Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

DISUSUN
OLEH:
Muhammad Rizqi Muttaqin (150410069)
Nana Suryani S (180410063)
Yanri Wibowo Nababan (180410062)
Eli Junita Berutu (180410025)
Prodi :PGSD

Dosen Pembimbing : Khana Dhien Zukhruf S.Pd,M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SAMUDRA
LANGSA
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan perkara yang senantiasa menyibukkan para


pemikir dan peneliti. Walau berbeda pendapat dalam mendefinisikan dan
tujuan, akan tetapi mereka bersepaham tentang urgensi pendidikan terhadap
masyarakat, yaitu sebagai prasarat hidup layak serta mencapai kemuliaan baik
di dunia maupun di akhirat.
Terlebih pada masa kini, yang mendorong antarindividu saling bersaing
dari berbagai lini dan aspek kehidupan.
Berbeda dengan kehidupan masa lalu. Kebutuhan manusia masih sederhana,
sedikit, dan tidak kompleks. Bandingkan dengan sekarang, yang kian hari kian
bertambah kebutuhannya, seiring dengan perkembangan peradaban dan
meningkatnya kebutuhan manusia.[ Lihat Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim,
Juz Pertama, (Ponorogo, Darussalam Press, 2005), h. 4]
Sekurang-kurangnya tujuan pendidikan secara umum ada tiga, yaitu :

1. sebagai alat mencari mâ’isah,


2. Dilandasi kepentingan ilmu pengetahuan
3. Pembentukkan akhlak.

Sementara dalam Islam tujuan terpenting pendidikan adalah


membentuk akhlak yang mulia, dengan tanpa mengkesampingkan tujuan-
tujuan lainnya.
Sebagaimana Allah firmankan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat
21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Menurut penuturan Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., dalam al-Qur’an
terdapat 2.500 kali diucapkan kata-kata iman bersanding dengan akhlak
mulia.
Hal ini menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam
menitikberatkan kepada akhlak mulia sebagai manifestasi dari keimanan.
Pada makalah ini, akan sedikit menguraikan salah satu tokoh yang
dianggap reformis di kalangan Islam, beliau adalah Muhammad Abduh
yang pernah hidup antara 1849 s.d. 1905.
Yang menarik bagian awal pendidikan Abduh sepenuhnya berada
pada garis tradisional, dengan methode hafalan. Tetapi, sejak awal ia
telah menunjukkan sikap kritis terhadap metode tersebut yang dinilainya
tidak mengembangkan pengertian dan kreativitas. Pendidikan
tradisionalnya dilengkapi dengan belajar di Univesitas Al-Azhar; tamat
pada tahun 1877, kemudian mengajar di sana.[ Lihat Syahrin Harahap
dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta, Prenada
Media, 2003), h. 274.]
Di sinilah ladang Muhammad Abduh berjuang merubah sistem
pendidikan tradisional menjadi modernis.

RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABDUH


Muhammad Abduh lahir pada tahun 1848 M./ 1265 H. di sebuah Desa
Propinsi Gharbiyyah Mesir Hilir. Ayahnya bernama Muhammad Abduh ibn
Hasan Khairullah. Abduh lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup
sederhana, taat dan cinta ilmu pengetahuan. Orang tuanya berasal dari kota
Mahallaj Nashr.[ Lihat Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri
Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana,
2009) h. 240]
Ayahnya bukan seorang bangsawan yang kaya tetapi cukup berwibawa
dan terhormat. Ibunya keturunan Arab, silsilahnya sampai kepada Umar ibn
Khathab. Kakek Muhammad Abduh diketahui turut menentang pemerintahan
Muhammad Ali. Kenyataan itu dituduhkan pula kepada Abduh Hasan
Khairullah, ayah Muhammad Abduh. Karena tuduhan itu ayahnya sempat
dipenjara untuk beberapa lama, sebelum ia menetap di al-Gharibiah dan
mengikat tali perkawinan dengan ibu Muhammad Abduh.[ Lihat Asnil Aida
Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung,
Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 124]
Abduh mengawali pendidikannya dengan berguru pada ayahnya di
rumah. Pelajaran pertama yang diperolehnya adalah membaca, menulis, dan
menghafal Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun. Ia telah menghafal
seluruh ayat Al-qur’an. Kemudian, pada usia 14 tahun ia dikirim ayah ke Tanta
untuk belajar di mesjid al-Ahmadi fikih.[ Lihat A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia
Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) h.13]
Di tempat ini ia mengikuti pelajaran yang diberikan dengan rasa tidak
puas, bahkan membawanya pada rasa putus asa untuk mendapatkan ilmu. Ia
tidak puas dengan metode pengajaran yang diterapkan yang mementingkan
hafalan tanpa pengertian bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada
menghabiskan waktu menghafal istilah-istilah nahu dan fikih yang tidak
dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallat nashr (kampungnya) dan hidup
sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun.
Keputusan Muhammad Abduh untuk meninggalkan dunia pendidikan
tidak disetujui oleh orangtuanya. Maka dengan terpaksa ia kembali ke Thanta.
Namun, dalam di tengah perjalanannya ia merubah arah tujuannya. Ia bukannya
ke Thanta, melainkan ke sebuah desa yang bernama Kanisah Urin, di sana
tinggal pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr, seorang alim yang
banyak melakukan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu
agama, dan sangat perhatian dengan bidang tafsir al-Qur’an.
Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh kembali membaca
buku. Ia berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang
dibacanya.
Atas bantuan pamannya, ia akhirnya mengerti apa yang dibaca. Sejak saat
itulah minat membaca mulai tumbuh dan berusaha membaca buku-buku secara
mendiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya ia tanyakan kepada Darwisy
Khadr. Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa sebab utama ia
meninggalkan pelajaran pada waktu sebelumnya adalah karena rendahnya minat
untuk belajar.[ Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam
Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008) h. 125]
Setelah mengalami banyak perubahan dan kemajuan, ia meninggalkan Thanta
dan menuju Kairo pada tahun 1866.
Akan tetapi kondisi al-Azhar pada saat itu, terbelakang dan jumud.
Karena segala sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan al-Azhar adalah
perbuatan kafir, seperti membaca buku geografi, filsafat, dan jenis-jenis buku
umum hukumnya haram, bahkan memakai sepatu merupakan bid’ah. Kemudian
ia juga menemukan metode yang sama dengan Thanta, yang membuat
Muhammad Abduh kembali kecewa.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh
mempelajari ilmu filsafat, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang
intelektual bernama Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawil
pun kurang memuaskan diriya. Pelajaran yang diterimanya di al-Azhar juga
kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku di perpustakaan al-
Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik,
filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani.
Pada tahun 1877 ia menempuh ujian untuk mencapai gelar al-Alim. Ia
lulus dengan predikat baik. Setelah lulus ia mengajar di al-Azhar, di Dar al-
Ulum dan rumahnya sendiri.
Ketika pada 1296 H/1879 M, Jamaluddin Al-Afghani dideportasi dari Mesir,
Muhammad Abduh dipecat dari jabatannya sebagai guru. Abduh pun
memutuskan untuk kembali ke desanya. Hingga akhirnya Riyadh Pasha
mengeluarkan surat yang berisi tentang kebersihan Muhammad Abduh.
Setelah itu Muhammad Abduh menjadi pemimpin redaksi surat kabar Al-Waqai
Al-Mishriyyah. Di dalam surat kabar itulah Muhammad Abduh menyebarkan
pemikiran-pemikirannya.[ Lihat Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam,
(Bandung, Mizan Media Utama, 2010) h .335]
Muhammad Abduh, atas pengaruh gurunya Jamaluddin Al-Afghani juga
terlibat dalam kegiatan politik praktis. Ia pernah terlibat dalam peristiwa “Urabi
tahun 1881”. Peristiwa itu mengakibatkan ia tertangkap pada tahun 1882 ia
dibuang ke Syiria. Di masa pengasingan itu, Afghani mengundang Abduh untuk
datang ke Paris dan di sinilah Afghani dan Abduh menyusun gerakan al-Urwat
al-Wutsqa, yakni gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Tujuan gerakan ini
adalah untuk membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam
menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam.[ Lihat Asnil Aida Ritonga (Editor),
Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah, (Bandung, Citapustaka Media
Perintis, 2008) h. 126]
Karena dianggap berbahaya, majalah ini hanya sampai 18 nomor
penerbitan saja dan untuk berikutnya majalah ini dilarang terbit oleh Pemerintah
Prancis.
Setelah majalah al-‘Urwah al-Wutsqa tidak terbit lagi, Muhammad
Abduh mulai bosan dengan gerakan politik. Dia pun mulai memiliki keinginan
untuk melakukan perubahan melalui pendidikan dan pembaruan pemikiran umat
Islam. Abduh pun meninggalkan Al-Afghani dan kembali ke Beirut sebagai
guru Madrasah Sulthaniyyah. Dia pun menjadi penafsir Al-Qur’an di Masjid
Umari, penulis, dan editor (muhaqqiq), dan buku-buku Turats.
Di sinilah titik awal perubahan Muhammad Abduh, ia memilih memusatkan
perhatiannya pada pembaharuan melalui pemikiran dan pendidikan, sedangkan
gurunya Jamaluddin al-Afghani tetap fokus pada pembaharuan melalui
pergerakan politik.
Selanjutnya pada tahun 1885 ia pergi ke Beirut dan mengajar di sana.
Akhirnya atas bantuan temannya, pada tahun 1988 ia diizinkan pulang ke Kairo.
Di sana ia kemudian diangkat sebagai hakim, pada tahun 1894 menjadi anggota
Majelis al ‘Ala al-Azhar dan telah banyak memberikan sumbangan pemikiran
bagi pembaharuan di Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Selanjutnya pada
tahun 1899 ia diangkat sebagai Mufti Mesir hingga akhir hayatnya pada tahun
1905 dalam usia kurang lebih 56 tahun.[ Lihat Abuddin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), h. 308. ]
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DASAR DAN CORAK PEMIKIRAN PENDIDIKANNYA


Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman serta motivasinya yang
kuat untuk memajukan dunia Islam, Muhammad Abduh tidak hanya memiliki
pemikiran pendidikan yang bercorak modern, melainkan juga memiliki
pemikiran dalam bidang politik, kebangsaan, sosial kemasyarakatan, teologi dan
filsafat.
Selain itu, corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga berdasar
pada teologi rasional, filsafat dan sejarah. Dengan dasar dan corak
pemikirannya yang demikian itu, maka Muhammad Abduh dapat
mengemukakan gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai
dengan perkembangan zaman pada waktu itu.[ Lihat Abuddin Nata, Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers, 2012), h. 308.]
Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-
Afgani. Al-Afgani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui
pembaharuan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan
negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki
jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena itu ia tidak menghendaki
sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.
[ Lihat A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005) h. 257]

2.2 PEMIKIRAN PENDIDIKAN


Kesadaran akan kemunduran umat Islam, serta komitmen yang tinggi
terhadap pentingnya pembaharuan internal adalah pondasi pemikiran Abduh.
Baginya, kemunduran umat Islam disebabkan, terutama, oleh kejumudan dalam
berfikir.
Paham kejumudan ini mematikan kegiatan berpikir, mengekang
kreativitas, dan menganjurkan kepatuhan mutlak pada penafsiran tradisional
(taqlid). Di samping itu ia juga menyerang berbagai kepercayaan dan praktik
keagamaan yang menyimpang dari Islam sesungguhnya, seperti kepasifan dan
fatalisme.
Masalah ini hanya mungkin diselesaikan dengan penafsiran kembali Islam serta
penerapannya melalui pendidikan dan reformasi sosial keagamaan.
Masalah serius lainnya yang dihadapi umat adalah orientasi dalam
menghadapi zaman modern, yang telah memecah mereka menjadi dua
kelompok: kelompok tradisional dan kelompok modernis. Kelompok pertama
sangat kuat berpegang pada tradisi dan pemahaman lama tentang Islam yang
jumlahnya terus mengecil.
Kelompok kedua mengagungkan rasionalisme dan pertimbangan
rasional-material, kelompok ini sedang berkembang pesat.
Perpecahan ini terefleksi dan sekaligus diperparah oleh dualisme dalam
pendidikan umat Islam. Sistem pendidikan tradisional memfokuskan diri
semata-mata pada ilmu-ilmu agama dan dengan cara yang tidak memungkinkan
alumninya siap menghadapi perubahan zaman yang cepat. Di sisi lain,
pendidikan modern sedemikian sekuler sehingga gagal menanamkan nilai-nilai
relegius yang positif dalam diri genarsi muda. Yang dilihat Abduh adalah
sebuah disorientasi sosial dan proses sekularisasi di tengah masyarakat yang
tidak sepenuhnya sekular.[ Lihat Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution,
Ensiklopedi Aqidah Islam, (Jakarta, Prenada Media, 2003), h. 275.]
Latar belakang lahirnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh
disebabkan oleh faktor situasi sosial keagaman dan situasi pendidikan yang ada
pada saat itu. Karena Muhammad Abduh beranggapan bahwa kejumudan
pemikiran telah merasuki berbagai bidang kehidupan seperti bahasa, syari’ah,
akidah, dan sistem masyarakat.
Menurutnya salah satu penyebab hal ini terjadi adalah karena paham dari
akidah jabariah. Ajarannya jabariyah memiliki kecenderungan untuk bersikap
sikap pasif dan kepercayaan kepada kasih sayang Tuhan, sehingga terjadinya
penyimpangan dan mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Dan faktor lain adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu merupakan
sistem yang dibangun oleh Muhammad Ali pada abad ke 19 sebagai pembaharu
awal pendidikan di Mesir. Ia menilai bahwa pembaharuan itu tidak seimbang,
karena hanya menekankan perkembangan aspek intelek. Akibatnya sistem ini
mewariskan dua tipe pendidikan yaitu: Tipe pertama adalah sekolah-sekolah
agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi. Sedangkan
tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah
Mesir, maupun yang didirikan oleh bangsa asing.
Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu
dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan pendidikannya.
Ilmu-ilmu Barat tidak dibenarkan di sekolah-sekolah agama. Dengan
demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan
intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa
tersebut sejaar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya
pemikiran yang statis tetap mendominasi corak pemikiran guru dan murid pada
saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah, tetapi juga dalam
kalangan al-Azhar sendiri.[ Lihat Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah
dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan
Bintang, 1993) h.194-195, Lihat juga Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,
h.248]
Selain terjadinya kasus-kasus yang demikian, dualisme pendidikan yang
demikian melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah
yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan
menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe
sekolah yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan
yang mulai pada abad ke sembilanbelas.
Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh mereka dapat menerima
ide-ide yang datang dari Barat. Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif
dari kedua bentuk pemikiran yang demikian. Ia memandang bahwa pemikiran
yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Usaha-usaha untuk
mepertahankan pemikiran yang demikian hanya akan menyebabkan umat Islam
tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan
pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan
moral yang akan tergoyahkan oleh pemikiran modern yang mereka serap. Dari
itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua
institusi tersebut, sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit.
Latar belakang inilah yang akhirnya melahirkan pemikiran Muhammad
Abduh dalam bidang pemikiran pendidikan formal dan nonformal, dengan
bertujuan untuk menghapus dualisme pendidikan.
Dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh mengarahkan
pemikirannya kepada empat hal, yaitu tujuan, kurikulum, metode pengajaran,
dan pemberian pendidikan terhadap wanita.
Muhammad Abduh merumuskan tujuan pendidikan, yaitu : “ Tujuan
pendidikan ialah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-
batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagian hidup dunia dan akhirat.”
Dari rumusan tujuan pendidikan yang demikian dapat dipahami, bahwa tujuan
pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas,
mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan
yang demikian pula ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai
struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan
akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan Muhammad Abduh yang
demikian jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan saat itu yang hanya
mementingkan salah satu aspek dan mengabaikan aspek yang lainnya.
Beberapa gagasan dan pemikiran beliau secara singkat dituliskan oleh
Prof. Dr. H. Abuddin Nata dalam bukunya ”Pemikiran Pendidikan Islam dan
Barat” sebagai berikut :
Menghilangkan Dikotomi Pendidikan
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pada waktu itu pendidikan agama
terpisahkan dengan pengetahuan umum. Keduanya berjalan terpisah.
Untuk mengatasi dikotomi yang demikian, Muhammad Abduh mengusulkan
agar dilakukan lintas disiplin ilmu antarkurikulum madrasah dan sekolah,
sehingga jurang pemisah antara kaum ulama dan ilmuwan modern akan hilang.
Gagasannya ia terapkan di Universitas al-Azhar, yaitu dengan melakukan
penataan kembali struktur pendidikan, yang kemudian dilanjutkan pada
sejumlah lembaga pendidikan yang berada di Thanta, Dassus, Dimyat,
Iskandariyah, dan lainnya.
Said Ismail Ali dalam bukunya Pelopor Pendidikan Islam Paling
Berpengaruh, menambahkan : Bagaimana metode pengajaran yag dominan
digunakan di al-Azhar saat itu tidak menjelaskan dan membentangkan persoalan
sebagaimana mestinya. Kerancuan dan keambiguan selalu menyertai materi
pelajaran yang disampaikan. Anak-anak didik tidak menemukan jalan lain di
hadapannya kecuali menghafal tanpa dibarengi dengan pemahaman dan
kesabaran.
Akhirnya, terjadi keterputusan antara pengetahuan dan perilaku. Di sini
Abduh merasakan akan urgensitas metode pengajaran. Berangkat dari sini,
Abduh menekankan metode pengajaran kepada para tenaga guru pendidik di al-
Azhar. Yang seharusnya lebih diperhatikan adalah “Bagaimana cara kita
mengetahui ? “ dan bukan “ Apa yang akan kita ketahui ? “.
Pasalnya, melatih anak didik tentang cara memperoleh ilmu pengetahuan bisa
menuntun mereka pada perangkat utama dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Jadi ketika mereka merasa memerlukan satu pengetahuan tertentu maka mereka
bisa mencari dan memperolehnya sendiri.[ Lihat Said Ismail, Pelopor
Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-Kautsar, 2010), h.
164]
Pengembangan Kelembagaan Pendidikan
Dalam upaya mengembangkan kelembagaan pendidikan, Muhammad
Abduh mendirikan sekolah menengah pemerintahan untuk menghasilkan tenaga
ahli dalam berbagai bidang yang dibutuhkan, yaitu bidang administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian dan sebagainya. Melalui berbagai lembaga pendidikan
ini, Muhammad Abduh memasukkan pendidikan agama, sejarah dan
kebudayaan Islam.
Selain itu, pada madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-
Azhar; Muhammad Abduh memasukkan pelajaran manthiq, falsafah, dan
tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik
adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya,
ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku
sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan
judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Arabiah.
Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan masalah yang sangat perlu diperhatikan karena
tanpa kurikulum yang sesuai dengan apa yang diharapkan, maka semua itu tidak
akan terwujud dengan baik. Demikian pula kenyataan yang dialami Muhammad
Abduh di dalam mendapatkan pendidikan pada madrasah-madrasah di Mesir,
artinya kurikulum di Mesir terjadi pada dualisme atau perbedaan yang sangat
mendasar antara kurikulum di madrasah dengan kurikulum di sekolah yang
didirikan pemerintah.
Metode mengajar para gurupun menjadi perhatiannya, karena pada waktu ia
belajar, ia merasa bosan dengan metode hafalan melulu pada sekolah agama,
sehingga ia tidak tinggal diam dan mencoba merobah metode hafalan tersebut
dengan metode diskusi.
Pengembangan Kurikulum Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya
dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran
agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu
pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa
dan pribadi muslim. kepribadian muslim, manusia, khususnya rakyat Mesir
pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat
membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
Pengembangan Kurikulum Sekolah Menengah dan Kejuruan
Pengembangan kurikulum Sekolah Menengah dan Sekolah Kejuruan dilakukan
dengan memasukkan mata pelajaran Manthiq, dan falsafah yang sebelumnya
tidak boleh diajarkan. Selain itu, memasukkan pula pelajaran tentang sejarah
dan peradaban Islam dengan tujuan agar umat Islam mengetahui berbagai
kemajuan dan keunggulan yang pernah dicapai dunia Islam di masa silam,
sebagai pemicu bagi lahirnya kebanggaan terhadap Islam serta semangat untuk
membangun kembali kejayaan umat Islam.
Pengembangan Kurikulum Univeritas Al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi di Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat pada saat itu. Dalam hal ini, Abduh memasukkan mata kuliah ilmu
filsafat, ilmu logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-
Azhar. Hal ini dilakukannya agar output Al-Azhar dapat menjadi ulama
modern, yang sesuai dengan zaman dan kondisi mereka hidup. Di Al-Azhar,
dalam melakukan perubahan ini, Muhammad Abduh merasa sendirian, tidak
ada orang yang sudi membatunya untuk menerapkan perubahan ini. Namun
bagi Abduh, ia hanya berusaha, soal diterima atau tidak itu urusan lain. Ia
pernah berucap, “Aku sudah memberikan bibit yang baik untuk Al-Azhar, kalau
ia tumbuh, berbuah, dan dapat dinikmati oleh akal dan spirit, maka Al-Azhar
akan kekal dengan corak yang baru. Tetapi, kalau tidak demikian, maka Al-
Azhar hanya bisa menunggu keputusan akhir dari Allah SWT.
Pengembangan Metode Pengajaran
Dalam bidang metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia
pendidikan saat itu. Ia mengeritik degan tajam penerapan metode hafalan tanpa
pengertian yang umumnya dipraktikkan di sekolah-sekolah saat itu. Terutama
sekolah-sekolah agama. Ia tidak menjelaskan dalam tulisan-tulisannya metode
apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi apa yang dipraktikkannya ketika ia
mengajar di al-Azhar tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi untuk
memberikan pengertian yang mendalam kepada murid.
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hafalan
dengan metode rational dan pemahaman. Siswa di samping menghafal sesuatu
juga harus memahami tentang materi yang dihafalnya.

Ia juga mnghidupkan kembali metode munazharah (diskusi) dalam


memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta terhadap para
ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa al-
Azhar. Ia juga menjadikan bahasa Arab yang selama ini hanya merupakan ilmu
yang tidak berkembang menjadi ilmu yang berkembang yang dapat diperg
unakan untuk menterjemahkan teks-teks pengetahuan modern kedalam bahasa
Arab.[ Lihat RamayulisSamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam
Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta,
Quantum teaching, 2005), h. 48]
Di samping itu Muhammad Abduh juga membuat sebuah metode yang
sistematis dalam menafsirkan al-Qur’an dengan berpedoman pada lima prisnip
sebagai berikut. Pertama, menyesuaikan peristiwa-peristiwa yang ada pada
masanya dengan nash-nash al-Qur’an; Kedua, mennjadikan al-Qur’an sebagai
sebuah kesatuan; Ketiga, menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat;
Keempat, menyederhanakan bahasa dalam penafsiran; Kelima, tidak
mengabaikan berbagai peristiwa sejarah yang menyertai turunnya ayat-ayat al-
Qur’an.

Pendidikan Wanita
Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan
lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak yang sama dari Allah. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, yaitu : “ …
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan
cara yang ma’ruf…”
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “.
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan
lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan pahala yang
diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag bersifat
keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita
berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita”
katanya, “harus dilepaskan dari rantai kebodohan “,
dan yang demikian hanya mungkin dengan memberi mereka pendidikan.[ Lihat
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu
Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993) h.156]

2.3 ANALISIS
Muhammad Abduh terlahir di keluarga yang concern terhadap
pendidikan, walaupun orang tuanya tidak bergelimang harta, hanya seorang
petani.
Ia tumbuh dan berkembang dihadapkan dengan pola pendidikan yang tidak
sejalan dengan alam pemikirannya. Mesir pada waktu itu dipimpin oleh seorang
yang mengedepankan pendidikan barat, agar mampu bersaing dengan negara
lain dari segi kemajuan dan mengkesampingkan pendidikan agama. Pola ini
menghasilkan teknokrat, intelek yang gersang terhadap nilai-nilai agama.
Di sisi lain, terdapat kelompok yang enggan untuk berkembang, bertahan
terhadap pendidikan dan pengajaran pendahulunya tanpa mau terjadinya
perubahan. Hal ini melahirkan kelompok fundamental, tidak mau menerima
perubahan, apapun itu bentuknya.
Masa pembelajaran beliau Abduh juga menggunakan methode yang
membosankan “Kal Babgho” seperti Beo yang tidak mengerti makud dari yang
dihafal.
Al Azhar haram hukumnya mengajarkan hal-hal yang bertentangan
dengan ketentuan dan berseberangan dengan ide-ide tokoh Azhar. Karena
memang pada masa Al-Ayubi Azhar dibekukan hapir satu abad lamanya. Ini
juga berimbas terhadap pendidikannya yang mengharamkan mempelajari
filsafat, mantiq, fisika dan pengetahuan umum lainnya.
Beliau juga pernah berpolitik praktis dengan gurunya Al-Afghani,
mengakibatkan diasingkan dari negara satu ke negara lainnya, sampai
diasingkan ke Paris Perancis. Hingga pada akhirnya beliau berpendapat, bahwa
merubah ummat tidak harus merubah negara atau revolusi, tetapi melalui jalur
evolusi.
Abduh mulai meletakkan sendi-sendi ide pendidikannya pada masa ia
terpilih menjadi Anggota Majlis al A’la Al-Azhar pada tahun 1894.
Beliau merubah pembelajaran Al-Azhar dan sekitarnya yang bisa kita lihat dan
rasakan sampai saat ini sudah bervariasi, bahkan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mengadopsi pembelajarannya dengan membuka Fakultas Dirosah
Islamiyah.
Efek pembaharuan Abduh pada lini pendidikan juga menginspirasi
Founding Father kita seperti Moch. Hatta, Mas Mansur, Nasir, Mahmud Yunus,
Mukti Ali, Munawir Sadzali dan masih banyak lagi untuk mendirikan lembaga
Islam di Indonesia yang bisa bersaing dan berbicara di pentas dunia, sebagai
contoh muncul Azzumardi Azra, Dien Syamsudin.
Konsep pendidikan Abduh mampu menghilangkan dikotomi pendidikan dan
kejumudan pada masyarakar Mesir pada waktu itu.
Ide beliau adalah melahirkan ulama’ yang intelek. Pengertiannya adalah
kemampuan mengakomodir berbagai pendekatan-pendekatan normatif dapat
terelaborasi turun ke bumi, tidak hanya mengawang-awang di langit. Mampu
mengaktualisasikan makna teologis deduktif.
Di samping pendidikan, Abduh juga menafsirkan al-Qur’an. Dalam
tafsier al-Manar, al-qur’an ditafsierkan berdasar analisis sosiologis dan historis.
Sebagai contoh, dalam teks al-qur’an dijelaskan bahwa pencuri harus dipotong
tangannya. Muhammad Abduh memandang, bahwa orang yang mempunyai
kekuasaan tidaklah cukup dipotong tangannya, melainkan haruslah ditutup
akses kekuatan dan kekuasaannya agar tidak bisa lagi mencuri.
Pemikiran beliau sejalan apa yang diterapkan oleh Umar bin Khottob Al-
Faruq yang tidak memotong tangan pencuri pada waktu itu, karena konteksnya
banyak terjadi kelaparan, musim paceklik yang mendera masyarakat.
Mengenai harkat dan martabat wanita, Abduh menilai bahwa ia memiliki
peranan dan hak sama terhadap pendidikan. Pada masa Rasulullah s.a.w. Wanita
dikedepankan ke ranah publik, sehingga terkenallah wanita-wanita berprestasi,
tangguh dan menjadi panutan ummat. Namun pada masa Umayah,
pemberlakuan kepada kaum hawa kembali ke masa Jahiliyah, hukum Romawi
dan peran mereka dibatasi.
Maka menurut penulis, Abduh merupakan sosok pembaharu (mujaddid)
yang bisa dirasakan ide-ide pemikirannya sampai sekarang ini.
BAB III

PENUTUP

Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan beberapa catatan sebagai


berikut :
Pertama, Muhammad Abduh adalah seorang pembaharu, yang terlahir dari
sejarah panjang perjalanan pendidikan yang ia peroleh dan membentuk
kepribadian tersendiri, sehingga ia bukan hanya mampu merasakan kekurangan
pendidikan, akan tetapi melakukan usaha penuh untuk melakukan pembaharuan.
Kedua, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran
Muhammad Abduh. Yaitu, Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh
keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-
Afghani, disamping itu lingkungan sekolah di Thanta dan Mesir tempat ia
menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta dengan keagamaan yang
statis dan fikiran-fikiran yang fatalistic. Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang
diperolehnya selama belajar disekolah-sekolah formal dari Jamaludin al-
Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari barat. Faktor politik yang
bersumber dari situasi politik dimasanya, sejak dilingkungan keluarganya di
Mahallaj Nashr.
Ketiga, Gagasan dan pemikiran Muhammad Abduh diantaranya adalah
mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu modern dengan harapan menjadi ulama’
yang intelek dan intelek yang ulama. Pembaharuan dan pengembangan
kelembagaan pendidikan, pengembangan kurikulum dan metode pengajaran.
Keempat, dalam memasukkan gagasannya Muhammad Abduh menerapkan
kurikulum pendidikan sesuai dengan jenjangnya, dari tingkat dasar sampai
kepada perguruan tinggi. Pada tingkat dasar diberikan bekal atau dasar yang
kuat tentang agama, meningkat kepada tingkat atas meningkat memasukkan
ilmu-ilmu logika atau penalaran, selanjutnya pada jenjang perguruan tinggi
mereka diberikan kebebasan mengeksplorasi daya pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005).
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers,
2012).
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu
Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung, Mizan Media Utama,
2010).
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,
(Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008).
Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim, Juz Pertama, (Ponorogo, Darussalam
Press, 2005).
RamayulisSamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta, Quantum teaching,
2005).
Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-
Kautsar, 2010).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan
Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam,
(Jakarta, Prenada Media, 2003).

Anda mungkin juga menyukai