsep Mu’tazillah. Namun, ia menolak dikatakan sebagai penganut
Mu’tazillah, karena ia tidak pernah taqlid dalam satu kelompok.

Berkat pertemuannya dengan Jamal, Abduh pun menjadi sosok yang berbeda
dibanding sebelumnya. Visinya pun tidak hanya mencakup Mesir tetapi juga dunia
Islam.

Profesi Muhammad Abduh Sebagai Guru dan Jurnalis

Setelah menyelesaikan studinya pada 1877, Abduh menjadi guru di al-Azhar dan Dar
al-Ulum (tempat belajar) baru. Di sekolah-sekolah tersebut Abduh mengajar filsafat,
sejarah, dan sosiologi.

Pada 1880 ia diminta untuk mengedit Al-Waqai al-Misriyah (Peristiwa Mesir),


lembaran resmi. Di bawah kepemimpinannya, Al-Waqai al-Misriyah menjadi model
untuk standar baru prosa yang modern dan lugas serta media untuk opini liberal.
Kehidupan Abduh tidak dapat dikatakan tenang tanpa permasalahan. Ketika
pemberontakan Kolonel Urabi terjadi pada tahun 1882, Abduh terlibat dan diasingkan.

Ia lalu tinggal di Beirut dan kemudian pergi ke Paris, di mana Jamaluddin telah
menetap di sana terlebih dahulu. Bersama-sama mereka mengedit jurnal yang  cukup
berpengaruh, Al-Urwa al-Wuthqa (The Strongest Bond). Jurnal itu menyerukan
pembaharuan Islam dan mengecam kolonialisme di dunia muslim.
Tidak seperti mentornya, Jamaluddin al-Afghani, Abduh mencoba memisahkan
politik dari reformasi agama. Abduh menganjurkan reformasi Islam dengan
membawanya kembali ke keadaannya yang murni dan menyingkirkan apa yang
dilihatnya sebagai dekadensi dan perpecahan kontemporer. Pandangannya ditentang
oleh tatanan politik dan agama yang telah mapan, tetapi kemudian dianut oleh
nasionalisme Arab setelah Perang Dunia I.

Abduh menghabiskan tahun 1884 dan 1885 untuk melakukan pengembaraan sebelum
akhirnya menetap di Beirut. Di kota itu ia lebih banyak menghabiskan waktunya
untuk mengajar.
Pada tahun 1888, Abduh kembali ke tanah kelahirannya Mesir, di mana ia telah
menjadi tokoh yang dikenal. Di Mesir ia bekerja sebagai hakim di pengadilan
tradisional, ia mengawali pekerjaannya di provinsi dan kemudian pada tahun 1890 di
Kairo. Selain aktif di pengadilan, ia juga menjadi juru bicara bagi orang-orang Mesir
yang kala itu berada di bawah Pemerintahan Kolonial Inggris.

Menjadi Mufti Mesir

Muhammad Abduh
Pada 1899 khedive menunjuk Abduh Kepala Mufti Mesir dan pada tahun yang sama
ia juga ditunjuk untuk dewan legislatif penasehat. Masa jabatannya sebagai mufti
ditandai oleh liberalismenya dalam menafsirkan hukum dan dengan reformasi
pengadilan agama.
Jabatan tinggi yang ia peroleh juga memberinya kesempatan untuk melakukan
reformasi pendidikan. Pada 1895 Khedive Abbas II mengangkatnya ke komisi yang
baru dibentuk yang bertugas mereformasi al-Azhar. Di dalam komisi itu, Abduh
mampu menerapkan paling tidak sebagian dari ide-ide modernismenya di sekolah itu.

Abduh berusaha menengahi antara ajaran Islam dan budaya Barat. Untuk tujuan ini ia
tak henti-hentinya mendesak para tradisionalis di Mesir. Selain mengusahakan
pembaharuan, ia juga berupaya menangkis tulisan para penulis Barat yang
menurutnya salah dalam memahami Islam. Setelah kembali ke Mesir, ia menggiatkan
kemajuan  pendidikan sebagai landasan utama pembaharuan di Mesir dan dunia Islam.

Karya-Karya Muhammad Abduh


Tulisan-tulisan Abduh cukup banyak. Di antara kitab-kitab religius ada beberapa judul
yang sangat dikenal seperti Risalat al-Tauhid terbitan tahun 1897, sebuah karya yang
merangkum pandangan-pandangan teologinya; Al-Islam wa-al-Nasraniyah maal-Ilm
wa-al-Madaniyah (Islam dan Kristen dalam kaitannya dengan Sains dan Peradaban)
terbitan tahun 1902; dan Al-Islam wa-al-Radd ala Muntaqidih (Islam dan Bantahan
terhadap Kritiknya)  tahun 1909.
Di bidang bahasa dan sastra Abduh menulis komentar-komentar yang luas tentang
beberapa karya sastra Arab klasik dan menyalurkannya pada sebuah karya 17 volume
pada filologi Arab; di bidang duniawi ia menuliskan Taqrir fi Islah al-Mahakim al-
Shariyah (Laporan tentang Reformasi Pengadilan Syariah).
Di antara karya-karya itu, karya Abduh yang paling ambisius adalah Tafsir al-Quran
al-Hakim. Sayangnya proyek besar tidak pernah selesai, tetapi 12 volume yang ia tulis
adalah ekspresi paling penting dalam pandangan modernis tentang kitab suci Islam.

Setelah kematiannya pada tahun 1905, pemikiran Abduh disebarluaskan oleh


muridnya Rasid Ridha.

Tidak dapat dipungkiri Ide-ide Abduh dipenuhi dengan antusiasme yang besar, tetapi
juga harus menghadapi tantangan besar. Bahkan ide-ide modernisme yang diusungnya
masih menjadi perdebatan khususnya dalam modernisme dunia Islam sekarang.

Anda mungkin juga menyukai