Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSHD


Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
“Filsafat Islam”

Disusun oleh :
ICHA ALAWIYAH (07040320122)
IFFAH NAJMI MARYAM (07040320123)

Dosen Pengampu :
Dr. Haqqul Yaqin, M. Ag

PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
SURABAYA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd”.

Adapun makalah “Filsafat Islam” di susun untuk memenuhi mata kuliah Filsafat Islam.
Makalah ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari
banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatannya. Penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terutama kepada Bapak Dr. Haqqul
Yaqin, M. Ag selaku dosen matakuliah Filsafat Islam. Dan saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan pengetahuan dan bermanfaat bagi pembaca.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca
kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Surabaya, 26 November 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 4
C. Tujuan ...................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 5

A. Karir Intelektual dan Konteks Sosial ...................................................................... 5


B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rushd ................................................................................ 8
C. Kritik Ibnu Rushd atas Al-Ghazali ....................................................................... 12

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 16

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 16
B. Saran ...................................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal
bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat
peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan
muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat
kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung
dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam
konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi
jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya
filsafat. Dengan demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi
kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam
khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal
dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar
terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles. Dalam
makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi
dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya
dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karir intelektual dan konteks sosial dari Ibnu Rusyd?
2. Apa saja pemikiran filsafat Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana kritik Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perjalanan karir intelektual dan konteks sosial dari Ibnu Rusyd
2. Untuk mengetahui apa saja pemikiran filsafat Ibnu Rusyd
3. Untuk mengetahui bagaimana krtik Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Karir Intelektual dan Konteks Sosial Ibnu Rusyd


Ibn Rusyd merupakan seorang pemikir terkemuka dalam sejarah pemikiran dan
filsafat Islam, yang mungkin tiada duanya dilihat dari latar belakang keluarga, kapasitas
intelektual, karya, serta karir yang dilaluinya. Ia hidup pada abad ke-12 di dunia Islam
Barat pada zaman kekhalifahan Muwahhidun di dua daratan, Andalusia dan Afrika.
Nama lengkapnya Abu Walid Muhammad bin Muhammad bin Ibnu Rusyd. Ia
dilahirkan di Andalusia tepatnya di Kota Cordoba pada tahun 526 H/ 1198 M. Nama
kun’yah atau panggilannya adalah Abu al-Walid, akan tetapi nama yang lebih popular
adalah Ibnu Rusyd. Dalam dunia Barat ia dikenal dengan nama dalam Bahasa Latin,
Averroes. Kata Averroes merupakan hasil metamorfosis dari Yahudi-Spanyol-Latin.
Hal tersebut diawali dari penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd dari Bahasa Arab
kedalam Bahasa Latin. Ibnu Rusyd memiliki kesamaan nama dengan kakeknya, yakni
nama Muhammad dan keduanya sama-sama pernah menduduki jabatan tinggi di
Andalusia. Karenanya penulis di masa lalu membedakan dengan sebutan nama Ibn
Rusyd al-Jadd (sebutan untuk kakeknya) dan Ibn Rusyd al-Hafid (sebutan untuk Ibn
Rusyd).
Ibnu Rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang terpandang dan memiliki
kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu pengetahuan, termasuk dalam dunia fiqih.
Selain itu, keluarganya mempunyai akses yang penting pada dunia hukum dan politik.1
Ayahnya bernama Abu al-Qasim seorang hakim di Cordoba, demikian dengan
kakeknya terkenal sebagai seorang yang ahli fiqih yang menganut mazhab Maliki.2
Kakek dan ayahnya sama-sama pernah menjadi seorang hakim di Andalusia dan ia
sendiri pernah diangkat menjadi hakim di Seville dan Cordoba pada tahun 565 H/ 1169
M. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, ia dipromosikan menjadi
ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordoba pada tahun 1173 M.3 Ibn Rusyd
berguru kepada ayahnya dengan mempelajari dan juga menghafal buku Imam Malik,
Al-Muwaththa, yang kemudian ia merevisi buku tersebut bersama ayahnya.

1
Urvoy, Dominique, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000) Cet. I. p. 29
2
Suyudono, Yusuf, Bersama Ibnu Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi, Semarang: Wali Songo Press, 2008,
hlm:13
3
M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h.197

5
Lingkungan yang sangat kondusif membuat Ibn Rusyd haus akan ilmu
pengetahuan. Ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan yang luar biasa. Ibnu
Rusyd telah mempelajari berbagai disiplin ilmu pada usia anak-anak, seperti al-Qur’an,
hadist, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksak seperti, matematika, fisika, logika,
filsafat, astronomi dan kedokteran. Ibnu Rusyd mendapat Pendidikan keagamaan yang
mengarah pada dasar-dasar fiqh mazhab Maliki sebagaimana para leluhurnya.
Sedangkan dalam bidang teologi, mazhab Asy’ariyah adalah paling dominan, termasuk
ajaran yang dibawa melalui pengaruh Imam Al-Ghazali.4Dalam bidang kedokteran ia
berguru pada Abu Ja’far Harun At Tirjali dan Abu Marwan bin Kharbul, seorang dokter
resmi bagi Abu Ya’qub Yusuf yang ketika itu menjabat sebagai gubernur di Seville.
Sedangkan dalam bidang filsafat ia berguru pada Ibnu Bajjah (filosof besar Eropa
sebelum Ibnu Rusyd) yang dikenal dengan Avinpace di Kawasan Barat.
Ibnu Rusyd memiliki hubungan baik dengan kerajaan Islam Muwahhidun yang
menyebabkan ia dilantik sebagai hakim di Seville pada tahun 1169 M. Dua tahun
setelahnya ia dilantik menjadi hakim di Cordoba, kemudian dilantik sebagai dokter
istana pada tahun 1182 M. Sebagai seorang filosof, pengaruhnya di istana tidak
disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha’, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibnu
Rusyd. Ia dituduh membawa ajaran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam oleh
sekelompok ulama yang berusaha menyingkirkannya. Pada akhirnya Ibnu Rusyd
ditangkap dan diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat yang ernama Lucena di
daerah Cordoba. Ibnu Rusyd dibebaskan setelah beberapa orang terkemuka
meyakinkan khalifah Al-Manshur tentang kebersihan Ibn Rusyd dari tuduhan dan
fitnah. Akan tetapi tak lama kemudian ia mendapat tuduhan dan fitnah seperti semula.
Akibatnya Ibn Rusyd diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko).
Ibnu Rusyd menghabiskan sisa umurnya di tempat pengasingan hingga ajal
menjemputnya pada tanggal 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198 M. Kematiannya
menyebabkan kehilangan yang cukup besar bagi kerajaan dan umat Islam di Spanyol.
Semasa hidupnya beliau dikenal sebagai orang yang suka hidup sederhana dan
bersahaja tanpa memperdulikan tentang pakaian dan harta benda. Selain itu, beliau
memiliki sifat pemurah sekalipun kepada orang-orang yang pernah memusuhi atau
menghina dirinya. Salah satu dari ciri-ciri kebaikannya adalah sangat rendah hati

4
Ibn Tumart, pendiri Dinasti Muwahhidun adalah salah satu murd Al-Ghazali, Lihat Mahmud Al-Aqqad, Ibn
Rusyd, p. 11

6
terutama kepada orang-orang miskin. Beliau pergi tidak meninggalkan setumpuk harta
benda melainkan ilmu dan tulisan dalam berbagai bidang keilmuan, seperti filsafat,
kedokteran, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tata bahasa, dan nahwu.
Sebagian besar hidupnya digunakan untuk menjalankan tugas-tugas sebagai hakim dan
dokter.
Ibnu Rusyd tergolong orang yang jenius dan juga banyak menghasilkan karya
tulis dalam berbagai bidang. Dalam karyanya ia selalu membagi dalam tiga bentuk,
yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus
ulung. Ulasannya terhadap karya-karya filsuf besar banyak sekali, diantaranya ulasan
terhadap karya Aristoteles. Kritik dan komentarnya itulah yang menyebabkan ia
terkenal di Eropa yang berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan Eropa. Selain itu,
juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi,
Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan Al-Ghazali. Komentar-komentarnya banyak diterjemahkan
kedalam bahasa Latin dan Ibrani.5 Secara umum karya Ibn Rsyd dapat dikelompokkan
menjadi; karya asli, ulasan Panjang (syuruh kubra) atau tafsirat, ulasan sedang (syuruh
wustha) atau jawami dan ulasan pendek (syuruh sughra) atau talkhisat. Karya aslinya
merupakan tulisan yang dibuatnya sendiri, meski saat ini sulit diketahui secara pasti
berapa jumlahnya. Dalam bukunya Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, Renan berhasil
mengelompokkan karya Ibn Rusyd sesuai dengan bidangnya. Filsafat sebanyak 39,
ilmu kalam sebanyak 5, fiqh sebanyak 8, ilmu falak sebanyak 4, nahwu sebanyak 2,
ilmu kedokteran sebanyak 20.6
Ibnu Rusyd menuliskan pokok-pokok pemikirannya perihal ketuhanan dalam
trilogy karya monumentalnya, yaitu Fasl al-Maqal, Manahij al-Adillah dan Tahafut at-
Tahafut. Banyak yang memanndang bahwa ketiganya menampilkan masalah
kefilsafatan bernuansa ketuhanan, sehingga ada yang menilai bahwa masalah-masalah
yang dibahas bercorak teologis-filosofis.7Berikut ini uraian secara ringkas ketiga buku
tersebut :

5
Musa Yusuf, Bayn al Din wa al Filsafat fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Filsafat ‘Asr al Wasit, (Kairo: darul Ma’arif, 1980):
hlm 44
6
Selengkapnya, lihat Renan dalam Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, 80-93. Sementara itu Sulaiman Dunya dalam kata
pengantarnya untuk buku Tahafut al-Tahafut mencantumkan karya Ibn Rusyd hanya sebanyak sekitar 47 judul.
Akan tetapi di antara karya yang dicantumkan Sulaiman Dunya terdapat dua judul buku yang dikatakan
Muhammad Yusuf Musa sebagai bukan karya Ibn Rusyd, melainkan karya kakeknya, yakni Kitab al-Tahsil dan
Kitab Al-Muqaddimat fi Al-Fiqh. Lihat Sulaiman Dunya, “Ibn Rusyd” dalam Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Kairo:
Dar al-Ma’arif, 1974), Cet. IV, p. 11-14
7
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, p. 273

7
1. Fasl al-Maqal
Buku ini berjudul lengkap Fasl al-Maqal fi Taqrir Ma Baina al-Hikmah
wa al-Syari’ah min al-Ittisal (Pembeda/ Distingsi Mengenai Hubungan antara
Filsafat dan Syari’at). Buku ini memuat banyak hal terutama mengenai pokok-
pokok yang berkaitan dengan filsafat dan agama. Buku Fasl al-Maqal dapat
dikatakan sebagai rambu-rambu kerangka umum pemikiran yang dicanangkan
Ibn Rusyd bagi orang yang hendak mempelajari filsafat dan agama,
mempelajari filsafat dengan pendekatan agama, atau mempelajari agama
dengan pendekatan filsafat
2. Manahij al-Adillah
Nama lengkap dari buku ini adalah Al-Kasyf’an Manahij al-Adillah fi
‘Aqaid al-Millah. Buku ini ditulis Ibn Rusyd pada saat menjabat sebagai qadi
di Sellive pada tahun 1179-1180. Buku ini menyajikan masalah teologis dengan
pendekatan filsafat. Al-Kasyf terdiri dari lima pasal yang masing-masing
membahas suatu tema ketuhanan
3. Tahafut at-Tahafut
Ibnu Rusyd menanggapi serangan al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah
(Kerancuan Para Filsuf).
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd
Sebagian besar pemikiran Ibnu Rusyd dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno.
Waktunya dihabiskan untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya
Aristoteles dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristotelas dalam bentuk aslinya.
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles,
walaupun dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua
filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikitan Aristoteles telah bercampur dengan
unsur-unsur Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Pada masa
Dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H, Ibnu Rusyd menerima saran dari gurunya Ibnu
Thufail untik menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles.8
Meskipun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti ia selalu
mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd memiliki pandanan tersendiri

8
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. Kedelapan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 110

8
dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan
terkenal pada masa klasik hingga sekarang.
1. Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd
Mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib menurut pandangan Ibnu
Rusyd dalam kitabnya Fasl al-Maqal. Dengan argumentasi bahwa filsafat tak
ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik
pelajaran/ hikmah/ ‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya
Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang
maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin sempurnalah ia bisa
mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Banyak ayat-ayat-Nya, Tuhan
mendorong manusia untuk senantiasa mengunakan daya nalarnya dalam
merenungi ciptaan-ciptaan-Nya. Ada beberapa kemungkinan apabila seseorang
dalam pemikirannya semakin jauh dai dasar-dasar Syar’iy. Pertama, ia tidak
memiliki kemampuan yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat.
Kedua, dirinya tidak mampu mengendalikan diri untuk tidak terseret pada hal-
hal yang dilarang oleh agama. Dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping/
guru yang handal yang dapat membimbingnya memahami dengan benar tentang
suatu objek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak memungkin bagi seorang filsuf untuk menjadi
mujtahid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan atau meragukan keberadaan
Tuhan. Sebab kemampuan manusia dalam menerima kebenaran dan bertindak
dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ada tiga macam cara manusia dalam
memperoleh pengetahuan menurut Ibn Rusyd, yaitu9 :
a. Lewat metode al-Khatabiyyah (retorika)
Metode ini digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak
termasuk ahli takwil, yaitu orang-orang yang berfikir retorika yang
merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang
berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria
pembuktian ini.

9
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), h.116

9
b. Lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
Metode ini digunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan takwil dialektika. Secara alamiyah atau tradisi mereka
mampu berpikir secara dialektik.
c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)
Metode Burhani digunakan bagi orang yang termasuk ahli dalam
melakukan takwil yaqini. Secara alamiah mereka mampu karena
Latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Takwil
jenis ini tidak cocok untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka
yang berfikir retorik maupun dialektik. Karena apabila takwil burhani
ini diberikan kepada mereka maka akan menjerumuskan kepada
kekafiran. Penyebabnya adalah karena tujuan takwil itu tak lain adalah
membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara
interpretative. Pernyataan ini merujuk pada QS. Al-Isra’ ayat 85
Dalam ayat tersebut Allah tidak menjelaskan pengertian ruh karena
tingkat kecerdasan mereka belum memadai sehingga dikhawatirkan hal tersebut
akan menyusahkan mereka. Ketiga metode itu telah digunakan oleh Tuhan
sebagaimana terdapat teks-teks al-Qur’an. Metode tersebut dikenalkan oleh
Allah Swt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahua dan
kemampuanintelektual manusia amat beragam, sehingga Allah Swt tidak
menawarkan metode perolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu
macam cara saja.
2. Metafisika
Ibnu Rusyd berpendapat dalam masalah Ketuhanan bahwa Allah adalah penggerak
pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah
adalah “akal” dan “maqqul”. Esa-Nya merupakan wujud Allah. Wujud dan ke-
Esaan tidak berbeda dari zat-Nya.10 Disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya, Ibnu Rusyd memiliki konsepsi tentang ketuhanan yang merupakan
pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Mensifati Tuhan dengan
“Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak

10
Ibid, h. 117

10
pertama, tidak oernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya
dijumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.11
Golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Falasifah memiliki
keyakinan yang berbeda dan menggunakan takwil dalam mengartikan kata-kata
Syar’i dalam pembuktian adanya Tuhan.12 Ibnu Rusyd menerangkan dalil-dalil
tentang pembuktian Tuhan, diantaranya :
a. Dalil Wujud Allah
Ibnu Rusyd menolak dalil-dalil yang dikemukakan oleh beberapa golongan
sebelumnya dalam pembuktian adanya Allah Swt. Hal tersebut dikarenakan
tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh syara’, baik dalam berbagai
ayatnya. Akibatnya Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai dengan al-Qur’an dan sesuai dengan manusia diberbagai kalangan,
termasuk bagi orang awam dan juga yang terpelajar.
b. Dalil ‘Inayah al-Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan)
Dalil ‘Inayah merupakan suatu pembuktian secara empiris tentang adanya
pencipta alam yang didasarkan pada persesuaian antara eksistensi makhluk-
makhluk Tuhan dengan kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Artinya
segala yang ada dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Ada dua
persesuaian yang dapat dilihat, yaitu pertama, segala sesuatu yang ad aini sesuai
dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara
kebetulan, tetapi memang sengaja diciptakan demikian oleh sang pencipta.
c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan)
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk, baik yang hidup
maupun mati. Menurut Ibn Rusyd kita mengamati benda mati lalu terjadi
kehidupan padanya, sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya.
Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada
ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahuiAllah dengan
sebenarnya,makai a wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di ala mini agar ia
dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.

11
Ibid
12
Ibid

11
d. Dalil Harkah (Gerak)
Dalil ini menjelaskan bahwa gerak tidak tetap tetapi selalu berubah-ubah. Dan
semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang
berakhir pada yang bergerak pada dzatnya dengan sebab penggerak pertama
yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya Dalil
ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagai dalil yang
meyakinkan tetang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles
sebelumnya. Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang
dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu Qadim.
e. Sifat-sifat Allah
Pemikiran Ibnu Rusyd ini berpijak pada perbedaan alam ghaib dan alam realita.
Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus
menggunakan du acara, yaitu tasbih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan).
Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak
logis memperbandingkan dua jenis ilmu tersebut.
C. Kritik Ibnu Rusyd atas al-Ghazali
Ibnu Rusyd dikenal sebagai filsuf yang menentang al-Ghazali. Disebutkan
dalam bukunya yang berjudul Tahafut at-Tahafut, yang merupakan tanggapan buku
Tahafut Falasifah karya al-Ghazali. Ibnu Rusyd menuliskan dalam bukunya tentang
pembelaan pendapat-pendapat ahli filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang
habis-habisan oleh al-Ghazali. Perdebatan Panjang antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd
kiranya tidak pernah usai, karena keduanya memiliki pengikut setia dalam
mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut.
Al-Ghazali mengomentari dalam masalah metafisika, karena banyak masalah
yang dikupas para filsuf yang salag dan sedikit yang benar. Sementara dalam masalah
fisika, didalamnya tercampur antara yang benar dan yang salah, maka tidak mungkin
mengambil ketetapan berdasarkan pandangan umum saja. Kata tahafut dipergunakan
al-Ghazali untuk menunjukkan kerancuan pemikiran serta kontradiksi para filsuf pada
beberapa ketuhanan dan kosmologi. Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap
terhadap filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut al-Ghazali dapat
menyebabkan kekafiran, yaitu qidamnya alam, Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkit jasmani. Berikut ini perdebatan al-Ghazali
dan Ibnu Rusyd terhaap 3 hal yang dianggap paling membahayakan kestabilan umat
Islam, yaitu :
12
Pertama, Alam kekal (Qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibnu Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadimnya Tuhan
atas alam sama dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat
dan tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa. Sedangkan menurut al-Ghazalu,
pendapat para filsuf tentang qadimnya alam tidak dapat diterima kalangan teologi
Islam, karena menurut konsep teologi Islam Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud
pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Apabila alam
dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan
bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran.
Ibnu Rusyd dan juga beberapa filsuf berpendapat bahwa, creatio ex nihilio tidak
mungkin terjadi. Dari tidak ada atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada.
Yang mungkin terjadi ialah ada yang berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Pendapat
ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan
menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini
mereka merujuk pada al-Qur’an Surat Ibrahim ayat 47-48.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam
diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, cretio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak
membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada
menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini
diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.13 Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah
keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang
berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah. Akan tetapi yang
mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena
penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil
dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena
itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Kedua, tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui
tentang diri-Nya atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu,
tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali,
setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi
di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab

13
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 226

13
yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya
mengetahui segala sesuatu yang secara rinci. Mengenai penjelasan tersebut, Ibnu Rusyd
menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang
ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau
hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim
dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-
Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf
tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan
manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali
dan para filsuf timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan
manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan
dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah
dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan
pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan
langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.
Ketiga, yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah
yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka
menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang
telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup
kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain.
Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang
semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik
yang tidak sempurna. Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas.
Dia mengatakan bahwa jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan
badan) karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Al-Ghazali
mengungkapkan: “…adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim,
keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan
pada hari Kiamat, tetapi jiwa (roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala
dan hukuman, dan pahala atau hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya
bersifat jasmaniah.

14
Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk
menggambarkan kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa
tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup
bahkan jiwalah yang akan dibangkitkan. Adapun ungkapannya, yaitu “… perbandingan
antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu
hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara
membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan
jiwa tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan
sama dengan keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh
seluruh orang dan cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan
menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup
daripada jiwa itu adalah satu hal yang pasti. Hal inipun terang gambling dari firman
Tuhan, “Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-
Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka14

14
Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhahal…., h. 147

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang
dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti
al_kindi, al-Farabi dan lain lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh
kebenaran agama dan filsafat dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya
berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu
mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih tajam dan jelas. Maka dari
itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu
pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula
kemudian Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan
keagamaannya dengan golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui
bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam
bidang fiqh Islam.
B. Saran
Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang
manusia berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu
mengenai dirinya sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami
sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
dengan berbagai kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari
mempelajari Filsafat Islam terutama bab Pemikiran Tokoh Filsafat Dunia Barat : Ibnu
Rusyd.

16
DAFTAR PUSTAKA

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Musa Yusuf, Bayn al Din wa al Filsafat fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Filsafat ‘Asr al Wasit, Kairo:
darul Ma’arif, 1980

Urvoy, Dominique, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, Surabaya: Risalah Gusti, 2000

Suyudono, Yusuf, Bersama Ibnu Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi, Semarang: Wali
Songo Press, 2008
M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

17

Anda mungkin juga menyukai