Anda di halaman 1dari 18

RASIONALITAS AL-QURAN : STUDI KRITIS ATAS TAFSIR AL-MANAR

(Telaah Buku M Qurais Shihab)

Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur dalam mata


kuliah Pendekatan dan Metode Studi Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Munirul Ikhwan, Lc.,MA.

OLEH: M KHOIRUL HADI AL ASY ARI


NIM :20300011006

PROGRAM DOKTOR (S3) STUDI


ISLAM KONSENTRASI ILMU HUKUM
DAN PRANATA SOSIAL ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2021
Nama : Muhammad Khoirul Hadi Asy’ari
Nim/ Nomor Absen : 20300011006

RASIONALITAS AL-QURAN : STUDI KRITIS ATAS TAFSIR AL MANAR


M KHOIRUL HADI AL ASY ARI

Latar Belakang
Tafsir al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang sangat popular di kalangan
peminat studi al-Quran, Majalah al-Manar yang memuat tafsir ini secara berkala, awal abad
20, tersebar luas keseluruh penjuru Dunia Islam, dan sangat mempunyai peranan sangat
penting dalam pencerahan pemikiran serta penyuluhan agama, dan demikan itu tidak lepas
dari pengaruh Syaikh Muhammad Abduh lebih-lebih sang Murid yaitu Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha pemimpin dan pemilik majalah tersebut, serta penulis tafsir al-Manar yang
pemikiran keagamaan sangat terkenal di Indonesia.1
Tentu setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan setiap hasil renungan dan
pemikiran dipengaruhi oleh banyak factor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi,
latar belakang Pendidikan, bahkan perkembangan Pendidikan dan ilmu pengetahuan dan
kondisi social masyarakatnya. Memahami hal-hal tersebut adalah mutlak guna memahami
kajian lebih menadalam pemikiran seseorang, dan ini pada gilirannya kepada penilaian
terhadap pendapat yang di kemukakan dan batas-batas kewajaran yang di anut dan yang di
tolak.2
Makalah ini sebenarnya ingin memberikan gambaran singkat terhadap dua tokoh
tersebut yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam
bidang tafsir al-Quran, metode penafsiran serta keistimewaan dan kelemahan masing-masing,
dengan harapan hasil-hasil pemikiran dapat di pahami dan bermanfaat terhadap
perkembangan tafsir di Indonesia. Melalui ulasan diatas, maka pemakalah menarik benang
merah sebagai topik pembahasan di dalam diskusi ini yaitu bagaimana pengaruh dari
Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di dalam Tafsir Al-Manar serta meodel
penafsira, dan corak penfsiran? Bagaimana pula corak penafsiran Tafsir Al-Manar??
Tema kajian sederhana ini tidak lepas dari tulisan-tulisan lain dengan tema-tema
penel;itian terdahulu. Mengingat bahwa tafsir Al-Manar merupakan salah satu kitab tafsir
populer di kalangan peminat studi Al-Quran. Maka dari itu tentunya timbul suatu perbedaan
dari setiap pemikiran yang menjelaskan tentan tafsir Al-Manar. Setiap orang memiliki
kelebihan dan kekurangannya, dan setia[p hasi; renungan dan pemikiran dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti tingkaat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang Pendidikan,
bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan konsisi sosial masyarakatya. Memahami hal-hal
tersebut adalah mutlak guna memahami hasil pemikiran seseorang, dan ini pada gilirannya
dapat mengantarkan kepada penilaian terhadap pendapat yang dikemukakan itu, serta batas-
batas kewajarannya untuk dianut atau ditolak.
Memahami latar belakang pencetus ide dan cetusan idenya mengantarka seseorang
untuk tetap hormat padanya, atau paling tidak, mengetahui alasan dan latar belakang suatu
ide dapat memebrikan kepada pihak lain kesempatan untuk menemukan dalih atau alasan
“pembenaran”, walaupun ide yang dikemukakan itu tidak dapat diterima. Penulis tidak
mengklaim bahwa apa yang dikemukan di sini meerupakan hasil atau analisis penulis sendiri.
1
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 1,
2
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 2.
catatan kaki yang menghiasi paper ini kiranya cukup untuk menggambarkan dan
membicarakan bahwa ini semua adalah berbagai kumpulan informasi dan analisis sekian
pakar terdahulu yang penulis upayakan untuk di perkaya.
BIOGRAFI RASYID RIDHA DAN MUHAMMAD ABDUH
Syaikh Muhammad Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin
Hasan Khairullah, dia dilahirkan di desa pada tahun 1849 M. Dia berasal dari keluarga yang
tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan, namun, ayahnya dikenal sebagai
orang terhormat yang suka memberi pertolongan, Muhammad Abduh berkata, “Aku tadinya
beranggapan bahwa ayahku adalah manusia yang termulia di Kampungku”. Lebih jauh,
beliau aku anggap manusia termulia di Dunia ini, karena Ketika ia mengira bahwa dunia ini
tiada lain kecuali kampung Mahllat Nashr. Saat itu, para pejabat yang berkunjung di desa
Mahhalt Nashr lebih sering mendatangi dan menginap di rumah kami, dari pada di rumah
kepala desa, walupun rumah kepala desa lebih kaya dan luas dan mempunyai banyak rumah
serta tanah. Hal tersebut menimbulkan kesan terdalam dalam hidupku bahwa kehormatan dan
ketinggian derajat bukan di tentukan dengan harta atau banyaknya uang, aku juga sejak awal
menyadari betapa teguhnya pendirian ayahku serta keras terhadap para musuh-musuhnya dan
kesemuannya itu aku ambil tetapi minus kekerasannya.3 Dalam kehidupannya Muhammad
Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani pedesaan, semua saudaranya membantu
ayahnya mengelola pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan
untuk menuntut ilmu pengetahuan, pilihan ini hanya suatu kebutulan dan juga mungkin
karena Muhammad abduh adalah anak yang paling di cintai oleh ayah dan ibunya.
Hal ini di buktikan dengan adanya sikap yang berlebihan dari ibunya yang selalu tidak
sabar ketiga di tinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, sejak dua minggu kepergiannya,
ibunya sudah datang menjenguk dan juga dengan dinikahkannya Muhammad Abduh dalam
usia yang relative muda pada tahun 1865, pada saat itu Muhammad Abduh masih berusia 16
Tahun. Pada awalnya Muhammad Abduh di kirim oleh ayahnya untuk memperdalam Agama
di masjid Al Ahmadi di Thanta ( kurang lebih sekitar 80 KM dari Kairo ) dan Adapun mata
pelajaran yang di ajarkan di masjid tersebut adalah Ilmu Tajwid al-Quran. Muhammad
Abduh kecil tidak kerasan belajar di masjid tersebut karena dalam system pengajaranya
sangat menjengkelkan sehingga selama dua tahun Muhammad Abduh memutuskan untuk
Kembali ke desanya dan Bertani dengan saudara-saudaranya serta kerabatnya di desa. Dan
Ketika Kembali kedesa tersebut Muhammad Abduh dinikahkan oleh orang tuanya. 4 Dalam
kondisi yang sudah berkeluarga, ayah Muhammad Abduh masih sangat keras kepala tetap
memaksa anaknya untuk tetap belajar, karena Muhammad Abduh sudah bertekad untuk
Kembali, tanpa sepengetahuan ayahnya Muhammad Abduh lari ke desa Syibral Khit, dan di
desa tersebut banyak kelaurga bapaknya termasuk paman-paman Muhammad Abduh. Di desa
tersebut Muhammad Abduh bertemu dengan salah satu pamannya yang bernama Syaikh
Darwisy Khidr, salah satu dari pamannya yang sangat berpengetahuan mengenai al-Quran
dan salah satu penganut paham tasawuf, asy-Syadzilliah. Dan dengan pertemuan tersebut
sang paman dapat merubah hidup cara pandang Muhammad Abduh Muda dari seorang yang
3
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al Ustadz al- Imam Muhammad Abduh, juz 1, Percetakan al Manar,
1931, halaman 14. Lihat juga M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar
(Jakarta Lentera Hati 2006 ) halaman 8.
4
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 7.
membenci Ilmu pengetahuan menjadi pencinta pengetahuan, bahkan “ tidak berlalu lima hari
dan masa pertemuan tersebut itu, kecuali apa yang tadinya ku sukai dan kusenangi seperti
bermain, bercanda, dan berbanga-banga, dan telah berubah menjadi hal-hal yang paling ku
benci.5 Dan hal itu diceritakan oleh Muhammad Abduh.
Dari kejadian tersebut akhirnya Muhammad Abduh muda Kembali ke masjid al-
Ahmadi di Thanta untuk Kembali belajar tentang Tajwid al-Quran, dengan cara pandang dan
semangat baru. Di banding pada waktu pertama kali ke masjid al-Ahmadi Thanta salah satu
yang perlu menjadi catatan penting adalah bahwa dalam keadaaan ini Muhammad Abduh
dipengaruhi cara pandang sufistik yang ditanamkan oleh Syaikh Darwish Khidr. Setelah dari
Thanta Muhammad Abduh muda menuju Kairo untuk belajar ke al Azhar, tepatnya pada
Bulan Februari 1866. Namun pada saat itu system pengajaran tidak menarik dalam
pandangan Muhammad Abduh, dimana system pengajaran adalah “kepada para Mahasiswa
hanya di lontarkan pendapat-pendapat Ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka pada
usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan”. Tetapi di perguruan tinggi ini Muhammad
abduh bertemu dengan beberapa Guru yang banyak di kaguminya pertama adalah Syaikh
Hasan Ath-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan
Aristotoles dan lain sebaginya. Padahal kitab-kitab tersebut tidak di ajarkan di al-Azhar pada
waktu itu, kedua adalah Muhammad al-basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian
dalam bidang sastra dan Bahasa, bukan melalui pengajaran tata Bahasa, melainkan melalui
kehalusan ras dan kemampuan mempratikkannya. 6
Tepatnya pada tahun 1871 seorang pemikir besar yaitu Jamaludin al Afhgani tiba di
Mesir, dan kehadiranya di sambut oleh Muhammad Abduh dengan cara mendatangi acara-
acara dan pertemuan-pertemuan Ilmiah yang di adalah oleh Jamaludin al afghani, dari
pertemuan itu terjadi pergeseran dalam cara pandang Abduh atau Muhammad Abduh dari
corak yang bersifat tasawuf menuju corak tasawuf dalam arti yang lebih luas. Yaitu
perjuangan dengan lebih baik diarahkan untuk perbaikan masyarakat dan dan membimbing
mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.pemahaman ini timbul dengan jalan
memahami ajaran-ajaran lawan dan membantahnya sambil mempelajari factor-faktor yang
menjadikan dunia barat maju dan mencapai kemajuan. Dan hal itu guna di terapkan dalam
masyarakat Islam tetapi tetap dalam koridor factor-faktor tersebut sejalan dengan prinsip-
prinsip Islam.
Dua tahun sudah pertemuan antara Muhammad Abduh dan Jamaludin al Afgani,
terjadilah perubahan yang sangat signifikan dalam kepribadian Muhammad Abduh. Salh satu
perubahan tersebut adalah dengan menerbitkan salah satu karya Muhammad Abduh yang
berjudul Risalah al-Arridah (1873) disusul dengan judul kedua yaitu Hasyiah Syarh al Jalal
ad-Dawwani li al Aqaid adh-adhuhiyyah (1875). Dan pada waktu itu umur Muhammad
Abduh masih berumur 26 tahun. Dan Muhammad Abduh telah menulis secara mendalam
aliran filsafat dan kajian tasawuf dengan sangat mendalam dan tak kurang kritik-kritik yang
tajam terhadap pendangan yang salah.7 Selain itu sepak terjang Muhammad abduh berlanjut
5
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al Ustadz al- Imam Muhammad Abduh, juz 1, Percetakan al Manar,
1931, halaman 14.
6
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman halaman 6.
7
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 9.
pada artikel-artikel pembaharuan dalam surat kabar al Aharah, Kairo, dari media tersebut
gema tulisan dan propaganda Muhammad Abduh sampi pada pelajar dan pengajar dari al-
Azhar yang Sebagian besar tidak sependapat dengan padangan-pandangannya. Tetapi karena
Muhammad Abduh sudah membekali dirinya dengan kemampuan ilmiah dan hal itu yang
membantu dalam membela argumentasi-argumentasi yang di lontarkan. Syeikh Muhammad
al-Mahdi al-Abbasi yang Ketika itu menduduki jabatan sebagai “Syaikh al-Azhar”
Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat tertinggi di al Azhar dalam
usia 28 tahun (1877 M).8
Setelah lulus dari al Azhar Muhammad Abduh mengajar ilmu Manthiq (logika ) dan
ilmu kalam (teologi ) sedangkan di rumahnya dia mengajar pula kitab Tahzib al-Ahlaq,
karangan Ibnu Miskawaih serta Sejarah Peradaban Kerajaan-Kerajaan Eropa.pada tahun 1878
Muhammad Abduh di angkat menjadi pengajar sejarah pada sekloah Dar Al Ulum di
madrasah al -Idarah wa al-Aslun (sekolah administrasi dan Bahasa-bahasa). Ketika peristiwa
pengusiran Jalamudin Al Afhgani yang dilakukan oleh pemerintah Mesir atas hasutan dari
negara Inggris yang mempunyai pengaruh kuat terhadap Negara Mesir. Dan ternyata
pengusiran Jamaludin al Afhgani itu bertepatan dengan di pecatnya Muhammad Abduh dari
dewan pengajar dan diasingkan ke desanya di Mahallat Nashr. Perpolitikan yang berubah
pada tahun 1880, Muhammad Abduh di bebaskan dan di beri mandate untuk memimpin Surat
Kabar Pemerintah, yaitu al Waqi’iyah al Misriyyah, dengan surat kabar ini Muhammad
Abduh dan bekas murid Jamaludin al Afhgani melakukan kritik-kritik tajam kepada
Pemerintah dan aparat yang melakukan penyelewengan dan bertindak sewenang-wenang.9
Pada revolusi Urabi, Muhammad Abduh di singkirkan dan diasingkan, tetapi
pemerintah memberi keluasaaan keapda Muhammad Abduh untuk memilih tempat
pengasingannya, akhirnya Muhammad Abduh memilih Suriah, dan di negara Suriah
Muhammad Abdih menetap satu tahun dan kemudian menyusul gurunya ke perancis di sana
mereka berdua menerbitkan surat kabar al-Urwah al Wustqa. Kehidupan Muhammad Abduh
adalah kehidupan yang sedang di sentuh oleh peradaban Eropa, masyarakat yang ada adalah
masyarakat yang beku kaku dan menutup rapat pintu ijtihad. 10mengabaikan peranan akal
dalam memahami syariat Allah atau meng-istinbath kan hukum-hukum, karena mereka telah
merasa berkecukupan dengan hasil karya pendahulu mereka. Kehidupan yang banyak
mengandung banyak khurafat, sedangkan eropa lahir dengan mengembangkan akal dan
mendewakan akal sehingga lahirlah kajian-kajian ilmiah dan di tambah lagi kecaman-
kecaman tajam dan kritis para oreantalis terhadap ajaran-ajran Islam. 11
Focus Pemikiran Muhammad Abduh adalah pertama, membebaskan akal pikiran dari
belenggu-belenggu yang menghabat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya
Salaf al-Ummah (Ulama sebelum abad ketiga Hijriyah )sebelum timbulnya perpecahan, yakni
memahami langsung dari sumbernya pokoknya, yaitu al Quran.12 Kedua, memperbaiki gaya
8
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 10
9
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 11.
10
Sayyid Quthb, Kash’is al Islami ( tanpa penerbit ) cetakan ke -III, 1968, halaman 19.
11
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 13.
12
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 14.
Bahasa arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah
maupun tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.
Tetapi jika menelisik lebih dalam apa yang pernah di tulis oleh Muhammad Abduh
dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan sebenarnya adalah pertama, menjelaskan hakikat
Agama ajaran Islam yang murni, dan kedua, menghubungkan ajaran-ajaran tersebut dengan
(menyesuaikan penafsiran ) dengan kehidupan masa kini.13 Ada juga yang mengatakan bahwa
yang di inginkan oleh Muhammad Abduh adalah memperkukuh segi-segi spriritual kaum
muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran merak pada saat-saat
perubahan social yang di alami pada abad ke-19”.14 Tapi yang perlu menjadi catatan bagi kita
ternyata Muhammad Abduh tidak mengambil secara Utuh semua yang datang dari barat,
karena kalua itu terjadi kata Abduh itu menumbuhkan Taqlid baru di atas Taqlid lama, dan
hal tersebut tidak berguna sama sekali. Kata Abduh kita harus meluruskan kepincangan-
kepincangan peradaban barat dan membuang anasir-anasir negative yang ada dalam
peradaban Barat dan dengan itu peradaban tersebut akan menjadi tonggak pendorong
peradaban timur yang maju.15 Sedangkan karya-karya dari Muhammad Abduh adalah dalam
bidang tafsir misalnya adalah pertama, Tafsir Juz Amma yang di karangnya untuk menajdi
pegangan para guru mengaji di Maroko, pada tahun 1321 H. 16kedua, adalah tafsir Surah Wa
ashar, karya ini berasal dari kuliah atau pengajian-pengajian yang di lakukan di hadapan
Ulama dan pemuka-Pemuka Masyarakat al-Jazair.17 Ketiga, Tafsir Surat-Surat an-Nisa’ ayat
77 dan 87, al Hajj ayat 52, 53, dan 54, dan al-Ahzab, ayat 37. Karya ini di maksudkan untuk
membantah tanggapan negatif terhadap Islam dan Nabinya.18 Keempat, adalah Tfasir Al-
Quran yang bermula dari al Fatehah sampai ayat 129 dari surat an-Nisa yang disampikan di
masjid al Azhar, Kairo, sejak awal Muharram, 1317 H sampai dengan pertengahan 1332 H,
walupun hasil penafsiran ini tidak di tulis secara langsung oleh Muhammad Abduh, namun
itu dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena Muridnya (Rasyid Ridha) menulis kuliah-
kuliah tafsirnya tersebut menunjukan artikel yang di muat ini kepada Abduh yang terkadang
memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberpa kalimat, sebelum
disebarluaskan dalam majalah al-Manar.19

PANDANGAN TAFSIR DAN MODEL PENAFSIRAN


Pertama, Muhammad abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa
sebelumnya tidak lain kecuali memaparkan berbagi pendapat Ulama yang saling berbeda, dan
pada akhirnya menjauh dari tujuan di turunkan al-Quran20 kata Abduh Kitab tafsir pada
masanya dan masa-msa sebelumnya lebih focus pada kajian segi I’rab dan cenderung kajian

13
Lihat Thahir at-Thananahy, Muzhakirah al Ustad al-Imam, Kairo, Dar al halal (tanpa tahun ) halaman 81.
14
Abdul Athi Muhammad Ahmad, …………………..halaman 99.
15
Lihat pandangan Muhammad Imarah, al Amal al Kamilah li al Imam Muhammad Abduh, I Beirut, Al-
Muasssah al Arabiyah li ad Dirosat wa an Nasyr, 1972, jilid III, halaman 331. Di kutip oleh Abdul Athi
Muhammad Ahmad, ,,,,,,,,,,,,, halaman 101.
16
Lihat Syaihk Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, kairo,Dar al Hilal, 1968 halaman 2.
17
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir al Musfasirun , Kairo, Dar al Kutub al -Hadistah, 1968, jilid III halaman
218.
18
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir al Musfasirun …… halaman 218. M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran
Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 ) halaman 19.
19
Lihat Muhammad Rasyid ridha, I Tafsir al Manar (Kairo, Dar al manar, cetakan ke-3 1367 H.
20
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir al Musfasirun halaman 14. Lihat M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran
Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 ) halaman 20.
kitab tafsir ini mendekati kajian Latihan praktis dalam bidang kebahasaaan, bukan buku tafsir
yang sesungguhnya. Tetapi menurut Abduh dari sekian tafsir yang ada ada satu kitab tafsir
yang di apreasisi oleh Muhammad Abduh yaitu kitab tafsir az-Zamakhsari, tafsir ini di nilai
sebagai kitab tafsir terbaik untuk para pelajar dan mahasiswa, didalamnya ada ketelitian
redaksi serta segi-segi sasatra Bahasa yang di uraikan, penilaian tersebut disampaikan kepada
Sayid Muhammad rasyid ridha, Ketika Ridha menanyakan Kitab Tafsir terbaik menurut
Muhammad Abduh.21 Pada lain kesempatan Abduh juga menyebutkan kitab tafsir at Thabari,
abu Muslim al-Asfahani, dan al-Qurthubi, sebagai sebuah kitab tafsir yang bisa di percaya di
kalangan penuntut Ilmu, karena para pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu
Taqlid, dan selalu berusah menjelaskan ajaran-ajaran Islam dengan sangat baik dan tanpa
melibatkan dalam kecamuk perhelatan perbedaaan antara Ulama-ulama sebelumnya. Dengan
demikian mereka sangat berpartisipasi dalam menciptakan pendekatan Ilmiah di tengah-
tengah masyarakat mereka.22
Kedua, dalam bidang penafsiran, Abduh sangat mengaris bawahi, dengan menyatakan
dialog al-Quran dengan masyarakat Arab Ummiyin (awam/yang tidak tahu baca tulis) bukan
berarti bahwa ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata-mata, tetapi berlaku umum
untuk masa dan generasi, karena itu, menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh
untuk memahami ayat-ayat al-Quran sesuai dengan kemampuan masing-masing.23
Sedangkan pola jalan pikiran Muhammad abduh ada dua landasan pokok menyangkut
pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran, yaitu dengan pertama peranan akal
dan keduam dengan peranan kondisi social. Pertama, peranan akal, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa metode al-Quran dalam memaparkan ajaran-ajaan agama berbeda dengan
metode yang di tempuh oleh kitab-kitab suci lainya, al-Quran secara mendasar tidak
menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan, tetapi memaparkan masalah dan
membuktikan dengan argumentasi-argumentasi bahkan juga menguraikan pandangan-
pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruan mereka.24 Kata Abduh,
pemahaman agama ada yang harus menggunakan kajian logika untuk menjelaskan masalah
tersebut, walupun ada juga ajaran-ajaran agama yang tidak dapat di pahami dengan kajian
akal, dengan demikian wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap
mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi saw hal ini terkaitd
engan kajian khususnya metafisika atau dalam beberapa masalah persoalan ibadah. 25 Kedua,
Peranan Kondisi Sosial, ajaran agama menurut Abduh, secara umum terbagi menjadi dalam
dua bagian, ada yang rinci dan umum, Adapun yang merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciaan sesuai dengan kondisi social. 26
Sedangkan dalam bentuk yang terperinci adalah sekumpulan ketetapan tuhan dan Nabi-Nya,
yang tidak dapat mengalami perubahan atau perkembangan., melihat pemahaman ini
Muhammad Abduh mengecam Ulam-ualam pada masanya mengharuskan masyarakat mereka
mengikuti hasil pemahaman-pemahaman Ulama-Ulama terdahulu. Tanpa menghiraukan
perbedaan kondisi social. Dan ini yang membuat masyarakat bahkan mendorong mereka
mengabiakan ajaran agama.27 Salah satu anjuran Muhammad abduh adalah dengan meberi
masukan pada Ulama untuk membuat satu organisasi yang didalamnya mereka dapat
21
Ibrahim Muhammad al Adwi, Rasyid ridha : Al-Imam al Mujtahid, Kairo, Maktabah Mirsh, 1964, halaman
91.
22
Syaikh Muhammad Abduh, I Fatihah al Kitab, ……………..halaman 8.
23
Syeikh Muhammad Abduh, Fatihah al Kitab, …….. halaman 8
24
Lihat dan bandingkan dengan Abbas Mahmud al Aqqad, al-Falsafah al Al-Quraniyyah , kairo, Dar al hilal,
(tanpa tahun) halaman 180, juga lihat Muhammad al Bahi, Al-Fikr Al Islami wa al _mUjtama’ al Muashir,
kairo, Dar al Qawwiyah, (tanpa tahun).
25
Syaikh Muhammad abduh, Risalah at-Tauhid, Kitab al Hilal no 143, Kairo, Dar al Hilal, 1963, halaman 24.
26
Syaikh Muhammad abduh, Risalah at-Tauhid, Kitab al Hilal no 143, Kairo, Dar al Hilal, 1963 halaman 25-
26.
mendiskusikan masalah-maslah keagamaan dan mencari illat motif dari setiap ketetapan,
sehingga setiap hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu, hendaknya
kondisi tersebut di jelaskan, bila kondisinya berubah maka ketetapan juga berubah.28 Dengan
kedua alat tersebut Muhammad abduh mencoba memberikan ajaran kepada kita tentang
hakikat ajaran-ajaran Islam yang murni dan serta menghubungkan ajaran-ajaran tersebut
dengan kondisi Umat masa kini.
BIOGRAFI SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmu, sebuah kampung sekitar 4 km
dari Tripoli, Lebanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H. dia adalah seornag bangsawan Arab
yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, Putra Ali Bin Abi Thalib
dan Fatimah Putri Rasulullah saw. Gelar “Sayyid” pada permulaan namananya adalah gelar
yang bisa diberukan kepasa semua yng mempunyai garis keturunantersebut. Keluarga Ridha
dikenla oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta mengiasai
ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “Syaikh” salah seornag
kakake Rasyid Ridha, yaiytu Sayyid Syaikh Ahman, sedmemikiah patuh dan wara’nya
sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah. Serta tidak
menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itu pun hanya pada waktu-waktu
tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Ketika Rasyid Ridha mencapai umur remaha,
ayahnya telah mewariskan kedudukan, wibawa serta ilmu sang nenek sehingga Rasyid Ridha
banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri seperti yang ditulis dalam buku
harinannya sendiri yang di kutib oleh Ibrahim Ahmad al-Adawi:
“ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat di rumah kami pemuka-pemuka
agama Kristen dan Tripoli dan Lebanon, bahkan aku lihat oula pendeta-pendeta,
khususnya pada hari raya, aku melihat ayahku rahimatullah berbasa-basi dengan
penguasa dan oemuka-pemuka masyarakat islam. Ayahku menyebutkan apa yang
beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak di
hadapan mereka. Ini adalah salah satu sebab mengapa aku mengajurkan untuk
bertoleransi serta mencari titik temu dan kerja sama anatar semua penduduk negeri
atas dasar keadilan dan kebajikan yag dibenarkan oleh agama, demi kemajuan
negara”29
Disamping orang tuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian banyak
guru. Di masa kecil dia belajar di taman-taman Pendidikan di kampunya yang ketika di nama
al-kuttab, di sana diajatrkan membaaca al-Quran, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setalah
tamat Rasyid Ridha di kirim oleh orang tuannya ke Tripoli Lebanon) untuk belajar di
Madrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan nahwu, Sharaf, akidah, fiqh, berhitung, dan ilmu
bumi. Bahasa pnegantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah Bahasa turki, mengingat
Lebanon ketikaa itu berada dibawah kekuasaan kerjaaan Ustmaniah. Mereka yang belajar di
sana dipwrsiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu Rasyid Ridha
tidak tertarik untuk terus belajar disana. Setahun kemudian, yaitu tahun 1299 H/ 1822 M, dia
pindah ke Sekolah Islam Negeri, uyang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan

27
Abdul Athi Muhammad Ahmad,…….. halaman 152. Lihat M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi
Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 23.
28
Abdul Athi Muhammad Ahmad,…….. halaman 152. Lihat M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi
Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 24.
29
Ibrahim Ahmad Al-Adawi, Raasyid Ridha, Al-Imam al-Mujahid, Kairo, Mathba’ah Mishr, 1964. Hlm. 21
Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di samping diajarkaan dan dipimpin oleh Ulama Syam
ketika itu, yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat
bersar terhadap perkembangan pikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara keduanya tidak
terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Syaikh Husain al-Jisr
juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha untuk menulis di beberapa surat Kabar
Tripoli kesempataan itu kela mengantarkannya memimin Majalah al-Manar.
Pada tahun 1314 H/ 1897 M, Syaikh al-Jisr memberikan kepada Rasyid Ridha ijazah
dalam bidang ilmu-ilmu agama, Bahasa, dan filsafat. Disamping guru tersebut, Rasyid Ridha
juga belajar pada guru-guru yang lain, walaupun pegaruh mereka kepadanya tidka sebesar
pengaruh mereka kepadanya tidak sebesar pengaruh Syaikh al-Jisr. Guru-guru tersebut antara
lain: pertama, Syaik Mughammad Nsyadah, seorang ahli dalam bidang Hadist yang
mengajarnya sampai selesai, dan memperoleh ijazah. Karena jasanya Rasyid Ridha mampu
menilaui hadist-hadist yang dhaif dan maudhu’, sehingga duia digelari oleh teman-temannya
sebagai “Voltaire-nya”30 kaum muslimin, karena keahliannya menggeyohkan segala sesuatu
yang tidak benar dalam bidang agama.31 Kedua, Dyaikh Muhammad Al-Qawiji, seorang ahli
hadist yang mengajarkan salah satu kitab karangannya dalam bidang hadist. Ketiga, Syaikh
Abdul Gani ar-Rafi, yang mengajarkannya sevagian dari kitab hadist Nail al-Authar (satu
kitab hadist yang dikarang oleh asy-Syaukani yang bermazhab Syiah Zaidiyah). Keempat,
Al-Ustadz Muhammad Husaini. Kelima, Syaikh Muhammad al-Kamil ar-Rafi. Rasyid Ridha
selalu hadir dalam diskusi mereka tentang ilmu ushul dan logika
ini, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha menbagi waktunya anatara imu dan ibadah,
pada salagh satu bagian masjid milik keluarganya. Masji tempat kakeknya (Syaikh Sayyid
Ahmad) berkhalwat dan mebaca, oleh Raasyid Ridha dijaadikan tempat untik belajar dan
beribadah. Ibunya bercerita :
“Semenjak Muhammad dewasa. Aku tidka pernah melihat dia tidur, karena dia baru
tidu sesduah kami tidur dan bangun sebelum kami terbangun”32
Cara hidup yang demikian itu menjadikan adiknya, Sayyid Shaleh, Ppernah berakata:
“Aku tadinya, menganggap saudaraku, Rasyid, adalah seorang nabi. Tetapi ketika aku
mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. Adalah penutup seluruh Nabi, aku menjadi yakin
kalau dia adalah seorang wali.33 Bukan hanya keluarganya saja yang menghormatinya, tetapi
penduduk kempungnya sering kali mendatangi Rasyid Ridha untuk meminta berkahnya.
Rasyid Ridha menulis dalam buku harinnya :
“Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima
ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu
menerima segala pengetahuan yang dituangkan ke dalamnya”34
Dalam rangka menyucuikan jiea inilah Rasyid Ridha menghindari makanan yang
lezat-lezat, atau tidur di atas Kasur, mengikuti tata cara yang dilakukan oleh para sufi. Sikap
ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihya Ulum ad-Din Karya Al-Ghazali yang
30
Voltaire (1694 – 1778 M) adalah seorang Filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapar pemuka-
pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta merupakan tokoh yang mengantar ke[ada
terv=cetusnya Revolusi Prancis (1789 M)
31
Ibid., hlm.31.
32
Ibida., hlm. 33
33
Ibid., hlm.33
34
Ibid., hlm. 37
dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan lingkah lakunya,
sampai-smapai, menurut Rasyid Ridha, dia pernah emrasakan seakan-akan mampu berjalan
di atas air atau terbang di udara.35 Rasyid Ridha juga menceritakan peristiwa pencurian di
rumahnya. Keesokan harinya, dia langsung ke Tripoli menuju sebuah toko dan meminta
pemiliknya untuk memperlihatkan barang-barang yang dibelinya pada hari itu, dan ternyata ia
menemukan barang-barang miliknya di sana.36 Pengalamannya memasuki aliran terdekat
Naqsabandiyah menjadikan Rasyid Ridha mampu berbicara tentang tasawuf dengan mantap,
menerima apa yang baik, emnolak yang bertentangan dengan agama. Serta mengajak untuk
mengadakan perbaikan-perbaikan sepenuhnya.
Pada saar Rasyid Ridha memulai perjuangan di kampung halamannya, baik melalui
pengajian-pengajian untuk kaum pria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media massa,
muihammad Abduh meminpin pula Gerakan pembaruan di Mesir. Majalah al-Urwah al-
Wutsqa yang diterbitkaan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang
teseber ke sseluruh Dunia Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh
yang snagat besar pada jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini
menjadi seorang pemuda yang penuh semangat, seperti yang ditulisnya:
“Dengan membacanya (al-urwah al-wustqa), aku berpinddag ke suatu jalan baru
dalam memahami agama islam, aku yakin bahwa islam bukab hanya ruhani-ukhrawi
semata, tetapi ua adalah agama ruhani dan jasmani, ukhrawi, dan duniawi, tang
bertujuan antara lain memberi petunjuk kepada manusia untuk menguasainya dengan
sungguh-sungguh”37
Kalau semual iusaha-usaha Rasyid Ridha hanya terbatas pada usah perbaikan akidah
da Syariah masyarakatnya serta menjuahkan mereka ddari kemewahan duniawi dengan
melakukan zuhud, maka dengan membaca majalah tersebut dia berlaih kepada usaha-usaha
membangkitkan semangat kaum muslim untuk melakukan ajaran agama secara utuh serat
mebela dan membangun negara dengan ilmu penegetahuan dan industri.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali
ke Beirut untuk kedua kalinya pada tahun 1885 dan mengajar sambal mengarang. Pertemuan
anatara keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk
menemui tremannya. Syaikh Abdullah al-Barakah, yan menagajar di sekolah al-Khanutiyah.
Pada pertemun pertama in, Rasyid Ridha sempat menanyakan kepada Abduh tentang kitab
tafsir yang terbaik menurut penilainyya. Oleh Abduh dijawab, bahwa tafsir al-Kasysyaf
karangan az-Zamakhsyari adalah yuang terbaik, karena ketelitiannya redaksinya serta segi-
segi serta Bahasa yang diuraikannya. Walaupun Abduh mengakui sorotan-sorotan Rasyid
Ridha tentang paham Mu’tazilah yang dikandung oleh tafsir tersebut, namun Abduh
menyatakan bahwa hal tadi tidak akan luput dari perhatian pembaca kitan-kitab yang
memahami aliran-aliran Sunnah.
Peretemuan keua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, juga Tripoli. Kali ini Rasyid
Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha
untuk menanyakan segala sesuautu yang masih kabur baginya. Setelah lima tahun dari
pertemuan kedua, maka baru pada tanggal 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi
35
Ibid., hlm. 35.
36
Ibid., hlm. 35.
37
Ibid., hlm. 88
pertemuan ketiga di Kairo Mesir. Sebulan setlah pertemuan kaatiga ini, Rasyid Ridha
mengemukakan keinginnya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-
masalah sosial, budaya, dan agama. Pada mulanya Abduh tidka menyetujui gagasan ini,
karena pada saat itu di Mesir cukup banyak media massa, apalagi persoala yang akan diolah
diduga kurang menarik perhatia umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walauou
harus menagnggung kerugian material selama satu samapai dua tahun setelah penerbitan itu.
Akhirya, Abduh merestui dan emilih nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan
oleh Rasyid Ridha.
Al-Manar terbit perdana pada tanggal 22 Syawal 1315 H/ 17 Maret 1898 M, berupa
media mengguan sebanyak delapan halaman, dan mendapat sambutanhangat, bukan hanya di
Mesir atau negara-negara sekitarnya saja, tetapi juga sampai ke Erop[a, bahka ke Indonesia.
Hubungan surat-menyurat yang terjalin antar pemimpin surat kabar ini dengan para
pembacanya di Singapura yang sering berkunjung ke Indoensia, meruapkan salah satu sebab
yang emnghidupkan kembali cita-cita Rasyid Ridha untyk mendirikan sekolah dengan tujuan
mendidikan pemuda-pemuda menjadi da’i. gagasan ini akhirnya daoat terealisasi denfan
nama Madrasah Dar ad-Da’wah wa al-Irsyad, salah satu tujuannya adalah mengirim
tamatannya ke Jawa (Indonesia) dan Cina, bahkan dalam penerimaan pelajar diutamakan
mereka yang berasal dari Jawa (Indonesia), Cina, dan Daerah-daerah selain Afrika Utara.38
Muahmmad Rasyid Ridha berhasil menulis sekian banyak karya ilmiah, anatara lain adalah
sebagai berikut:
1. Al-Hikamh asy-Syar’iyyah fi Muhakkamat ad-Daadiriyah wa ar-Rifa’iyyah. Berikut
ini adalah karya pertamanya sewaktu-waktu di masih belajar, isinya adalah bantahan
kepada Abdul Hadyi ash-Shayyad yang mengecilkan tokoh sufi besar Abdul Qadir al-
Jailani, juga menjelaskan kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut
tasawuf, tentang busana Muslim, sikap peniru non-muslim, Imam Mahdi, maslah
dakwah dan kekeramatan.
2. Al-azhar dan al-Manar. Isinya antara lain sejarah Al-Azhar perkembangan dan
misinya, serta bantahan terahadap semntara ulam Al-Azhar yang menentang
pendapat-pendapatnya.
3. Tarikh al-Ustadz al-Imam, berisi riwayat hidup Muhammad Abduh dan
perkembangan masyarakat Meisr pada masanya.
4. Nida’ li al-jins al-Lathif, berisi uraian tentang hak dan keajiban-kewajiban wanita.
5. Zikra al-Maulid an-Nabawi
6. Risalatu Hujjab al-Islam al-Ghazali
7. As-Sunnah wa asy-Syi’ah
8. Al-Wahdah al-Islamiyah
9. Haqiqah ar-Riba
10. Majalah al-Manar, yang terbit sejak 1315 H/1898 M sampai dengan 1354 H/1935 M.
11. Tafisr al-Manar
12. Tafsir surah-surah al-Kautsar, al-Kafirun, al- Ikhlas, dan al-Mu’awwidzatain.
Dalam perjalanan pulan dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar Pangeran Sa’ud
al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang dikendarainya mengalami
38
Ibid., hlm. 184-185
kecelakaan dan dia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan,Rasyid Ridha hanya
membaca al-Quran, walau dia telah sekian kali muntah. Setlah memperbaiki posisinya, tanpa
disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat
cerah disertai senyuman pada tanggal 23 Jumadil Awal 1354 H, bertepatan dengan 22
Agustus 1935 M. kiranya Tuhan mengabulkan doanya serta menerima pengabdiannya yang
ditandai dengan akhir aayat yang ditafsirkannya:
“Wahai Tuhanku sesunggunnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian
kekuasaan, dan mengajarkan kepadaku penjelasa tentang takwil mimpi. Ya Tuhan
Pnecipta Langit dan Bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat dab
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh”

CORAK PENAFSIRAN SYAIKH MUHAMMAD ABDUH


Ada bermacam-macam metode dan corak penafsiean al-Quran Dr. Abd Al-Hay al-
Fatmawati mebagi metode-metode yang dikenal selama ini menjadi empoat yaitu analisis,
komparatif, global, dan tematik (penetapan topik). Metode analisis tersebut bermacam-
macam coraknya, salah satu diantaranya corak Adabi ijtima’I (budaya kemasyarakatan). 39
Corak ini menetikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya,
kemudian Menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-
segi petunjuk al-Quran bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa
menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-batas yang sangat
dibutuhkan.40
Tokoh utama corak ini, bahkan yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya, adalah
Syaikh Muhammad Abduh, seperti yang telah diemukakan pada pendahuluan. 41 Muhammad
Husein adz-Dzahabi mengemukakan sekian banyak ciri penafisran Abduh,42 kemudian
dilengkapi secara luas oleh Abdullah Mahmu Syahatah, sehingga secara keseluruhan,
menurutnya, mencapai Sembilan prinsip pokok.43 Namun, apa yang dikemukakan oleh kedua
tokoh mufasie kiwari tersebut, tidak semuanya merupakan prinsip atau ciri khas penafsiran
Abduh, ada pula di anataranya yang mereka anggap “prinsip”, etapi diabaikan oleh
Muhammad Abduh apabila dinilai openerapannya pda penafsiran suatu ayat, tidka
mendukung ide-ide yang ingin dicapainya. Dalam corak penafsiran Muhammad abduh
adalah punggawa yang memulai kajian tafsir bercoral adabi ijtima’I44 (kebudayaan
masyarakat ) corak ini menitik beratkan ayat-ayat al-Quran pada esgi ketelitian redaksi, dan
kemudian Menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan-
penonjolan segi-segi petunjuk al-Quran bagi lehidupan, serta menghubungkan pengeertian
ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang beralku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu, kecuali dalam batas-
batas yang sangat di butuhkan. Metode ini kemudian di sempurnakan oleh Abdullah Mahmud
Syahatah, dan kesemuanya memiliki Sembilan pokok prinsip.45

39
Lihat Abd al-Hay al-Fatmawati, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’I, kAIRO, Al-Hadharah al-Arabiyah, cet,
ke-2, 1977, hlm. 23-24
40
Abd al-Hay al-Fatmawati,……….. hlm.42
41
Lihat adz-Dzahabi, ………….Jilid III, hlm. 214
42
Adz-Dzahabi……………….., hlm. 220
43
Abdullah Mahmud Syahatah, ………. hlm.33
44
Lihat abd al-Hay al -Farmawi, Al-Bidayah fi al tafsir al-Maududi , Kairo, al-Hdharah al arabiyah, cetakan
ke-2 1977 halaman 23-24.
Secara terperinci ada Sembilan ciri khas penafsiran ala Muhammad abduh pertama,
memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. Awal ide ini sebenarnya
adalah di ungkapkan oleh Abu bakar Naisaburi (wafat 324 H ) 46 dab hal ini telah di buktikan
oleh sekian banyak ulama sebelumnya antara lain adalah asy-syatibi (wafat 1388 H ) melalui
penafsiran dalam surat al-Mu’minun.tokoh yang utama juga yang membicarakan kajian
tentang kajian ini adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’I (808 H) dalam bukunya Nazham ad-
durar fi Tanasub al-Ayah wa ash-Shuwar. Yang terdiri dari dua puluh jilid besar berisi uraian
tentang keserarasian sususnan ayat al-Quran. Ciri kahas yang manarik adalah Muhammad
abduh menggunakan keserasian ayat dan surah sebagai tolak ukur penetapan arti serta tolak
ukur, dalam menilai pendapat-pendapat berbeda, dan juga menggunakan pendekatan ini
untuk menafsirkan penafsiran-penafsian yang kurang mendapat perhatian oleh kalangan
ulama sebelumnya.47
Kedua, Ayat Al-Quran bersifat Umum, ciri ini berintikan pandangan bahwa ayat-ayat
al-Quran berkesinambungan, tidak dibatasi oleh suatu masa dan tidak pula di tujukan kepada
orang-orang tertentu. Hal ini senada dengan kiadah besar dalam ilmu tafsir yang artinya :
Pemahaman arti sebuah ayat berdasarkan kepada redaksinya yang umum, bukan pada sebab
turunnya yang khusus. Dalam memahami kaidah ini Muhamamd abduh sangat luas
cakupannya, menurut Muhammad Abduh menayatakan bahwa selama ayat dinilai sebagai
ayat yang bersifat Umum, maka keumuman ini dinyatakanya, walaupun kadang bertentangan
dengan kaidah-kaidah Bahasa.48
Ketiga, Al-Quran adalah sumber Akidah dan sumber Hukum, maka menurut
Muhammad Abduh kaidah ini dinyatakan :
Aku ingin agar al-quran menajdi sumber yang keapdanya disandarkan segala mazhab
dan pandangan keagamaan, bukannya mazhab-mazhab tersebut menajdi pokok dan
ayat-ayat al-Quran dijadikan pendukung untuk mazhab-mazhab tersebut.49
Penjelasan ungkapan diatas adalah menurut Muhammad Abduh adalah bahwa benar
ulama pendahulu adalah orang yang berjasa sebagai mujtahuid dalam memberikan
pengetahuan dan pendapat-pendapat mereka, tapi hal itu bukan berarti kemudian
mendewakan dan medahulukan pandangan-pandangan mereka yang kita pahami dalam ayat-
ayat al-Quran, dan dengan fenomena itu Muhammad abduh mengecam terhadap pandangan
Ulama tafsir yang menayatakan adanya ayat yang muskil di pahami hanya karena tidak
sepaham dengan pandangan mazhab mereka.50 Keempat, Pengunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat al-Quran. Bertitik tolak dari pandangan ini Muhammad abduh tentang
peranan akal, dalam benak Muhammad Abduh bahwa ahyu dan akal tidak mungkin akan
bertentangan, maka Abduh menggunakan akal secara luas untuk memahami (menafsirkan )
ayat-ayat al-Quran, penafsian-penafsiean menyangkut ayat akidah atau Syariah, dalam
khazanah tafsir Ulama pendahulu sebelum abduh menggunakan dua cara pertama
mengunakan akal sebagai penjelas dari ayat-ayat tersebut, atau menyerahkan tafsir kepada

45
Abdullah Mahmud Syhahatah, ……….. halaman 33. Tetapi ababila ada salah satu prinsip yang tidak
mendukung ide-ide yang diinginkan oleh Muhammad Abduh maka prinsip-prinsip adabul Ijtima’I tersebut di
tinggalkan oleh Muhammad Abduh sendiri,
46
Badrudin az-Zarkasi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Kairo, al-Halabi, cetakan ke-1 1957 , jilid I halaman 38.
47
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 28.
48
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 28-29.
49
Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Surah al-Fatihah, …………….halaman 5 M Quraish Shihab,
Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 30-31.
50
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 30-31.
Allah.51 Sedangkan Abduh memilih jalan pertama yaitu tetap memakasakan akal untuk bisa
menjelaskan ayat-ayat al-Quran.52
Kelima, menetang dan memberantas Taqlid, Muhammad Abduh berusaha kuat untuk
membarantas taqlid, dengan jalan membuktikan bahwa al-Quran memerintahkan umatnya
dengan menggunakan akal mereka, dan melarang mengikuti pandangan-pandangan
pendahulu walupun pendapat tersebut di kemukanan oleh orang yang seyogyanya sangat di
hormati dan dipercaya, tanpa mengetahui secara pasti hujah-hujah yang menguatkan
pendapat tersebut. Dengan titik tolak tersebut maka Abduh sangat mengecam Taqlid,
walupun ayat itu menyangkut sikap kaum musrikin, dan sealnjutnya dia mengecam kaum
muslim, khususnya yang berpengatahuan. Yang mengikuti pendapat Ualam-ualam terdahulu
tanpa memperhatikan hujahnya.53 Keenam, tidak merinci persoalan-persoalan yang
disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh al-Quran. Muhammad abduh
dalam menafsirkan ayat-ayat yang bersifat Mubham atau semacam itu, dengan tidak
memerincinya, karena menurut Muhammad Abduh menyatakan bahwa ayat itu sudah dapat
memberi petunjuk secara utama tanpa harus di perinci.54
Ketujuh, adalah sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi SAW. Hal ini lahir
dari sifat Muhammad Abduh yang secara historis sangat mendewakan akal, dia berpendapat
bahwa sanad (rangkaian perawi yang meriwayatkan/ mengantarkan suatu teks ) belum tentu
dapat di pertanggungjawabakan, hal ini dapat kita ketahui Ketika dalam satu surat yang
dikirim kepada salah satu Ulama india, Abduh menulis “apakah nilai suatu sanad yang secara
pribadi tidak aku kenal perawi-perawinya, tidak pula keadaaan serta kedudukannya dari segi
kepercayaan dan hafalan ?.55 Kedelapan, sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat
dan menolak isra’iliyat, dalam hal ini Muhammad Abduh sangat berhati-hati dengan
pandangan atau pendapat para sahabat Nabi SAW, apalagi dalam pendapat tersebut tersimpan
berbagai pandangan yang berbeda antara satu sahabat dengan sahabat lainnya. Karena untuk
menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang sangat mendalam, pemikiran yang
bukannya tertuju kepada ayat al-Quran hal itu oleh abduh dianggap tidak sejalan dengan
tuntunan al-Quran. 56 pandangan ini bukan berarti Muhamad Abduh menolak semua tafsir
para sahabat Nabi saw. Muhammad Abduh akan tetap menerima pandangan dari tafsir

51
Syaikh Muhammad Abduh, Risalah at-Tauhid, …… halaman 174. Lihat juga M Quraish Shihab,
Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 34-35.
52
Dalam hal ini Muhammad Rasyid ridha Muridnya sendiri kurang sependapat dengan logika gurunya, para
ulama sesudahnya menayatakan bahwa pandangan abduh ini karena terpengaruh pada pandangan masyarakat
eropa. lihat Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar …… halaman 266 M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi
Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 35.
53
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 54.
54
Muhammad Rasyid ridha, I Tafsir al-manar , …… halaman 324
55
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 61. Lihat juga Muhammad Imarah, ………. Jilid III halaman 198, dikutip oleh Abdul Athi Muhammad
Ahmad,…….. halaman 118. Lebih lanjut dalam pengantar majalah al-Urwah al wustha, Muhammad Abdur razik
menayatakan bahwa menurut Jamaludin al-Afhgani dan Muhammad Abduh bahwa sumber ajaran Agama
adalah al-Quran dan sunnah yang bersifat amaliyah, karena sunnah yang bersifat Mutawattir jumblah sedikit,
maka Abduh menayatakan dalam tafsir surah al-Fatihah bahwa “Al-QURAN harus dijadikasegala mazhab dan
pendapat dalam agama Jamaludin al afghani, Muhammad abduh, al-Urwah al-Wustha , Beirut , Dar al Kitab al-
Arabi, cetakan ke 3 1983, h alaman 36. M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al
Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 61. Metode ini juga yang meberi kesan kepada Muhammad rasyid
ridha yang menyatakan gurunya bahwa Muhammad Abduh tidak menguasai kajian kitab hadis atau al-Jarh wa
At-Ta’dil (kaidah-kaidah penilaian terhadap perawi-perawi hadist). M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran
Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 65.
56
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 65.
sahabat kaluu pandangan tersebut sejalan dengan pikiran logis dan logika rasional yang di
bangun oleh Muhammad Abduh.57
Sembilan, Mengaitkan Penafsiran al-Quran dengan kehidupan Sosial, sebagaimana
yang telah dijelaskan di depan, bahwa pandangan-pandangan Muhammad Abduh dalam
bidang tafsir ini sebagai embrio kajian tafsir yang bercorak adabi Ijtima’i (budaya
kemasyarakatan ) Adapun ayat-ayat yang akan di tafsirkan selalu di hubungkan dengan
keadaaan masyarakat dalam usaha mendorong kemajuan dan pembangunan, dalam
pandangan Abduh keterbelakangan Umat Islam itu karena disebabkan oleh kebodohan dan
kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.58 Dari segi
inilah Abduh berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan penafsiran-penafsiran
ilmiah, baik yang berhubungan dengan ilmu alam maupun dengan sosiologi. Selain itu
perbaikan terhadap kajian Bahasa Arab yang baik dan benar dalam kajian tafsir.maka dari itu
pembahasan kajian tafsir Muhammad Abduh jarang berkiatan dengan kajian kosa
kata.59metode ini akhirnya menjadi kajian dan diikuti oleh kalangan Ulama sesudahnya
misalanya Muhammad rasyid ridha dan Muhammmad Musthafa al Maraghi, Abdullah
darraz, Abdul Jalil Isa, walupun yang mereka ikuti tidak sama persis tepai bahwa mereka
terpengaruh kajian Muhammad Abduh.60
CORAK PENAFSIRAN AL-MANAR
Tafsir al manar asalnya bernama Tafsir al-Quran al hakim yang sangat dikenal
dengan kajian kitab tafsir yang mengajarkan atau menghimpun Riwayat-riwayat yang sahih
dan pandangan akal yang tegas. Dan juga menjelaskan sunnatullah (hukum Islam yang
berlaku) terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Quran sebagai petunjuk untuk seluruh
manusia.61tafsir ini disusun dengan redaksi yang butuh sambil berusaha menghindari istilah-
istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dipengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat
diabaikan oleh orang-orang khusus (cendekiawan), itulah car yang di tempuh oleh filosof
Islam al-Ustad al-Imam Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran di al-Azhar. 62
Sebenarnya kalau di rujuk secara mendalam tafsir al Manar pada dasarnya merupakan hasil
karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaludin al-afhgani, Syaikh Muhammad Abduh,
dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Pemberi gagasan dalam tafsir ini adalah jamaludin al-afgani yang memberikan
gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya yaitu Muhammad
abduh dan muridnya. Dengan hadirnya tokoh kedua ini, yaitu Muhammad Abduh gagasan
yang di lontarkan oleh Jamaludin al-Afgani kemduian di cerna dan diterima dan dioaleh dan
dihasilkan dengan mengeluarkan peanfsiran ayat-ayat al-Quran diterima , dan tokoh ketiga
melakukan kegiatan dokumentasi dalam bentuk ringkasan dan penjelasan secara sistematis.
Ringkasan dan penjelasan tersebut asalnya di terbitkan dalam bentuk majalh al-Manar, yang
dimiliki oleh Sasyyid Muhammad Rasyid ridha dan di beri tema Tafsir al-Quran al-hakim,
dan disadur dari kuliah al-ustad al-Imam Muhammad abduh.63 Jika melihat susunanya

57
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 65.
58
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 67. Lihat Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma , …….. halaman 24.
59
Abbas al Aqaad, ……… halaman 268.
60
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 69.
61
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 83.
62
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 83.
63
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 84.
Muhammad abduh sempat meberikan penafsiran dan memberi kuliah tafsirnya dari surah al-
fatihah sampai Surah an-Nisa, kemudian tokoh ketiga yaitu Muhammad rasyid ridha
melanjutkan menafsiran ayat-ayat tersebut dengan “sendirian “ dan secara garis besar
mengikuti prinsip-prinsip kajian dan metode Muhammad Abduh” sampai dengan ayat surah
yusuf.64 Maka dengan demikian penisbatan tafsri Al-manar lebih di nisbatkan pada syasid
Muhammad rasyid ridha yang berjumblah 12 jilid itu lebih terkenal karena tokoh ketiga ini
lebaih banyak menulis dalam jumblah ayat dan jumbalh penjelasan dan halamanya.65 Hal itu
dapat kita jumpai dengan melihat lafadah Aqulu, pasti kata ini akan merujuk pada nama
Muhammad rasyid Ridha.
CORAK PENAFSIRAN SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA
Dalam banyak hal tidak ada perbedaaan berrati antara metode peanfsiran Muhammad
rasyid ridha dan metode penafsiran Syaikh Muhammad abduh, tetapi dalam tafsir al-Manar
Muhammad rasyid ridha menyampaikan ada beberapa perbedaaan yang di akui oleh
Muhammad rasyid Ridha dalam melakukan menafsiran, dan itu juga menulis al-manar atas
usaha sendiri,perbedaaan adalah : Pertama, keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang
ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi saw. Kedua, keluasaan pembahasan tentang panafsiran
ayat dengan ayat yang lain. Ketiga, penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang
hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar,
kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan
maupun pemecahan Problem-Problem yang berkembang.66 Keempat, keluasaan pembahasan
tentang arti Mufradat (kosakata)susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat
Ulama dalam bidang tersebut. Perbdaan ini dilatar belakangi dari kajian Ilmu yang di tekuni
oleh Muhamamd rasyid Ridha, dan pengaruh ilmu-ilmu yang di tinggalkan dan berpengaruh
pada kehidupan Muhamad rasyid ridha.67 Adapun perbedaan pertama, adanya keluasaan
pembahasaan yang dilakukan dalam bidang. Hadis, hal ini meneutupi kekurangan dari
gurunya yaitu Muhammad Abduh yang memang tidak menekuni kajian hadis, riwaya,
hafalan dan jarh wal alta’dil. 68 Kedua, terkait dengan kajian tafsir ayat dengan ayat,
Muhammad Rasyid Ridha terpengaruh pada kajian yang dilakukan oleh Ibnu Katsir yang
sangat dikaguminya, kekagumannya sampai dia mencetak kitab tafsir Ibnu Katsir dan
menyebarluaskan keseluruh Dunia.69ketiga, dalam hal penyisipan pembahasan-pembahasan
yang luas tentang berbagai masalah menurt az-Zhahabi, profesi yang di jalankan oleh Sayyid
Muhammad Rasid Ridha sangat berpengaruh dalam menafsirkan dan menulis penjelasan
tafsir dalam tafsir al-Manar, kebiasaaan rasa wartawan yang telah disandangnya sejak lama
dan melekat serta mempunyaio hubungan dengan banyak orang dari kalangan yang paling elit
dan paling rendah juga mempengaruhi corak penafsirannya. 70 Adapun beberpa persamaan
antara Syaikh Muhammad Abduh dengan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam peanfsiran
adalah pertama, menganggap satu surah seabagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi, kedua,
ayat-ayat Al-Quran bersifat Umum, ketiga, Al-Quran adalah sumber Akidah dan Hukum,
64
Yang dicetak dalam tafsir al manar hanya sampai dengan ayat 52 surah yusuf, tetapi peanfsiran Rasyid Ridha
sampai dengan ayat 101, kemudian penafsiran surah yusuf selengkapnya dilanjutkan oleh Bihjat al-bahtiar dan
telah di cetak sendiri dengan menggunakan nama Rasyid Ridha lihat adz-Dzahabi, juz III, halaman 243.
65
Syaikh Muhammad Abduh menafsirkan 413 ayat yang ditulis dalam kurang lima jilid, dan Muhammad rasyid
ridha menulis sebanyak 930 ayat sebaganya tujuh jilid lebih. M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi
Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 85.
66
Lihat al Manar, ……juz I halaman 16.
67
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006
halaman 87.
68
Lihat Muhammad Rasyid ridha, Tarikh al-Ustad al-Imam percetakana al-manar, 1931, juz I, halaman 6. M
Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas tafsir Al Manar, Jakarta, lentera hati 2006 halaman 86.
69
Lihat Muhammad Abdullah Mahmud Syahatah, ………….. halaman 214 dan 217. M Quraish Shihab,
Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 ) halaman 86.
70
Azd-Dzahabi, At-Tafsir wa al Muafassirun, …… juz III, halaman 246.
keempat, pengunaan akal secara Luas dalam memahami ayat-ayat. Kelima, bersikap hati-hati
dalam hadis Nabi saw. Keenam,bersikap hati-hati terhadap pandangan para sahabat,71
Dalam tema ini, ada beberapa perbedaaan antara Syaikh Muhammad Abduh dan
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam segi pembahasan, pertama. Keluasaaan
pembahaasan menyangkut ayat-ayat yang di tafsirkan dengan hadis-hadis Nabi saw. Dalam
hal ini Sayyid Muhammad rasyid ridha dikenal luas sebagai Ulama yang paham dan
mempelajari kajian Ilmu hadis atau sunnah Nabi saw. Dalam pandangan Sayyid Muhammad
rasyid Ridha bahwa sebuah Riwayat maupun hadis serta pandangan Tabi’in sangat membantu
dalam menjelaskan al-Quran. Tetapi juga demikian bahwa tidak semau Riwayat dapat
diterima oleh Sayid Muhammad rasyid Ridha, apalagi kisah-kisah para Nabi Muhammad
Rasyid ridha sangat tidak menerima cerita-cerita tersebut karena sudah bercampur dengan
mitos dll.72 Dalam hal menafsirkan al-Quran Muhammad rasyid ridha juga banyak
memaparkan hadis-hadis Nabi saw. Yang di nilai dengan sahih. Penilainanya ada pada dua
sisi, sisi matan isi hadis dan sisi riwayah atau tranmisi serta perawi-perawinya. 73 Kedua,
Penyisipan kajian secara luas dan mendalam apabila hal tersebuit berkenanan dengan
permasalahan yang di butuhkan oleh masyarakat,74 ketiga, keluasaan pembahasan tentang
penafsiran ayat dengan ayat. Salah satu pengaruh besar kajian Ibnu Katsir pada Rasyid Ridha
adalah dalam prinsip ini. Yaitu dengan cara menafsirkan ayat dengan ayat yang dinilai oleh
Ulama adalah metode paling tepat dalam melakukan penafsiran al-Quran.75
KESIMPULAN
Demikian tafsri Al-Manar dengan segala keistimewaannya, pertama adalah kitab
tafsir ini berusaha menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya, melalui metode
budaya kemasyarakatnya, dan dengan menetapkan prinsip-prinsip baru dan atau menjabarkan
secara jelas disbanding dengan tafsir sebelumnya. Para menulis tafsir ini walupun
menekankan perlunya menghindari prakonsepsi dengan menetapkan bahwa al-Quran adalah
sumber ajaran, sedangkan pendapat Akidah dan Mazhab harus bersumber dari al-Quran,
namun dalam kenyataan penafsiran mereka masih sangat dirasakan. Memang sanagt sulit
seseorang meninggalkan ide yang dianutnya sebagai argumentasi landasan tafsirnya. Hal ini
terbukti adanya penakwilan terhadap sebuah ayat yang tanpa sekalipun memberikan ruang
pandangan Ulama sebelumnya. Kemudian pada bagian kajian yang Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha ada banyak penggunaaan hadis yang pada awalnya sangat di batasi oleh
gururnya yaitu Syaikh Muhammad Abduh. Dalam tafsir ini juga ingin memfungsikan tujuan
al-Quran. Yaitu sebagai petunjuk dan pemberi masukan terhadap problem-problem umat
manusia. Sekali lagi pada bagian Sayyid Muhammad rasyid Ridha berusaha untuk
menampilkan Al-Quran dengan wajah perkembangan Ilmu pengetahuan, khususnya yang
berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Ini juga amat kaya terhadap kajian pandangan-
pandangan Ulama sebelumnya walupun kajian tersebut di beri tealaah kritis yang kadang
sangat pedas.
DAFTAR PUSTAKA
Aqqad, Abbas Mahmud, al-Falsafah al Al-Quraniyyah , kairo, Dar al hilal,
71
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 116.
72
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 117.
73
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 118.
74
Dalam hal ini keluaasan pembahasan Rasyid ridha menasihatkan agar uraian tersebut di baca secara tersendiri,
bukan bertepatan dengan membaca tafsir al-Quran, supaya tdak terputus pikiran pembaca dan ayat-ayat tersebut
(lihat jilid 1 halaman 16 )
75
M Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta Lentera Hati 2006 )
halaman 133.
Al-Bahi, Muhammad, Al-Fikr Al Islami wa al _mUjtama’ al Muashir, kairo, Dar al
Qawwiyah,
Al-Fatmawati, Abd al-Hay,1977. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’I, kAIRO, Al-Hadharah
al-Arabiyah, cet, ke-2,
Al-farmawi, abd al-Hay,1977. Al-Bidayah fi al tafsir al-Maududi , Kairo, al-Hdharah al
arabiyah, cetakan ke-2.
Az-Zarkasyi, Badrudin,1957. Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Kairo, al-Halabi, cetakan ke-1.
Al-Adawi, Ibrahim Ahmad,1964. Raasyid Ridha, Al-Imam al-Mujahid, Kairo, Mathba’ah
Mishr,
Abduh, Syaihk Muhammad,1968. Tafsir Juz ‘Amma, kairo,Dar al Hilal
-
---------------------------------,1968, Tafsir al Musfasirun , Kairo, Dar al Kutub al -Hadistah,
Imarah, Muhammad,1972. al Amal al Kamilah li al Imam Muhammad Abduh, I Beirut, Al-
Muasssah al Arabiyah li ad Dirosat wa an Nasyr,
_______________________,1963. Risalah at-Tauhid, Kitab al Hilal no 143, Kairo, Dar al
Hilal,
Ridha, Sayyid Muhammad Rasyid,1931, Tarikh al Ustadz al- Imam Muhammad Abduh, juz
1, Percetakan al Manar,
____________________________,1367. I Tafsir al Manar (Kairo, Dar al manar,
Shihab, M Quraish,2006 Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis atas Tafsir Al-manar (Jakarta
Lentera Hati 2006 )
Quthb, Sayyid,1968, Kash’is al Islami ( tanpa penerbit ) cetakan ke -III,
At-Thananahy, Thahir, Muzhakirah al Ustad al-Imam, Kairo, Dar al halal.

Anda mungkin juga menyukai