Anda di halaman 1dari 16

Gerakan Pemikiran Muhammad 

Abduh
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Muhammad  Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang
sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Masyarakat
tersebut merupakan suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan
hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para
pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berlandaskan khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang
mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat
mengagumkan. Muhammad Abduh seorang Pemikir Pembaru Islam yang sangat
berpengaruh didalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya membawa dampak yang
signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat meliputi aspek
penafsiran Al-Qur’an, pendidikan, social masyarakat, politik, peradaban dan
sebagainya. Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling
berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum
Islam), dan Akhlak (tasawuf).

Rumusan Masalah

1. Bagaimana identitas dan riwayat hidup Muhammad Abduh?


2. Apa saja corak pemikiran Muhammad Abduh?
3. Bagaimana pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh?
4. Apa saja karya-karya Muhammad Abduh?
5. Bagaimana pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia?

Tujuan

1. Mengetahui dan memahami iedntitas dan riwayat hidup Muhammad Abduh.


2. Mengetahui dan memahami beberapa corak pemikiran Muhammad Abduh.
3. Mengkaji pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh.
4. Mengetahui dan memahami beberapa karya-karya Muhammad Abduh.
5. Mengkaji pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN
Identitas dan Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf
dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan
Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh termasuk salah satu
pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat
besar di dunia Islam. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk
menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Di dunia Islam Ia terkenal
dengan pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam
untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan
pembaharuannya dibidang pergerakan (politik).

Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama
Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari
bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab. Mereka tinggal dan menetap di
Mahallah Nasr.Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat
beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.

Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari
orang tuanya,kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu
guru untuk dilatih menghapal Al Qur an. Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua
tahun .Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad
ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sarf,fiqih dan sebagainya. Metode yang
digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala,dengan
metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan
pelajarannya di Tanta. Ketidakpuasan dengan metode menghapal diluar kepala, Ia
meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat
akan bekerja sebagai petani .Dan pada tahun 1865 ,sewaktu masih berumur 16 tahun
Iapun menikah. Setelah empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke
Tanta untuk belajar,Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta ,malah
bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorng terpelajar
pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.

Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk


belajar,kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca
buku ,namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya .Berkat kegigihan
Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya,dan setiap Ia membaca
beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud
oleh kalimat itu.Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah
sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan .Setelah itu Ia mengerti apa yang
dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak.Akhirnya Iapun pergi ke Tanta
untuk meneruskan pelajarannya. Setelah selesai belajar di Tanta ,Ia meneruskan
studinya di Al-Azhar pada tahun 1866.Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad
Abduh bertemu dengan Jamaludin Al-Afgani,ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan
ke Istambul.Dalamperjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada
Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur
an .Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan
yang baik didalam diri Muhammad Abduh.

Ketika Jamaludin Al-Afgani datang tahun 1871,untuk menetap di Mesir ,Muhammad


Abduh menjadi murid yang paling setia .Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-
Afgani.Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja
terbit. Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim .Ia
kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya sendiri
,Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khaldun dan
Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain. Dari sinilah Ia mengadakan
pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.

Corak Pemikiran Muhammad Abduh

1. Modernisasi

semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan


penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah
kemudian disebut dengan modernisasi. Sumber dari gagasan modernisasi Abduh
tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh,
Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka,
serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara
pasti hujjah-hujjah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu
dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh
menetapkan tiga hal yang menjadi kriteria perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut
adalah:

1. Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara


berlebihan.
2. Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah
mencapai kesempurnaan.
3. Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih
dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.

Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang


berkaitan dengan kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun
menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin,
khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu
tanpa memperhatikan hujjahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri,
diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta
keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan
pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai
tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara
pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern. Perpaduan antara kedua pemikiran ini
telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada
Alqur’an.

Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia
senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas
kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha
untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia
beranggapan apabila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid
yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya
perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing
daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan
perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan
demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran
Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.

1. Reformis

Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat


reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi
dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan
terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan
kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak
reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis

2. Konservatif

Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal


ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri
Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam
karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas
dan keunggulan. Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu
modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang
dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala
pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan
pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan
memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya
Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif.
Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad
Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
Jadi, inti pemikiran Muhammad Abduh adalah :

1. Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum
salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari
pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan
dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari
keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini
orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia
alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan
jiwa dan perbaikan amal.
2. Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau
dalam surat menyurat antar manusia.
3. Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih
menjadi anggota majelis itu. Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang
bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh
mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah
pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya
pendidikan.

Pemikiran Pembaharuan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharu dalam pemikiran
Islam di Mesir. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam
tubuh pemikiran umat Islam. Ia lah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah
pemikiran pada zaman modern dan juga menyebarkannya kepada masyarakat. Dalam
melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah
selamanya datang melalui revolusi atau cara yang serupa. Seperti halnya perubahan
sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode
pemikiran pada umat Islam. Melalui pendidikan, pembelajaran dan perbaikan Akhlaq.
Juga dengan membentuk masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang nantinya bisa
melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengan begitu akan tercipta rasa
aman dan keteguhan dalam menjalankan agama Islam.

Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu yang lebih
panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar
dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan
suatu kebangkitan dan kemajuan. Pembaharuan pemikiran yang dilakukan Muhammad
Abduh bukanlah hanya sebuah penolakan secara satu persatu atau secara global
terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada (pemikiran yang terdahulu).
Pembaharuannya juga bukan hanya sebuah pemeliharaan terhadap pemikiran-
pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi pembaharuan yang dilakukannya
merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan dan menjadikan intisari
pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar disesuai dengan tuntunan zaman.
Namun, Muhammad Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih
secara utuh segala yang datang dari dunia Barat.
Muhammad Abduh menyadari kemunduran umat Islam bila dikontraskan dengan
masyarakat Barat. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan
oleh faktor eksternal, seperti hegemoni (kekuasaan) Barat yang mengancam eksistensi
umat Islam, dan oleh realitas internal, seperti situasi yang yang diciptakan oleh umat
Islam sendiri. Karena umat Islam tidak mau membuka diri untuk menerima hal-hal baru
yang berasal dari Barat dan terus terpaku pada pemikiran Islam terdahulu.

Kemunduran Islam sebabkan oleh kebodohan dan kerana perpecahan sekterian,


karena tertutupnya pintu ijtihad dan adanya kekeliruan kebijakan pemimpin Islam. Bagi
Muhammad Abduh zaman Islam yang ideal itu adalah zaman Nabi Muhammad dan
sahabatsahabat-nya. Karena pada saat itu kecenderungan intelektual masih mewarnai
umat Islam dan masih belum ada perpecahan mazhab atau pemikiran. Dari penjelasan
di atas pemikiran pembaharuan Islam Muhammad Abduh dapat dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Pembaharuan Bidang Keagamaan

Muhammad Abduh mengatakan untuk memulai pembaharuan, kita perlu kembali


kepada ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Seperti pada zaman Nabi Muhammad
saw dan para sahabat-Nya. Namun, umat Islam dituntut lebih selektif

dalam menerapkan ajaran terdahulu. Serta perlu di tetapkan kriteria khusus untuk

memastikan teks (nash) mana saja yang memang otoritatif, sehingga harus ada analisis
seksama atas teks yang perlu dibahas. Muhammad Abduh merasa bahwa

setiap teks kuno, kecuali Alquran, masih bisa dipertanyakan dan didiskusikan. Semua
pendapat ulama harus dinilai dengan Alquran. Jika benar dan sesuai dengan Alquran,
barulah ajarannya dapat digunakan. Namun, pada zaman sahabat sedikit demi sedikit
juga bermunculan faham-faham atau aliran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
murni. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang terpengaruh oleh faham atau aliran yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Keterpengaruhan itu  berlanjut hingga
sekarang dan membuat umat Islam mengalami kemunduran. Selain munculnya faham
atau aliran yang tidak sesuai dengan ajaran islam, sebab yang membawa umat Islam
pada kemunduran yaitu faham jumud. Muhammad Abduh menerangkan dalam Al-Islam
Din Al-Ilm wa Al-Madinah, bahwa faham jumud masuk kedalam tubuh Islam dibawa
oleh orang-orang non-Arab yang kemudian merampas kekuasaan politik di dunia Islam.
Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat istiadat dan paham-paham animisme
mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Di samping itu,
mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti
yang dianjurkan dalam Islam, melainkan berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal
pada ilmu pengetahuan. Orang-orang non-Arab ini sangat memusuhi ilmu pengetahuan
karena ilmu pengetahuan dapat membuka mata rakyat salah satunya umat Islam. Bagi
mereka rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan agar mudah di perintah. Di dalam
Islam, mereka membawa ajaran-ajaran yang akan membuat umat Islam berada dalam
keadaan statis. Seperti pemujaan yang berlebihan kepada syaikh dan wali, kepatuhan
membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu dan tawakal, serta
menyerahkan segala-galanya pada qada dan qadhar. Dengan demikian, membekulah
akal umat Islam dan juga berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama-kelamaan faham
jumud meluas dalam masyarakat di seluruh dunia Islam. Karena itu, melepaskan diri
dari kondisi umat yang jumud dan mentalitas taklid seraya menjaga keautentikkan
Islam, merupakan tugas yang sangat besar. Muhammad Abduh memikulnya dengan
keuletan, kesabaran dan ketahanan yang mengagumkan sehingga semakin
mengukuhkan misi kecendekiawannya dan melejitkan sosok pribadinya.

Bagi Muhammad Abduh itu semua merupakan bidah, seperti halnya Muhammad bin
Abdul Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh

berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bidah ke dalam Islam lah yang

membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah
inilah  yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat
Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, faham-faham asing harus
dikeluarkan dari tubuh Islam dan umat Islam harus kembali ke pada ajaran-ajaran Islam
yang murni seperti pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat.

Dengan demikian, Muhammad Abduh menyerukan agar kembali kepada sumber sejati
Islam yaitu Alquran dan hadis, yang disepakati semua uamt Islam. Muhammad Abduh
menegaskan bahwa Alquran jelas-jelas memperlihatkan sunnah Allah yaitu hukum
Allah yang tidak akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran,
dan siklus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini
merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkita umat. Tegaknya suatu masyarakat yang
bijak dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Quran dan hadis.

2. Bidang Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan

Zaman keemasan Islam pada zaman klasik ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan sedang berkembang di negeri Barat, karenanya
zaman kemajuan sekarang sedang dialami bangsa Barat. Jika ingin meraih kembali
kejayaannya, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini
muncul akibat pemikiran yang diproses oleh akal. Ilmu-ilmu pengetahuan modern
banyak berasal dari hukum alam (Natural Laws), dan ilmu pengetahuan modern ini
tidak bertentangan dengan Islam, yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah
dan wahyu juga berasal dari Allah. Karena keduanya berasal dari Allah, maka ilmu
pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang
berdasarkan pada wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangan. Islam mesti
sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan modern mesti sesuai
dengan Islam.

Dalam zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang di bawah naungan


pemerintahpemerintah Islam yang ada pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan tidak bertentangan dengan agama, sehingga sebagai umat Islam kita
harus mempergunakan akal kita dengan sebaik-baiknya. Dalam Islam, menuntut ilmu
itu merupakan fardhu (kewajiban) bagi setiap muslim. Dalam hadist disebutkan
“Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim” (H.R. Ahmad dan Ibn Majah).

Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan umat Islam di
zaman klasik dan juga merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan Barat
sekarang ini. Muhammad Abduh mengatakan, untuk mencapai kemajuannya yang
hilang, umat Islam sekarang haruslah kembali mempelajari dan mementingkan soal
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, umat Islam harus terlebih dahulu dibebaskan dari
faham jumud, taklid, kembali lagi berijtihad dan kembali kepada Islam yang murni.

Selain keagamaan dan ilmu pengetahuan, Muhammad Abduh juga menaruh perhatian
terhadap pembaharuan dalam bidang pendidikan. Islam sangat mendorong umatnya
untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan. Banyak keterangan, baik dari Alquran
maupun hadist yang berbicara mengenai pendidikan. Seperti dalam Q.S.Al-‘Alaq ayat
1-5. Kemudian, Nabi Muhammad saw bersabda “Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi
orang Islam laki-laki dan perempuan. Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang
lahat” (Al-Hadist).

Muhammad Abduh menginginkan dibukanya sekolah-sekolah modern, di mana ilmu-


ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama. Untuk memulai
memperbaiki sistem pendidikan di Mesir, Muhammad Abduh mulai menerapkannya di
Al-Azhar. Mempermodernkan sistem pendidikan di Al-Azhar, menurut Muhammad
Abduh, akan mempunyai pengaruh besar dalam usaha pembaharuan Islam. Hal ini
disebabkan lembaga pendidikan Al-Azhar merupakan tujuan bagi para penuntut ilmu
dari segala penjuru dunia. Di perguruan ini seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan
dengan kebutuhan saat itu. Begitu juga ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya
tidak diajarkan ketika Muhammad Abduh masih menjadi pelajar di Al-Azhar. Ia
menginginkan agar ilmu-ilmu tersebut dipelajari dan selain itu, Muhammad Abduh juga
menyoroti keadaan dan sistem pendidikan. Ia menata kembali seluruh struktur
pendidikan yang berlaku di Al-Azhar, dari mulai cara mempelajari ilmu, dengan
menghafal diubahnya secara bertahap dengan cara memahami dan menalar. Jadi
selain perlu dihafal, juga yang terpenting siswa dapat mengerti apa yang dipelajarinya.
Bahasa Arab yang selama ini menjadi bahan baku tanpa pengembangan, oleh
Muhammad Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks
pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab. Terutama istilah-istilah yang baru muncul,
yang mungkin tidak ditemukan pada kosakata Bahasa Arab. Ia juga mengembangkan
kebebasan berintelektual di kalangan mahasiswa Al-Azhar.

Secara garis besarnya perubahan sistem pendidikan dimulai dari sekolah dasar yang
selama ini kurang mendapat perhatian, hal ini juga tidak lepas dari sorotan Muhammad
Abduh. Menurutnya sekolah tingkat dasar ini hendaknya menjadikan mata pelajaran
agama sebagai inti bagi semua mata pelajaran di samping pelajaran umum. Karena
pendidikan agama dianggap sebagai dasar pembentukan jiwa dan pribadi seorang
muslim. Dengan memiliki jiwa seperti itu, umat Islam terutama rakyat Mesir akan
memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk mengembangkan sikap hidup
dalam meraih kemajuan. Muhammad Abduh juga memikirkan sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintah untuk mencetak para ahli administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian, pendidikan dan lain sebagainya. Pada sekolah-sekolah pemerintah ini,
Muhammad Abduh berpendapat perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kaut,
termasuk sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Ia sangat khawatir melihat
bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah
lama akan mengeluarkan ulama-ulama atau pelajar-pelajar yang tidak memiliki
pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern. Sedangkan sekolah-sekolah pemerintah akan
mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit memilki pengetahuan tentang agama. Dengan
memasukan ilmu pengetahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat
pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, sehingga jurang yang memisahkan
golongan ulama yang ahli agama dan golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.

3. Bidang Politik dan Sosial Kemasyarakatan

Dalam pandangan Muhammad Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk


pemerintahan. Jika bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan sebagai model
pemerintahan maka bentuk demikian pun harus mengikuti perkembangan masyarakat.
Ini mengandung makna bahwa apa pun bentuk pemerintahan, Muahmmad Abduh
menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian, ia mampu
mengantisipasi perkembangan zaman. Namun pendapat ini adalah konsekuensi dari
pendapatnya tentang kehendak kebebasan manusia, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas. Muhammad Abduh tidak terlalu memaksakan bentuk pemerintahan
yang bagaimana, yang harus diterapkan. Apakah bentuk pemerintahan modern atau
bentuk pemerintahan yang dipegang oleh seorang khalifah seperti pada zaman klasik.
Muhammad Abduh berpendirian bahwa pemerintahan itu tidak berdasarkan agama,
akan tetapi pemerintahan harus memiliki tugas keagamaan untuk memelihara nilai-nilai
dan prinsip-prinsip Islam pada umumnya. Persepsinya tentang negara dan
pemerintahan, mencerminkan bahwa Muhammad Abduh tidak menghendaki
pemerintahan yang eksklusif untuk umat Islam. Ia juga dapat menerima Negara
kesatuan nasional yang berkembang di zaman modern, yang lebih penting ia tetap
dalam pengangkatan kepala negara yang memiliki hak atas itu adalah rakyat. Rakyat
adalah pemilik kekuasaan yang sesungguhnya dan rakyat berhak mengangkat dan
menurunkan kepala negara dari tahta. Kepala negara bukanlah wakil atau bayangan
Tuhan di bumi, yang mewajibkan tiap masyarakat khususnya umat Islam taat
kepadanya demi agama meskipun perilaku dan kebijasanaannya bertolak belakang
dengan ajaran agama. Sebab dalam pemikiran politik Islam zaman klasik dan
pertengahan mengatakan bahwa kekuasaan raja atau khalifah itu merupakan mandat
dari Allah dan karenanya ia bertanggung jawab kepada Allah pula. Menurut Muhammad
Abduh, seorang khalifah atau kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang
pengangkatan dan penurunannya merupakan hak masyarakat bukan Tuhan.

Dengan kekuasaan politik, Muhammad Abduh menghendaki agar prinsip-prinsip ajaran


Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak yaitu umat Islam dan wewenang
pemerintahan. Seperti halnya hukum-hukum Islam yang seperti apa, yang harus
diberlakukan, hak kebebasan untuk beribadah dan sebagainya. Namun, usaha
pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam ini harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah
didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Kata Muhammad
Abduh, harus ada hubungannya yang erat antara undang-undang dan kondisi Negara
setempat sebagai wilayah negara Islam, maka asas bernegara tentu disesuaikan
dengan keadaan umat Islam saat itu. Negara Islam boleh saja menggunakan
perundangan dalam bentuk sebagaimana negara pada umunya, namun secara
esensial harus lebih menonjolkan makna Islam di dalamnya. Inilah uraian mengenai
konsep kenegaraan menurut Muhammad Abduh.

Bagi Muahmmad Abduh pembaharuan tentang pemerintahan itu sangat penting. Ia


menyerukan agar syariat direvisi agar lebih sesuai dengan tuntunan dunia modern dan
kondisi masyarakat. Muahmmad Abduh percaya bahwa masyarakat yang kuat, sangat
penting bagi pembangunan suatu bangsa yang kuat. Ia berupaya agar umat Islam
mendapatkan kembali senjata psikologisnya, agar dapat menghadapi serangan pihak
asing atas masyarakat Islam. Agar bangsa Mesir kembali bersemangat, Muhammad
Abduh merasa perlu adanya pembaharuan atas adat yang berkenaan dengan peranan
dan kedudukan wanita. Menanggapi kritikan Barat bahwa Islam menindas kaum wanita,
Muhammad Abduh menegaskan bahwa dalam Islam ada persamaan gender. Laki-laki
dan wanita punyak hak dan kewajiban yang sama, mereka memiliki nalar dan perasaan
yang sama, mereka sama-sama diseru untuk menuntut ilmu.

Dalam kehidupan sosial, antara laki-laki dan wanita memiliki peran yang sama.
Perbedaannya hanyalah dalam peran kodrati seperti menyusui, melahirkan dan
menstruasi bagi wanita dan membuahi bagi laki-laki. Akan tetapi, di beberapa
kehidupan sosial, laki-laki dan wanita kerap kali menjalankan tugas yang berbeda.
Perbedaan tersebut terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik seperti bekerja. Akibatnya,
pihak laki-laki sering menerima perlakuan lebih dibandingkan dengan wanita. Sehingga
muncul berbagai ketidak adilan dan diskriminasi terhadap wanita dalam masyarakat
disebabkan oleh banyak faktor. Pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelebelan
sifat-sifat tertentu pada kaum wanita yang cenderung merendah. Misalnya, bahwa
wanitu itu lemah, lebih emosional dari pada nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak
patut hidup selain di rumah mengurus anak dan sebagainya.

Ada 4 persoalan yang menimpa wanita akibat dari adanya pelebelan ini seperti:

1. Meletakkan wanita di bawah laki-laki, wanita dituntut untuk tunduk kepada


sesama manusia, terutama laki-laki. Dalam Islam memang seorang laki-laki dalam
rumah tangga lebih patut untuk menjadi seorang pemimpin, karena laki-laki itu kuat
dan bertanggung jawab untuk melindungi dan menafkahi istrinya. Namun, ini tak
berarti wanita dapat dipaksa. Muhammad Abduh yakin jika wanita memang
mempunyai kualitas pemimpin dan kualitas membuat keputusan.
2. Adanya memarginalkan wanita, yaitu wanita cenderung dimarginalkan
(dipinggirkan). Biasanya dalam kegiatan masyarakat wanita paling tinggi

hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu. Mungkin karena posisinya yang
dianggap tidak penting, maka pendidikannya pun seperlunya saja.

1. Wanita berada diposisi yang lemah, karena wanita sering menjadi sasaran

tindak kekerasan oleh kaum laki-laki. Bentuk kekerasan itu mulai dari digoda,
dilecehkan, dipukul atau di cerai. Muhammad Abduh menegaskan, masyarakat secara
keseluruhan harus mencegah terjadinya penindasan atas wanita. Ia bahkan
merumuskan hukum yang memberikan hak kepada wanita untuk minta cerai karena
kondisi tertentu. Seperti suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istri, perlakukan
fisik yang kasar atau berkata

kasar dan sebagainya.

1. Akibat ketidakadilan gender ini maka, wanita harus menerima beban pekerjaan
yang jauh lebih berat dan lebih lama dari pada laki-laki. Hal ini

dianggap remeh oleh seorang laki-laki, karena seorang wanita hanya diperbolehkan
untuk bekerja dirumah saja. Wanita tidak diizinkan untuk

bekerja di luar rumah pada sektor produksi untuk meraih perolehan ekonominya sendiri.
Sehingga banyak wanita yang berjalan ditempat akibat kesewenang-wenangan laki-laki
(suaminya).

Maka dari itu jalan yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi adanya ketidakadilan
dan diskriminasi gender tersebut adalah lewat pemberdayaan kaum wanita melalui
peningkatan kesadaran dan pengetahuan mereka (peningkatan pendidikan). Selain itu
Muhammad Abduh juga menolak poligami dan mendukung monogami. Muhammad
Abduh merasa bahwa kalau praktik poligami ada di awal

Islam, maka itu tidak boleh ada di dunia modern saat ini. Selama periode formatif Islam,
praktik poligami ini besar manfaatnya karena membantu membentuk kelompok-
kelompok keluarga baru dan menciptakan serta mempererat umat. Memang Nabi
Muhammad dan para sahabatnya itu sangat adil, namun ini mustahil

bagi manusia lainnya. Kendati syariat memperbolehkan beristri empat, jika memang
mampu dan bisa adil. Namun, dalam analisis akhirnya mustahil manusia biasa bisa
berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama,
maka mereka akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari satu, maka poligami
harus dilarang.

1. Karya-karya Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang sarjana muslim, banyak sekali menulis artikel-artikel
di berbagai surat kabar seperti al-Ihram, Tsamrotul Funun, al-Urwatul Wutsqa dan
sebagainya. Beliau seorang yang amat teliti apa yang ditulis atau yang diceramahkan
selalu denganpersiapan yang lengkap, maka tidaklah mengherankan apabila
kebanyakan hasil kuliah-kuliahnya itu dalam keadaan siap dibukukan.

Adapun karya-karya Muhammad Abduh adalah sebagai berikut:

1. Risalah al-Waridah: kitab yang pertama kali dikarang beliau byang isinya
menerangkan ilmu tauhid dari segi tasawuf.
2. Wahdatul Wujud: menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang
kesatuan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
3. Falsafatul Ijtima’ Wattarikh: disusun ketika memberi kuliah di madrasah Darul
Ulum, berisi uraian tentang filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat.
4. Syarah Nahjul Balagha: uraian dari karangannya sayyidina Ali yang berisi
kesusastraan Arab dan menerangkan tentang tauhid serta kebenaran agama Islam.
5. Syarah Bashairun Nasiriyah: uraian tentang ringkasan ilmu mantiq (logika), kitab
ini diselesaikan M. Rasyid Ridha.
6. Risalah Tauhid: buku ini berisi masalah bagaimana manusia dapat mengenal ke-
Esa-an Tuhan dengan dalil-dalil yang rasional.
7. Al-Islamu wa Nashraniyah ma’al ilmi wa madaniyah: berisi tentang pembelaan
Islam terhadap serangan agama kristen dalam lapangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.
8. Tafsir juz ‘amma: tafsir yang isinya untuk menghilangkan segala tahayul dan
syirik yang menghinggapi kaum muslimin

Selain buku-buku tersebut ada karangan-karangan yang lain seperti:

1. Hasy’iyyah ala Syarh ad Daiwani lil aqo’idil adudiyah


2. Risalah ar rodad ‘ala dhohriyyah, yaitu terjemahan dari karangan Jamaluddin al-
Afghani.
3. Maqomat badi’ az-Zamanai al-Hamdi
4. Nizamaut Tarbiyah al-Mishriyah, dan lain-lain.

Pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia

Dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia, nampaknya pemikiran pendidikan


Muhammad Abduh nampaknya membidani lahirnya Muhammadiyah dengan format
pendidikan Islam-nya yang khas. Di indonesia, paham pembaharuan abduh sangat
berpengaruh terhadap berdirinya muhammadiyah (18 desember 1912) oleh kyai haji
ahmad dahlan di yogyakarta, “persatuan islam”(persis) di bandung, al-irsyad (1914) di
jakarta. kedua organisasi sosial keagamaan tersebut berkembang dengan mengusung
nilai-nilai pembaharuan.

Lahirnya Muhammadiyah merupakan akibat langsung dan logis dari gerakan


pembaharuan Muhammad Abduh. Bahkan penghormatan Ahmad Dahlan sebagai
pendiri Muhammadiyah kepada Muhammad Abduh adalah dengan memasukkan karya-
karya Abduh ke dalam kurikulum sekolah-sekolah Muhammadiyah, khususnya, Risalah
Tauhid-nya yang diterjemahkan oleh murid Ahmad Dahlan dan digunakan di sekolah
Muhammadiyah sebagai sebuah rujukan penting dalam teologi dan tafsir al-Qur’an.

Sedangkan dalam konteks pesantren, nampaknya respon dan reaksi pesantren


terhadap sistem pendidikan modern Barat dan sistem pendidikan modern Islam yang
diusung oleh kaum Modernis Islam sangatlah beragam dan menjadi kekhasan masing-
masing pesantren yang ada. Setidaknya terdapat dua model respon umat Islam
Indonesia terhadap modernisasi pendidikan Islam. Pertama adalah adopsi secara
hampir menyeluruh terhadap sistem dan lembaga pendidikan modern. Titik tolak sikap
ini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern, bukan sistem dan lembaga
pendidikan Islam tradisional. Kedua, adopsi aspek-aspek tertentu dari sistem
pendidikan modern, khususnya dalam kandungan kurikulum, teknik dan mettode
pengajaran. Pangkal dasar sikap ini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan Islam
tradisional itu sendiri yang kemudian di modernkan, bukan sistem dan lembaga
pendidikan modern. Sebagai contoh untuk kasus ini adalah apa yang dilakukan oleh
Pondok Pesantren Manba’ul Ulum, Surakarta, yang didirikan oleh Susuhunan
Pakubuwono pada tahun 1906. Sebagaimana pondok pesantren pada umumnya,
Manba’ul Ulum menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu tradisional
Islam. Kemudian dalam rangka modernisasi, pesantren ini memasukkan beberapa mata
pelajaran modern ke dalam kurikulumnya.

Menurut mapping yang dilakukan oleh Departemen Agama RI dibedakan tiga tipologi
pesantren dalam menyikapi modernitas. Pertama, Pesantren Salafiyah (tradisional).
Penamaan pesantren salafiyah ini didasarkan pada proses belajar mengajarnya yang
menggunakan cara-cara tradisional yakni sorogan dan bandongan / wetonan, tanpa
batasan umur dan tanpa batas waktu. Salafiyah ini ada dua macam, yaitu salafiyah
murni dimana pondok pesantren ini hanya menyelenggarakan pengajian kitab kuning
saja, baik klasikal maupun non-klasikal. Kini, hanya ada beberapa pesantren yang
masih bertahan untuk menjalankan sistem pembelajaran tradisional ini.[30] Kedua
salafiyah plus, dimana pesantren ini di samping menyelenggarakan pengajian kitab,
juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah atau madrasah atau bahkan
Perguruan Tinggi.

Kedua, Pesantren Khalafiyah (Modern). Pesantren dengan tipologi seperti ini adalah
pesantren yang melaksanakan proses belajar mengajarnya sudah menggunakan
sistem klasikal, memiliki kurikulum tetap dan ada batasan umur dan batas waktu.
Khalafiyah ini kurikulumnya ada yang berafiliasi kepada Departemen Agama
(madrasah), Departemen Pendidikan (sekolah), dan ada yang menggunakan kurikulum
sendiri (seperti Pondok Modern Gontor dan Al-Amien Prenduan), serta menggunakan
kurikulum gabungan.

Ketiga, Pondok Pesantren Asrama. Pondok pesantren ini bersifat asrama, karena


santrinya bertempat tinggal di pondok pesantren, sedangkan santrinya belajar atau
sekolahnya pada pendidikan di luar pondok pesantren, dan kyai berperan sebagai
pengawas dan pembina mental para santri melalui pengajian dan majlis ta’lim

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf
dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan
Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh termasuk salah satu
pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat
besar di dunia Islam. Semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Muhammad Abduh
memiliki pola corak pemikirannya dari segi moderninisasi, reformis, dan konservatif.
Muhammad Abduh mengadakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang
keagamaan, bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, bidang politik dan social
kemasyarakatan. Serta menghasilkan karya-karya dari pembaharuannya, diantaranya:
Risalah al-Waridah, Wahdatul Wujud, Falsafatul Ijtima’ Wattarikh, Syarah Nahjul
Balagha,  Syarah Bashairun Nasiriyah, Risalah Tauhid, Al-Islamu wa Nashraniyah ma’al
ilmi wa madaniyah, Tafsir juz ‘amma. Kemudiian pemikiran pendidikan Muhammad
Abduh nampaknya membidani lahirnya Muhammadiyah dengan format pendidikan
Islam-nya yang khas di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al Bahiy, Muhammad. 1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ali, Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender Dalam Pendidikan Islam (Surabaya:
alpha, 2005).

Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta : Grasindo, 2003),


22.

Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 32.

Madjid, Nur Cholis. 1989. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.


Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Al-Qur’an (Jakarta:
Paramadina, 2001), 85.73-75.

Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid ridha. Bandung: Pustaka Hidayah.

Yvonne Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahnema


(ed.), Para Perintis Zaman baru Islam (Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 36.

DAFTAR PUSTAKA

Al Bahiy, Muhammad. 1986. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ali, Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.

Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender Dalam Pendidikan Islam (Surabaya:


alpha, 2005).

Didin Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta : Grasindo, 2003),


22.

Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 32.

Madjid, Nur Cholis. 1989. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.


Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Prespektif Al-Qur’an (Jakarta:
Paramadina, 2001), 85.73-75.

Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid ridha. Bandung: Pustaka Hidayah.
Yvonne Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahnema
(ed.), Para Perintis Zaman baru Islam (Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 36.

Anda mungkin juga menyukai