Anda di halaman 1dari 23

Ahl Al Sunnah : Khalaf (Asy’aridan Maturidi)

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas tugas mata kuliah
“Ilmu kalam”

Dosen pembimbing
Muslih candrakusuma,SHI.,M.E

Disusun oleh: Kelompok 2:

Elok Faiqotul Hikmah (23170112)


Krisna aji aru Laksono (23170108)
Adam Sulton (23170127)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PONOROGO
BAB I

1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai reaksi dari Firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke-3
Hijriah timbul golongan yang dikenal sebagai Ahlusunnah Wal Jama’ah
(Aswaja) yang dipimpin oleh 2 orang Ulama besar dalam Ushuludin yaitu,
Syekh Abu Hasan Al-Asy’ari dan Syekh Abu Manshur Al-Maturidi.
Perkataan Ahlussunnah Wal Jama’ah kadang kadang di sebut sebagai
Ahlussunnah saja atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau
Asy’irah dikaitkan dengan Ulama besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan
Al-Asy’ari.
Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuah aliran yang tidak jauh berbeda
degan aliran Asy’ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan
terhadap Sunnah. Bila aliran Al-Asy’ariyah berkembang di Basrah maka
aliran Al-Maturidi berkembang di Samarkand.
Asy’ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab
Mu’tazilah. Bahkan Al-Asy’ari pada awalnya adalah seorang Mu’taziliy
namun terdorong keinginan mempertahankan sunnah maka lahirlah ajaran
mereka hingga kemudian keduanya diberi gelar Iman Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah. Sepintas kita menyimpulkan bahwa keduanya pernah bertemu,
namun hal ini dibutuhkan analisa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aliran Asy’ariah?
2. Apa pengertian aliran Maturidiyah?
3. Bagaimana sejarah munculnya aliran Asy’ari dan Maturidi?
4. Sebutkan tokoh aliran Asy’ari dan Maturidi!
5. Sebutkan doktrin teologi Asy’ari dan Maturidi!
6. Jelaskan pembahasan kalam menurut aliran Asy’ari dan Maturidi!

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah

2
2. Mengerti sejarah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
3. Menyebutkan tokoh dan doktrin aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah
4. Memahami penjelasan kalam menurut Asy’ariyah dan Maturidiyah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asy’ari dan Maturidi


1. Pengertian Asy’ari
Asy’ari adalah suatu paham teologi yang disandarkan kepada
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
2. Pengertian Maturidi
Maturidi adalah suatu paham teologi yang disandarkan kepada
Abu Manshur Al-Maturidi.

B. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Aliran Asy’ari dan


Maturidi
1. Asy’ari
a. Sejarah Kemunculan
Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada
dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran
ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku
termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah. Pendiri teologi
Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali bin Ismail
al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul
Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin
Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama
yang dikenal sebagai salah seorang perantara dalam sengketa
antara Ali dan Muawiyah. Abul Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah
pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324 H/935
M.1
Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari
dibesarkan dan dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah

1
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=3207, terakhir diakses pada
tanggal Senin, 20 Novembwer 2017 pukul 17:23 WIB

4
membela aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya, tetapi kemudian
aliran ini ditinggalkannya bahkan dianggapnya sebagai lawan.
Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah, dia adalah
murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat
dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering
menyuruh alAsy'ari untuk menggantikannya bila terjadi suatu
perdebatan. Dia menjadi pengikut aliran Mu’tazilah sampai
berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai
umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan
membentuk aliran teologi sendiri yang kemudian dikenal
dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar dari
Mu’tazilah tidak begitu jelas. Al-Asy'ari, sungguhpun telah
puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya
meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut,
yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir ialah bahwa pada
suatu malam al-Asy'ari bermimpi dalam mimpi itu Nabi
Muhammad SAW, mengatakan padanya bahwa madzhab ahli
haditslah yang benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain
bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya alJubba’i dan dalam
perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.2
Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan
keselamatan dan keuTuhanIslam serta kaum muslimin, ia
sangat khawatir perbedaan dan pertentangan pendapat pada
waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan.
Oleh sebab itu perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi
pegangan umat. Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada
kemungkinan, mengapa al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah, di
mana kemudian membentuk aliran teologi baru.3

2
Ibid
3
Ibid

5
b. Perkembangan
Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah
antara golongan-golongan berlawana atau antara aliran
rasionalis dan tekstualis. Dalam mengemukakan dalil dan
alasan, ia juga memakai dalil-dalil akal dan naqli bersama-
sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, ia
mencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya.
Jadi ia tidak menganggap akal pikiran sebagai hakim atas nash-
nash agama untuk mena’wilkan dan melampaui ketentuan arti
lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan dan penguat
arti lahir nash tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim
dipakai oleh ahli filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran
dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam al-Asy'ari tetap
menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau
aliran ahlus sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran
Mu’tazilah sebelum alAsy'ari, bahkan ia mengikuti jejak ulama
salaf yaitu sahabat-sahabat dan tabi’in-tabi’in, terutama dalam
menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di mana mereka tidak
memerlukan pena’wilan, pengurangan atau melebihkan atau
melebihkan arti lahirnya.
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya
sendiri mengalami perkembangan dan perubahan yang cepat
karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada
segi aliran mendahulukannya sebelum nash dan memberikan
tempat yang lebih luas daripada tempat untuk nash-nash itu
sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta’wilan terhadap
ayat-ayat mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian
antara dalil akal dengan dalil syara’ (naqli) ialah kalau dalil akal

6
merupakan fondamen bagi sesuatu bangunan, maka dalil syara’
merupakan bangunan itu sendiri. Fondamen tidak akan ada
artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya, sebagaimana
bangunan tidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen.4
Buku al-Ghazali yang lain, yaitu al-Iqtishad,
dimaksudkannya untuk memberikan kepercayaan (aqidah)
yang tengah-tengah antara golongan yang terlalu memegangi
akal, yaitu golongan filosof dan Mu’tazilah, sehingga pikiran-
pikiran mereka berlawanan dengan nas-nas yang sudah pasti.
Kedua macam sifat tersebut yang hanya memihak kepada salah
satu segi, tidak dapat dibenarkan, sebab sebenarnya
sebagaimana halnya dengan orang yang melihat dengan baik
memerlukan mata yang sehat dan sinar matahari bersama-
sama. Namun buku itu sendiri, yaitu al-Iqtihad, yang berarti
metode rate (jalan tengah) cukup menunjukkan aqidah yang
ditempuh oleh pengarangnya, suatu aqidah dari ahlussunnah.
Jadi aliran Asy'ariyah pada akhir perkembangannya mendekati
aliran Mu’tazilah, karena kedua aliran tersebut memegangi
prinsip yang mengatakan bahwa: “pengetahuan yang
didasarkan atas unsur-unsur naqli (tradisional) tidak
memberikan keyakinan kepada kita”. Mereka memandang
bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai kebenaran
mutlak (absolut), kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan
amalan-amalan syara’ (fiqih), sedang untuk masalah aqidah
hanya bisa mencapai nilai sekunder. Karena itu hanya dalil-
dalil akal pikiran saja yang memungkinkan kita mencapai
keyakinan.
Kelanjutannya ialah apabila dalil-dalail naqli berisi hal-hal
yang tidak bisa diterima akal, maka dalil itu harus dita’wilkan,
karena akal pikiran harus didahulukan daripada dalil naqli.
4
Ibid

7
Bagaimana besarnya pengaruh prinsip tersebut
(mendahulukan akal) dapat kita lihat pada Syekh M. Abduh
yang mengatakan bahwa prinsip tersebut sudah disepakati
oleh kaum muslimin, kecuali mereka yang tidak bisa dipercayai
pikiran-pikirannya. Bahkan menurut Ibnu Jauzi kecenderungan
kepada metode aliran Mu’tazilah sudah terlihat sejak dari masa
pendiriannya yang pertama, yang karenanya ia mengatakan
bahwa Imam al-Asy'ari selamanya menjadi orang Mu’tazilah.
Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-
orang pengikut madzhab Hanbali (ahlussunnah) merasa tidak
puas terhadap aliran Asy'ariyah dan mengadakan perlawanan
yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah
dilakukannya terhadap aliran Mu’tazilah, dan puncak
perlawanannya terjadi pada masa Ibnu Taimiah. Biar
bagaimanapun juga prinsip yang dipegangi oleh aliran
Asy'ariyah, namun aliran ini dapat menggantikan aliran
Mu’tazilah dan dipeluk oleh kebanyakan kaum muslimin
sampai sekarang.5

2. Maturidi
a. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan
Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-
Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil di daerah Samarkan
yang bernama Maturid, di wilayah Temsoxiana di Asia Tengah,
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya
tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan
abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya
Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada
masa khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-
5
Ibid

8
274 H/847-861 M. Karir pendidikan Al-Maturidi lebih
dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada
fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam
bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil Al-
Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula
karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu
Al-aqaid dan sarah fiqih.6
Al-Maturidiah merupakan salah satu sekte Ahl-al-sunnah
al-Jamaah, yang tampil dengan Asy’ariyah. Maturidiah dan
Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang
sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebuTuhan
mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari
ekstriminasi kaum rasionalis, dimana yang berada di paling
depan.
Menurut ulama-ulama Hanafiah, hasil pemikiran al-
Maturidi dalam bidang aqidah sama besar dengan pendapat-
pendapat imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum
menceburkan dirinya dalam bidang fiqh dan menjadi tokohnya,
telah lama berkecimpung dalam bidang aqidah serta banyak
pula mengadakan tukar pendapat dan perdebatan-perdebatan
seperti yang dikehendaki oleh suasana zamannya, dan salah
satu buah karyanya dalam bidang aqidah ialah bukunya yang
berjudul “al Fiqhul Akbar”7.
Al-Maturidi dinilai sebagai pendiri Ilmu Kalam Sunni yang
menghidupkan akidah Ahlu al-Sunnah dengan metode akal.
Meskipun al-Maturidi hidup semasa dengan al-Asy’ari tetapi
antara keduanya tidak ada komunikasi dan saling mengenal
pendapatnya. Jadi, meskipun antara keduanya terdapat banyak

6
http://choimaarif.blogspot.co.id/2016/10/sejarah-berdiri-dan-berkembangnya-al.html ,
terakhir diakses pada Senin, 20 November 2017 pukul 17:39 WIB
7
Ibid

9
kesamaan dalam tujuan dan cara menuju tujuan, tetapi al-
Maturidi mempunyai cara yang berbeda dengan Asy’ari. Latar
belakang fiqh ikut berpengaruh. Al-Asy’ari bermazhab Syafi’i
yang dikenal moderat, tetapi dekat dengan tradisionalis,
banyak terikat kepada nash-nash naqli, sedangkan al-Maturidi
bermazhab fiqih imam Abu Hanifah yang dikenal ahl ra’yi lebih
cenderung rasionalis.8
Dalam pemikiran itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-
Maturidi sebenarnya berintikan pikiran-pikiran Abu Hanifah
dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Kebanyakan
ulama-ulama Maturidiah terdiri dari orang-orang pengikut
aliran fiqh Hanafiah, seperti Fahrudin al-Bazdawi, at-Taftazani,
an-Nasafi, Ibnul Hammam dan lain-lain.
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-
paham dari aliran Mu’tazilah. Seperti yang kita ketahui, al-
Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan
yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah
(aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam
memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang
menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah
kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi
melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan
pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah
antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran
Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan
Asy’ariyah”.9

8
Ibid
9
Ibid

10
C. Tokoh dan Doktrin Kalam Aliran Asy’ari dan Maturidi
1. Tokoh dan Doktrin Kalam Asy’ariah
a. Asy’ari
1.) Sejarah Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin
Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa
bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Menurut
beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Nashrah pada tahun
260 H/875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah
ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324H/935M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang
berpaham ahli sunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-
Asy’ari masih kecil. Sebelum ia wafat, ia berwasiat kepada
seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-
Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibu Al-Asy’ari, sepeninggal
ayahnya, menikah lagi dengan tokoh Mu’tazilah yang
bernama Abu Ali Al-Jubba’i, ayah kandung Abu Hasyim Al-
Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari kemudian
menjadi tokoh Mu’tazilah. Ia sering menggantikan Al-
Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan
Mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela
alirannya.
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai ia
berusia umur 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia
mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid Bashrah bahwa
dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn
Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan
paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah
bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak 3 kali, yaitu

11
pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan Ramadhan. Dalam
tiga mimpinya itu, Rasulullah memperingatkannya agar
meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela paham yang
telah diriwayatkan oleh beliau.10

2.) Doktrin Kalam Al-Asy’ari


a.) Tuhan dan Sifat-Sifatnya
Al-Asy’ari dihadapkan pada 2 pandangan ekstrim. Di
satu pihak ia berhadapan dengan kelompok Mujassimah
dan kelompok Musyabbihah yang berpendapat bahwa
Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah, dan sifat itu harus dipahami
menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan
dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah tidak lain selain esensinya. Adapun
tangan, kaki, telinga Allah, atau Arsyi atau kursi tidak
boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus
dijelaskan alegioris.
Menghadapi 2 kelompok tersebut, Al-Asy’ari
berpendapat bahwa Allah memang memilik sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan tidak boleh
diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis.
Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat
Allah itu unik sehingga tidak bisa dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat
Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh
menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari

Ilmu Kalam, Prof. Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag, Pustaka Setia,
10

2011, hal. 120

12
esensinya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-
Nya.11
b.) Kebebasan dalam Berkehendak (Free Will)
Al-Asy’ari membedakan antara Khaliq dan Kasb.
Menurutnya, Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan
manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang
mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan
manusia.12
c.) Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Walaupun Al-Asy’ari dan Mu’tazilah mengakui
pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan
kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu sedangkan Mu’tazilah
mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk terjadi
perbedaan pendapat diantara mereka. Al-asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasarkan akal.13
d.) Qodimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-
Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu
tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya tidak
Qodim.14

e.) Melihat Allah


11
Ibid, hal. 121
12
Ibid, hal. 121
13
Ibid, hal. 122
14
Ibid, hal. 122

13
Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah dapat dilihat
di Akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam
di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan
Mu’tazilah yang mengingkari Ru’yatullah (melihat
Allah di Akhirat). Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat
dilihat di Akhirat tetapi tidak dapat digambarkan.15
f.) Keadilan
Pada dasrnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju
bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam
memandang makna keadilan. Menurut Al-Asy’ari, Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah
penguasa mutlak. Dengan demikian, bahwa Allah
pemilik Mutlak.16
g.) Kedudukan Orang Berdosa
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin bebuat
dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.17

2. Tokoh dan Doktrin Kalam Maturidiyah


a. Al-Maturidi
1.) Riwayat Singkat Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid,
sebuah kota kecil didaerah Samarkand, wilayah
Trmsoxiana di Asia Tengah, sekarang Uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, perkiraan
sekitar pertengahan abad ke-3 H. Beliau wafat pada tahun
333H/944M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi
bernama Nasyir bin Yahya Al-Balakhi. Wafat pada tahun

15
Ibid, hal. 123
16
Ibid, hal. 123-124
17
Ibid, hal. 124

14
268H. Al-Maturidi hidup pada masa Khalifah Al-
Mutawakil (232-274H/847-861M).
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan
untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Hal ini
dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam
menghadapi paham-paham teologi yang banyak
berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya
tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan
syara’. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis, diantaranya Kitab Tauhid,
Ta’wil Al-Qur’an, Makhaz Asy-Syara’i, Al-Jadl, Ushul Fi
Ushul Ad-Din.18

2.) Doktrin Teologi Al-Maturidi


a.) Akal dan Wahyu
Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal.
Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asy’ari. Namun porsi
yang diberikannya kepada akal lebih besar daripada
Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan
akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal
dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-
Nya.
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi
berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu
18
Ibid, hal. 124

15
itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan
perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti
ketentuan akal mengenai dan buruknya sesuatu.
Beliau mengakui bahwa akal tidak selalu
membedakan antara baik dan buruk, namun
terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik
dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai
pembimbing.19
b.) Perbuatan Manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah
ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan
manusia dan kodrat Tuhan sebagai pencipta
perbuatan Tuhan.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara
kodrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia
dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena
daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan
yang dilakukan adalah manusia sendiri dalam arti
sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya manusia.20
c.) Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Menurut Al-Maturidi kodrat Tuhan tidak
sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehedaknya
itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan
yangsudah ditetapkan-Nya sendiri.21
d.) Sifat Tuhan

19
Ibid, hal. 125
20
Ibid, hal. 126
21
Ibid, hal. 126

16
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak
dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula lain dari
esensinya. Sifat-sifat Tuhan itu Mulzamah (ada
bersama atau in heren) zat tanpa terpisah (Innaha
Lam Takun ‘Ain Adz-Dzat Wala Hiya Ghoiruhu). Sifat
tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga
berbilangnya sifat tidak akan membawa pada
bilangannya yang Qadim(Ta’adud Al-Qadama).22
e.) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatkan bahwa manusia dapat
melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur’an,
antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22-23. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak
dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak
sama dengan keadaan di dunia.23

D. Pembahasan Kalam Menurut Aliran Asy’ari dan Maturidi


1. Asy’ari
a. Pelaku Dosa Besar
Terhadap pelaku dosa besar, Al-Asy’ari mengatakan
tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (Ahl
Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina
dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang
yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun
berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu
dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan
(halal) dan tidak meyakini keharamanntya, ia dipandang telah
kafir.

22
Ibid, hal. 127
23
Ibid, hal. 127

17
Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar
apabila ia meninggal tidak sempat bertaubat, maka menurut
Al-Asy’ari, hal itu bergantung kepada kebijakan Tuhan yang
maha berkehendak mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni
dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafa’at dari
Rasulullah SAW. Sehingga terbebas dari siksa neraka atau
kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai
dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia
tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya.
Setelah siksaannya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam
surganya Allah. Jadi, Al-Asy’ari menyatakan bahwa tidak
mengafirkan pelaku dosa besar.24
b. Iman dan Kufur
Dalam maqamat dan al-ibanah disebutkan bahwa, iman
adalah qawl dan amal dapat bertambah serta berkurang.
Dalam al-luma, iman diartikan sebagai tashdiq bi Allah.
Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti disebutkan
dalam surat yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan
kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut
al-Asy’ari, iman adalah tasdhiq bi al-qalb (membenarkan
dengan hati).
Asy-syahrastani, salah seorang teolog Asy’ariah menulis:
“Al-Asy’ari berkata, “iman (secara esensial) adalah
tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan
mengatakan (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai
kewajiban utama (amal bi al-arkan hanyalah merupakan furu’
(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang
membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusannya beserta apa yang mereka
bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang
24
Ibid, hal. 137-138

18
sahih. Dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia
mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”25
c. Asma wa Sifat
Menurut al-Asy’ari, tidak dapat diingkari bahwa Tuhan
mempunyai sifat mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan
sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan,
dan daya. Ia lebih jauh berpendapat bahwa Allah memang
memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan
bahwa sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak
boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis.
Selanjutnya, al Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu
unik karenanya tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi
sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari
esensinya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.26

2. Maturidi
a. Pelaku Dosa Besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand atau Bukhara,
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap
sebagai mukmin karena ada keimanan dalam dirinya. Balasan
bagi pelaku dosa besar kelak di akhirat bergantung pada apa
yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa
bertaubat, keputusan diserahkan pada kehendak Allah SWT.
Jika ia menghendaki pelaku dosa besar itu di ampuni, ia akan
dimasukkan kedalam neraka, tetapi tidak kekal.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan
25
Ibid, hal. 148
26
Ibid, hal. 173

19
telah menjadikan akan memberikan balasan kepada manusia
sesuai dengan perbuatannya. Kekal di neraka adalah balasan
bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan
dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan sesorang itu
kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup
dengan Tashdiq dengan Iqrar, sedangkan amal adalah
penyempurna iman. Sehingga amal tidak akan menambah
atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau
mengurangi sifatnya saja.27
b. Iman dan Kufur
Aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman
adalah Tasdiq bi Al-Qalb, bukan semata-mata Iqrar bin Al-
Lisan. Al-Maturidi menegaskan bahwa keimanan itu tidak
cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa di imani oleh
Qalb. Apa yang di ucapkan lidah dalam bentuk pernyataan
iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.28
c. Asma wa Sifat
Terdapat perbedaan pandangan antara Maturidi
Samarkand dan Bukhara. Maturidi Samarkand, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang
baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban
melakukan yang baik kepada manusia. Demikian juga
pengirim rasul dipandang sebagai kewajiban Tuhan.
Sedangkan Maturidi Bukhara memiliki pandangan yang
sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh
Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi
upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan
mungkin saja membatalkan ancaman orang yang berbuat dosa
27
Ibid, hal. 138
28
Ibid, hal. 149

20
besar. Adapun pandangan Maturidi Bukhara tentang
pengiriman Rasul sesuai dengan paham mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat
wajib dan hanya bersifat mungkin saja.29

29
Ibid, hal. 174

21
BAB III
KESIMPULAN
1. Pengertian Asy’ariyah adalah Asy’ari adalah suatu paham teologi yang
disandarkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan pengertian
Maturidiyah adalah Maturidi adalah suatu paham teologi yang
disandarkan kepada Abu Manshur Al-Maturidi.
2. Perbedaan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah mengenai pelaku dosa
besar, iman dan kufur, dan Asma wa sifat.
Al-Asy’ariyah Al-Maturidiyah
Jika pelaku dosa besar
Pelaku dosa besar masih
masih dikatakan sebagai
berstatus mukmin karena
orang yang beriman,
ada keimanan dalam
apabila pelaku dosa besar
Pelaku Dosa dirinya. Pelaku dosa besar
melakukan perbuatan dosa
Besar itu tidak kafir dan tidak
besar tersebut dengan
kekal didalam neraka
anggapan bahwa perbuatan
walaupun ia mati sebelum
dosa tersebut halal, maka
bertaubat.
dianggap kafir.
Iman adalah membenarkan Keimanan tidak harus di
Iman dan Kufur dengan Qolb atau ucapkan dengan lisan tetapi
menggunakan dengan hati. harus meyakini juga.
Allah memiliki sifat yang
Tuhan hanyalah
tidak boleh diartikan secara
Asma Wa Sifat menyangkut hal-hal yang
harfiah tetapi secara
baik saja.
simbolis.

SARAN
Dengan mengetahui materi tersebut, kita sebagai manusia bisa
mengetahui perbedaan aliran-aliran kalam tersebut, semoga Allah
merahmati ilmu yang kita dapat ketika mempelajari materi ini.

22
DAFTAR PUSTAKA
Rozak Abdul, 2011, Ilmu Kalam, Bandung, Pustaka Setia
Nasution Harun, 1986, Teologi Islam, Jakarta, UI Press
http://choimaarif.blogspot.co.id/2016/10/sejarah-berdiri-dan-
berkembangnya-al.html
http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=3207

23

Anda mungkin juga menyukai