DISUSUN
OLEH:
Muhammad Rizqi Muttaqin (150410069)
Nana Suryani S (180410063)
Yanri Wibowo Nababan (180410062)
Eli Junita Berutu (180410025)
Prodi :PGSD
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Pendidikan Wanita
Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan
lelaki. Mereka, lelaki dan wanita, mendapat hak yang sama dari Allah. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 228, yaitu : “ …
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan
cara yang ma’ruf…”
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “.
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat-ayat tersebut mensejajarkan
lelaki dan wanita dalam hal memndapatkan keampunan dan pahala yang
diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik dalam hal yag bersifat
keduniaan, maupun dalam hal agama. Dari sini ia bertolak bahwa wanita
berrhak mendapatkan pendidikan seperti hak yang didapatkan lelaki. “wanita”
katanya, “harus dilepaskan dari rantai kebodohan “,
dan yang demikian hanya mungkin dengan memberi mereka pendidikan.[ Lihat
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu
Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993) h.156]
2.3 ANALISIS
Muhammad Abduh terlahir di keluarga yang concern terhadap
pendidikan, walaupun orang tuanya tidak bergelimang harta, hanya seorang
petani.
Ia tumbuh dan berkembang dihadapkan dengan pola pendidikan yang tidak
sejalan dengan alam pemikirannya. Mesir pada waktu itu dipimpin oleh seorang
yang mengedepankan pendidikan barat, agar mampu bersaing dengan negara
lain dari segi kemajuan dan mengkesampingkan pendidikan agama. Pola ini
menghasilkan teknokrat, intelek yang gersang terhadap nilai-nilai agama.
Di sisi lain, terdapat kelompok yang enggan untuk berkembang, bertahan
terhadap pendidikan dan pengajaran pendahulunya tanpa mau terjadinya
perubahan. Hal ini melahirkan kelompok fundamental, tidak mau menerima
perubahan, apapun itu bentuknya.
Masa pembelajaran beliau Abduh juga menggunakan methode yang
membosankan “Kal Babgho” seperti Beo yang tidak mengerti makud dari yang
dihafal.
Al Azhar haram hukumnya mengajarkan hal-hal yang bertentangan
dengan ketentuan dan berseberangan dengan ide-ide tokoh Azhar. Karena
memang pada masa Al-Ayubi Azhar dibekukan hapir satu abad lamanya. Ini
juga berimbas terhadap pendidikannya yang mengharamkan mempelajari
filsafat, mantiq, fisika dan pengetahuan umum lainnya.
Beliau juga pernah berpolitik praktis dengan gurunya Al-Afghani,
mengakibatkan diasingkan dari negara satu ke negara lainnya, sampai
diasingkan ke Paris Perancis. Hingga pada akhirnya beliau berpendapat, bahwa
merubah ummat tidak harus merubah negara atau revolusi, tetapi melalui jalur
evolusi.
Abduh mulai meletakkan sendi-sendi ide pendidikannya pada masa ia
terpilih menjadi Anggota Majlis al A’la Al-Azhar pada tahun 1894.
Beliau merubah pembelajaran Al-Azhar dan sekitarnya yang bisa kita lihat dan
rasakan sampai saat ini sudah bervariasi, bahkan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mengadopsi pembelajarannya dengan membuka Fakultas Dirosah
Islamiyah.
Efek pembaharuan Abduh pada lini pendidikan juga menginspirasi
Founding Father kita seperti Moch. Hatta, Mas Mansur, Nasir, Mahmud Yunus,
Mukti Ali, Munawir Sadzali dan masih banyak lagi untuk mendirikan lembaga
Islam di Indonesia yang bisa bersaing dan berbicara di pentas dunia, sebagai
contoh muncul Azzumardi Azra, Dien Syamsudin.
Konsep pendidikan Abduh mampu menghilangkan dikotomi pendidikan dan
kejumudan pada masyarakar Mesir pada waktu itu.
Ide beliau adalah melahirkan ulama’ yang intelek. Pengertiannya adalah
kemampuan mengakomodir berbagai pendekatan-pendekatan normatif dapat
terelaborasi turun ke bumi, tidak hanya mengawang-awang di langit. Mampu
mengaktualisasikan makna teologis deduktif.
Di samping pendidikan, Abduh juga menafsirkan al-Qur’an. Dalam
tafsier al-Manar, al-qur’an ditafsierkan berdasar analisis sosiologis dan historis.
Sebagai contoh, dalam teks al-qur’an dijelaskan bahwa pencuri harus dipotong
tangannya. Muhammad Abduh memandang, bahwa orang yang mempunyai
kekuasaan tidaklah cukup dipotong tangannya, melainkan haruslah ditutup
akses kekuatan dan kekuasaannya agar tidak bisa lagi mencuri.
Pemikiran beliau sejalan apa yang diterapkan oleh Umar bin Khottob Al-
Faruq yang tidak memotong tangan pencuri pada waktu itu, karena konteksnya
banyak terjadi kelaparan, musim paceklik yang mendera masyarakat.
Mengenai harkat dan martabat wanita, Abduh menilai bahwa ia memiliki
peranan dan hak sama terhadap pendidikan. Pada masa Rasulullah s.a.w. Wanita
dikedepankan ke ranah publik, sehingga terkenallah wanita-wanita berprestasi,
tangguh dan menjadi panutan ummat. Namun pada masa Umayah,
pemberlakuan kepada kaum hawa kembali ke masa Jahiliyah, hukum Romawi
dan peran mereka dibatasi.
Maka menurut penulis, Abduh merupakan sosok pembaharu (mujaddid)
yang bisa dirasakan ide-ide pemikirannya sampai sekarang ini.
BAB III
PENUTUP
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005).
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta, Rajawali Pers,
2012).
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu
Studi Perbandingan, (Jakarta, PT.Bulan Bintang, 1993).
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, (Bandung, Mizan Media Utama,
2010).
Asnil Aida Ritonga (Editor) , Pendidikan Islam Dalam Buaian Arus Sejarah,
(Bandung, Citapustaka Media Perintis, 2008).
Mahmud Yunus, Tarbiyah wa Ta’lim, Juz Pertama, (Ponorogo, Darussalam
Press, 2005).
RamayulisSamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta, Quantum teaching,
2005).
Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta, Pustka Al-
Kautsar, 2010).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan
Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2009).
Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam,
(Jakarta, Prenada Media, 2003).