Anda di halaman 1dari 2

Bab II

Pembahasan

A.Sejarah berdirinya Aswaja Madzab Al asyari

Konsep akidah Asy’ariyah dicetuskan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Nama lengkap beliau adalah
Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, keturunan dari Abu Musa al-Asy’ari, salah seorang perantara
dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H (873 M) dan
wafat pada tahun 324 H (935 M). Al-Asy’ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di
Baghdad.

Dalam sejarah pendidikannya, di waktu kecil, ia belajar kepada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Al-
Juba’i. Kepada Al-Juba’i ini ia telah mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mengkajinya secara
mendalam. Sebelum mendirikan madzhab sendiri, Al-Asy’ari karenanya merupakan ulama
Mu’tazilah. Aliran yang dikenal sangat rasional di dalam Islam ini, diikutinya terus sampai berusia 40
tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku dalam perspektif
Mu’tazilah.

Asy'ariyah merupakan sebuah paham teologis yang dibangun oleh Abul Hasan bin Ismail, yang
dikenal dengan nama Asy'ari. Asy'ariyah sebagai bentuk penjabaran doktrin akidah Islam yang sangat
dikenal di masa itu. Mazhab al-Asy'ari adalah mazhab teologis yang dinisbatkan terhadap para
pendirinya, al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Mazhab ini diikuti oleh kaum muslim Ahlussunnah wal
Jama'ah dari dulu hingga kini.

Golongan Ahlussunnah itu adalah mereka yang mengikuti mazhab Abul Hasan al-Asy'ari dan dalam
fikih mengikuti mazhab yang empat. Mazhab akidah yang kemudian dikenal dengan akidah
Asy'ariyah diikuti oleh para ulama terkemuka dan ulama fikih utama seperti Imam al-Baihaqi, Imam
al-Ghazali, Imam Fakhrudin, dan beberapa imam lain.

Namun, seiring dengan perkembangan waktu, Abu Hasan Al-Asy’ari mengalami perubahan. Pada
tahun 912, secara mengejutkan dirinya telah menyatakan diri untuk keluar dari paham Mu’tazilah
dan mendirikan teologi baru yang belakangan dikenal sebagai Asy’ariah. Ketika dirinya mencapai usia
40 tahun, ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan
para jamaah dan masyarakat Basrah itulah ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa
Quran adalah makhluk, begitu juga Allah SWT tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk
adalah mausia sendiri yang memperbuatnya, yang semuanya merupakan cermin dari ajaran
Mu’tazilah, maka ketika di hadapan orang banyak itu, ia mengatakan, “Saya tidak lagi memegangi
pendapat-pendapat tersebut, saya harus menolak paham-paham orang Mu’tazilah dan
menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.
Sebagai gantinya, ia lebih condong ke dalam pemikiran moderat atau yang kelak disebut sebagai
pemikiran akidah ahlussunnah wal jama’ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20.
Di masa itu, Mu’tazilah memang telah menjadi aliran yang memuakkan bagi masyarakat, mengingat
saat itu Mu’tazilah telah diberlakukan sebagai madzhab resmi negara, sehingga banyak paksaan dan
intimidasi yang dilancarkan oleh para penganut Mu’tazilah untuk menyebarkan ajaran-ajarannya di
tengah masyarakat. Sehingga ketika Al-Asy’ari menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan
mengkonstruksi konsep akidahnya sendiri, banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-
pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah “sang hujjatul Islam” Imam Al-Ghazali,
terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuluddin.

Walaupun banyak ulama yang menentang pemikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim yang
mengikuti pemikirannya, terutama di bidang akidah, termasuk warga NU. Orang-orang yang
mendukung dan mengikut akidah akidah hasil konseptualisasi Abu Hasan Al’Asy’ari inilah yang
kemudian disebut kelompok “Asy’ariyyah”. Nama ini dikaitkan dengan pendirinya sendiri yakni Abu
Hasan Al-Asy’ari. Di berbagai belahan dunia Islam, khususnya di Indonesia, aliran Asy’ariyah ini paling
banyak diikuti, karena ciri khasnya yang moderat.

Aliran ini juga senafas dengan konsep akidah yang dikembangkan oleh Abu Manshur Al-Maturidi. Ini
terihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama 20 sifat Allah, baik yang
wajib maupun yang muhal, yang banyak diajarkan di pesantren pesantren yang berbasiskan
ahlussunnah wal jama’ah dan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada
umumnya.

Abu Hasan Al-Asy’ari termasuk ulama yang sangat produktif. Beliau banyak meninggalkan karangan-
karangan dan kitab-kitab. Kurang lebih 90 kitab telah ia tulis yang menyangkut berbagai disiplin ilmu
pengetahuan.

Refrensi :# MADZAB UKHUWAH ( syamsul Arifin & muhammad Taufiq )

#Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim, Khazanah Aswaja, Surabaya: Aswaja NU Center PWNU Jatim,
2016

Anda mungkin juga menyukai