Anda di halaman 1dari 19

KALAM KHALAF

ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH

MAKALAH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Ulpah Maspupah , M.Pd.

Disusun Oleh:

Maulidya Lativah Aning 214110403011

Fadhilah ApriliaSalsabila 214110403034

Nendya Kusumaning Wikanti 214110403043

Laela Fitriyani 214110403079

3 PBA A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat,karunia,serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Kalam, dengan judul
“Kalam Khalaf Asy’ariyah dan Maturidiyah”.

Dalam penulisan makalah ini penulis masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi,mengingat kemampuan yang dimiliki penulis.
Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan makalah ini.

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang


membantu dalam pembuatan makalah ini.

Purwokerto, 18 Oktober 2022

Penulis

1
A. PENDAHULUAN

Latar belakang Al-Asy’ari berubah pendirian dari kedudukannya


sebagai pembela Mut’tazilah menjadi pembela faham salaf di kalangan para
ulama terjadi perselisihan dan merupakan perdebatan yang terus
berkembang. Akan tetapi terlepas dari berbagai alasan yang diajukan para
ahli, Al-Asy’ari telah menjadikan pendapat-pendapatnya yang menyerang
Mu’tazilah, sebagai paham (aliran pemikiran) yang berdiri sendiri dan
paling banyak memperoleh pengikut. Empat puluh tahun telah dihabiskan
Al-Asy’ari dalam mengabdikan dirinya di bawah naungan bendera teologi
Mu’tazilah, namun secara tiba-tiba Dia berbalik arah dan menjadi lawan
tangguh yang begitu telak menyerang Mu’tazilah. Dalam kitab Al-Ibanah
Al-Asy’ari telah memproklamirkan dirinya sebagai pembela suara
kebenaran dan pengikut sunnah, dan mengkategorikan pengikut Mu’tazilah
dan Qodariyah sebagai kelompok yang telah melenceng dari kebenaran dan
ahli bid’ah.

Sedangkan pemikiran dari Al-Maturidi lebih rasional ketimbang Al-


Asy’ari sebagaimnna tercermin dalam ajaran teologinya, sehingga
kendatipun ia banyak menyerang konstitusi Mu’tazilah namun ia lebih dekat
kepadanya ketimbang Asy’ariah. Bila demikian keadaannya, maka posisi
Al-Maturidi berada di antara dua kutub yang senantiasa kontroversial yaitu,
antara kutub Al-Asy’ariah yang sangat ortodok karena lebih setia kepadaa
sumber-sumber Islam secara literal dengan kutub Al-Mu’tazilah yang
sangat rasional dan dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Oleh karena itulah,
maka ajaran-ajarannya kemudian dikelompokkan secara tersendiri, dan para
Mutakallimun memberi nama madzhab yang satu ini dengan nama Al-
Maturidiah.

2
B. PEMBAHASAN
1. Aliran Kalam Asy’ariyah
a. Sejarah Timbulnya Aliran Asy'ariyah

Nama asy'ariyah diambil dari nama abu hasan ali bin Ismail al-
Asy'ari. Beliau berguru kepada aliran mu'tazilah yang bernama Abu Ali
Al-Jubai, ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran
mu'tazilah dengan paham-paham ahli fiqih dan hadis. Salah satu
penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Muktazilah ialah adanyaperdebatan-
perdebatan dengan gurunya Abu ‘Ali al-Jubbâi tentang dasar-dasar
pahamaliran Muktazilah yang berakhir dengan terlihatnya kelemahan
paham Muktazilah.

Pada masa pemerintahan Khalfah al-Ma’mun (827M),


Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi negara . Muktazilah adalah
aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berpikir kepada
manusia.. Aliran ini telah berkembangdalam masyarakat terutama pada
masa awal Dinasti Abbasiyah, yang banyak memajukan kegiatan
intelektual dengan lebih menggunakan rasio dalam penerjemahan ilmu-
ilmu luar dan memadukan dengan ajaran Islam. Kemudian pada masa
pemerintahan Mutawakkil (847- 861), pemikirannya terbalik dengan
pemikiran para pendahulunya dimana mazhab Muktazilah
diasingkandari negara dan kemudian digantikan dengan mazhab Sunni.
Pada masa inilah Muktazilah menjadi mazhab yang dimusuhi.

Di masa pemerintahannya, Mutawakkil mendekati lawan-lawan


mereka dan membebaskan para ulama. Para fuqaha dan ulama yang
beraliran Sunni serta orang-orang yang menerapkan metode Sunni
dalampengkajian ‘aqidah menggantikan kedudukan mereka. Sebagian
ulama yangmenguasai metode diskusi golongan Muktazilah tidak lagi
berpegang kepadapendapat-pendapat mereka. Sementara itu masyarakat
awam mendukung kelompokSunni. Usaha mereka didukung oleh para
ulama terkemuka dan para khalifah.Ketika berumur 40 tahun, dia
bersembunyi dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut.

3
Pada hari Jum’at dia naik mimbar di masjid Bashrah secara resmi dan
menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah. Pernyataan tersebut
adalah: “wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku,sungguh dia
telah mengenalku, barang siapa yang tidak mengenalku, maka aku
mengenal diri sendiri. Aku adalah fulan bin fulan, dahulu aku
berpendapat bahwa Alquran adalah makhluk, bahwa sesungguhnya
Allah tidak melihat dengan mata, maka perbuatan–perbuatan jelek aku
sendiri yang yang membuatnya. Aku bertaubat, bertaubat dan mencabut
paham-paham Mu’tazillah dan keluar daripadanya".Penyebab keluarnya
Al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah antara lain:

a) Pengakuan Al-Asy’ari telah bertemu Rasulullah saw sebanyak 3


kali. yakni pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan.
Dalam mimpinya itu Rasulullah saw.,memperingatkannya agar
meninggalkan paham Mu’tazillah
b) .Al-Asy’ari merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran Mu’tazilah
dalam soal–soal perdebatan yang telah ditulis di atas.
c) Karena kalau seandainya Al-Asy’ari tidak meninggalkan aliran
Mu’tazillah maka akan terjadi perpecahan dikalangan kaum
muslimin yang bisa melemahkan mereka. Al-Asy’ari sebagai orang
yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak dapat menjauhkan
diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. ia menentang
dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran
dalam agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah
disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu kesalahan. Dalam hal
ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal
pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
b. Pokok Pokok Pemikiran Asy’ariyah
a) Sifat-Sifat Allah
Pertanyaan tentang sifat-sifat Tuhan merupakan persoalan
yang banyak diperdebatkan oleh para teolog Islam. Dalam kaitan ini
telah dikemukakan dua teori yang dikembangkan, yaitu: ‫اثبات الصفة‬
‫و نفى الصفة‬. Teori pertama mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat-

4
sifat, seperti mendengar, melihat, dan berbicara. Teori ini dianut
oleh Asy'ariyah. Sedangkan teori kedua mengajarkan bahwa Allah
tidak memiliki shifat, yang man adianut olih kaum mu’tazilah.
b) Kebebasan Kehendak
Al-Asy'ari pada dasarnya menggambarkan manusia sebagai
orang yang lemah,tanpa kekuatan atau kekuatan dalam menghadapi
kekuasaan absolut. Karena manusia dianggap lemah, pemahaman
al-Asy'ari ini lebih mendekati pemahaman Jabariyah (fatalisme)
daripada pemahaman Qadariyah (kehendak bebas). Manusia dalam
kelemahannya sangat bergantung pada kehendak dan kuasa Tuhan.
Untuk menggambarkan hubungan antara tindakan dan kehendak
Tuhan dengan kekuasaan mutlak, al-Asy'ari menggunakan istilah al-
kasb (perolehan). Dengan demikian, menurut pemahaman al-
Asy'ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan. Dan tidak ada
pembuat (agen) bagi kasb kecuali Allah. Dengan kata lain, pencipta
kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari, sesungguhnya
adalah Tuhan itu sendiri.
Tindakan manusia sebenarnya adalah tindakan Tuhan. Al-
Asy'ari menegaskan bahwa Tuhan akan melakukan apapun yang dia
bisa sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada apa pun di dunia ini
selain kekuatan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menginginkan
sesuatu, itu akan ada, dan jika Tuhan tidak menginginkannya, itu
tidak akan ada.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa sebenarnya al-
Asy'ari tidak ingin umat manusia masuk kedalam Jabariyah dan
Qadariah. Inilah sebabnya mengapa ia mengusulkan sebuah ajaran
yang mengambil jalan tengah untuk teorinya tentang al-Kasb.
Sebagai ajaran yang netral, makna al-Asy'ari adalah bahwa manusia
bebas dalam bertindak tetapi terikat; Terpaksa tapi memiliki
kebebasan
c) Akal dan Wahyu

5
Pada dasarnya, kelompok Asy'ary dan Mu'tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu. Namun, mereka berbeda dalam
pandangan mereka tentang bagaimana menangani hal-hal yang
menemukan interpretasi yang bertentangan antara akal dan wahyu.
Al-Asy'ari mengutamakan pengungkapan sedangkan Mu'tazilah
mengutamakan akal. Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa
pengetahuan tentang Tuhan, kewajiban untuk mengenal Tuhan,
pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan, kewajiban untuk
berbuat baik dan menghindari kejahatan, semuanya diketahui oleh
akal tanpa perlu wahyu.
Sedangkan dalam pandangan al-Asya'ariyah, semua
kewajiban agama manusia hanya dapat diketahui melalui informasi
yang diwahyukan. Menurut al-Asya'ariyah akal tidak mampu
melakukan sesuatu yang wajib dan tidak mengetahui bahwa berbuat
baik dan menjauhi keburukan itu wajib bagi manusia. Kewajiban
mengenal Tuhan ditetapkan melalui wahyu hanya sebagai sarana
untuk mengetahui, sedangkan kewajiban untuk mengenal Tuhan
ditetapkan melalui wahyu. Bahkan dengan wahyu, seseorang dapat
mengetahui pahala kebaikan Allah bagi orang yang taat, serta pahala
kejahatan bagi orang yang tidak taat.
d) Qadimnya Kalam Allah (al-Qur'an)
Soal Qadimnya al-Qur'an Kelompok Asy'ariyah memiliki
visi tersendiri. Asy'ari menyatakan bahwa meskipun Al-Qur'an
terdiri dari kata-kata, huruf dan suara, mereka tidak terkait dengan
sifat Allah dan karena itu tidak qadim. Kalam dibedakan ini menjadi
dua yaitu pertama kalam Nafsi, yaitu bahwa firman Tuhan yang
abstrak dan tidak terlihat itu ada dalam Wujud (Diri) Tuhan, Kalam
adalah Qadim dan Azali dan tidak berubah melalui perubahan ruang,
waktu dan tempat. Jadi Al-Qur'an adalah kalam Allah dalam
pengertian ini bukan makhluk hidup. Sedangkan yang kedua yaitu
kalam Lafzi, adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasul
berupa huruf atau kata-kata yang dapat ditulis, dibaca atau

6
diungkapkan oleh makhluk-Nya, terutama berupa Al-Qur'an yang
dapat dibaca setiap hari. Jadi kalam dalam pengertian ini adalah
hadits (baru) dan termasuk makhluk hidup.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kalam Allah
menurut mazhab Asy'ariyah adalah sifat, dan sebagai sifat Allah
harus kekal. Namun untuk mengatasi persoalan bahwa yang
majemuk itu tidak bisa abadi atau qadim, sebagaimana dikemukakan
oleh Mu'tazilah, al-Asy'ariyah menawarkan dua definisi yang
berbeda. Kalam yang tersusun disebut sebagai firman dalam arti
kiasan (kalam lafz}i). Sedangkan kalam yang sesungguhnya adalah
apa yang terletak dibalik yang tersusun tersebut (kalam nafsi).
e) Melihat Allah
Menurut Al-Asy'ari bahwa Allah bisa dilihat nanti
(diakhirat), tapi tidak digambarkan. Karena itu wajar jika Tuhan
sendiri yang mewujudkannya sesuai dengan kehendak-Nya.
Argumen logisnya adalah bahwa Tuhan itu ada, sehingga Anda
dapat melihat-Nya dengan mata kepala sendiri pada Hari Kiamat.
Karena sesuatu tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, ia tidak
dapat dikenali sebagai sesuatu yang ada, sama seperti sesuatu yang
tidak ada. Meskipun Tuhan pasti ada.
Pada Hari Kebangkitan, Allah akan dianggap telah melihat
bulan purnama. Itu bisa dilihat oleh mereka yang percaya, bukan
oleh mereka yang tidak. Karena mereka terhalang untuk melihat-
Nya. Musa pernah meminta untuk diizinkan melihat Tuhan di dunia,
dan kemudian gunung itu bergetar seperti perwujudan kekuatannya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa itu tidak dapat dilihat di
dunia ini, sedangkan di akhirat dapat dilihat.
f) Keadilan
Ash'ary tidak setuju dengan Mu’tazilah, yang berpendapat
bahwa keadilan agar Allah menyiksa orang yang berbuat salah dan
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya,

7
Tuhan adalah penguasa mutlak, jadi tidak perlu pertimbangan
seperti itu.
Puncak perselisihan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah dalam
masalah keadilan, adalah ketika Mu’tazilah tidak mampu menjawab
kritik yang dilontarkan Asy’ariyah, bahwa jika keadilan mencakup
ikhtiar, baik dan buruk logistik serta keterikatan tindakan Tuhan
dengan tujuan-tujuan semua tindakan-Nya, maka pendapat ini akan
bertentangan dengan ke-Esaan tindakan Tuhan (Tauhid fil Af’al)
bahkan bertentang dengan ke-Esaan Allah itu sendiri. Karena ikhtiar
menurut Mu’tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar yang
ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari dzat-Nya.
Pandangan Asy'ariyah adalah bahwa Tuhan itu adil,
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa keadilan
Tuhan itu mutlak, bahwa Tuhan tidak terikat oleh otoritas apapun
selain otoritas-Nya, dan bahwa Tuhan memberikan hukuman sesuai
dengan kehendak-Nya yang mutlak, menurut pemahaman Ashurya.
g) Posisi orang-orang berdosa
Al-Asy'ari menyatakan bahwa orang-orang beriman yang
mengikuti Allah tetapi berbuat dosa, maka bisa diampuni oleh Allah
atau akan masuk Surga, atau mereka harus dihukum terlebih dahulu,
itu tergantung kehendak Allah.
Dalam hal ini, al-Asy'ari berpendapat bahwa orang-orang
beriman yang melakukan dosa besar adalah orang-orang beriman
yang Fasik. Berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Asy'ariyah, ciri-ciri
orang yang mengikuti ajaran Asy'ariyah adalah:
 Mereka berpikir menurut hukum alam dan mempelajari doktrin
ini.
 Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah
kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia. dan
mereka tidak mengkafirkan orang yang berdosa besar.
 Eksistensi Tuhan dalam konsep Asy'ariyah adalah kehendak
Tuhan yang mutlak.

8
c. Tokoh Tokoh Asyarriyah
a) Al-Baqillani,
Teologi Islam pertama, dalam berbagai tulisannya secara
khusus membahas tentang pengenalan ilmu, kondisinya, dan sarana
argumentasinya. Al-Baqillani dikenal tidak hanya karena
menyampaikan pesan-pesan dari warisan intelektual Asy'ariyah
generasi klasik, tetapi juga karena mampu menawarkan penjelasan
yang canggih, halus dan lebih ketat, sehingga dianggap sebagai
landasan paradigma Asy'ariyah. Dalam beberapa hal ia mencapai
tingkat yang lebih seimbang, seperti halnya pembatasan definisi
berbagai istilah yang digunakan di kalangan Asy'ariyah.
b) Abd al-Malik al-Juwaini (419-478 H/1028-1085 M)
Namanya Abd al-Malik al-Juwaini bin Abdullah dan lahir di
NisAbu>r. di kota Bagdad. Dia mengikuti jejak al-Baqillani dan
Asy'ariya dengan mendukung kekuatan nalar tertinggi yang
menyebabkan murka para ulama hadits. Dan akhirnya, dia sendiri
terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan tinggal di Mekah
dan Madinah untuk mengajar di sana. Untuk ini ia menerima gelar
Imamal Haramein. Imam Kedua tempat suci Mekah dan Madinah.
Setelah Nizam al-Mulk mengambil alih pemerintahan dan
mendirikan sekolah di Nisabr, al-Juwaini diminta kembali ke negara
asalnya dan mengajar di sana.
Al-Juwaini mempunyai beberapa kitab di lapangan ilmu
Tauhid, antara lain:
 Qowa’idu. Menguraikan tentang prinsip-prinsip aqidah menurut
paham ahli sunnah wal jama’ah
 Al-Burhan Fi Ushuli Fiqh. Menerangkan pendapat tentang
masalah iman dan ilmu.
 Nihayatul Mathlub Fi Dirayatil Mazhab. Kitab ini merupakan
pandangan Fiqihnya berdasarkan Mazhab syafi’i1

1
Alasy'ariyah. Karya Supriadin. Pps Uin Alaudin Makassar. Makassar

9
2. Aliran Kalam Maturidiyah
a. Sejarah timbulnya Maturidiyah
Aliran maturidiyah adalah aliran kalam yang didirikan oleh lmam
Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Nama
Al-Maturidi adalah nisbah pada suatu daerah di mana ia dilahirkan, daerah
itu dikenal dengan Maturidi atau Maturiti yang terletak di kota Samarqandi,
terkenal dengan “Ma wara’a, al-Nahr” atau “Ma wara’a al-Nahr Jaihun.
Oleh sebab itulah ia pun dikenal dengan nama Al-Syaikh Al-Imam ‘Ilm Al-
Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi
Al-Samarqandi. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham
teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan
Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi ahl al-sunnah dan dikenal dengan nama
al-Maturidiyah.
Latar belakang lahirnya aliran ini, hampir sama dengan aliran al-
Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan terhadap ajaran aliran
Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang dianutnya
hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal
dalam sistem teologinya. Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah
Abu al-ysr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah
murid al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi
dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah
seorang dari mereka ialah Najm al-Din
Muhammad al-Nasafi (460-573 H), pengarang buku al-‘Aqa ‘idal-Nasafiah.
Seperti al-Baqillani dan al-Juaeni, al- Bazdawi tidak pula selamanya
sepaham dengan al-Maturidi. Antara kedua pemuka al-Maturidiyah ini,
terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan Samarkand yaitu pengikut-
pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-
pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham-

10
paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, Golongan Bukhara
mempunyai pendapat-pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-
Asy’ari. Aliran Maturidiyah adalah teolongi yang banyak di anut oleh umat
Islam yang memakai mazhab Hanafi.
Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga hijrah, di
mana aliran Mu’tazilah sudah mulai mengalami kemunduran, dan di antara
gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi yang wafatnya pada tahun 268 H.
Pada masanya negeri tempat ia dibesarkan menjadi arena perdebatan antara
aliran Fikih hanafiah dengan aliran fikih safiiyah bahkan upacara-upacara
kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagai mana
terjadi juga perdebatan antara Fukoha dan ahli-ahli hadis disatu pihak
dengan aliran Mu’tazilah di pihak lain dalam soal-soal teologi Islam (ilmu
kalam). Maturidi semasa hidupnya dengan Asy’ari, hanya dia hidup di
Samarkhand, sedang Asy’ari hidup di Basrah. Asy ari adalah pengikut
Syafii dan Maturidi pengikut mazhab Hanaf. Karena itu kebanyakan
pengikut Asy’ari adalah orang-orang Syafiiyah, sedangkan pengikut
Maturidi adalah orang-orang Hanafiah. Boleh jadi ada perbedaan pendapat
antara kedua orang tersebut, karena adanya perbedaan pendapat antara
Syafii dan Abu Hanifah sendiri. Al-Maturidi mendasarkan pikiran-
pikirannya dalam soal-soal kepercayaan kepada pikiran-pikiran Abu
Hanifah yang tercantum dalam kitabnya al-Fikh al-Akbar dan al-Fikh al-
Absat dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Al-
Maturidi meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian
besarnya dalam lapangan ilmu tauhid.2
b. Pokok-pokok Pemikiran Aliran Maturidiyah
Imam al-Maturidi banyak dipengaruhi oleh pola pikir dari Imam
Abu Hanifah, dimana lebi banyak menggunakan rasio dalam
pandangan keagamannya. Untuk mengetahui sistem pemikiran al-
Maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ari dan
aliran Mu’tazilah, seba ia tidak bisa terlepas dari suasana masanya. Baik
al-Asy’ari maupun al-Matiridi kedua-duanya hidup semasa dan

2
Abu Zar, “Pemikiran Al-Maturidiyah Abu Zar,” Jurnal Adabiyah XIV, no. 2 (2014): 150–63.

11
mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran
Mu’tazilah. Perbedaannya ialah kalau al-Asy’ari menghadapi negeri
kelahiran aliran Mu’tazilah yaitu basrah dan Irak pada umumnya, maka
al-Maturidi menghadapi aliran Mu’tazilah negerinya, yaitu Samarkand
dan Irak pada umumnya, sebagai cabang atau kelanjutan aliran
Mu’tazilah Basrah dan yang mengulang-
ngulang pendapatnya.
Diantara pemikiran aliran maturidiyah dalam masalah teologi
adalah :
a) Tentang sifat Tuhan
Al-Maturidi muncul dan menetapkan sifat-sifat bagi Allah,
tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat Allah itu bukanlah sesuatu
di luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya
dan tidak pulah terpisah dari Dzat-Nya. Sifat-sifat tersebut tidak
mempunyai eksistensi yang mandiri dari Dzat, sehingga tidak
dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa
kepada banyaknya yang qadim (kekal).
Dengan pandangan ini, al-Maturidi dekat dengan
Mu’tazilah, atau lebih tegas lagi, ia hamper sependapat dengan
mereka. Sebenarnya tidakada perbedaan pendapt di kalangan kaum
muslimin bahwa Allah maha mengetahui ,maha melihat, maha
berkehendak, maha kuasa dan maha mendengar. Perbedaan
pendapat di antara mereka hanya berkisar pada apakah semua itu
merupakan sesuatu yang bereksistensi di luar Dzat-Nya ataukah
tidak ? Mu’tazilah menafikan semua itu sebagai sesuatu diluar
Dzat, sedangkan Asy’ariyah menetapkan bahwa sifat-sifat itu
merupakan sesuatu di luar Dzat-nya, sekalipun tidak dapat berdiri
sendiri kecuali dengan Dzat itu, sementara Maturidiyah ketika
mengakui bahwa ia bukanlah sesuatu yang berlainan dengan Dzat-
nya.

12
b) Melihat Alah SWT
Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan
golongan Al-Asy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat oleh
manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai berikut : tidak
dapat dilihat adalah yang tidak berwujud, setiap berwujud pasti
dapat dilihat dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat
dilihat. Silogisme tersebut secara tidak langsung menunjukkan
adanya kontroversi
dengan pendapat golongan Mu’tazilah yang mengatakan;
”Innallaha Ta’ala la yura bi al-hal min al-ahwal”. Demikian juga
berbeda dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh golongan
Musyabbihah, yang mengatakan”Innallahyura mukayyafan
mahdudan al-marayat”.3
Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah dapat dilihat
pada hari kiamat menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu
keadaan khusus hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanya Allah
yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Kita tak
mengetahui tentang hari kiamat kecuali melalui berbagai ungkapan
dan pernyataan yang menetapkannya, tanpa mengetahui
bagaimana keadaan yang sebenarnya. Al-Maturidi menyatakan
bahwa Allah kelak pada hari kiamat dapat dilihat.akan tetapi, ia
segera menambahkan bahwa hal itu merupakan bagian dari kondisi
pada hari kiamat, yaitu hari penghitungan amal, pahala dan siksa.
c) Tentang Al-Qur’an
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Qur’an itu qodim. Ia
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang qadir,
tidak dirubah, tidak diciptakan, tidak baru dan tidak ada
permulaannya. Adapun huruf-huruf muqaththa’ah bentuk-bentuk,
warna-warna, suara-suara dan segala sesuatu yang tertentu dan
segala sesuatu yang ada di alam dari al-Mukaffayat, adalah

3
Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari Dan Al-Maturidi,”
Fikrah 1, no. 2 Juli 2013 (2013): 207–30.

13
makhluk yang berpermulaan dan diciptakan. Dan sesungguhnya
Kalam Allah SWT adalah sifat yang ada dengan dzat Allah Ta’ala,
yang tidak tersusun dari huruf-huruf dan suara-suara.
d) Kebaikan dan keburukan
Al-Maturidi (juga golongan Maturidiah) mengakui adanya
keburukan obyektif (yang terdapat pada suatu perbuatan itu
sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan
sebagian sesuatu perbuatan. Seolah-olah mereka membagi sesuatu
(perbuatan-perbuatan) kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang
tidak dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata-mata,
sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal
semata-mata dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan
keburukannya bagi akal. Kebaikan
dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan
melalui syara’.
e) Pelaku dosa besar
Menurut Al-Maturidi orang yang berdosa besar
tetapdikatakan mukmin. Adapun bagaimana nasibnya kelak di
akhirat, terserah kepada Tuhan. Itu sebabnya Al-Maturidi
berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di neraka,
sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Berkenaan dengan
hal ini ia mengatakan bahwa Allah telah menjelaskan dalam al-
Qur’an bahwa dia tidak akan membalas kejahatan kecuali dengan
kejahatan yang serupa.
Tidak disangsikan, bahwa orang yang tidak mengingkari
Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengannya, dosanya berada
di bawah dosa orang kafir dan orang musyrik. Allah telah
menetapkan kekekalan dalamnerakasebagaisiksaaan bagi
kemusyrikan dan kekufuran. Selanjutnya mempersamakan
pembalasan antara orang kafir dan orang mukmin yang durhaka
termasuk hal yang bertentangan dengan kebijaksanaan dan
keadilan Allah.Alasannya, orang mukmin yang durhaka telah

14
membawa sesuatu yang merupakan kebaikan
terbesar, yaitu iman dan ia tidak melakukan kejahatan terkutuk,
yaitu kekufuran. Maka sekirannya Allah mengekalkannya dalam
neraka, niscaya dia telah menetapkan pembalasan kejahatan
terburuk sebagai imbalanbagikebaikanterbaik. Tuntutan keadilan
dan kebijaksanaan ialah membalas secara seimbang, bukan
melebihi, kecuali balasan pahala.
c. Tokoh tokoh Maturidiyah
a). Al-Mathuridi
Al-Maturidi merupakan pengikut setia dari Abu Hanifah
yang terkenal ketat dengan keabsahan pendapat akal. Sehingga al-
Maturidi banyak memakai komparasi akal dalam penyelesaikan
problem keagamaan (teologi). Pengikut dari al-Maturidi, salah
satunya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493 H).
Nenek al-Bazdawi merupakan murid dari al-Maturidi, dan ajaran al
Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham
dengan al Maturidi. Perbedaan pendapat di antara mereka
menyebabkan aliran al-Maturidi terbagi menjadi dua golongan,
golongan Samarkhan dan golongan Bukhara.
b). Al-Badzawi
Salah satu pengikut penting al-Maturidi adalah al-Bazdawi.
Nama lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad bin Muhammad
Abdul Kasim al-Bazdawi. Ajaran al-Bazdawi adalah sebagai
berikut: Pertama: Alasan dan Wahyu Menurut al-Bazdawi pikiran
tidak dapat mengetahui kewajiban untuk berbuat baik dan
menghindari yang buruk, karena intelek hanya bisa mengetahui
yang baik dan yang buruk, sebenarnya Tuhanlah yang menentukan
kewajiban. tentang yang baik dan yang buruk.
c). Najmuddin Umar an-Nasafi
Najmuddin Umar an-Nasafi lahir di Nasaf pada tahun 462 H,
dia terkenal dengan syaikh-syaikhnya yang berjumlah besar
mencapai lima ratus orang, di antara mereka adalah Abul Yasar al-

15
Bazdawi dan Abdullah bin Ali bin Isa an-Nasafi. Dia juga memiliki
karya tulis juga dalam jumlah besar yang menjadi buku induk dalam
menetapkan pemikiran-pemikiran Maturidiyah. Setelah masa
Najmuddin Umar an-Nasafi, Maturidiyah mengalami kemajuan dan
perkembangan yang berarti, hal ini karena mereka mampu mendapat
sokongan para Sultan Daulah Utsmaniyah yang berpusat di Turki,
dan akhirnya para sultan tersebut menjadi pendukung Maturidiyah
sehingga pengaruh Maturidiyah menyebar ke negeri-negeri yang
dijangkau oleh kekuasaan Daulah Utsmaniyah.

3. Perbedaan dan persamaaan Pemikiran Maturidiyah dan


Asy’ariyah
Dalam soal sifat-sifat Tuhan ada persamaan antara al Asy’ari dan
al-Maturidi. Baginya, Tuhan juga memiliki sifat-sifat. Selanjutnya
dikatakan bahwa Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tetapi
mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan berkuasa bukan dengan dzat-
Nya. Dalam soal perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan
golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Adapun perbedaan yang paling menonjol adalah bahwasannya
al-Maturidi menyetujui kebebasan yang berkehendak sesuai dengan
konsekuensin logis dari gagasan keadilan dan gagasan pembalasan
Tuhan, sedang a-Asy’ari berpegang teguh bahwa kehendak Tuhan yang
tidak dapat dibayangkan dalam kapasitas logika manusia.

16
C. Kesimpulan
Nama asy'ariyah diambil dari nama Abu Hasan Ali bin Ismail Al-
Asy'ari. Beliau berguru kepada aliran mu'tazilah yang bernama Abu Ali Al-
Jubair. Kemudian ia keluar dari muktazilah karena perdebatan dengan
gurunya Abu ‘Ali al-Jubbâi tentang dasar-dasar pahamaliran Muktazilah
yang berakhir dengan terlihatnya kelemahan paham Muktazilah.
Pokok-pokok pemikiran asy'ariyah antara lain sifat-sifat Allah,
kebebasan berkehendak, akal dan wahyu. Soal Qadimnya al-Qur'an
Kelompok Asy'ariyah memiliki visi tersendiri. Asy'ari menyatakan bahwa
meskipun Al-Qur'an terdiri dari kata-kata, huruf dan suara, mereka tidak
terkait dengan sifat Allah dan karena itu tidak qadim. Kalam dibedakan ini
menjadi dua yaitu kalam nafsi dan kalam lafdzi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alasy'ariyah. Karya Supriadin. Pps Uin Alaudin Makassar. Makassar

Fathul Mufid, “Menimbang Pokok-Pokok Pemikiran Teologi Imam Al-Asy’ari


Dan Al-Maturidi,” Fikrah 1, no. 2 Juli 2013 (2013): 207–30.
Abu Zar, “Pemikiran Al-Maturidiyah Abu Zar,” Jurnal Adabiyah XIV, no. 2
(2014): 150–63.

18

Anda mungkin juga menyukai