Anda di halaman 1dari 14

FILSAFAT IBNU RUSYD

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Semester 7E PAI

Disusun oleh :

1. Miftahul Ulumia
2. Shanti Ambarwati Agustin
3. Nurul Iftitahul mahsunah

Dosen Pengampu :

Lailatul Maskhuroh,S.Th.I.,M.Pd

PRODI S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ISLAM TARBIYYAH
AL URWATUL WUTSQO – JOMBANG
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur, kami ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan yang Maha Esa,
karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Filsafat Ibnu Rusyd tepat pada waktunya. Sholawat serta Salam senantiasa
selalu teruntaikan kepada baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang telah
membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang-benderang.

Selanjutnya, makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam dengan Dosen Pengampu Lailatul Maskhuroh,S.Th.I.,M.Pd.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, makalah ini kami susun untuk menjelaskan
bagaimana peranan Khalifah Harun Ar-Rasyid pada masa kekhalifahannya.

Makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna, akan tetapi kami
telah berusaha semaksimal mungkin dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu,
kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini sampai selesai. Serta ucapan terima kasih kami
sampaikan juga kepada Dosen Pengampu Lailatul Maskhuroh,S.Th.I.,M.Pd. yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi kami
sendiri, namun juga dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca makalah ini
untuk menambah wawasannya. Kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Mojowarno, 21 Oktober 2021

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar Belakang.......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan.................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................... 2

A. Biografi Ibnu Rusyd..................................................................................................2


B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd................................................................................. 4
C. Karya – Karya Ibnu Rusyd....................................................................................... 8

BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 10

A. Kesimpulan............................................................................................................. 10
B. Saran ...................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di saat Islam mendapat serangan pemikiran falsafah dari Barat, para pemikir dan
saintis Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina, berani keluar dari keasikan “ibadah
oriented” kepada memanfaatkan akal secara maksimal dengan bimbingan Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Pemikiran mereka ini menghasilkan banyaknya penemuan yang
mengagumkan dunia, mereka adalah para penemu berbagai bidang disiplin keilmuan
seperti matematika, sains, kedokteran, falsafah yang tidak pernah dibincangkan
sebelumnya. Karya-karya mereka ada yang menjadi rujukan selama lima abad di Eropa.
Mereka adalah maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Atas jasa
beliau berdua, dengan filsafat, manusia mampu menemukan keagungan Tuhan melalui
oleh cakrawala atas semua ciptaan-Nya. Mereka bukan saja berpikir untuk zamannya,
tetapi juga berpikir untuk masa depan. Pemikirannya di satu sisi berpijak pada konteks
sosial pada zamannya, tetapi di sisi lain terlihat ia ingin melampaui zamannya.
Pencerahan yang disuguhkan makin kompleks. Pada mulanya pencerahan akal, lalu
pada akhirnya menuju pencerahan umat.
Mengingat jasa-jasanya dalam induk ilmu pengetahuan ( filsafat ) yang
menjadikan bangsa barat terkagum-kagum, dan bergerak untuk mengembangkan, inilah
yang memotivasi untuk mengetahui lebih jauh mengenai Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Dengan demikian, diharapkan mampu meneladani apa yang telah beliau lakukan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Rusyd ?
2. Bagaimana Pemikiran Fiksafat Ibnu Rusyd ?
3. Apa saja Karya – Karya Ibnu Rusyd ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui biografi Ibnu Rusyd
2. Memahami Pemikiran Fiksafat Ibnu Rusyd ?
3. Mengetahui apa saja Karya – Karya Ibnu Rusyd

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan
pengetahuan ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi
sebagai "Kadi" (hakim) dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai
Averroes dan komentator terbesar atas filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat
Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir semacam St. Thomas Aquinas. Banyak
orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan masalah kedokteran dan
masalah hukum.

Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal
dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada
tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah
dan kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil
sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami
banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd
mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja[ CITATION Abb03 \l 1057 ] .

Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi
hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan
Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan
Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan
ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang
kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan
kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai
berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.

Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan
Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi
penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada
masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia

2
menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan
pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah
Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku
karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan
dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah.
Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan
politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif
dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd
yang tinggi.

Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman
hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya
kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut.
Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif,
toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan
ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi
harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.

Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini
sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya
metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan
seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd.
Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi
huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat
yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang
membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat
dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada
tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-
Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.

Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam
penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan
pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah
memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-

3
kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran
Aristoteles sendiri.

Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena
Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak
lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan
usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.

B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd


1. Kritik Ibn Rushd atas Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali telah menulis suatu kitab yang berjudul Tahafut al-
Falasifah yang memuat berbagai dalil dan argument bahwa teori dan pemikiran
para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai ketuhanan dan hal-hal yang
metafisis telah tidak berhasil dengan memuaskan, malah ada diantaranya yang
bertentangan langsung dengan ajaran Islam. Terdapat tiga masalah yang
dipandang oleh Al-Ghazali sebagai bertentangan dengan dasar agama Islam,
sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir. Tuduhan yang sangat keras ini
telah menarik perhatian Ibn Rusydi untuk meneliti kembali permasalahannya,
sehingga ia menulis suatu kitab yang berjudul Tahafut at-Tahafut yang
dimaksudkan untuk membela Ibn Sina dan filsafat pada umumnya dari serangan
dan sanggahan Al-Ghazali dalam kitabnya yang tersebut. Beberapa masalah yang
diperdebatkan yaitu :
a. Ilmu Allah bersifat kulli
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di
bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan
dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan konsensus dalam
kalangan umat Islam seluruhnya. Hanya bagaimana Allah mengetahui hal-hal
yang persial (juz’iyyat) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan. Dalam
kalangan filosof Islam, terutama Ibn Sina ada pendapat yang menyatakan
bahwa hal-hal yang fenominal dan parsial itu bukanlah tidak diketahui oleh
Allah, tapi Dia mengetahuinya dengan ilmu yang kulli (universal). Dengan
mengetahui sebab-sebabnya, maka Allah juga mengetahui segala akibat yang
timbul darinya secara tidak langsung. Segala peristiwa fenominal yang terjadi
di alam ini telah diketahui Allah sejak azali sebelum hal tersebut berwujud
dalam bentuk konkrit karena ilmu-Nya terhadap sesuatu adalah sebab bagi

4
terjadinya hal tersebut. Jadi hal-hal tersebut tidak diketahui oleh Allah seperti
yang diketahui oleh manusia yang ilmunya akan sesuatu senantiasa terkait
dengan ruang dan waktu. Kecuali itu, manusia mengetahui sesuatu setelah
hal itu terjadi, tidak sebelumnya. Dan justru karena itu, ilmunya selalu
mengalami perubahan karena adanya perubahan objek yang diketahui, dan
hal ini mustahil terjadi pada ilmu Allah.
Imam Al-Ghazali menyanggah pendapat tersebut yang menafikan ilmu
Allah terhadap hal-hal yang parsial itu. Katanya, tidak mesti timbulnya
perubahan pada Allah karena hal-hal parsial yang diketahui-Nya karena
ilmu-Nya satu, baik sebelum hal itu dijadikan, atau dalam hal ia dijadikan
maupun setelah dijadikan. Dan dalam hal adanya perubahan pada Allah
karena ilmu-Nya terhadap yang parsial itu, maka itu tidak ada kemungkinan
terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sasaran atau objek yang diketahui,
sedangkan ilmunya tetap tidak berubah.
Menurut Ibn Rusyd, Allah mengetahui segala sesuatu dengan cara yang
khas, dengan ilmu yang khas, tidak kulli (universal) dan jika juz’I (parsial).
Sebabnya, karena ilmu yang kulli bersifat potensial terhadap apa yang ada di
dalam kenyataan. Ilmu ini mengandung kekurangan dalam dirinya. Demikian
pula tidak dengan ilmu yang juz’I yang hanya menjangkau hal-hal yang
parsial atau kecil-kecil yang tidak ada habisnya.
b. Keqadiman Alam
Masalah keqadiman alam merupakan suatu problema keagamaan yang
musykil yang telah mengundang berbagai diskusi dan perbedaan dalam
kalangan para pembuka agama di dunia ini. Dalam kalangan pemikir Yunani
terdapat pendirian bahwa alam ini qadim, tidak ada awalnya seperti yang
dikatakan oleh Aristoteles.
Al-Ghazali berbicara atas nama para ahli kalam (teolog) telah
menyerang dan membantah argument mereka satu persatu dalam upaya
memperlihatkan bahwa pendirian mengenai kekadiman alam ini tidak
mempunyai alasan yang kuat. Akan tetapi, Ibn Rusydi yang datang kemudian
menolak dalil-dalil yang dibentangkan oleh al-Ghazali.
Ibn Rusydi menyatakan bahwa “gerak” itu kadim karena zaman dan
pencipta juga kadim. Ibn Rusydi menjelaskan bahwa zaman itu kadim karena
jika di andaikan zaman kita ini telah di mulai, maka itu berarti adanya zaman

5
yang tidak ada akhirnya telah mendahului zaman ini. Hal ini mustahil karena
permulaan zaman kita adalah akhir zaman yang lalu. Pada titik ini, al-Ghazali
telah menyanggah Aristoteles bahwa zaman itu dijadikan bersama alam ini.
Mengandaikan adanya zaman yang tidak berakhir, kemudian menyanggah
andaian ini merupakan kerja waham yang tidak perlu dihiraukan. Ibn Rusydi
merasakan keshahihan sanggahan tersebut, sehingga ia mengajukan argument
lain yang tersebut tentang kekadiman zaman.
Ibn Rusydi mengatakan bahwa adanya pendirian mengenai Allah yang
menangguhkan berbuat sesuatu setelah ia mengetahuinya lebih dahulu
dianggap sebagai suatu pendirian yang tidak benar. Sebab dalam hal ini ilmu
Allah adalah sebab bagi terjadinya sesuatu. Ilmu Allah kadim sehingga tidak
perlu ada penangguhan antara ilmu dan kerja pada Allah. Dengan kata lain,
dengan sebab Allah mengetahui sesuatu, maka hal itu pun terjadi [ CITATION
Ahm86 \l 1057 ].
c. Kebangkitan Jasmani
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd menyebut
bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan Al-Ghazali mengenai kehidupan
manusia pada hari akhirat. Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-
Falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani, tetapi dalam bukunya
yang lain, ia menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan
terjadi pada hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, menurut Ibn Rusyd,
tidaklah ada ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada
hari akhirat, dan karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat
hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Al-Ghazali berkata : “…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan
muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia
tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah
dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman
itu pun akan bersifat spiritual dan bukan bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang
bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah,
mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan

6
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang
mereka nyatakan itu.”
Menanggapi tudingan ini, Ibn Rusyd mencoba menggambarkan
kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup,
begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup, dan jiwalah
yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkapnya sebagai berikut : “…
perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang
terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja
pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya,
tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti maka sudah
semestinya keadaannya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya
pada saat tidur… dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang
dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan
akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang
keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal
ini pun terang gamblang difirmankan tuhan, ‘Tuhan mengambil jiwa-jiwa
pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yang
belum mati pada saat tidur mereka” [ CITATION Ded13 \l 1057 ].
Pertentangan keduanya menjadi lembaran hiasan yang panjang dalam
sejarah filsafat Islam. Akan tetapi, bila diteliti lebih dalam, pada dasarnya,
Ibn Rusyd masih “ragu” tentang keabadian jiwa. Sebagaimana pendapatnya
sebagai berikut : “…Akan halnya keberatan Al-Ghazali bahwa manusia
mengetahui jiwanya bahwa dia itu ada dalam badan jasmaninya, meskipun
dia tidak dapat merinci di bagian mana tentu saja pendapat ini adalah benar,
karena orang-orang terdahulu pun mempunyai perbedaan pendapat tentang
tempat atau letak kedudukannya, tetapi pengetahuan kita bahwa jiwa adalah
ada di dalam badan jasmani tidak berarti bahwa kita tahu bahwa dia
memperoleh keberadaannya lantaran kebersamaannya dengan badan jasmani;
keadaan ini bukan berarti jelas dengan sendirinya, dan persoalan dimana para
filsuf kuno dan begitu juga yang modern berbeda pendapat, karena jika badan
jasmani sebagai alat bagi keberadaan jiwa, jiwa tidak memperoleh
keberadaannya lewat badan jasmani. Akan tetapi, jika badan serupa dengan
lapisan bawah atau landasan bagi kejadian-kejadian yang dilakukannya, jika
hanya, jiwa hanya bisa ada lewat perantaraan jasmani.”

7
Hasil dari penelitian Oliver Leaman menunjukkan bahwa perdebatan
keduanya, pada dasarnya memiliki kelemahan masing-masing. Hal itu
terbukti, pada akhirnya, Al-Ghazali mengakui adanya kebangkitan rohani.
Begitu juga, Ibn Rusyd mengakui adanya kebangkitan jasmani.
Hal itu diperkuat pula oleh tulisan Abdul Azis Dahlan, Ibn Rusyd
menyatakan bahwa “semua agama mengakui adanya hidup kedua di hari
akhirat kendati ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya. Yang jelas
adalah, menurut Ibn Rusyd, kehidupan manusia di akhirat itu berbeda dengan
kehidupan di dunia, sesuai dengan isyarat hadits Nabi saw., “Di sana akan
dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan
tak pernah terlintas pada pikiran.” Kehidupan manusia di akhirat adalah lain
dan lebih tinggi daripada kehidupan di dunia. Sesuai dengan keterbatasan
daya tangkap orang awam tentang hal-hal yang abstrak, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa bagi mereka, kehidupan manusia di akhirat lebih baik
digambarkan dalam bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk
rohani saja. Mengenai kebangkitan pada hari akhirat, ia sendiri berpendapat
bahwa yang aka nada nanti di akhirat adalah badan yang serupa dengan yang
ada di dunia dan bukan badan yang semula di dunia karena yang sudah
hancur tidak akan datang kembali” [ CITATION Ahm97 \l 1057 ].
C. Karya-Karya Ibnu Rusyid
1. Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
2. Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
3. Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan
menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)

Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Hujjatul
Islam Imam Al-Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu
Rusyd (hingga mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan berjudul “tahafut
al-tahafut" (kerancuan dari kerancuan). Menurut penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali
telah mengisi bukunya tahafut falasifah dengan pikiran-pikiran sufistik, dan kata-
katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil
pemahaman terhadap filsafat itu sendiri[ CITATION Nur99 \l 1057 ] .

Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof dengan cara


demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya

8
memahami pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-
benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami
secara benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak
dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.

Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat


dalam diri Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk” demikian kata
pepatah. Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menulis buku tahafut-nya
tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera massa dan
lingkungannya.Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan kembali
manusia setelah meninggal.

Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah


pembangkitan Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka
tentang jiwa. Bagi Ibnu Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia adalah
jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedangkan
menurut Al-Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga
Jasmaniyah. Ibnu Rusyd juga mengajarkan bagaimana cara membangun rules of
dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar kita.

Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama, keharusan untuk
memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari
penerapan metode aksimotik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.
Prinsip kedua, dalam kaitan relasi kita dengan Barat, adalah prinsip menciptakan
kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk
berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi
antara kebenaran agama dan filsafat, tetapi terjadi harmoni diantara keduanya. Harmoni
yang dimaksud tidak harus sama dan identik. Karena itu hak untuk berbeda harus
dihargai[ CITATION Sir04 \l 1057 ] .

Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara


Al-Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk
mempertanyakan tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak
dilakukan oleh orang terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk
mencari kebenaran bukan menyebarkan keragu-raguan.

9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur.
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu
Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/
1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan
kakek Ibnu Rusyd adalah hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil
sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia
mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat.
Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja
2. Ibnu Rusyd membela filsafat pada umumnya dari serangan dan sanggahan Al-
Ghazali dalam kitabnya, beberapa permasalahan yang diperdebatkan adalah :
a. Ilmu Allah bersifat kulli, bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di
langit dan yang di bumi, bik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang
telah digariskan dengan jelas dalam Al-Qur’an, sehingga telah merupakan
konsensus dalam kalangan umat Islam seluruhnya.
b. Keqadiman alam, dalam kalangan pemikir Yunani terdapat pendirian bahwa
alam ini qadim, tidak ada awalnya seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
c. Kebangkitan jasmani, menurut Ibn Rusyd, tidaklah ada ijma’ (kesepakatan)
ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan karena itu, paham
yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak
dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
3. Karya – Karya Ibnu Rusyd diantaranya :
a. Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
b. Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
c. Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam
dan menolak segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
B. Saran

Tentunya makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kririk dan sarannya dari berbagai pihak manapun. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan
mudah-mudahan dapat dijadikan referensi untuk menambah khasanah keilmuan kita. Amin…

10
DAFTAR PUSTAKA

Ahwani, A. F. (1997). Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Aqqad, A. M. (2003). Ibnu Rusyd : Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter. Yogyakarta:
Qirtas.

Daudy, A. (1986). Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.

Majid, N. (1999). Khazanah Intelektual Islam. Padang: IAIN IB Press.

Sirajuddin. (2004). Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Supriyadi, D. (2013). Pengantar Filsafat Islam (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya). Bandung:
CV Pustaka Setia.

11

Anda mungkin juga menyukai