Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ILMU KALAM
“ALIRAN SALAF IBNU TAIMIYAH”

Dosen Pengampu:
Nur Sidik, M.Hum

Oleh :

Ahmat Khomarudin (123211001)


Aris Hidayatulloh (123211005)
Murdiyono (123211029)

SASTRA INGGRIS
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013
0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah bahasan yang sangat familiar jika kita
mempelajari tentang keesaan Alloh SWT. Ilmu kalam tersebutlah yang
dapat membantu kita untuk memahami keesaan Tuhan kita Alloh SWT.
Pengkajian tersebutlah yang dapat membantu kita untuk mengetahui lebih
dalam Alloh SWT.
Dalam ilmu kalam, terdapat pula aliran-aliran. Salah satu dari
aliran tersebut adalah aliran kalam salaf. Salaf secara bahasa mempunyai
arti yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih ulama.
Dalam salaf, orang yang dianut merupakan orang orang terdahulu yang
dianut. Orang terdahulu tersebut adalah ulama terdahulu. Sedangkan
menurut istilah, salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari umat
(Islam), yang terdiri dari para Sahabat, tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para
Imam pembawa petunjuk apda tiga kurun (generasi atau masa) pertama.1
Dalam hal ini, ilmu yang dikaji lebih menitikberatkan pada
pemikir para ulama salaf. Ulama salaf tersebut menitikberatkan pada nash
dalam Al Quran dan Hadits. Diantara ulama tersebut adalah Ibnu
Taimiyah. Beliau merupakan tokoh yang berperan penting dalam
perkembangan ilmu kalam aliran salafi.
Sangat penting bagi kita dalam mengetahui aliran-aliran dalam
ilmu kalam serta tokoh-tokoh yang berperan pada masa dimana aliran
tersebut muncul. Dalam makalah ini penulis makalah mengambil tema
“Ilmu kalam pada masa Ibnu Taimiyah yang akan dibahas dalam bab
„pembahasan‟ dalam makalah ini.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Sha ah A idah Ahlus Su ah wal Ja a’ah, Bogor: Pustaka Imam
1

Syafi’i, 2006, hal 33-34

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian salaf
Dalam bahasan bab ini terdapat pula istilah Salaf. Salaf tersebut
secara bahasa mempunyai arti yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua
dan lebih ulama. Dalam salaf, orang yang dianut merupakan orang orang
terdahulu yang dianut. Orang terdahulu tersebut adalah ulama terdahulu.
Sedangkan menurut istilah, salaf berarti generasi pertama dan terbaik dari
umat (Islam), yang terdiri dari para Sahabat, tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para
Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi atau masa) pertama.2
Ketika kita membahas tentang salaf itu sendiri, kita juga juga akan
menemui tokoh yang berperan penting dalam kalam pada masa salaf. Yang
kita bahas disini adalah kalam dari Ibnu Taimiyah. Beliau adalah tokoh dalam
salaf yang dalam hal ini beliau memakai pemahaman gurunya yang bernama
imam hambal. imam ahmad bin hanbal merupakan ulama terdahulu dari Ibnu
Taimiyah. Madzab dari beliaulah yang dijadikan sebagai rujukan pemikiran
dari Ibnu Taymiyah. Dari Imam ahmad bin hambal sendiri juga memakai
rujukan dari nash Al Qur‟an dan Hadits.
Berbeda dengan aliran mu‟tazilah yang cenderung menggunakan
metode pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang
mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal pikiran
dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya akal manusia
tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan dan menafsirkan al-
Qur‟an. Kalaupun akal diharuskan memiliki wewenang, hal ini tidak lain

2
Ibid hal 33-34

2
adalah hanya untuk membenarkan, menela‟ah dan menjelaskan sehingga
tidak terjadi ketidak cocokan antara riwayat yang ada dengan akal sehat.3

B. Sejarah singkat Ibnu Taimiyah


Dalam bahasan ini kita akan membahas tentang Syaikh al-islam al-
Hafidz al-Mujahid Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin
Abdissalam bin Abdullah bin Abi al-Qasim bin al-Khindhr bin Muhammad
bin Tamiyah al-Hirani al-Hambali atau orang biasanya menyebut dengan
julukan Ibnu Tamiyah. Beliau merupakan sosok ulama yang berintelektual
tinggi, sopan santun, dan berwibawa. Beliau lahir di Hiran pada hari Senin,
tanggal 10 Rabi‟ul Awal tahun 661 H. Kedua orang tuanya membawa beliau
dan juga kedua saudaranya mengungsi ke Damaskus ketika terjadi
penyerbuan bangsa Tatar pada tahun 667 H.4
Beliau merupakan sosok ulama yang sangat santun, berintelektual
tinggi, dan sangat mematuhi perintah Alloh SWT. Dalam masa hidupnya,
beliau menghabiskan hidupnya untuk menuntut ilmu dan beliau juga pernah
berguru dengan para ulama mencapai hampir dua ratus ulama dan imam
dimasa itu; mereka meliputi:
1). Zainuddin Ahmad bin Abdu Ad-da`im Al-Maqdisi,
2). Al-Majd Muhammad bin Ismail bin Utsman bin Muzhaffar bin Hibatullah
Ibnu „Asakir Ad-Dimasyqi
3). Abdurrahman bin Sulaiman bin Sa‟id bin Sulaiman,
4). Muhammad bin Ali Ash-Shabuni,
5). Taqiyuddin Ismail bin Ibrahi bin Abi al-Yusr,
6). Kamaluddin bin Abdul Azis bin Abdul Mun‟im bin Al-Khidhr bin Syibl
7). Saifuddin Yahya bin Abdurrahman bin Najm bin Abdul Wahhab Al-
Hanbali,

3
Adeng Muhtar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2003, hal. 101
4
Shaikh Abdul Azin bin Nashir al-Musainid, Kumpulan Tanya Jawab Seputar Shalat, Jakarta:
Penerbit Almahira, 2007, hal. 11
3
8). Al-Mu`ammil bin Muhammad Al-baalisi Ad-Dimasyqi,
9). Yahya bin Abi Manshur Ash-Shairafi,
10).Ahmad bin Abu Al-Khair Salamah bin Ibrahim Ad-Dimasyqi Al-
Hanbali5; dan para ulama laiinya yang tidak bias disebutkan satu persatu
dalam bahasan ini
Dalam pemikirannya, Ibnu Taimiyah mengikuti madzab dari imam
ahmad bin hanbal. Beliau merupakan sosok ulama yang mengutamakan nash
Al Qur‟an dan Hadits sebagai rujukan pertama. Sesuai yang dijelaskan pada
penjelasan Salafi dalam bahasan sebelumnya, ulama salafi lebih cenderung
mengikuti cara berpikir para sahabat, tab‟in dan tabi‟ut tabi‟in. Dalam
bahasan ini Ibnu Taimiyah mengikuti Imam Ahmad bin Hambal.
Pada saat beliau aktif dalam menuntut ilmu, beliau semapat
menghabiskan kehidupannya di penjara Qal'ah di Damaskus. Menurut sejarah
yang ada, hal tersebut dikarenakan adanya fitnah dari Ibnu Bathuthah yang
menyatakan bahwa Ibnu Taimiyah menganggangap dirinya sebagai utusan
alloh. Dalam kutipannya beliau berkata: “Sesunguhnya Allah turun ke langit
dunia sebagaimana turunku ini.” Lalu diapun turun satu tangga dari anak
tangga yang ada di minbar masjid tersebut. Namun hal tersebut meruupakan
fitnah yang dilontarkan Ibnu Bathuthah kepada Ibnu Taimiyah.6
Beliau (Ibnu Taimiyah) wafat pada 22 Dzulqa‟dah tahun 728 Hijriyah.
Menurut sejarahnya, beliau wafat dikarenakan sakit pada saat dipenjara.
Tidak ada yang tahu mengenai penyakit tersebut, selain murid-murid dekat
beliau.

C. Karya-karya Ibnu Taymiyah


Selain kegigihanya dalam menuntut ilmu, beliau juga mempunyai
beberapa karya. Diantara karya-karya tersebut adalah :

5
Rishky Abu Zakariya, Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, artikel : Lembaga
Dakwah dan Bimbingan Islam Indonesia, Jakarta, 21 Juli 2013
6
Ibid
4
1. Majmu’al Fatwa.
2. Muwafaqah Shahih al-Manqul al-Ma’qul.
3. Al-Jawab ash-Shahih Liiman Baddala Dina al-Masih.
4. Manhaj as-Sunnah an-Nabawiyah fi ar-Radd’ala asy-Syi’ah wa al-
Qadariyah.
5. Al-Fatawa al-Mishriyyah.
6. Al-Ikhtiyarat al-Fiqihiyyah.
7. Kitab al-Iman.
8. Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalafah Ashhab al-Jahim.7

D. Pemikiran Ibnu Taimiyah


Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri
beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an dan
mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli
hadits negeri itu. Para ulama di Negara itupun sempat tercengang dengan
kepintaran yang dimiliki Ibnu Taimiyah. Tidak ada seorangpun yang bias
sepintar beliau.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah
menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir,
hadits dan bahasa Arab. Selain itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam
Ahmad sampai beberapa kali dan mendalami pengkajian ilmu yang lainnya.
Ibnu Taimiyah pada saat itu banyak menjadi buah bibir di masyarakat.
Banyak dari kalangan ulama juga heran dengan kemampuan Ibnu Taimiyah.
Selain pintar dalam berpikir, beliau juga menjaga sopan santun dan juga
rendah hati. Setiap malam dia tidak pernah meninggalkan shalat tahajud dan
juga pula shalat fajar dan dhuha, beliau tidak meninggalkannya. Menurut
Ibrahim Madzkur, pemikiran Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut:

7
Shaikh Abdul Azin bin Nashir al-Musainid, Kumpulan Tanya Jawab Seputar Shalat, Jakarta:
Penerbit Almahira, 2007, hal. 12-13

5
a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)
b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal
c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat, tabi‟in
dan tabi‟it tabi‟in)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.8
Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa
kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim
maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh
sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan
tajsim Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan
ibn Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.9
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-
sifat Allah:10
1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh
Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi,
qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.
b. Sifat Ma‟ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama‟, bashar dan
kalam.
c. Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan Al-Hadits
walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya), seperti
keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit; Allah di

8
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, hal. 116
9
Ibid
10
Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru,
1993, hal. 58-60

6
Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang yang
beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.
d. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan)
kepada makhluk seperti rabbul „alamin, khaliqul kaun dan lain-
lain.
2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-
Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.
3. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
a). Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak
dikehendaki lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)
b). Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta‟thil)
c). Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)
d). Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran
atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)
e). Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya
dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb „alal „alamin).11
Berdasarkan alasan diatas, Ibnu Taimiyah tidak menyetujui
penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana
adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya. Dalam masalah
perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
a) Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.
b) Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai
kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.
c) Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk.
Dalam masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk

11
Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, hal. 115

7
membedakan antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab
itu masalah Tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik
metode filsafat maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia
untuk menyatu dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil.12

Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran


dari Ibnu Taimiyah, dalam hal ini berpikir masalah Ilmu Kalam tau
Teologi, beliau menjaukan hal-hal yang merejuk pada pemikiran seorang
manusia. Beliau lebih mengutamakan peran dari Al Qur‟an dan Hadits.
Seperti yang dijelaskan pada buku “Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama‟ah” karangan Yazid bin Abdul Qadir Jailani menyatakan bahwa
barang siapa yang pendapatnya sesuai dengan Al Qur‟an dan As-Sunnah
mengenai „aqidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka
ia disebut Salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya.
Sebaliknya barang siapa yang pendapatnya menyalahi Al Qur‟an dan As-
Sunnah, maka ia bukan seorang salafi meskipun ia hidup pada zaman
Sahabat, Tabi‟in dan Tabi‟ut Tabi‟in.
Sebagai umat muslim sangatlah penting bagi kita untuk
mempelajari ilmu pengetahuan dan juga berfilsafat. Namun tatkala kita
berfilsafat ada baiknya kita tidak meninggalkan nash dari Al Qur‟an dan
Hadits agar pemikiran kita lebih terarah. Selain itu pula sangat diperlukan
peran guru atau orang yang lebih tahu tentang ilmu yang kita pelajari
sehingga kita bisa mengkajinya bersama-sama.

12
Ibid, hal. 117

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan oleh penulis, kita dapat
menyimpulkan:
1. Dalam salaf, orang yang dianut merupakan orang orang terdahulu yang
dianut. Orang terdahulu tersebut adalah ulama terdahulu. Dlama hal ini orang
terdahulu yang dianut adalah generasi pertama dan terbaik dari umat (Islam),
yang terdiri dari para Sahabat, tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para Imam
pembawa petunjuk pada tiga kurun (generasi atau masa) pertama.
2. Ibnu Taimiyah merupakan ulama yang berpegang teguh pada madzab Imam
Ahmad bin Hambal yang dimana pada prinsip pemikirannya lebih
mengutamakan pendapat terdahulu dibandingkan dengan akal.
3. Dalam sejarahnya Imam bin Hambal merupakan sosok ulama yang dijadikan
panutan Ibnu Taimiyah untuk menyelesaikan permasalah atau bias dikatakan
Ibnu Taimiyah memegang teguh madzab hambali.
4. Pada dasarnya, Ilmu kalam yang ditekankan oleh Ibnu Taimiyah Sangat
berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits); tidak memberikan
ruang gerak kepada akal, berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua
ilmu agama; di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat,
tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in); Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan
dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya.
4. Pandangan Ibnu Maimiyah mengenai sifat-sifat Alloh meliputi: 1). Percaya
sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh Allah sendiri
atau oleh Rasul-Nya, 2). Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang
Allah dan Rasul-Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain, dan
Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah dengan:

9
 Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki lafad (min
ghoiri tashrif/ tekstual).
 Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta‟thil).
 Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad).
 Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran atau hati,
apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif).
 Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat
makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb „alal „alamin).

10
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zakariya, Rishky, Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,


(artikel), Jakarta: Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Indonesia, 21
Juli 2013.
Azin, Abdul bin Nashir al-Musainid, Kumpulan Tanya Jawab Seputar Shalat,
Jakarta: Penerbit Almahira, 2007.
Muhtar Ghazali ,Adeng, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern,
Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2003.
Razak, Abdur dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006.
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Sharah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2006
Yusuf, Abdullah, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung:
Sinar Baru, 1993

11

Anda mungkin juga menyukai