PENDAHULUAN
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf
harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat secara konseptual dari tingkah laku
nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud,
sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar
karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus
meyempurnakan akhlak masyarakat Arab dulu. Seperti termaktub dalam hadits
“innama buitstu li utammima makarima al-akhlak” (Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak).
Dalam Islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segitiga yang
sangat berhubungan erat. Segitiga itu, yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali
yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya
lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang
termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
utusan-utusan-Nya, hari akhir dan takdir-Nya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi
yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali
maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau
hakikat.
Diantara salah satu tokoh tasawuf Islam yang sangat terkenal adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi atau yang
kita kenal dengan sebutan Imam al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas
kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum
al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai
1
jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami
Clash pada zaman itu. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya
pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan
kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan
pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada
kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya al-Ghazali dianggap
sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf modern yang saat ini
sedang banyak diminati oleh masyarakat.
Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali mulai dari kelompok
yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok yang mencaci maki
dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus bertanggung jawab atas
kemunduran Islam. Seperti apa sebenarnya pemikiran tasawuf al-Ghazali sehingga
ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama dan menjadi lahan subur bagi
para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya, makalah ini akan mencoba
membuka dan menelaah riwayat hidup al-Ghazali beserta pemikirannya dalam
tasawuf.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi
adalah nama lengkapnya. Ia lahir di Thus (suatu kota di Thurasan, Iran) pada tahun
450 Hijriyah (1058 M). Ada pendapat bahwa julukan al-Ghazali diambil dari nama
sebuah kata “Ghazabeh”1, tempat kelahirannya. Dipanggil al-Ghazali dinisbatkan
dengan kota kelahirannya, ada juga yang memanggilnya dengan al-Ghazzali (z
ganda)2 yang dinisbatkan dari mata pencaharian ayahnya. Di dunia Timur (muslim)
nama al-Ghazali ditempatkan setelah Rosulullah, sebagai pembaharu dan “Hujjatul
Islam”3 terutama di daerah berkembangnya fahal ahlu sunnah waljamaah, dimana
al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang paling dominasi.
Setelah mencapai usia tersebut, saat harta peniggalan ayahnya habis, dan
sang sufi merasa tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan keduanya, maka
kemudian ia menganjurkan agar keduanya menitipkan diri pada salah satu
madrasah, supaya keduanya mendapatkan pendidikan dan juga makan. Pada
masa kecilnya (465-470 H), al-Ghazali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari
1 Drs. M. Bahri Ghazali, MA., Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yoyakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1991), hlm. 22.
2 Dra. Netty Hartati, M.Si., dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
berbagai perbincangan kesufian, selain itu juga ia diberikan gelar “Zain al-‘Arifin”.
3
syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani di Thus, dan dari Imam Abi Nasar al Ismaili
di Jurjan. Setelah itu al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama tiga tahun di tempat
kelahirannya ini ia mengkaiji ulang pelajarannya di Jurjan sambil belajar tasawuf
kepada Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam al-
Haramain. Al-Nassajlah pertama kali yang meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi
pada dirinya.
Pendidikan yang lebih tinggi ditempuh di Jurjan ketika ia berusia dibawah dua
puluh tahun. Pelajaran disini berbeda dengan ilmu-ilmu yang ia kaji di Thus, ia mulai
mendalami pelajaran dalam bahasa Arab dan Persia. Kehausan al-Ghazali tentang
ilmu terpenuhi setelah ia mulai belajar di Madrasah Nizamiyah Naisabur yang
dipimpin oleh ulama besar Imam Haramain Abu Ma’aly al-Juwaini4, seorang ulama
Syafi’I yang mengikuti aliran Asy’ariyah, sekalipun demikian al-Juwaini merupakan
ulama yang memiliki keberanian untuk mengkritik pendapat-pendapat yang
berkembang era itu. Dari al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq.
Menurut para penulis riwayat hidupnya, sewaktu al-Ghazali masih belajar di
Naisabur telah banyak menulis, namun saying sekali tulisan-tulisannya yang sudah
dikenal sekarang semuanya ditulis setelah ia pindah ke Baghdad. Karena
ketajaman otaknya yang luar biasa, tak henti-hentinya Imam al-Haramain
mengatakan bahwa al-Ghazali bagaikan “lautan tak bertepi” atau “lautan dalam
menenggelamkan (bahrun mughriq)”, ia mampu menguasai ilmu pokok dalam ilmu
jadal (ilmu berdebat) pada masa tersebut, diantaranya mantik, falsafah, dan fiqih.
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail al-Farisi, al-Ghazali menjadi pembahas yang paling
pintar di zamannya, dan menimbulkan rasa iri hati Imam al-Haramain kepadanya,
tetapi hal itu disembunyikannya. Namun di sisi lain, gurunya itu juga merasa bangga
dengan prestasi muridnya itu. Walaupun kemahsyuran telah diraih al-Ghazali, ia
tetap setia kepada gurunya dan tidak meninggalkannya sampai ia wafat pada
tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, ia memperkenalkan al-Ghazali kepada
Nizham al-Mulk5. Di Naisabur ini, al-Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu ‘Ali
al-Fadhl bin Muhammad bin ‘Ali al-Farmadzi6.
4
Setelah sang guru wafat, al-Ghazali pergi ke negeri Askar untuk berjumpa
dengan Nizham al-Mulk. Kegiatan pokok yang ia lakukan yaitu mengikuti
pertemuan-pertemuan imiyah dengan para ulama, disini ia mendapat kehormatan
untuk berdebat. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin
populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Melihat kehebatan al-Ghazali
dalam menghadapi cerdik-pandai saat itu, maka Nizham al-Mulk sangat takjub dan
kagum, dan seketika itu juga Perdana Menteri Nizham al-Mulk mengangkatnya
menjadi seorang Profesor di Perguruan Tinggi Nizamiyah. Hal ini terjadi pada tahun
484 Hijriyah/1091 Miladiyah, pada waktu itu ia baru berusia 4 tahun. Pengalaman ini
dijelaskan dalam bukunya Al-Munqiz min al-Dhalal. Selama mengajar di madarasah
ini dengan tekunnya al-Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama
pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ikhwan al-Shafa’. Dari hasil studi
filsafatnya, pertama ia menulis rangkaian ringkasan objektif yang panjang dari
pemikiran filosof yang dibacanya. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dalam
karyanya, seperti Al-Maqashid al-Falsafah. Selain itu, ia juga menulis kritik yang tajam
terhadap pandangan-pandangan para filosof terdahulu dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah (The Inconsistency of The Philosopher), yang artinya ketidaktaatan para
filosof.
7Psikomatis
merupakan penyakit fisik yang disebabkan oleh gangguan psikis seperti
gangguan bicara sehingga ia tidak dapat mengajar lagi.
5
Palestina dan tinggal di sakrah. Setelah itu ia meninggalkan sakrah ketika hatinya
tergerak untuk menunaikan ibadah haji dan berjiarah ke makam Rasulullah SAW.
8Kandaqah adalah semacam pesantren yang dikhususkan untuk para mutasawwifin atau
disebut juga sebagai pesantren sufi.
6
%$! + ' - & , + *) %$!' ( ' & %$# "!
0, )' / . + #
“Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi
pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam tasawuf. Maka
hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena
sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan Ahli
Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak
(terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk)
imannya”.
Tidak seperti kebanyakan tokoh sufi lainnya al-Ghazali melewati proses yang
sangat panjang dan melelahkan dalam pencariannya akan kebenaran sejati.
Bahkan sebelum ia menemukan tasawuf sebagai persinggahan terakhirnya ia
sempat berkeliaran dalam berbagai macam aliran dan kelompok hanya untuk
mencari kebenaran itu. Ia sempat menuliskan kisah perjalannya tersebut dalam
kitabnya Al Munqiz Min-a'dl-Dlalal.
“Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini,
ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi
lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi,
dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia
mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar
dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang
membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui
kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil
kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat
filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir
kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui
rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui
hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at
kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti
itu”.
7
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya
memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki
peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya.
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah.
Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang
tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.
Ihsan yang merupakan penjabaran dari konsep tasawuf selamanya tidak akan
pernah bisa terlepas dari syariat itu sendiri. Konsep “an ta’buda allah kaanaka
tarahu” adalah contoh paling mudah yang menggambarkan hubungan antara
8
tasawuf dengan syariat. Praktek solat secara dhohirnya dengan rukun dan syarat-
syaratnya merupakan aspek syariat yang diibaratkan sebagai tubuh (jasad).
Sedangkan khusu’ (menghadirkan hati kepada Allah) merupakan aspek tasawuf
yang diibaratkan sebagai hati atau ruh dari tubuh tersebut. Keduanya tentu tidak
dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi.
Dalam Ihya’ U’lum al-Din al- Ghazali menyebutkan bahwa untuk sampai pada
mahabbah seseorang harus meninggalkan hal-hal duniawi dan mengarahkan
semua konsentrasi dan tujuan hidupnya hanya kepada Allah semata. Proses
mengenal dan mencari Allah itulah yang kemudian disebut dengan ma’rifat.
9
Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara
intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual
dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan
tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati
batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang
telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan
berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang
dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli
(pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh
Tuhan atau bertahalli.
10
Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini
sebagai khayalan semata. Katanya, "... sampailah ia ke derajat yang begitu dekat
dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau
wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. ... barang siapa mengalaminya,
hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan,
indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya".
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak
otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah
mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum
`arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi
melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya
yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-
kata teopatis atau syatotoh. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol
kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta
Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran
ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma'rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan.
Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang
wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah
dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi
lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini
adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya.
Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhluk-Nya adalah
sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan
menyatu dengan alam apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.
11
D. Karya-karyanya dalam bidang Tasawuf
1. Kitab-kitabnya
d. Al-Imlau ‘am asykali al-ihya’, sebagai jawaban beliau kepada orang yang
menantangnya terhadap beberapa bagian dalam bukunya Ihya. Dicetak
bersama pinggiran Ittihaf al-Sabah al-Muttaqin Zabidy di Fes tahun 1302 H.
e. Ihya Ulumuddin, merupakan buku fatwa dan karya beliau yang paling besar,
telah dicetak berulang kali di Mesir 1281. Dan terdapat tulisan tangan di
beberapa perpustakaan di Berlin, Wina, Inggris, Oxford dan Paris.
f. Ayyuha al-Walad, beliau tulis untuk salah seorang temannya sebagai nasehat
kepadanya tentang zuhud, targhib dan tarhib. Dicetak dengan terjemahan di
Wina tahun 1838 dan tahun 1842, dan juga dicetak di Mesir, dan ada tulisan
tangan di beberapa perpustakaan di Eropa dan sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Perancis oleh DR. Taufiq Shifa tahun 1958.
12
seorang ulama Indonesia; Muhammad Nury yang diberi nama Maraqy al-
Ubudiyah.
j. Khulasut al-Tasauf, beliau tulis dalam bahasa Persi, dan sudah diterjemahkan
oleh Muhammad al-Kurdy, wafat tahun 1322 H, dicetak di Mesir tahun 1327 H.
k. Al-Risalah Laduniyah,
m. Fatihah al-Ulum, terdiri dari dua pasal, ada tulisan di perpustakaan Berlin dan
di Paris, dicetak di Mesir tahun 1322 H.
s. Minhaju al-‘abidin ila al-Jannah, dikatakan ini merupakan karya terakhir beliau,
terbit di Mesir berulang kali, ada tulisan tangan dan di Berlin, Paris dan Al Jazair.
Buku ini ada ringkasannya dan syarahnya yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Turki.
13
t. Mizan al-amal, merupakan ringkasan mengenai ilmu jiwa dan mencari
kebahagiaan yang tidak dapat diperoleh kecuali ilmu dan amal, dan
penjelasan tentang keutamaan amal, ilmu dan belajar, dicetak di Leipziq tahun
1839 dan di Mesir tahun 1328 H.
2. Karya Manuskrip
Demikian sebagian besar karya al-Ghazali yang dapat dibaca dari bidang
tasawuf sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan dan masih
banyak lagi kitab-kitab lain dari semua bidang yang digelutinya yang dapat
menjadi rujukan kegiatan ilmiyah. Kitab-kitab itu sebagian berada di perpustakaan
asing. Hal ini menunjukkan bahwa karya al-Ghazali punya arti besar pada
perkembangan dunia ilmu.
14
BAB III
PENUTUP
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Thusi
adalah nama lengkapnya. Ia lahir di Thus (suatu kota di Thurasan, Iran) pada tahun
450 Hijriyah (1058 M) dan wafat di tempat kelahirannya di pangkuan saudaranya
sendiri Ahmad pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun. Di
dunia Timur (muslim) nama al-Ghazali ditempatkan setelah Rosulullah, sebagai
pembaharu dan “Hujjatul Islam” terutama di daerah berkembangnya fahal ahlu
sunnah waljamaah, dimana al-Ghazali sebagai salah seorang tokoh yang paling
dominasi.Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang
muslim yang saleh, sekalipun ia seorang pembuat pakaian dari wol dan menjualnya
di pasar Thusia.
Pada masa kecilnya, al-Ghazali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari
syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani di Thus, dan dari Imam Abi Nasar al Ismaili
di Jurjan. Setelah itu ia kembali ke Thus dan mengkaji kembali pelajaran yang
didapat dari Jurjan, selain itu ia juga belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj.
Menurut Abd Ghaffar ibn Ismail al-Farisi, al-Ghazali menjadi pembahas yang paling
pintar di zamannya, dan menimbulkan rasa iri hati Imam al-Haramain kepadanya,
15
tetapi hal itu disembunyikannya. Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa
buku dan karya ilmiah sebanyak 228 kitab yang terdiri dari beraneka macam ilmu
pengetahuan yang terkenal pada masanya. Karya terbesarnya berjudul “Ihya’
‘Ulum al-Din” (The Revival of the Religious Sciences—menghidupkan kembali ilmu-
ilmu agama).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hartati, M.Si., Dra. Netty dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2004).
5. Ali, Drs. Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991).
16
6. Al-Ghazali, Imam Abu Hamid, Manajemen Hati (Terjemahan dari buku Aja’ib
al-Qalb, Kimya’ al-Sa’adah), (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002).
8. http:/Hanipabdurrahman.blogspot.com/2007/09/konsep-Tasawuf-Imam-
AlGhazali.
17