Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM NEO-HAMBALISM

Mata Kuliah : Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Zaid Munawar, S. Hum,. M. A

Di Susun oleh :

Zaidatun Nikmah

Zulfa Afida Salma

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ketika Islam memasuki periode perkembangan peradaban pasca
pergumulan budaya dengan bangsa dan agama lain, ajaran Islam mulai
dipahami dan diamalkan dengan spirit rasionalisme dan terjadi proses
intelektualisasi doktrin Islam dalam wujud Pemikiran Islam yang pada
gilirannya melahirkan produk berbagai ilmu keislaman. Terjadi pula
perubahan focus studi Islam, tidak lagi terpusat pada aktivitas menelaah dan
memahami sumber ajaran secara langsung, melainkan beralih pada studi
produk jadi ijtihad ulama, tafsir, hadis, kalam, fiqh dan tasawuf. Akibatnya,
pemahaman dan pengamalan agama yang semula sederhana dan murni
menjadi rumit dan kompleks serta terjadi polarisasi. Ahmad Amin, Ali Syami
al-Nasysyar dan A. Mukti Ali mendeskripsikan adanya tiga pola pemahaman
dan pengamalan Islam yakni Naqli (tekstual-tradisional), Aqli (rasional),
Kasyfi (intuitif-mistis) yang dalam perkembanganya melahirkan ilmu fiqh,
kalam dan tasafuf. Plus-minus pendekatan tasawuf/kasyfi memunculkan
kritik, khususnya dari Ibn Taimiyah, Ibn Hazm dan Muhammad Ibn Abdul
Wahhab

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan yang telah diuraikan, rumusan
masalah untuk makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana biografi dan pemikiran Ibn Taimiyyah?
2. Bagaimana biografi dan pemikiran Ibn Hazm?
3. Bagaimana biografi dan pemikiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab?

1.3 TUJUAN
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mengetahui biografi dan pemikiran Ibn Tamiyyah
2. Mengetahui biografi dan pemikiran Ibn Hazm
3. Mengetahui biografi dan pemikiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ibn Taimiyyah
a. Biografi Ibn Taimiyyah
Ibnu Taimiyah dilahirkan di kota Harran, tepatnya pada hari senin, tanggal
10 Rabiul Awal tahun 661 Hijriyah, tetapi Pada tahun 667 H beliau beserta
keluarga beliau pindah ke Damaskus, akibat adanya instabilitas di kota
kelahirannya. Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan
pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah.
Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya
ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak. Nama aslinya
adalah Taqiyuddin Ahmad bin Syihabuddin Abdul Halim bin Majduddin
Abul Barakaat Abdus Salam bin Abu Muhammad Abdullah bin Abul
Qasim Al-Khidhr bin Muhammad Al-Khidhr bin Ali bin Taimiyah Al-
Harrani. Untuk selanjutnya ia lebih dkenal dengan sebutan Ibnu taimiyah.1
Nama Taimiyah dinisbatkan kepadanya karena moyangnya yang
bernama Muhammad bin Al-Khadar melakukan perjalanan haji melalui
jalan Taima’. Sekembalinya dari haji, ia mendapati isterinya melahirkan
seorang anak wanita yang kemudian diberi nama Taimiyah. Sejak saat itu
keturunannya dinamai Ibnu Taimiyyah sebagai peringatan perjalanan haji
moyangnya itu
Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri
beliau. Begitu tiba di Damaskus, beliau segera menghafalkan al-Qur'an
dan mendalami berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-
ahli hadits negeri itu. Para ulama di Negara itupun sempat tercengang
dengan kepintaran yang dimiliki Ibnu Taimiyah. Tidak ada seorangpun
yang bisa sepintar beliau.
Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah
menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mendalami bidang-bidang tafsir,
hadits dan bahasa Arab. Selain itu, beliau telah mengkaji Musnad al-Imam
Ahmad sampai beberapa kali dan mendalami pengkajian ilmu yang
lainnya.

b. Pemikiran Ibn Taimiyyah


Ibnu Taimiyah pada saat itu banyak menjadi buah bibir di
masyarakat. Banyak dari kalangan ulama juga heran dengan kemampuan
Ibnu Taimiyah. Selain pintar dalam berpikir, beliau juga menjaga sopan
santun dan juga rendah hati. Setiap malam dia tidak pernah
meninggalkan shalat tahajud dan juga pula shalat fajar dan dhuha, beliau
tidak meninggalkannya. Menurut Ibrahim Madzkur, pemikiran Ibnu
Taimiyah adalah sebagai berikut:

a. Sangat berpegang teguh pada nash (Al-Quran dan Al-Hadits)

b. Tidak memberikan ruang gerak kepada akal

c. Berpendapat bahwa Al-Quran mengandung semua ilmu agama.

d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi saja (sahabat,


tabi‟in dan tabi‟it tabi‟in)

e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.

Ibnu Taimiyah mengkritik Imam Hanbali yang mengatakan bahwa


kalamullah itu qadim, menurut Ibnu Taimiyah jika kalamullah qadim
maka kalamnya juga qadim. Ibnu taimiyah adalah seorang tekstualis oleh
sebab itu pandangannya oleh Al-Khatib Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim
Allah (antropomorpisme) yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya. Oleh Karen itu, Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan ibn
Taimiyah sebagai Salaf perlu ditinjau kembali.1
Berikut ini merupakan pandangan Ibnu Taimiyah tentang sifat-sifat Allah2
1. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang disampaikan oleh
Allah sendiri atau oleh Rasul-Nya. Sifat-sifat dimaksud adalah:
1 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006,
2 Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Bandung: Sinar Baru, 1993
a. Sifat Salabiyyah, yaitu qidam, baqa, mukhalafatul lil hawaditsi,
qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyat.

b. Sifat Ma‟ani, yaitu : qudrah, iradah, ilmu, hayat, sama‟, bashar


dan kalam.Sifat khabariah (sifat yang diterangkan Al-Quran dan
Al-Hadits walaupun akal bertanya-tanya tentang maknanya),
seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah ada di langit;
Allah di Arasy; Allah turun ke langit dunia; Allah dilihat oleh orang
yang beriman di surga kelak; wajah, tangan, dan mata Allah.

c. Sifat Idhafiah yaitu sifat Allah yang disandarkan (di-Idhafat-kan)


kepada makhluk seperti rabbul „alamin, khaliqul kaun dan lain-lain.

2. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah dan Rasul-


Nya sebutkan seperti Al-Awwal, Al-Akhir dan lain-lain.

3. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:

a. Tidak mengubah maknanya kepada makna yang tidak dikehendaki


lafad (min ghoiri tashrif/ tekstual)

b. Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghoiri ta‟thil)

c. Tidak mengingkarinya (min ghoiri ilhad)

d. Tidak menggambar-gambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran


atau hati, apalagi dengan indera (min ghairi takyif at-takyif)

e. Tidak menyerupakan (apalagi mempersamakan) sifat-sifat-Nya


dengan sifat makhluk-Nya (min ghairi tamtsili rabb „alal „alamin). 3

Berdasarkan alasan diatas, Ibnu Taimiyah tidak menyetujui


penafsiran ayat-ayat Mutasyabihat. Menututnya, ayat atau hadits yang
menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana
adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya
dengan Makhluk., dan tidak bertanya-tanya tentangnya. Dalam masalah
perbuatan manusia Ibnu Taimiyah mengakui tiga hal:
a. Allah pencipta segala sesuatu termasuk perbuatan manusia.

3 Abdur Razak dan Rosihan Anwar , Ilmu Kalam, Bandung: Puskata Setia, 2006, hal. 115
b. Manusia adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai
kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Allah meridhai pebuatan baik dan tidak meridlai perbuatan buruk. Dalam
masalah sosiologi politik Ibnu Taimiyah berupaya untuk membedakan
antara manusia dengan Tuhan yang mutlak, oleh sebab itu masalah Tuhan
tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik metode filsafat
maupun teologi. Begitu juga keinginan mistis manusia untuk menyatu
dengan Tuhan adalah suatu hal yang mustahil. 4

2. Ibn Hazm
a. Biografi Ibn Hazm
Tokoh yang bernama lengkap Abu Muhammad Ali bin Abi Ahmad bin
Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid
bin abu Sufyan binj Harb bin Umayyah bin Abd Syams al-Umawi, yang lebih
dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm al-Zahiri ini lahir di Corvoda pada Rabu, 30
Ramadhan 384 H/7 November 994 M. 5 Sebelum terbitnya matahari pada masa
Hisyam al-Muayyad yang memerintah pada usia 10 tahun setelah al-Hakam al-
Muntashir. Kakeknya, Yazid, adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari
garis kakeknya dan berasal dari Persia. Sedangkan Khalaf bin Ma’dan adalah
kakeknya yang pertama kali masuk Negeri Andalusia bersama Musa bin Nusair
dalam bala tentara penaklukan pada 93 H, sehingga dari garis nasabnya dapat
diketahui bahwa ia mempunyai garis keturunan yang berasal dari keluarga
Persia.

Ibnu Hazm wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir pada bulan
Sya’ban 456 H. 1064 M. Dengan umur 71 tahun 10 bulan 29 hari dipadang
Labbah, sebuah desa di bagian barat Andalusia di Selat laut Besar Namun
ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal di desa kelahirannya,
Monlisam.
b. Pemikiran Ibn Hazm

4 Ibid, hal. 117


5 Dikutip pada Laman, Http//:Downloads/Chapter%20III-IV.pdf
Ibn Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab al-Dzahiri
berkembang pesat di Andalusia. Ibn Hazm menolak pengguna’an ra’yu
seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, sad al-dara’i’, ta’lil al-ahkam
dan yang lainnya Sumber hukum menurut Ibn Hazm adalah Al-Qur’an, al-
Sunnah dan Ijma’ para sahabat, dengan menerapkan hukum-hukum yang
dzahir, yaitu mengambil makna yang terlintas dihati sewaktu menyebut
makna lafaz tanpa meneliti illatnya dan tanpa mengisyaratkan sesuatu
padanya.
 Ibn Hazm menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang
muridnya sebagai usaha memperjuangkan dan mengembangkan mazhab al-
Dhahiri. Pemikiran mazhab ini dapat ditemui sampai sekarang melalui
karya ilmiah Ibnu Hazm, yaitu kitab al-Ihkm fi Usul al-Ahkam di bidang
usul fiqh dan al-Muhalla di bidang fiqh.
Ibn Hazm dikenal sebagai ulama dhahiri yang mempunyai reputasi di
bidang fikih. Penghormatan ini diberikan lewat karya monumental fikihnya
semisal al-Muhalla dan Ibthal Qiyas (Ignaz Goldziher, 1971: 110-112). Dalam
Ilmu Perbandingan Agama, A. Mukti Ali 1970: 16-17). Ia dikenal juga karena
kedalaman ilmunya, sebab hampir seluruh hidupnya “diwakafkan” dan hanya
diabdikan untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan bukan untuk
mengumpulkan harta serta kedudukan, sehingga banyak sudah buku yang
ditulisnya baik dalam bidang fiqh, ushul fiqh, hadis, filsafat, tafsir, logika dan
lain-lain (Muhammad Abu Zahrah, 1954: 145). Dilihat dari perjalanan
hidupnya, ia kerap berpindah-pindah mazhab dari Maliki kemudian Syafi’i dan
akhirnya Dhahiri (Nourouzzaman Shiddiqi, 1986: 83). Ini menarik, mengapa
pada akhirnya Ibn Hazm lebih memilih mazhab dhahiri yang corak
pemikirannya lebih tekstual. Padahal lazimnya seseorang yang mempunyai
landasan horizon keilmuan yang luas, dalam corak pemikirannya selain
berpegangan pada makna tekstual juga akan melihat sisi kontekstualnya.
Sebab dari makna ini akan lebih bernas memberikan penjelasan sesuai
dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh nash dan mudah diterima di
setiap masa.
a) Ijtihad Dalam Pandangan lbnu Hazm
Menurut Ibn Hazm, ijtihadlah yang_ dapat membebaskan manusia
dari belenggu taklid. Sebab ijtihad yang menghasilkan ilmu pengetahuan,
sedangkan taklid akan membawa kebodohan dan pembodohan secara
sistemik. Ijtihad merupakan refleksi natural manusia dalam menggunakan
pikirannya ketika menghadapi persoalan dalam dinamika kehidupan yang
tidak ia ketahui jawabannya. Apalagi manusia dibekali naluri keingintahuan,
daya ingatan dan kemampuan untuk berpikir yang dapat dikembangkan secara
maksimal melalui proses belajar dan latihan. Sebaliknya, taklid merupakan
refleksi kejumudan dan kepasifan yang membawa manusia kepada kemunduran
dan penurunan kualitas kemanusiaan. Dalam urusan keagamaan, menurutnya
ijtihad merupakan suatu kewajiban bagi setiap mu slim dan diamalkan oleh
generasi salaf, baik sahabat, tabi' in maupun tabi' al-tabi' in. Selanjutnya, taklid
hukumnya haram dan merupakan fenomena yang mulai berkembang pada abad
ke-4 hijriah.
b) Pemikiran Dan Kebijakan Ekonomi Ibnu Hazm
1) Zakat
Dalam persoalan zakat, Ibnu Hazm menekankan pada status zakat
sebagai suatu kewajiban dan juga menerankan peranan harta dalam
upaya memberantas kemiskinan. Menurutnya, pemerintah sebagai
pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang enggan
membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkannya, baik secara
suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai
kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman dapat
dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara
tersembunyi maupun terang-terangan.6
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang.
Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum
mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi kewajiban itu dari
hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berrati utang terhadap Allah
Swt. hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan
konvensional yang jika tidak dibayarkan berartu kredit macet ( tidak

6 Dikutip pada Laman, Http//:Downloads/Chapter%20III-I.pdf


ada pemasukan ) bagi Negara dalam priode tertentu. Sedangkan
kewajiban zakat tidak dibatasi priode waktu tertentu.
c) Pemikiran ibn Hazm dalam bidang fiqh
Pemikiran Ibn Hazm dalam bidang fiqh umumnya dapat ditemukan
dalam kitab al- muhalla. Bidang yang dibahas dalam kitab tersebut
mencakup hampir seluruh bagian fiqh, mulai dari ibadah, muamalah,
munakahat, jinayat dan ‘uqubah. Pemikiran ibn Hazm dalam bidang
fiqh antara lain :
1.      Tidak boleh melakukan ‘azl (coitus interuptus/ senggama terputus).
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Jadamah binti Wahab, yang
berkata “saya hadir ketika Rasulullah berada di tengah umatnya, lalu
mereka bertanya tentang senggama terputus, Rasulullah menjawab “yang
demikian itu (senggama terputus) adalah pembunuhan terselubung”.
(HR.Muslim). Hadis tersebut adalah hadis yang paling sahih di antara
hadis-hadis tentang coitus interruptus.77
2.   Mushaf al-Qur’an boleh disentuh oleh orang yang dalam keadaan junub
atau orang yang tidak dalam keadaan berwudhu.
Argumen untuk mendukung kebenaran pendapat ini adalah bahwa
Rasululah pernah berkirim surat dalam  rangka berdakwah kepada orang
yang masih dalam kekafiran. Orang kafir sudah barang tentu dalam
keadaan junub atau setidaknya tidak dalam keadaan berwudhu. Padahal
dalam surat yang dikirimkan Rasulullah tersebut terdapat ayat al-Quran.
Dengan demikian mereka telah membaca dan menyentuh ayat al-Quran
dalam surat nabi tersebut.
Seandainya ayat al-Quran tak boleh disentuh oleh orang yang
junub dan/atau  tidak berwudhu, maka tentu Rasulullah tidak menuliskan
satu ayatpun di dalam surat tersebut, sebab  surat tersebuit pasti
disentuh/dipegang oleh penerima yang kafir itu.
Tindakan Rasulullah ini merupakan dalil bahwa al-Quran boleh
disentuh oleh orang junub dan/ atau tidak berwudhu. Adapun QS. Al-
Waqi’ah 56:79 yang menyatakan “tidak menyentuhnya kecuali hamba-

7 http://repository.uin-suska.ac.id
hamba yang disucikan” menurut az-Zahiri adalah susunan kalimat berita
(khabariyah), bukan kalimat perintah (insha>’iyah). Kalimat berita tidak
mengandung makna perintah, sehingga tidak menghasilkan hukum wajib
atau sunnah. Memalingkan lafal khabariyah kepada insha>’iyah tidak
diperbolehkan, kecuali ada nash atau ijmak.8
3. Kulit bangkai yang disamak, termasuk kulit babi,anjing dan binatang
buas, adalah suci.
Apabila kulit hewan tersebut telah disamak, maka kita dihalalkan
untuk menjual kulit hewan tersebut dan diperbolehkan salat dengan
memakai benda tersebut.  Yang dikecualikan ibn Hazm hanyalah kulit
manusia. Menurut Ibn Hazm, kulit manusia tidak halal disamak,
meskipun ia orang kafir. 9
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ibn Abbas yang
meriwayatkan dari rasulullah “kulit apa saja yang disamak adalah
suci”. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama’ yang
berpendapat bahwa kulit hewan yang disamak dapat dinilai suci apabla
hukum asal hewan tersebut adalah suci. Karena itu jumhur berpendapat
bahwa hasil samakan kulit babi dan anjing (yang hukum asal keduanya
adalah najis) hukumnya najis.10

3. Muhammad Ibn Abdul Wahhab


a. Biografi Muhammad Ibn Abdul Wahhab
Muhammad bin ‘Abd Al-Wahhab memiiki nama lengkap
Muhammad bin ‘Abd al Wahhab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at Tamimi
al-Hambali an-Najdi.11 Muhammad Bin Abdul Wahab berasal dari Qabilah
Banu Tamim.12 Ia lahir tahun 1115 Hijriah (1703 Masehi) dan wafat tahun
1206 Hijriah (1792 Masehi). Beliau wafat di usia yang sangat tua, dengan
umur sekitar 91 tahun. Muhammad bin Abdul Wahab belajar ilmu agama

8 Ibn Hazm, Al-Ushul wa Al-Furu’, (Kairo, Dar Nahdhah Al-Ilmiyyah, 1978


9 Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Intermasa, 2001
10 Ibn Hazm, Abu Muhammad Ali bin Ahmad,  Al-Muhalla bi al-Athar.Vol I (Beirut : Dar al-Fikr, tt),
11 id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
12 id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
dasar bermazhab hambali dari ayahnya yang juga seorang qadhi (hakim).
Pernah juga ia mengaji kepada beberapa guru agama Makkah dan
Madinah.13 Di antara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh
Muhammad Sulaiman al Kurdi, Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri)
dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab.
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya adalah ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam buku “As
Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir yang membakar untuk
menolak paham Wahabi), karangan kakaknya, Sulaiman bin Abdul
Wahab. Menurut Ustadz Hazan Khazbyk dalam suatu karangannya
dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak
membaca, buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain pemuka yang
tersesat.14
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb merupakan seorang ahli teologi
agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang
pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah
menjadi Kerajaan Arab Saudi. Bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki nama
lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-
Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb, adalah seorang ulama yang
berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara
murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut
Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka
adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya
mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau
Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".15
b. Pemikiran Muhammad Ibn Abdul Wahhab

Salah satu pelopor pembaruan dalam dunia Islam Arab adalah suatu
aliran yang bernama Wahabiyah yang sangat berpengaruh di abad ke-19.

13 Ibid
14 Ibid
15 Core.ac.uk>download>pdf
Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M). 16 Paham atau Madzhab
Wahabi pada hakikatnya adalah kelanjutan dari mazhab Salafiyyah yang
dipelopori Ahmad Ibnu Taimiyyah.
Muhammad bin Abdul Wahab mendalami ilmu-ilmu syariat dengan
berkeliling ke wilayah-wilayah islam, seperti Basrah, Baghdad, Hamadzan,
Ashfaham, Qum, dan Kairo. Setelah itu ia berkeliling mendakwahkan
pahamnya yang tak jauh berbeda dengan paham Ibnu taimiyyah dan
mayoritas penganut mazhab Hambali. Abdul Wahab mengadakan
pembaruan dengan memperketat beberapa masalah yang tidak dilakukan
oleh guru-gurunya. Ia mengharamkan rokok, melarang membangun
kuburan, meskipun sekedar dengan membuat gundukan tanah, melarang
tashwir (foto atau gambar makhuk bernyawa). Ia juga melarang berbagai
adat kebiasaan.17
Hal terpenting yang sangat diperhatikannya adalah masalah tauhid
yang menjadi tiang agama; yang terkristalisasi dalam ungkapan la ilah illa
Allah. Menurutnya, tauhid telah dirasuki berbagai hal yang hampir
menyamai syirik, seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan
hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan
atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka dikunjungi oleh orang dari
berbagai penjuru dunia dan di usap-usap. Seakan-akan Allah sama dengan
penguasa dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka, dan orang-
orang dekat-Nya. Bahkan manusia telah melakukan syirik apabila mereka
percaya bahwa pohon kurma, pepohonan yang lain, sandal atau juru kunci
makam dapat diambil berkahnya, dengan tujuan agar mereka dapat
memperoleh keuntungan. Bagaimana menyelamatkan dari keyakinan-
keyakinan seperti ini?
Menurutnya, Allah swt semata-mata Pembuat Syariat dan akidah.
Allah-lah yang menghalalkan dan mengharamkan. Ucapan seseorang tidak
dapat dijadikan hujah dalam agama, selain Kalamullah dan Rasulullah.
16 K.H. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah Baru,
2008), hlm. 35.
17 Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press,
1994), hlm.392-393.
Adapun pendapat para teolog tentang akidah serta pendapat para ahli fikih
dalam masalah halal dan haram bukanlah hujah. Setiap orang yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad berhak melakukannya. Bahkan
dia wajib melakukannya. Menutup pintu ijtihad merupakan sebuah bencana
atas kaum muslim, karena hal itu dapat menghilangkan kepribadian dan
kemampuan mereka untuk memahami dan menentukan hukum. Menutupi
pintu ijtihad berarti membekukan pemikiran dan menjadikan umat hanya
mengikuti pendapat atau fatwa yang tertera dalam buku-buku orang yang di
ikutinya.18
Gerakan kedua dari usaha pemurnian aqidah yang dilakukan Wahabi
adalah pemberantasan bid’ah, misalnya perayaan Maulid, keluarnya kaum
wanita ikut mengiringi jenazah, perayaan-perayaan spiritual, haul untuk
memperingati kematian wali, acara-acara yang lazim dilakukan para
pengikut aliran sufi untuk mengenang kematian guru atau nenek moyang
mereka. Di samping itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, beberapa
kebiasaan, seperti merokok, berlebihan minum kopi, laki-laki yang
memakai kain sutera, mencukur jenggot, dan memakai perhiasan emas,
juga dianggap bid’ah.19
Tauhid, menurut Ibnu Abdul Wahhab, pada dasarnya adalah
pengabdian (ibadah) hanya kepada Allah dengan cara yang benar-benar
mengesakan-NYA. Ia membagi tauhid menjadi 3, yaitu :
1.     Tauhid Rububiah, berkenaan tentang pengesaan Allah sebagai maha
pencipta segala sesuatu yang terlepas dari segala macam pengaruh
dan sebab.
2.    Tauhid Asma wa sifat , berhubungan dengan pengesaan nama dan
sifat-sifat Allah yang berbeda dengan Makhluk-NYA.
3.    Tauhid Ilahiyah, berkaitan dengan pengesaan Allah sebagai Tuhan
yang di sembah.20

18 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1995), hlm. 269-270.
19 Dr. Mustofa Muhammad Asy –Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, (Jakarta : Gema Insani Press,
1994), hlm.395.
20 http://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-Muhammad-bin-‘abd-al-wahhab/  
Di antara ajaran Muhammad bin Abdul Wahab yang berkenaan
dengan tauhid adalah :
1.    Zat yang boleh disembah hanyalah Allah semata, dan orang yang
menyembah kepada selain Allah telah menjadi musyrikdan boleh
dibunuh.
2.    Kebanyakan umat islam bukan lagi penganut tauhid yang murni
karena mereka meminta pertolongan bukan lagi kepada Allah, tetapi
kepada para wali dan orang saleh. Muslim seperti ini telah menjadi
musyrik.
3.    Termasuk perbuatan musyrik adalah memberikan dan menyebutkan
“gelar dan sebutan kehormatan” kepada nabi, wali atau malaika,
terutama dalam shalat, misalnya kata sayyidina, habibuna, atau
syafi’una.
4.    Memperoleh dan menetapkan ilmu yang tidak didasarkan kepada Al
Qur’an dan Sunnah merupakan kekufuran.
5.    Menafsirkan  Al Qur’an dengn takwil merupakan kekufuran.
6.    Pintu ijtihad selalu terbuka dan wajib dilaksanakan oleh orang yang
mampu.21
Itulah dasar dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab. Dia mengikuti
ajaran Ibn Taimiyah. Atas dasar itu pula dibangunlah hal-hal yang  parsial.
Menurutnya, manusia bebas berpikir tentang batas-batas yang telah
ditetapkan oleh al-qur’an dan sunah. Dia memerangi segala macam bentuk
bid’ah, dan mengarahkan orang agar beribadah dan berdo’a hanya untuk
Allah, bukan untuk para wali, syeikh, atau kuburan.
Menurutnya, kita harus kembali pada islam pada zaman awal, yang
suci dan bersih. Dia berkeyakinan bahwa kelemahan kaum Muslim hari ini
terletak pada akidah mereka yang tidak benar. Jika akidah mereka bersih
seperti akidah para pendahulunya yang menjunjung tinggi kalimat la ilah
illa Allah (yang berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain
Allah, tidak takut mati, atau tidak takut miskin dijalan yang benar), maka

21 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam


kaum Muslim pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan yang
pernah diraih oleh para pendahulu mereka.22

BAB III
PENUTUP
22 Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam
3.1 KESIMPULAN
1. Ibn Taimiyyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin
Syihabuddin Abdul Halim bin Majduddin Abul Barakaat Abdus
Salam bin Abu Muhammad Abdullah bin Abul Qasim Al-Khidhr
bin Muhammad Al-Khidhr bin Ali bin Taimiyah Al-Harrani .Ia lahir
di kota Harran yang terletak di daerah Mesopotamia, pada hari senin,
tanggal 10 Rabi‘ul Awal 661 H / 22 Januari 1263 M.
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
pemikiran dari Ibnu Taimiyah, dalam hal ini berpikir masalah Ilmu
Kalam tau Teologi, beliau menjaukan hal-hal yang merejuk pada
pemikiran seorang manusia. Beliau lebih mengutamakan peran dari
Al Qur‟an dan Hadits.

2. Ibn Hazm
Abu Muhammad Ali bin Abi Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin
Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin abu Sufyan binj
Harb bin Umayyah bin Abd Syams al-Umawi
Pemikiran Ibn Hazm dalam bidang fiqh antara lain tidak boleh
melakukan ‘azl (coitus interuptus/ senggama terputus), mushaf al-
Qur’an boleh disentuh oleh orang yang dalam keadaan junub atau orang
yang tidak dalam keadaan berwudhu serta Kulit bangkai yang disamak,
termasuk kulit babi,anjing dan binatang buas, adalah suci.
3. Muhammad Ibn Abdul Wahhab
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 -
1793 M) adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang
tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai
mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi
Kerajaan Arab Saudi dan beliau adalah seorang ulama yang
berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam
secara murni.
Pemikiran yang dikemukakan oleh Muhammad Abdul Wahab
adalah upaya memperbaiki kedudukan umat Islam terhadap paham
tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam saat itu. Paham tauhid
mereka telah bercampur dengan ajaran-ajaran tarikat yang sejak
abad ke-13 tersebar luas di dunia Islam. Masalah tauhid memang
merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab
memusatkan perhatiannya pada persoalan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ibn Hazm, an-Nabzat al-Kaifiyyat fi Ahkām Uṣhūl al-Dĩn, ( Beirut : Dār al-Kitab
al-Ilmiyyah, 1985 )

Abd al-Halim Uwais, Ibn Hazm wa Zuhūduhu fi al-Baḥs at-Tarĩkhi wa al-Haḍari,


( Kairo : Dār al-I’tiṣām, th

H. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ; Kajian Filsafat Pendidikan
Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000)

Musa, Muhammad Yusuf, Ibnu Taimiyyah Kairo : al-Mu’assasah al-masriyah


al-‘Ammah, 1962.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab

http://zafirint.wordpress.com/tentang-pemikiran-Muhammad-bin-‘abd-al-
wahhab/ 

Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995)

Anda mungkin juga menyukai