Abduh
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Muhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang
sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Masyarakat
tersebut merupakan suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan
hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para
pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berlandaskan khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang
mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat
mengagumkan. Muhammad Abduh seorang Pemikir Pembaru Islam yang sangat
berpengaruh didalam sejarah pemikiran Islam. Pemikirannya membawa dampak yang
signifikan dalam berbagai tatanan kehidupan pemikiran masyarakat meliputi aspek
penafsiran Al-Qur’an, pendidikan, social masyarakat, politik, peradaban dan
sebagainya. Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling
berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah (Hukum
Islam), dan Akhlak (tasawuf).
Rumusan Masalah
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Identitas dan Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf
dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan
Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh termasuk salah satu
pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat
besar di dunia Islam. Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk
menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Di dunia Islam Ia terkenal
dengan pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam
untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan
pembaharuannya dibidang pergerakan (politik).
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama
Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari
bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab. Mereka tinggal dan menetap di
Mahallah Nasr.Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat
beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari
orang tuanya,kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu
guru untuk dilatih menghapal Al Qur an. Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua
tahun .Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad
ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa Arab,nahu ,sarf,fiqih dan sebagainya. Metode yang
digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala,dengan
metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan
pelajarannya di Tanta. Ketidakpuasan dengan metode menghapal diluar kepala, Ia
meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat
akan bekerja sebagai petani .Dan pada tahun 1865 ,sewaktu masih berumur 16 tahun
Iapun menikah. Setelah empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke
Tanta untuk belajar,Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta ,malah
bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorng terpelajar
pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.
1. Modernisasi
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia
senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas
kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha
untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia
beranggapan apabila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid
yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya
perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing
daerah. Islam menurut Abduh harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan
perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan
demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran
Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.
1. Reformis
2. Konservatif
1. Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum
salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari
pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan
dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari
keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini
orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia
alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan
jiwa dan perbaikan amal.
2. Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau
dalam surat menyurat antar manusia.
3. Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih
menjadi anggota majelis itu. Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang
bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh
mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah
pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya
pendidikan.
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharu dalam pemikiran
Islam di Mesir. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam
tubuh pemikiran umat Islam. Ia lah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah
pemikiran pada zaman modern dan juga menyebarkannya kepada masyarakat. Dalam
melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah
selamanya datang melalui revolusi atau cara yang serupa. Seperti halnya perubahan
sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode
pemikiran pada umat Islam. Melalui pendidikan, pembelajaran dan perbaikan Akhlaq.
Juga dengan membentuk masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang nantinya bisa
melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengan begitu akan tercipta rasa
aman dan keteguhan dalam menjalankan agama Islam.
Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu yang lebih
panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar
dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan
suatu kebangkitan dan kemajuan. Pembaharuan pemikiran yang dilakukan Muhammad
Abduh bukanlah hanya sebuah penolakan secara satu persatu atau secara global
terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada (pemikiran yang terdahulu).
Pembaharuannya juga bukan hanya sebuah pemeliharaan terhadap pemikiran-
pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi pembaharuan yang dilakukannya
merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan dan menjadikan intisari
pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar disesuai dengan tuntunan zaman.
Namun, Muhammad Abduh tidak pernah berfikir apalagi berusaha untuk mengambil alih
secara utuh segala yang datang dari dunia Barat.
Muhammad Abduh menyadari kemunduran umat Islam bila dikontraskan dengan
masyarakat Barat. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan
oleh faktor eksternal, seperti hegemoni (kekuasaan) Barat yang mengancam eksistensi
umat Islam, dan oleh realitas internal, seperti situasi yang yang diciptakan oleh umat
Islam sendiri. Karena umat Islam tidak mau membuka diri untuk menerima hal-hal baru
yang berasal dari Barat dan terus terpaku pada pemikiran Islam terdahulu.
dalam menerapkan ajaran terdahulu. Serta perlu di tetapkan kriteria khusus untuk
memastikan teks (nash) mana saja yang memang otoritatif, sehingga harus ada analisis
seksama atas teks yang perlu dibahas. Muhammad Abduh merasa bahwa
setiap teks kuno, kecuali Alquran, masih bisa dipertanyakan dan didiskusikan. Semua
pendapat ulama harus dinilai dengan Alquran. Jika benar dan sesuai dengan Alquran,
barulah ajarannya dapat digunakan. Namun, pada zaman sahabat sedikit demi sedikit
juga bermunculan faham-faham atau aliran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
murni. Sehingga tidak sedikit umat Islam yang terpengaruh oleh faham atau aliran yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Keterpengaruhan itu berlanjut hingga
sekarang dan membuat umat Islam mengalami kemunduran. Selain munculnya faham
atau aliran yang tidak sesuai dengan ajaran islam, sebab yang membawa umat Islam
pada kemunduran yaitu faham jumud. Muhammad Abduh menerangkan dalam Al-Islam
Din Al-Ilm wa Al-Madinah, bahwa faham jumud masuk kedalam tubuh Islam dibawa
oleh orang-orang non-Arab yang kemudian merampas kekuasaan politik di dunia Islam.
Dengan masuknya mereka ke dalam Islam, adat istiadat dan paham-paham animisme
mereka turut pula mempengaruhi umat Islam yang mereka perintah. Di samping itu,
mereka bukan pula berasal dari bangsa yang mementingkan pemakaian akal seperti
yang dianjurkan dalam Islam, melainkan berasal dari bangsa yang jahil dan tidak kenal
pada ilmu pengetahuan. Orang-orang non-Arab ini sangat memusuhi ilmu pengetahuan
karena ilmu pengetahuan dapat membuka mata rakyat salah satunya umat Islam. Bagi
mereka rakyat perlu ditinggalkan dalam kebodohan agar mudah di perintah. Di dalam
Islam, mereka membawa ajaran-ajaran yang akan membuat umat Islam berada dalam
keadaan statis. Seperti pemujaan yang berlebihan kepada syaikh dan wali, kepatuhan
membuta kepada ulama, taklid kepada ulama-ulama terdahulu dan tawakal, serta
menyerahkan segala-galanya pada qada dan qadhar. Dengan demikian, membekulah
akal umat Islam dan juga berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama-kelamaan faham
jumud meluas dalam masyarakat di seluruh dunia Islam. Karena itu, melepaskan diri
dari kondisi umat yang jumud dan mentalitas taklid seraya menjaga keautentikkan
Islam, merupakan tugas yang sangat besar. Muhammad Abduh memikulnya dengan
keuletan, kesabaran dan ketahanan yang mengagumkan sehingga semakin
mengukuhkan misi kecendekiawannya dan melejitkan sosok pribadinya.
Bagi Muhammad Abduh itu semua merupakan bidah, seperti halnya Muhammad bin
Abdul Wahab dan Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bidah ke dalam Islam lah yang
membuat umat Islam lupa akan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah-bid’ah
inilah yang mewujudkan masyarakat Islam yang jauh menyeleweng dari masyarakat
Islam yang sebenarnya. Untuk menolong umat Islam, faham-faham asing harus
dikeluarkan dari tubuh Islam dan umat Islam harus kembali ke pada ajaran-ajaran Islam
yang murni seperti pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat.
Dengan demikian, Muhammad Abduh menyerukan agar kembali kepada sumber sejati
Islam yaitu Alquran dan hadis, yang disepakati semua uamt Islam. Muhammad Abduh
menegaskan bahwa Alquran jelas-jelas memperlihatkan sunnah Allah yaitu hukum
Allah yang tidak akan berubah, yang menentukan siklus kemunduran serta kehancuran,
dan siklus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Mengikuti hukum-hukum ini
merupakan satu-satunya jalan bagi kebangkita umat. Tegaknya suatu masyarakat yang
bijak dan adil tentulah karena mengikuti ajaran Al-Quran dan hadis.
Zaman keemasan Islam pada zaman klasik ditandai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan sedang berkembang di negeri Barat, karenanya
zaman kemajuan sekarang sedang dialami bangsa Barat. Jika ingin meraih kembali
kejayaannya, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ini
muncul akibat pemikiran yang diproses oleh akal. Ilmu-ilmu pengetahuan modern
banyak berasal dari hukum alam (Natural Laws), dan ilmu pengetahuan modern ini
tidak bertentangan dengan Islam, yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah
dan wahyu juga berasal dari Allah. Karena keduanya berasal dari Allah, maka ilmu
pengetahuan modern yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang
berdasarkan pada wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangan. Islam mesti
sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan ilmu pengetahuan modern mesti sesuai
dengan Islam.
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan umat Islam di
zaman klasik dan juga merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan Barat
sekarang ini. Muhammad Abduh mengatakan, untuk mencapai kemajuannya yang
hilang, umat Islam sekarang haruslah kembali mempelajari dan mementingkan soal
ilmu pengetahuan. Maka dari itu, umat Islam harus terlebih dahulu dibebaskan dari
faham jumud, taklid, kembali lagi berijtihad dan kembali kepada Islam yang murni.
Selain keagamaan dan ilmu pengetahuan, Muhammad Abduh juga menaruh perhatian
terhadap pembaharuan dalam bidang pendidikan. Islam sangat mendorong umatnya
untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan. Banyak keterangan, baik dari Alquran
maupun hadist yang berbicara mengenai pendidikan. Seperti dalam Q.S.Al-‘Alaq ayat
1-5. Kemudian, Nabi Muhammad saw bersabda “Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi
orang Islam laki-laki dan perempuan. Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga ke liang
lahat” (Al-Hadist).
Secara garis besarnya perubahan sistem pendidikan dimulai dari sekolah dasar yang
selama ini kurang mendapat perhatian, hal ini juga tidak lepas dari sorotan Muhammad
Abduh. Menurutnya sekolah tingkat dasar ini hendaknya menjadikan mata pelajaran
agama sebagai inti bagi semua mata pelajaran di samping pelajaran umum. Karena
pendidikan agama dianggap sebagai dasar pembentukan jiwa dan pribadi seorang
muslim. Dengan memiliki jiwa seperti itu, umat Islam terutama rakyat Mesir akan
memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk mengembangkan sikap hidup
dalam meraih kemajuan. Muhammad Abduh juga memikirkan sekolah-sekolah yang
didirikan oleh pemerintah untuk mencetak para ahli administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian, pendidikan dan lain sebagainya. Pada sekolah-sekolah pemerintah ini,
Muhammad Abduh berpendapat perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih kaut,
termasuk sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Ia sangat khawatir melihat
bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme dalam pendidikan. Sistem madrasah
lama akan mengeluarkan ulama-ulama atau pelajar-pelajar yang tidak memiliki
pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern. Sedangkan sekolah-sekolah pemerintah akan
mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit memilki pengetahuan tentang agama. Dengan
memasukan ilmu pengetahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat
pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, sehingga jurang yang memisahkan
golongan ulama yang ahli agama dan golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
Dalam kehidupan sosial, antara laki-laki dan wanita memiliki peran yang sama.
Perbedaannya hanyalah dalam peran kodrati seperti menyusui, melahirkan dan
menstruasi bagi wanita dan membuahi bagi laki-laki. Akan tetapi, di beberapa
kehidupan sosial, laki-laki dan wanita kerap kali menjalankan tugas yang berbeda.
Perbedaan tersebut terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik seperti bekerja. Akibatnya,
pihak laki-laki sering menerima perlakuan lebih dibandingkan dengan wanita. Sehingga
muncul berbagai ketidak adilan dan diskriminasi terhadap wanita dalam masyarakat
disebabkan oleh banyak faktor. Pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelebelan
sifat-sifat tertentu pada kaum wanita yang cenderung merendah. Misalnya, bahwa
wanitu itu lemah, lebih emosional dari pada nalar, cengeng, tidak tahan banting, tidak
patut hidup selain di rumah mengurus anak dan sebagainya.
Ada 4 persoalan yang menimpa wanita akibat dari adanya pelebelan ini seperti:
hanya menjadi seksi konsumsi atau penerima tamu. Mungkin karena posisinya yang
dianggap tidak penting, maka pendidikannya pun seperlunya saja.
1. Wanita berada diposisi yang lemah, karena wanita sering menjadi sasaran
tindak kekerasan oleh kaum laki-laki. Bentuk kekerasan itu mulai dari digoda,
dilecehkan, dipukul atau di cerai. Muhammad Abduh menegaskan, masyarakat secara
keseluruhan harus mencegah terjadinya penindasan atas wanita. Ia bahkan
merumuskan hukum yang memberikan hak kepada wanita untuk minta cerai karena
kondisi tertentu. Seperti suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istri, perlakukan
fisik yang kasar atau berkata
1. Akibat ketidakadilan gender ini maka, wanita harus menerima beban pekerjaan
yang jauh lebih berat dan lebih lama dari pada laki-laki. Hal ini
dianggap remeh oleh seorang laki-laki, karena seorang wanita hanya diperbolehkan
untuk bekerja dirumah saja. Wanita tidak diizinkan untuk
bekerja di luar rumah pada sektor produksi untuk meraih perolehan ekonominya sendiri.
Sehingga banyak wanita yang berjalan ditempat akibat kesewenang-wenangan laki-laki
(suaminya).
Maka dari itu jalan yang dapat ditempuh untuk meminimalisasi adanya ketidakadilan
dan diskriminasi gender tersebut adalah lewat pemberdayaan kaum wanita melalui
peningkatan kesadaran dan pengetahuan mereka (peningkatan pendidikan). Selain itu
Muhammad Abduh juga menolak poligami dan mendukung monogami. Muhammad
Abduh merasa bahwa kalau praktik poligami ada di awal
Islam, maka itu tidak boleh ada di dunia modern saat ini. Selama periode formatif Islam,
praktik poligami ini besar manfaatnya karena membantu membentuk kelompok-
kelompok keluarga baru dan menciptakan serta mempererat umat. Memang Nabi
Muhammad dan para sahabatnya itu sangat adil, namun ini mustahil
bagi manusia lainnya. Kendati syariat memperbolehkan beristri empat, jika memang
mampu dan bisa adil. Namun, dalam analisis akhirnya mustahil manusia biasa bisa
berlaku adil. Jika seseorang benar-benar memahami betapa sulitnya berlaku sama,
maka mereka akan sadar bahwa mustahil untuk beristri lebih dari satu, maka poligami
harus dilarang.
Muhammad Abduh adalah seorang sarjana muslim, banyak sekali menulis artikel-artikel
di berbagai surat kabar seperti al-Ihram, Tsamrotul Funun, al-Urwatul Wutsqa dan
sebagainya. Beliau seorang yang amat teliti apa yang ditulis atau yang diceramahkan
selalu denganpersiapan yang lengkap, maka tidaklah mengherankan apabila
kebanyakan hasil kuliah-kuliahnya itu dalam keadaan siap dibukukan.
1. Risalah al-Waridah: kitab yang pertama kali dikarang beliau byang isinya
menerangkan ilmu tauhid dari segi tasawuf.
2. Wahdatul Wujud: menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang
kesatuan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
3. Falsafatul Ijtima’ Wattarikh: disusun ketika memberi kuliah di madrasah Darul
Ulum, berisi uraian tentang filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat.
4. Syarah Nahjul Balagha: uraian dari karangannya sayyidina Ali yang berisi
kesusastraan Arab dan menerangkan tentang tauhid serta kebenaran agama Islam.
5. Syarah Bashairun Nasiriyah: uraian tentang ringkasan ilmu mantiq (logika), kitab
ini diselesaikan M. Rasyid Ridha.
6. Risalah Tauhid: buku ini berisi masalah bagaimana manusia dapat mengenal ke-
Esa-an Tuhan dengan dalil-dalil yang rasional.
7. Al-Islamu wa Nashraniyah ma’al ilmi wa madaniyah: berisi tentang pembelaan
Islam terhadap serangan agama kristen dalam lapangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan.
8. Tafsir juz ‘amma: tafsir yang isinya untuk menghilangkan segala tahayul dan
syirik yang menghinggapi kaum muslimin
Menurut mapping yang dilakukan oleh Departemen Agama RI dibedakan tiga tipologi
pesantren dalam menyikapi modernitas. Pertama, Pesantren Salafiyah (tradisional).
Penamaan pesantren salafiyah ini didasarkan pada proses belajar mengajarnya yang
menggunakan cara-cara tradisional yakni sorogan dan bandongan / wetonan, tanpa
batasan umur dan tanpa batas waktu. Salafiyah ini ada dua macam, yaitu salafiyah
murni dimana pondok pesantren ini hanya menyelenggarakan pengajian kitab kuning
saja, baik klasikal maupun non-klasikal. Kini, hanya ada beberapa pesantren yang
masih bertahan untuk menjalankan sistem pembelajaran tradisional ini.[30] Kedua
salafiyah plus, dimana pesantren ini di samping menyelenggarakan pengajian kitab,
juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah atau madrasah atau bahkan
Perguruan Tinggi.
Kedua, Pesantren Khalafiyah (Modern). Pesantren dengan tipologi seperti ini adalah
pesantren yang melaksanakan proses belajar mengajarnya sudah menggunakan
sistem klasikal, memiliki kurikulum tetap dan ada batasan umur dan batas waktu.
Khalafiyah ini kurikulumnya ada yang berafiliasi kepada Departemen Agama
(madrasah), Departemen Pendidikan (sekolah), dan ada yang menggunakan kurikulum
sendiri (seperti Pondok Modern Gontor dan Al-Amien Prenduan), serta menggunakan
kurikulum gabungan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu
penggagas gerakan modernisme Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di
Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf
dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan
Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh termasuk salah satu
pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat
besar di dunia Islam. Semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Muhammad Abduh
memiliki pola corak pemikirannya dari segi moderninisasi, reformis, dan konservatif.
Muhammad Abduh mengadakan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang
keagamaan, bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, bidang politik dan social
kemasyarakatan. Serta menghasilkan karya-karya dari pembaharuannya, diantaranya:
Risalah al-Waridah, Wahdatul Wujud, Falsafatul Ijtima’ Wattarikh, Syarah Nahjul
Balagha, Syarah Bashairun Nasiriyah, Risalah Tauhid, Al-Islamu wa Nashraniyah ma’al
ilmi wa madaniyah, Tafsir juz ‘amma. Kemudiian pemikiran pendidikan Muhammad
Abduh nampaknya membidani lahirnya Muhammadiyah dengan format pendidikan
Islam-nya yang khas di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender Dalam Pendidikan Islam (Surabaya:
alpha, 2005).
Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 32.
Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid ridha. Bandung: Pustaka Hidayah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Djambatan.
Munir dan Sudarsono, Aliran Modern Dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 32.
Shihab, M. Quraish. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid ridha. Bandung: Pustaka Hidayah.
Yvonne Haddad, “Muhammad ‘Abduh: Perintis Pembaruan Islam”, dalam Ali Rahnema
(ed.), Para Perintis Zaman baru Islam (Bandung: Mizan, 1998) Cet. III, hlm. 36.