Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Melihat perkembangan Islam lima belas tahun belakangan, salah satu


pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf. Tasawuf sebagai salah
satu ilmu esoterik Islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih
pada saat ini dimana masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual
sehingga tasawuf dianggap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati
kehampaan tersebut.

Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf
harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat secara konseptual dari tingkah laku
nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud,
sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar
karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus
meyempurnakan akhlak masyarakat Arab dulu. Seperti termaktub dalam hadits
“innama buitstu li utammima makarima al-akhlak” (Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak).

Dalam Islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segitiga yang
sangat berhubungan erat. Segitiga itu, yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali
yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya
lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang
termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
utusan-utusan-Nya, hari akhir dan takdir-Nya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi
yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali
maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau
hakikat.

Diantara salah satu tokoh tasawuf Islam yang sangat terkenal adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi atau yang
kita kenal dengan sebutan Imam al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas
kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum
al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai

1
jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami
Clash pada zaman itu. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya
pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan
kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan
pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya al-Ghazali dianggap
sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf modern yang saat ini
sedang banyak diminati oleh masyarakat.

Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali mulai dari kelompok
yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok yang mencaci maki
dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus bertanggung jawab atas
kemunduran Islam. Seperti apa sebenarnya pemikiran tasawuf al-Ghazali sehingga
ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama dan menjadi lahan subur bagi
para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya, makalah ini akan mencoba
membuka dan menelaah riwayat hidup al-Ghazali beserta pemikirannya dalam
tasawuf.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup al-Ghazali

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi
adalah nama lengkapnya. Ia lahir di Thus (suatu kota di Thurasan, Iran) pada tahun
450 Hijriyah (1058 M). Ada pendapat bahwa julukan al-Ghazali diambil dari nama
sebuah kata “Ghazabeh”1, tempat kelahirannya. Dipanggil al-Ghazali dinisbatkan
dengan kota kelahirannya, ada juga yang memanggilnya dengan al-Ghazzali (z
ganda)2 yang dinisbatkan dari mata pencaharian ayahnya. Di dunia Timur (muslim)
nama al-Ghazali ditempatkan setelah Rosulullah, sebagai pembaharu dan “Hujjatul
Islam”3 terutama di daerah berkembangnya fahal ahlu sunnah waljamaah, dimana
al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang paling dominasi.

Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang


muslim yang saleh, sekalipun ia seorang pembuat pakaian dari wol dan menjualnya
di pasar Thusia. Ia termasuk orang yang tekun mengikuti majelis-majelis fuqaha dan
majelis ulama lainnya dan pecinta ilmu yang selalu berdoa agar putranya menjadi
seorang ulama yang pandai dan selalu memberi nasehat. Menjelang wafat sang
ayah berwasiat kepada temannya, seorang sufi agar mau mendidik kedua
putranya, al-Ghazali dan adiknya Ahmad. Demikianlah atas wasiat dari ayahnya,
al-Ghazali dan adik laki-lakinya hidup bersama seorang ahli tasawuf yang hidup
sederhana. Diperkirakan al-Ghazali hidup dalam suasana kesederhanaan sufi
tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).

Setelah mencapai usia tersebut, saat harta peniggalan ayahnya habis, dan
sang sufi merasa tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan keduanya, maka
kemudian ia menganjurkan agar keduanya menitipkan diri pada salah satu
madrasah, supaya keduanya mendapatkan pendidikan dan juga makan. Pada
masa kecilnya (465-470 H), al-Ghazali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari

1 Drs. M. Bahri Ghazali, MA., Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yoyakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1991), hlm. 22.
2 Dra. Netty Hartati, M.Si., dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf, (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2004), hlm. 117.


3 Gelar “Hujjatul Islam” diberikan karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam

berbagai perbincangan kesufian, selain itu juga ia diberikan gelar “Zain al-‘Arifin”.

3
syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani di Thus, dan dari Imam Abi Nasar al Ismaili
di Jurjan. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama tiga tahun di tempat
kelahirannya ini ia mengkaiji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf
kepada Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam al-
Haramain. Al-Nassajlah pertama kali yang meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi
pada dirinya.

Pendidikan yang lebih tinggi ditempuh di Jurjan ketika ia berusia dibawah dua
puluh tahun. Pelajaran disini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ia kaji di Thus, ia mulai
mendalami pelajaran dalam bahasa Arab dan Persia. Kehausan al-Ghazali tentang
ilmu terpenuhi setelah ia mulai belajar di Madrasah Nizamiyah Naisabur yang
dipimpin oleh ulama besar Imam Haramain Abu Ma’aly al-Juwaini4, seorang ulama
Syafi’I yang mengikuti aliran Asy’ariyah, sekalipun demikian al-Juwaini merupakan
ulama yang memiliki keberanian untuk mengkritik pendapat-pendapat yang
berkembang era itu. Dari al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq.
Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu al-Ghazali masih belajar di
Naisabur telah banyak menulis, namun saying sekali tulisan-tulisannya yang sudah
dikenal sekarang semuanya ditulis setelah ia pindah ke Baghdad. Karena
ketajaman otaknya yang luar biasa, tak henti-hentinya Imam al-Haramain
mengatakan bahwa al-Ghazali bagaikan “lautan tak bertepi” atau “lautan dalam
menenggelamkan (bahrun mughriq)”, ia mampu menguasai ilmu pokok dalam ilmu
jadal (ilmu berdebat) pada masa tersebut, diantaranya mantik, falsafah, dan fiqih.
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail al-Farisi, al-Ghazali menjadi pembahas yang paling
pintar di zamannya, dan menimbulkan rasa iri hati Imam al-Haramain kepadanya,
tetapi hal itu disembunyikannya. Namun di sisi lain, gurunya itu juga merasa bangga
dengan prestasi muridnya itu. Walaupun kemahsyuran telah diraih al-Ghazali, ia
tetap setia kepada gurunya dan tidak meninggalkannya sampai ia wafat pada
tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia memperkenalkan al-Ghazali kepada
Nizham al-Mulk5. Di Naisabur ini, al-Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu ‘Ali
al-Fadhl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmadzi6.

4 Wafat pada tahun 478 H/1085 M


5 Nizham al-Mulk adalah perdana menteri Sultan Saljuk Maliksyah dan pendiri madrasah-
madrasah Nizhamiyah
6 Wafat pada tahun 477 H/1084 M

4
Setelah sang guru wafat, al-Ghazali pergi ke negeri Askar untuk berjumpa
dengan Nizham al-Mulk. Kegiatan pokok yang ia lakukan yaitu mengikuti
pertemuan-pertemuan imiyah dengan para ulama, disini ia mendapat kehormatan
untuk berdebat. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin
populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Melihat kehebatan al-Ghazali
dalam menghadapi cerdik-pandai saat itu, maka Nizham al-Mulk sangat takjub dan
kagum, dan seketika itu juga Perdana Menteri Nizham al-Mulk mengangkatnya
menjadi seorang Profesor di Perguruan Tinggi Nizamiyah. Hal ini terjadi pada tahun
484 Hijriyah/1091 Miladiyah, pada waktu itu ia baru berusia 4 tahun. Pengalaman ini
dijelaskan dalam bukunya Al-Munqiz min al-Dhalal. Selama mengajar di madarasah
ini dengan tekunnya al-Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama
pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ikhwan al-Shafa’. Dari hasil studi
filsafatnya, pertama ia menulis rangkaian ringkasan objektif yang panjang dari
pemikiran filosof yang dibacanya. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dalam
karyanya, seperti Al-Maqashid al-Falsafah. Selain itu, ia juga menulis kritik yang tajam
terhadap pandangan-pandangan para filosof terdahulu dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah (The Inconsistency of The Philosopher), yang artinya ketidaktaatan para
filosof.

Ternyata dibalik keluarbiasaannya al-Ghazali mengalami penderitaan batin


dan merasa terancam bahaya api neraka. Pada tahun 488 H/1095 M, al-Ghazali
dilanda keragu-raguan, skeptis, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum,
teologi, filsafat), kegunaan pekerjaannya, dan karya-karya yang dihasilkannya,
sehingga konflik batinnya memuncak dan menimbulkan psikomatis7 selama dua
bulan dan sulit diobati. Oleh karena itu, al-Ghazali tidak dapat menjalankan
tugasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizamiyah. Akhirnya ia meninggalkan
Baghdad menuju Syam dengan tujuan masjid Jami Damaskus untuk beruzlah dan
bekhalwah di menara masjid tersebut. Disana ia senantiasa pula riadhah dan
mujahadah sepanjang hari dalam keadaan pintu tertutup selama kurang lebih dua
tahun. Di waktu menjalankan uzlahnya, al-Ghazali sempat menulis karyanya yang
terbesar yang berjudul “Ihya’ ‘Ulum al-Din” (The Revival of the Religious Sciences—
menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kemudian ia menuju ke Bait al-Maqdis

7Psikomatis
merupakan penyakit fisik yang disebabkan oleh gangguan psikis seperti
gangguan bicara sehingga ia tidak dapat mengajar lagi.

5
Palestina dan tinggal di sakrah. Setelah itu ia meninggalkan sakrah ketika hatinya
tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan berjiarah ke makam Rasulullah SAW.

Di tengah kesibukannya riadhah dan beribadah di Mekah, ia terusik oleh rasa


rindu pada isteri dan anaknya yang pada akhirnya mengantarkan ia kembali
pulang ke Baghdad. Kembalinya al-Ghazali ke komunitas keluarga dan masyarakat
sebagaimana diakuinya sedikit banyak telah mengganggu konsentrasi khalwah
dan riadhahnya, namun hal itu tidak berlangsung lama, karena al-Ghazali segera
dapat berkonsentrasi lagi. Ia kemudian lebih banyak tinggal di rumah dan
memutuskan untuk terus menerus beribadah. Perjalanan riadhah al-Ghazali
menghabiskan waktu kurang lebih dua puluh tahun, sepuluh tahun pertama
dilakukan di luar komunitas masyarakat dan sepuluh tahun kedua ia lakukan di
dalam komunitas masyarakat. Pada masa khalwah ia mendapatkan pancaran Nur
Ilahi yang membimbingnya untuk semakin ma’rifah hingga sampai ke derajat yang
tidak dapat disifatinya lagi. Meditasi al-Ghazali berakhir pada tahun 498 H/1105 M,
ketika ia menerima kembali tawaran Fakhrul Mulk putra Nizhamul Mulk untuk
mengajarkan lagi di perguruan tinggi Nizamiyah di Naisabur. Yang kedua ini
berbeda dengan sebelumnya, dalam arti corak pemikirannya yang sufistik dan
cenderung memberikan penilaian terhadap kebenaran akal dan indra.

Tidak lama mengajar di Naisabur, ia memilih untuk kembali ke tempat


kelahirannya, Thus dan mendirikan sebuah madarasah bagi par fuqaha dan
sebuah zawiyyah atau khandaqah8 disamping rumahnya. Perhatiannya tersita oleh
masalah-masalah kesufian, ia menghabiskan waktu dengan mengkhatamkan al-
Qur’an, berada di majelis para sufi, mengajar, melanggengkan shalat dan puasa
serta ibadah yang lainnya. Ia wafat di tempat kelahirannya di pangkuan
saudaranya sendiri Ahmad pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M dalam usia
55 tahun.

B. Al-Ghazali dan Tasawuf

Imam al-Ghazali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al-Kataany tentang


tasawuf yang mengatakan:

8Kandaqah adalah semacam pesantren yang dikhususkan untuk para mutasawwifin atau
disebut juga sebagai pesantren sufi.

6
%$! + ' - & , + *) %$!' ( ' & %$# "!
0, )' / . + #
“Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi
pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka
hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena
sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan Ahli
Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak
(terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk)
imannya”.

Tidak seperti kebanyakan tokoh sufi lainnya al-Ghazali melewati proses yang
sangat panjang dan melelahkan dalam pencariannya akan kebenaran sejati.
Bahkan sebelum ia menemukan tasawuf sebagai persinggahan terakhirnya ia
sempat berkeliaran dalam berbagai macam aliran dan kelompok hanya untuk
mencari kebenaran itu. Ia sempat menuliskan kisah perjalannya tersebut dalam
kitabnya Al Munqiz Min-a'dl-Dlalal.

“Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini,
ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi
lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi,
dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia
mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar
dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang
membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui
kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil
kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat
filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir
kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui
rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui
hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at
kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti
itu”.

7
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya
memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki
peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya.

Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri


pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf),
Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul),
dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-
tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta,
fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta
terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan
warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam,
fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.

Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah.
Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang
tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.

Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu


tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar
pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia
kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek
kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut
al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena
kedua ilmu ini saling melengkapi.

Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail


hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat
yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh
Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan
syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah
tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak
dapat dipisahkan.

Ihsan yang merupakan penjabaran dari konsep tasawuf selamanya tidak akan
pernah bisa terlepas dari syariat itu sendiri. Konsep “an ta’buda allah kaanaka
tarahu” adalah contoh paling mudah yang menggambarkan hubungan antara

8
tasawuf dengan syariat. Praktek solat secara dhohirnya dengan rukun dan syarat-
syaratnya merupakan aspek syariat yang diibaratkan sebagai tubuh (jasad).
Sedangkan khusu’ (menghadirkan hati kepada Allah) merupakan aspek tasawuf
yang diibaratkan sebagai hati atau ruh dari tubuh tersebut. Keduanya tentu tidak
dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi.

Akhir kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan


tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang
yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari karena telah mengembalikan
tasawuf pada landasan Al-Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah
menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah
(taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf
sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredan
perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

C. Konsep Ma’rifat al-Ghazali

Konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi.


Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud,
faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil
dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-
Din di namakan dengan mahabatullah.

Keterikatan antara 'mahabbah' dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat


erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun
sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak
melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Dalam Ihya’ U’lum al-Din al- Ghazali menyebutkan bahwa untuk sampai pada
mahabbah seseorang harus meninggalkan hal-hal duniawi dan mengarahkan
semua konsentrasi dan tujuan hidupnya hanya kepada Allah semata. Proses
mengenal dan mencari Allah itulah yang kemudian disebut dengan ma’rifat.

Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya


dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-

9
Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara
intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual
dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai


mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang
sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama
tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang
menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia
mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang
yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan
Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.

Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan
tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati
batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang
telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan
berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang
dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli
(pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh
Tuhan atau bertahalli.

Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah


terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya.
Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh
cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk)
seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf
syatotoh.

Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada


konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep
ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.

Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan


yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang
imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang
akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam.

10
Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini
sebagai khayalan semata. Katanya, "... sampailah ia ke derajat yang begitu dekat
dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau
wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. ... barang siapa mengalaminya,
hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan,
indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya".

Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan


keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah
Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia, Ada perbedaan mendasar
antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.

Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak
otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah
mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum
`arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi
melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya
yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-
kata teopatis atau syatotoh. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol
kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta
Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran
ittihad, hulul dan wihdatul wujud.

Menurut dia, ilmu sejati atau ma'rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.
Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang
wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah
dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi
lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini
adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya.
Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhluk-Nya adalah
sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan
menyatu dengan alam apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.

11
D. Karya-karyanya dalam bidang Tasawuf

Karena luasnya pengetahuan al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk


menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Hampir semua aspek-
aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan tinggi Nizamiyah, al-Ghazali banyak
mengajarkan tentang ilmu Fiqh versi Imam Syafi’I sebab ia pengikut mazhabnya
dalam bidang fiqih. Tetapi al-Ghazali juga mendalami bidang-bidang lain seperti
filsafat, kalam dan tasawuf. Menurut Musthafa Ghalab, al-Ghazali telah
meninggalkan tulisannya berupa buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab yang
terdiri dari beraneka macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada masanya.
Karya-karyanya yang terbanyak berasal dari bidang tasawuf, yang diterbitkan
adalah sebagai berikut:

1. Kitab-kitabnya

a. Adab al-Shufiah terbit di Mesir.

b. Al-Adab fi al-Din, telah dicetak di Kairo tahun 1343 M.

c. Al-Arba’in fi Ushul al-Din, merupakan bagian ketiga dari Jawahir al-Qur’an,


terbit di Mekah tahun 1302 H.

d. Al-Imlau ‘am asykali al-ihya’, sebagai jawaban beliau kepada orang yang
menantangnya terhadap beberapa bagian dalam bukunya Ihya. Dicetak
bersama pinggiran Ittihaf al-Sabah al-Muttaqin Zabidy di Fes tahun 1302 H.

e. Ihya Ulumuddin, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang paling besar,
telah dicetak berulang kali di Mesir 1281. Dan terdapat tulisan tangan di
beberapa perpustakaan di Berlin, Wina, Inggris, Oxford dan Paris.

f. Ayyuha al-Walad, beliau tulis untuk salah seorang temannya sebagai nasehat
kepadanya tentang zuhud, targhib dan tarhib. Dicetak dengan terjemahan di
Wina tahun 1838 dan tahun 1842, dan juga dicetak di Mesir, dan ada tulisan
tangan di beberapa perpustakaan di Eropa dan sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Perancis oleh DR. Taufiq Shifa tahun 1958.

g. Bidayah al-Hidayah watahdzib al-Nufuz bil Adab al-Syariyah, telah dicetak di


Kairo berulang kali. Dan ada tulisan tangan di Berlin, Paris, London, Oxford, Al-
Jazair dan Guthe. Dan ada ringkasannya, bahkan ada syarahnya ditulis oleh

12
seorang ulama Indonesia; Muhammad Nury yang diberi nama Maraqy al-
Ubudiyah.

h. Jawahir al-Qur’an wa Dauruha, telah dicetak di Mekah, Bombay dan Mesir


dan ada tulisan tangan di Leiden, museum Britani (Inggris) dan Dar al-Kutub
Mesir.

i. Al-Hikmah fi Makhluqat Allah, telah dicetak berulang kali di Mesir.

j. Khulasut al-Tasauf, beliau tulis dalam bahasa Persi, dan sudah diterjemahkan
oleh Muhammad al-Kurdy, wafat tahun 1322 H, dicetak di Mesir tahun 1327 H.

k. Al-Risalah Laduniyah,

l. Al-Risalah al-Wadziyah, dicetak di Kairo tahun 1343 H.

m. Fatihah al-Ulum, terdiri dari dua pasal, ada tulisan di perpustakaan Berlin dan
di Paris, dicetak di Mesir tahun 1322 H.

n. Qawaidu al-asyrah, dicetak di Mesir berulang kali.

o. Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi gurur al-halqi ajmain, dicetak dengan (tanbihu al-


mughtar) oleh Sya’rawi.

p. Al-Mursyid al-amin ila mauidhat al mu’minin, merupakan ringkasan dari al-Ihya


terbit di Mesir.

q. Musykilat al-Anwar, di dalamnya dibahas tentang filsafat Yunani dari segi


pandangan tasawuf, dicetak di Mesir tahun 1343 H, dan ada tulisan tangan di
Dar al-Kutub di Mesir dan dua terjemahan dalam bahasa Ibrani.

r. Mukasyafat al-qulub al-muqarrab ila al-hadrati alami al-ghuyub, merupakan


ringkasan al-mutcasyifatu al-Kubra oleh al-Ghazali, ringkasan dari beberapa
keutamaan.

s. Minhaju al-‘abidin ila al-Jannah, dikatakan ini merupakan karya terakhir beliau,
terbit di Mesir berulang kali, ada tulisan tangan dan di Berlin, Paris dan Al Jazair.
Buku ini ada ringkasannya dan syarahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Turki.

13
t. Mizan al-amal, merupakan ringkasan mengenai ilmu jiwa dan mencari
kebahagiaan yang tidak dapat diperoleh kecuali ilmu dan amal, dan
penjelasan tentang keutamaan amal, ilmu dan belajar, dicetak di Leipziq tahun
1839 dan di Mesir tahun 1328 H.

2. Karya Manuskrip

a. Jami’al-Haqaiq, ada ringkasan tangan di perpustakaan Usala.

b. Zuhd al-Fatih, terdapat ringkasan tulisan tangan di museum Britain.

c. Madkhal al-Suluk Ila Manazil al-Mulk, membahas tentang kehidupan sufi.

d. Ma’arij al-Sakilin, ada ringkasan di perpustakaan Paris.

e. Nur al-Syam’ah fi Bayan Dluhri al-Jami’ah, ada ringkasan tulisan tangan di


Leiden.

Demikian sebagian besar karya al-Ghazali yang dapat dibaca dari bidang
tasawuf sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan dan masih
banyak lagi kitab-kitab lain dari semua bidang yang digelutinya yang dapat
menjadi rujukan kegiatan ilmiyah. Kitab-kitab itu sebagian berada di perpustakaan
asing. Hal ini menunjukkan bahwa karya al-Ghazali punya arti besar pada
perkembangan dunia ilmu.

14
BAB III

PENUTUP

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi
adalah nama lengkapnya. Ia lahir di Thus (suatu kota di Thurasan, Iran) pada tahun
450 Hijriyah (1058 M) dan wafat di tempat kelahirannya di pangkuan saudaranya
sendiri Ahmad pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun. Di
dunia Timur (muslim) nama al-Ghazali ditempatkan setelah Rosulullah, sebagai
pembaharu dan “Hujjatul Islam” terutama di daerah berkembangnya fahal ahlu
sunnah waljamaah, dimana al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang paling
dominasi.Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang
muslim yang saleh, sekalipun ia seorang pembuat pakaian dari wol dan menjualnya
di pasar Thusia.

Pada masa kecilnya, al-Ghazali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari
syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani di Thus, dan dari Imam Abi Nasar al Ismaili
di Jurjan. Setelah itu ia kembali ke Thus dan mengkaji kembali pelajaran yang
didapat dari Jurjan, selain itu ia juga belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj.
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail al-Farisi, al-Ghazali menjadi pembahas yang paling
pintar di zamannya, dan menimbulkan rasa iri hati Imam al-Haramain kepadanya,

15
tetapi hal itu disembunyikannya. Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa
buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka macam ilmu
pengetahuan yang terkenal pada masanya. Karya terbesarnya berjudul “Ihya’
‘Ulum al-Din” (The Revival of the Religious Sciences—menghidupkan kembali ilmu-
ilmu agama).

Menurut al-Ghazali tasawuf adalah budi pekerti. Al-Ghazali dengan rumusan


tasawufnya telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al-Quran dan hadits.
Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai
pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-
Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi
yang bisa meredan perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan
filsafat. Ma’rifat menurut beliau adalah mengenal tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hartati, M.Si., Dra. Netty dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2004).

2. Ghazali, MA., Drs. M. Bahri, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta:


Pedoman Ilmu Jaya, 1991).

3. Nasution, M.A., DR. Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media


Pratama, 1999).

4. Bakhtiar, MA., DR. Amsal, Pergulatan Pemikiran Dalam Filsafat Islam:


Memahami Alur Perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2004).

5. Ali, Drs. Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991).

16
6. Al-Ghazali, Imam Abu Hamid, Manajemen Hati (Terjemahan dari buku Aja’ib
al-Qalb, Kimya’ al-Sa’adah), (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002).

7. Mustofa, Drs. H. A., Akhlak Tasawuf, Cet. V, (Bandung: CV Pustaka Setia,


2008).

8. http:/Hanipabdurrahman.blogspot.com/2007/09/konsep-Tasawuf-Imam-
AlGhazali.

17

Anda mungkin juga menyukai