Anda di halaman 1dari 13

ILMU KALAM MODERN MENURUT MUHAMMAD ABDUH

MAKALAH ILMU KALAM


Dosen Pengampu: Ulpah Maspupah, M.Pd.
Disusun oleh:

Laeli Maftukhah 214110403010


Asmawaty Sukma Rahayu 214110101119
Nurhalimah 214110403049
Muhammad Jundulloh Alhaqiqiy 214110403052
Ulfi Nuraini 214110403056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirroahmanirrohim, Alhamdulillah puji syukur atas segala nikmat yang telah Allah
SWT berikan, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ilmu Kalam yang
berjudul “ Ilmu Kalam Modern Pokok Pemikiran Muhammad Abduh “ dengan tepat waktu. Hal
itu kami lakukan yaitu untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Kalam dengan dosen
pengampu Ulpah MaspupahM.Pd . Selain itu, makalah ynag kami susun menambah pengetahuan
bagi penulis dan pembaca tentang ilmu kalam modern sesuai dengan pokok pokiran Muhammad
Abduh.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya
tentang judul makalah yang kami kutip. Kami sangat menyadari bahwa makalah yang kami susun
jauh dari kata sempurna baik segi bahasa, penyusunan, dan penulisan. Oleh karena itu mohon
maklumat dan kritik serta saran kepada kami semua agar selanjutnya dapat menjadi acuan untuk
lebik baik dari sebelumnya.

2
A. PENDAHULUAN
Kebanyakan pengkaji ilmu-ilmu keislaman lebih banyak bicara perihal sumber
pokok, yakni al-Qur‟an dan sunnah. Meskipun terkadang juga bicara hukum islam.
Sayangnya persoalan teologi yang sebenarnya menjadi bagian penting dari
akidah/keyakinan kian luput dari perhatian. Kenyataan ini memicu kemandekan ilmu
kalam, terutama terhadap kajian-kajian dalam ilmu modern. Upaya melahirkan kembali
ilmu kalan seringkali tidak tuntas. Padahal ilmu kalam memberikan perspektif sejarah
teologis tentang teori-teori ketuhanan. Mungkin ilmu kalam menjadi tidak menarik karena
ranah kajiannya tidak pernah berkembang atau sengaja dibiarkan. Kajian ilmu kalam masih
saja bicara dalam perspektif historis-konfliktual, bisa saja banyak kalangan yang bosan
mendengar ulasan kalam yang kaku dan tidak pernah baru. Baru di sini dimaksudkan kalam
tidak melahirkan produk keilmuan yang menyangkut persoalan-persoalan kekinian.Pada
era global, manusia kian dipertemukan dengan keragaman pengetahuan, budaya, adat
istiadat, dan teknologi. Mengenai semua itu manusia senantiasa berhadapan dengan realitas
yang baru pula. Semua ranah dan prinsip kehidupan bicara persoalan yang sama. Dalam
perspektif agama, science, budaya, ekonomi dan sebagainya. Tidak luput perspektif
teologis juga turut menyertainya. Hanya saja prinsip teologis semacam apa yang turut
menyertai kehidupan manusia? Apakah prinsip ketuhanannya berlatar konflik atau
toleransi? Bagaimana teologi menjadi bagian dari kehidupan dunia modern? Lantas
bagaimana teologi/ilmu kalam mengcounter kenyataan baru globaliasasi yang terus
bergerak?
Latar belakang kemandekan ilmu kalam juga bersumber dari peristiwa sejarah.
Sejarah klasik banyak menunjukkan kenyataan bahwa kalam selalu menyuguhkan sejarah
berdarahdarah. Konflik yang seringkali terekam dalam ilmu kalam menjadikan arah kajian
ilmu ini tidak memiliki arti. Manakala kalam menjadi bagian dari ilmu-ilmu keislaman
yang wajib diketahui, disisi lain kalam masih saja mewacanakan kajian seputar sejarah
konflik dan pertikaian.Memang ilmu kalam berkembang tanpa perubahan. Meskipun telah
banyak upaya pengembangan ilmu kalam, namun sepertinya belum mendapatkan banyak
perhatian serius. Kajian kritis bahkan liberal dalam ilmu kalam sering kali dilakukan,
namun seringkali gagal dan tidak sampai ke tujuan. Buktinya tidak banyak produk ilmu
kalam yang lahir dibandingkan tafsir maupun fikih. Ini menandakan minat kajian kalam
masih jauh, padahal ini satu-satunya ilmu yang memberikan perspektif menarik tentang
kajian teologis.

3
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Kalam Modern
Secara teologis Islam, merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah. Tetapi dari
sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam
kehidupan manusia. ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu
perubahan. Apalagi di lihat dari pandangan ajaran islam sendiri, perubahan adalah
sunnatullah yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara
keseluruhan. Pandangan umat islam terhadap modernitas barat dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu modernis (ashraniyyun hadatsiyun), tradisionalis atau salafi
(salafiyyun) dan kaum elektif (tadzabdzub). Yang pertama menganjurkan adopsi
modernitas barat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai model
secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban modern untuk masa
kini dan masa depan. Sikap kaum salafi sebaliknya berupaya mengembalikan kejayaan
islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang
terakhir (kaum elektif) berupaya menghadapi unsur-unsur yang terbaik, baik yang
terdapat dalam model barat modern maupun dalam islam masa lalu , serta menyatukan
diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut. Era
modern secara umum dimulai ketika masyarakat Eropa menyadari tentang pentingnya
kembali berfikir filsafat. Para pemikir Eropa kembali bergelut dalam dunia ide yang
dikembangkan dalam tataran praktis menjadi gerakan penciptaan alat-alat yang
mampu memudahkan segala urusan manusia. Mereka menyebutnya dengan, moda
atau modern. Era ini terjadi pada awal-awal abad ke-16, yang dikenal dengan istilah
“renaissance”.
Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam untuk bangkit dari
keterpurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah. Periode modern ini terjadi sejak
tahun 1800-an hingga sekarang. Pada periode ini, muncul banyak tokoh yang
menyerukan ide-ide sekaligus gerakan pembaharuan yang bermuatan visi peradaban
islam. Mereka ini merupakan para pendakwah rasional. Berbicara tentang corak
pemikiran kalam modern, tentu saja akan sangat bervariasi, sesuai dengan situasi dan
kondisi masyarakatnya. Pada masyarakat yang maju, barangkali pemikiran kalamnya
cenderung ke arah rasional, yang mengharuskan segala sesuatu dapat bersifat logis dan
empiris. Pada masyarakat berkembang, kemungkinan besar berada pada garis
tengahnya. Sementara pada masyarakat tertinggal, pemikiran kalam akan cenderung
mengarah pada konsep jabariyah yang pasrah pada segala sesuatu yang saat itu ada di
hadapannya.
Hal ini dapat dilihat dari corak pemikiran kalam para tokoh muslim di abad modern,
seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Ismail Raji Al-Faruqi, Hasan Hanafi
dan lain sebagainya. Masing-masing menunjukkan corak yang berbeda dalam
memahami teks-teks agama, yang kemudian melahirkan paham kalamnya sendiri.
Salah satu tokoh kunci yang namanya tak pernah luput dari perhatian adalah
Muhammad Abduh, yang diperkenalkan oleh muridnya yang terkenal, yaitu Rasyid
Ridha. Tokoh yang satu itu, juga banyak disorot terkait dengan pemikiran kalamnya.
Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-qur'an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat

4
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun zaman.
Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban dunia di abad 19 dan seterusnya
telah menawarkan berbagai janji-janji kebahagiaan. Namun dalam praktikya
modernitas justru banyak menimbulkan persoalan baru. Peradaban modern justru
banyak melakukan dehumanisasi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan cita-cita
kemajuan, peradaban modern banyak melakukan kerusakan dan bencana yang
menyengsarakan orang banyak. Manusia hanya dipandang sebagai entitas fisik yang
tak berdimensi spritual, maka peradaban modern justru menjadikan makhluk yang
teralienasi, dilanda kebingungan dan kemapanan makna. Akibat modernisasi yang
lepas dari dimensi spiritual, maka seperti yang dikatakan oleh Doni Gahral Adian,
manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia kehilangan kontrol atas hidupnya di
mana ia terdeterminasi oleh hukum-hukum birokrasi, mekanisme pasar, hukum besi
sejarah dan lain sebagainya. 1

2. Riwayat Hidup Muhammad Abduh


Muhammad Abduh bin Hasaan Khair Allah atau sering disebut Muhammad Abduh,
lahir di desa Mahallat Nasr, Provinsi Gharbiyyah, Mesir pada tahun 1849. Ayahnya
bernama Abdul Khair Allah, warga mesir keturunan Turki. Sedangkan ibunya berasal
dari suku arab yang nasabnya sampai pada Umar ibn Khattab, sahabat nabi
Muhammad.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan menulis dan mebaca di rumah.
Beliau menghafal al-qur’an dalam masa dua tahun, dibawah bimbingan seorang guru
yang hafal kitab suci itu pada tahun 1863, beliau dikirim oleh orang tuanya ke Thanta
untuk meluruskan bacaannya ( elajar tajwid ) di masjid al-Ahmadi. Setelah berjalan
dua tahun berulah beliau mengikuti pelajaran yang di ajarkan di masjid al-Ahmadi,
karena etode pengajaran yang tidak tepat, setelah satu setengah tahun belajar,
Muhammad Abdu tidak mengerti apa - apa. Menurut pernyataannya sendiri guru -guru
cenderung mencekoki murid - murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah
tentang nahwu atau fiqh yang tidak dimengerti artiartinya. Mereka seakan-akan tidak
peduli apakah muridmurid mengerti atau tidak tentang arti istilah-istilah itu. Karena
tidak puas ia meninggalkan Thanta dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat tidak
akan kembali lagi belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi. Dalam usia 20 tahun,
ia menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti ayahnya.
Tetapi empat puluh hari setelah pernikahannya, ia dipaksa orang tuanya untuk kembali
lagi ke Thanta. Dalam perjalanannya ke Thanta itu ia singgah ke desa Kanisah Urin,
tempat tiinggal kaum kerabat dari pihak ayahnya.salah satu diantara mereka adalah
Syaikh Darwisy Khadr, seorang alim yang banyak mengadakan perjalanan ke luar
Mesir, belajar berbagai ilmu agama Islam. Ia juga mempunyai perhatian besar pada
bidang tafsir dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al-Muwatha’ dan kitab-
kitab hadis lainnya. Syaikh Darwisy Khadr berhasil memotivasi Muhammad Abduh
kembali membaca buku. Atas bantuan pamannya itu, akhirnya beliau mengerti apa

1
Karina Purnama Sari, “PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KALAM KLASIK DAN MODERN,” n.d.

5
yang dibacanya itu. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh dan ia berusaha
membaca buku-buku secara mandiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya
ditanyakan kepada Darwisy Khadr.
Pada tahun 1866, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar. Tetapi keadaan di Al-
Azhar ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana, masih dalam kondisi
terbelakang dan jumud. Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar menganggap segala
yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku geografi,
ilmu alam atau falsafah adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, ilmu
ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual bernama Syekh Hasan al-
Thawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan al-Thawil pun kurang memuaskan
dirinya. Pelajaran yang diterimanya di al-Azhar juga kurang menarik perhatianya. Ia
lebih suka membaca buku-buku di perpustakaan al-Azhar. Kepuasan Muhammad
Abduh mempelajari matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin
al-Afghani. Pada tahun 1877 ia menempuh ujian untuk mencapai gelar al-Amin. Ia
lulus dengan predikat baik.
Setelah lulus, tidak lama kemudian ia mengajar di al-Azhar, di Dar al-Ulum dan di
rumahnya sendiri. Di antara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan
Ibn Miskawaih, Mukaddimah karangan Ibn Khaldun dan Sejarah Kebudayaan Eropa
karangan Guizot, yang diterjemahkan oleh al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun
1857. Sewaktu al-Afghani diusir dari Mesir di tahun 1879, karena dituduh
mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga
dipandang turut campur dalam soal ini, dibuang keluar kota Cairo. Tetapi di tahun
1880 ia boleh kembali ke ibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar
resmi pemerintah Mesir al-Waqa’i al-Mishriyah. Di bawah pimpinan Muhammad
Abduh “al-Waqa’i al-Mishriyah” bukan hanya menyiarkan beritaberita resmi, tetapi
juga artikel-artikel tentang kepentingan-kepentingan nasional Mesir. Dari perjalanan
pengalaman yang diperoleh, mendorong Abduh memilih bidang pendidikan sebagai
media pengabdian ilmunya dan sekaligus menjadikan pendidikan sebagai tempat
melontarkan ide-ide pembaharuannya. Dalam melihat dinamika dan wacana yang
digagasnya, terlihat demikian jelas pengaruh Al Afghani terhadap pemikiran
pembaharuan Abduh.
Dinamika ide-ide pembaharuannya yang demikian dinamis sering kali bertentangan
dengan kebijakan penguasa pada waktu itu. Untuk itu, dalam menghembuskan ide-
idenya, acapkali abduh harus berhadapan dengan berbagai fitnah yang mengakibatkan
ia dihukum. Di antara konsekuensi ini dapat dilihat dalam kebijakan pemerintah yang
menagkap dan membuangnya ke luar negeri karena diindikasikan penguasa waktu itu
sebagai salah satu tokoh yang ikut dalam revolusi Urabi Pasya pada tahun 1882 M.
Pada tahun 1884 M, ia diminta oleh AlAfghani untuk datang ke Paris dan bersama-
sama menerbitkan majalah al-Urwat al-Wusqa.
Pada tahun 1885 M, ia pergi ke Beirut dan ia mengajar di sana. Akhirnya, atas
bantuan temannya di antaranya seorang Inggris, pada tahun 1888 M, ia kemudian di
izinkan pulang ke Kairo. Di sini, ia kemudian diangkat sebagai hakim. Pada tahun

6
1894 M, ia menjadi anggota Majlis Al-A’la Al-Azhar dan telah banyak memberikan
kontribusi bagi pembaharuan di Mesir (Al-Azhar) dan dunia Islam pada umumnya.
Kemudian pada tahun 1899 M, ia diangkat sebagai Mufti Mesir dan jabatan ini
diemban sampai ia meninggal pada tahun 1905 M dan usia kurang lebih 56 tahun. 2

3. Pemikiran Muhammad Abduh


a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh,
sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
1) Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat
perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah
(ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
2) Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media
massa.
Dua persolan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan umat
Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat
Islam saat itu dapat digambarkan sebagai "suatu masyarakat yang beku, kaku;
menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam
memahami syari'at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga
hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-
khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan
peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang
diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa
Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada
Mu tazilah 1" Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
a) Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
b) Keberadaan hidup di akhirat;
c) Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak
mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
d) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
e) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat
unntuk kebahagiaan di akhirat;
f) Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu." Dengan
memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal di
atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya,
wahyu adalah penolong (al-mu'in). Kata ini ia pergunakan untuk

2
Anwar, Rosihon, Prof. Dr. M.Ag. “ILMU KALAM” CV PUSTAKA SETIA, April 2012. hlm.

7
menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya,
menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam
akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum
yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan
sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta berterimakasih
kepada Tuhan.Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai
konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan
akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal
merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau
tidak didasarkan pada akal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama
kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya,
kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal. Wahyu
yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan akal. kalau
ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat
penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan
interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri
manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi,
tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat
perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan
kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya
yang ada dalam dirinya.
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai
kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan,
faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan
pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai
kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki
kebebasan absolut. la menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c. Sifat-sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah
apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? la menjelaskan bahwa hal
itu terletak di luar kemampuan manusia, Sungguhpun demikian, Harun Nasution
melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi
Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya,
d. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat
bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya
dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh

8
sunnatullah secara umum. la tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang
telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-
Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunatullah yang diciptakan-
Nya untuk mengatur alam ini.
e. Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh
mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya
dari segi kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan
manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia
dan tidak satu pun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi manusia.
Adapun masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi
kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat
ketidakadilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak
sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
f. Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima
faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani Abduh, yang memberi
kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat
Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah,
tangan, duduk, dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang
diberikan orang Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam
Al-Quran berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti pengetahuan.
g. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang
bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari
perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih
(keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan)
sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan
dengan kata kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada
orang-orang tertentu di akhirat.
h. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham
dengan Mu tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa
yang terbaik bagi manusia. 3

4. Faktor Pemikiran Muhammad Abduh


Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa faktor yang dapat dianggap
mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh termasuk dalam bidang teologi,
yaitu:pertama, Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan
gurunya, terutama Syekh Darwisy dan Jamaluddin Al-Afghani. Di samping

3
Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag; Prof. Dr. Abdul Rozak, M.Ag. “ILMU KALAM, Cetakan VII, 2001 CV PUSTAKA SETIA,
hlm.213-219

9
lingkungan sekolah di Tanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang
tidak efektif, serta pandangan keagamaan yang statis dan pikiran-pikiran yang
fatalistis.Kedua, Faktor politik, yang bersumber dari situasi politik di masanya, sejak
ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang
dilakukan oleh para pegawai di masa pemerintahan Muhammad Ali sampai kepada
gejolakgejolak politik di Mesir disebabkan karena sistem pemerintahan yang absolute,
politik rasialisme dan campur tangan asing di negeri Mesir dan ketiga, Faktor
kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di sekolah-
sekolah formal, dari Jamaluddin Al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya di
Barat. Dalam mengakhiri bagian ini, perlu ditegaskan, bahwa jelas terdapat beberapa
pengaruh yang turut mewarnai pemikiran Muhammad Abduh. Sejak mudanya, ia telah
menunjukkan kecenderungan untuk mengkaji pemikiran keagamaan yang islami
dengan penalaran logis, yang berpijak pada pemahaman dan pengamatan realitas yang
ada. Sebagai seorang lulusan Al-Azhar yang berpengetahuan luas dan memiliki
pengalaman segudang, Muhammad Abduh terbiasa dengan penalaran logis. Penalaran
logisnya itu tidak hanya terbatas dalam bidang keislaman saja, tetapi juga mencakup
bidang-bidang yang menjadi perhatian masyarakat.

5. Karya-Karya Muhammad Abduh


Suatu hal yang penting dalam membicarakan riwayat hidup Muhammad Abduh,
ialah tentang buah karyanya semasa hidupnya, bahkan ada juga usahanya yang masih
terbengkalai dan dilanjutkan oleh salah seorang murid dan pengikut setianya, Sayid
Muhammad Rasyid Ridha. Adapun karya-karya Muhammad Abduh, baik berupa
bahan ceramah, bahan kuliah yaitu:
1) Al-Waridat, yang menerangkan ilmu tauhid menurut pola tasawuf yang dijiwai
oleh pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani.
2) Wahdat al-Wujud, menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan
antara Tuhan dan makhluk, yakni bahwa alam ini adalah pengejawantahan Tuhan.
3) Syarh Nahj al-Balaghah, menurut kesusasteraan bahasa Arab yang berisi tauhid
dan kebesaran agama Islam.
4) Falsafat al-Ijtima’l wa al-Tarikh, yang menguraikan filsafat sejarah dan
perkembangan masyarakat.
5) Syarh Basair al-Nazariyah, uraian ringkas tentang ilmu mantiq (logika) yang telah
dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik dalam ilmu ini.
6) Risalat al-Tauhid, uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan terbaik dari
kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain.
7) Al-Islam wa al-Nasaraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah Riwayat: Educational
Journal of Histo.
8) Tafsir Surat al-‘Asr, tafsir yang mulamula dikuliahkan di al-Azhar kemudian
diceramahkan kepada kaum muslimin dan mahasiswa di al-Jazair.
9) Tafsir Juz ‘Amma, tafsir Alquran juz 30 ini diajarkan oleh ‘Abduh di Madrasah
al-Khairiyah, isinya antara lain menghilangkan segala macam tahayul dan syirik
yang mungkin menghinggapi kaum muslimin.

10
10) Tafsir Muhammad Abduh, tafsir ini disusun oleh Muhammad Rasyid Ridha dari
kuliah yang diberikan ‘Abduh di alAzhar dan baru sampai juz ke 10. Setelah
‘Abduh wafat, Rasyid Ridhalah yang meneruskan penafsiran tersebut hingga juz
ke-12, yang dimuat dalam majalah al-Manar.
11) Al-Takrir fi al-Islah al-Muhakkimin alSyar’iyah, buku ini ditulis sewaktu ia
menjabat Ketua Mahkamah Tinggi di Kairo, ia memberikan sugesti terhadap
perubahan-perubahan penting dalam undang-undang syariat.4

4
Teuku Abdullah, “Teologi Rasional : Pemikiran Muhammad Abduh,” Educational Journal of History and
Humanities 1, no. 2 (2018): 6–15.

11
C. KESIMPULAN
Pemikiran islam mengalir mengikuti gerak zaman. Hal ini terlihat dari gagasan
pemikiran segar yang muncul dalam setiap babakan dari satu generasi ke generasi
selanjutnya, fenomena ini di ketahui dengan munculnya problematika masyarakat yang di
tandai dengan problematika dan pergeseran atau prespektif baru dalam memahami dan
mengadaptasikan islam dengan konteks waktu yang aktual.
Dalam sudut sosiologis, pemikiran kalam modern yaitu suatu fenomena peradaban,
kultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Adapun pandangan umat islam
terhadap modernitas barat dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu modernis (ashraniyyun
hadatsiyun), tradisionalis atau salafi (salafiyyun) dan kaum elektif (tadzabdzub). Bagi
Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih
yang merupakan sifat dasar alaminya. Jika sifat dasar ini dihilangkan dari manusia maka
dia bukan manusia lagi, melainkan makhluk lain. Manusia dengan akalnya
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan
dengan kemauannya dan mewujudkan perbuatannya dengan daya yang ada dalam dirinya.
Diantara pemikiran muhammad abduh yaitu mengenai Kedudukan Akal dan Fungsi
Wahyu, Kebebasan Manusia dan Fatalisme, Sifat-sifat Tuhan, Kehendak Mutlak Tuhan,
keadilan tuhan, Antropomorfisme, melihat tuhan, serta mengenai perbuatan tuhan.
Adapula beberapa faktor yang mempengaruhi pemikiran m.abduh diantaranya Faktor
sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, Faktor politik, yang
bersumber dari situasi politik di masanya, serta Faktor kebudayaan, berupa ilmu
pengetahuan yang diperolehnya selama belajar di sekolah-sekolah formal.

12
DAFTAR PUSTAKA

Sari, Karina Purnama. "Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik dan Modern." Jurnal Ad-Dirasah:
Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman 1.
Rohman, Fatkhur. "Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh." Jurnal Raudhah 4, no. 1
(2016).
Sakti, Teuku Abdullah. "Teologi Rasional: Pemikiran Muhammad Abduh." Riwayat: Educational
Journal of History and Humanities 1, no. 2 (2018)
Anwar Rosihon. April 2012. “Ilmu Kalam”. Bandung. CV PUSTAKA SETIA

13

Anda mungkin juga menyukai