Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

IBN RUYSD

Disusun dalam rangka untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Umum
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syekh Muhammad Nafis

Dosen Pengampu:
MUHAMMAD HUSNI, S.Th.I, M. pd

Oleh:
Muhammad Trias Zulpijaredo
NIM. 20010122
Agus Salim
NIM. 20010202

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


SYEKH MUHAMMAD NAFIS
TABALONG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu tokoh dalam filsafat Islam yang mempunyai pengaruh besar pada
pemikiran filsafat dan keagamaan sesudahnya, termasuk di Eropa pada abad-abad
pertengahan, adalah Ibn Rusyd atau Averrois. Pemikiran dan upayanya untuk
mempertemukan agama dan filsafat diakui sebagai pemikiran yang luar biasa dan diikuti
oleh banyak kalangan. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd banyak memberikan
kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani
maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya.
Pengaruh Ibn Rusyd tidak secara langsung tetapi melalui murid-muridnya dari Eropa
yang belajar di Spanyol dan mereka ini dikenal dengan Averoissme. Averoissme memiliki
pandangan tertentu tentang hubungan Bahasa Falsafat dan Bahasa Agama dan pandangan
ini berakar pada pemikiran Ibn Rusyd. Pemikiran Ibn Rusyd berkembang menjadi suatu
gerakan Averroisme yang pengaruhnya ke Barat lebih besar dibandingkan filosof-filosof
muslim lainnya. Ibn Rusyd merupakan tokoh yang paling populer dan dianggap paling
berjasa dalam membuka mata peradaban Barat. Oleh karena itu mengkaji dan mempelajari
perjalanan hidup dan pemikiran filosof Ibn Rusyd sangat menarik.
Ibn Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak
memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal
sebagai komentator Aristoteles. Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa
pemikiran filsafat Ibn Rusyd.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana biografi kehidupan Ibn Rusyd ?
2. Bagaimana pandangan Ibn Rusyd tentang agama dan filsafat ?
3. Bagaimana keharusan berfilsafat menurut syara’ pandangan Ibn Rusyd ?
4. Bagaimana keharusan takwil menurut pandangan Ibn Rusyd ?
5. Bagaimana aturan takwil menurut pandangan Ibn Rusyd ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui biografi kehidupan Ibn Rusyd
2. Untuk mengetahui pandangan Ibn Rusyd tentang agama dan filsafat
3. Untuk mengetahui keharusan berfilsafat menurut syara’ pandangan Ibn Rusyd
4. Untuk mengetahui keharusan takwil menurut pandangan Ibn Rusyd
5. Untuk mengetahui aturan-aturan takwil menurut pandangan Ibn Rusyd
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI IBN RUYSD
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Rusyd, orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Ibn
Rusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Kordoba tahun 510 H/1126 M. Ia
lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya Ahmad atau Abu Al Qasim
seorang hakim di Kordoba demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh.
Dengan demikian ia lahir dari keluarga terhormat alim dan ta’at dalam beragama Islam,
kakek dan ayahnya penganut mazhab Maliki.
Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibn Rusyd kecil haus ilmu
pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar biasa. Pada usia
anak-anak saat itu, Ibn Rusyd sudah mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti Al-
Qurán, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu seperti matematika, astronomi, logika,
filsafat dan kedokteran. Setelah menginjak remaja, ia terdorong keluar dari lingkar
keluarga dalam menuntut ilmu. Ibn Rusyd mendatangi para fuqaha yang menonjol di
kawasan Andalusia kala itu untuk berguru dan menimba ilmu. Karena itulah, ketika Ibn
Rusyd tumbuh dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Dalam bidang kedokteran, Ibn Rusyd belajar pada Abu Ja'far Harun
At Tirjali dan Abu Marwan bin Kharbul. Dalam biddang filsafat, ia belajar pada Ibnu
Bajjah, yang di barat dikenal dengan Avinpace, filosof besar di Eropa sebelum Ibn
Rusyd.
Ibn Rusyd dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169. Dua tahun kemudian,
beliau dilantik menjadi hakim di Kordoba, kemudian dilantik sebagai dokter istana pada
tahun 1182 M. Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak
menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibn Rusyd. Ada juga sekelompok
ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia telah menyebarkan
ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibn Rusyd
diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak
diantara karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan khalifah Al-Mansur tentang
kebersihan dari Ibn Rusyd dari fitnah dan tuduhan tersebut, maka ia baru dibebaskan.
Akan tetapi tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan seperti semula kembali terulang.
Sebagai akibatnya, pada kali ini Ibn Rusyd diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko).
Disanalah kemudian Ibn Rusyd menghabiskan sisa-sisa umurnya hingga datang ajal
menjemputnya pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, ia wafat dengan
meninggalkan banyak warisan keilmuan yang dikenal Barat dan Timur. 1
Karya-karya beliau yang masih bisa ditemukan sampai hari ini di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian di bidang
fiqh.
2. Al-Kasyfu ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, berisikan uraian-uraian di
bidang Kalam.
3. Fashl al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Itthisal/Fashl alMaqal wa
Taqrir ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Itthisal, berisikan tentang uraian
hubungan antara agama dan filsafat.
4. Tahafut al-Tahafut, buku paling fenomenal dan terkenal yang berisi tentang
sanggahan terhadap kritikan tajam Imam al-Ghazali tentang 20 persoalan yang
menyudutkan Filusuf dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.
5. Al-Diwan fi al-Manthiq.
6. Kitab al-Hayawan.2
B. HUBUNGAN AGAMA DAN FILSAFAT
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu salah satu pandangan Ibn
Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang perpaduan agama dan filsafat. Ibn Rusyd
memberikan kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama".
Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal (filsafat dan agama). Ini
didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat
mengantarkan manusia kepada pengetahuan yang lebih sempurna (at-tamm al-ma`rifah).3

1
Rossi Delta Fitrianah, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7 Nomor 1, Juni2018
2
Hamzah, “EPISTEMOLOGI IBNU RUSYD DALAM MEREKONSILIASI AGAMA DAN FILSAFAT”. Vol. 4 No. 1 Juli 2018
3
Rossi Delta Fitrianah, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7 Nomor 1, Juni2018
Ibn Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat karena
adanya serangan yang berat terhadap agama terutama oleh ulama fiqih termasuk Al-
Ghazali. Karenanya, Ibn Rusyd harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dan
menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya
dan menjelaskan perumusan-perumusannya. Pada masa dinasti Muwahhidun dan juga
dinasti yang berkuasa sebelumnya, terjadi konflik atau perang pemikiran antara
kelompok anti filsafat yang dipelopori oleh ulama fiqih dengan kelompok yang
mendukung filsafat. Kebanyakan dari mereka yang anti filsafat memandang bahwa
keduanya adalah dua entitas yang berbeda dan saling bertentangan. Sebagai seorang
kepala hakim pada waktu itu, Ibn Rusyd tentu merasa perlu untuk menengahi konflik
tersebut.
Upaya untuk mendamaikan filsafat dan syariat sebenarnya bukan merupakan upaya
yang pertama kali dilakukan oleh Ibn Rusyd. Jauh sebelumnya, hal ini telah dilakukan
oleh para filsuf muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Sijistani, Ibn Miskawaih, Ibn Sina
dan Ibn Tufail dengan berbagai argumen yang berbeda-beda. Dalam permasalahan ini Ibn
Rusyd mengarang kitab yang bernama Fasl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-
Syari‘ah min al-Ittisal, usaha tersebut dilakukan untuk menepis kesan adanya
pertentangan antara kedua bidang tersebut. Ia memandang bahwa antara keduanya tidak
ada pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan.4
C. KEHARUSAN BERFILSAFAT MENURUT SYARA’
Menurut Ibn Rusyd, persesuaian dan perpaduan antara agama dan filsafat sudah
sepantasnya dianggap sebagai ciri penting dari filsafat islam, cara yang digunakan oleh
Ibn Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius. Dalam Fashl Al-Maqal Ibn Rusyd
mengawali pembahasannya dengan keharusan berfilsafat menurut syara’. Ibn Rusyd
memulainya dengan menjelaskan kedudukan filsafat dalam syariat. Berdasarkan
penjelasan tersebut ia sampai pada kesimpulan bahwa berfilsafat merupakan suatu
aktivitas yang diwajibkan atau paling tidak sekedar merupakan anjuran dalam syariat
agama. Dengan kesimpulan ini, maka filsafat bukan merupakan sesuatu yang dilarang
atau bertentangan dengan agama. Ibn Rusyd berpendapat bahwa filsafat merupakan

4
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019
sarana untuk mengetahui segala yang maujud sehingga manusia mampu mengambil
pelajaran (i‘tibar) darinya.
Agama pada dasarnya mendorong manusia agar ia merenungkan yang maujud.
Pengetahuan tentang maujud, membawanya pada kesimpulan tentang adanya Tuhan yang
menciptakan maujud tersebut. Semakin sempurna pengetahuan tentang ciptaan nya, maka
semakin sempurna pula pengetahuan manusia mengenai penciptanya. Untuk mendukung
argumennya, ia mengutip ayat Al-Qur’an yang artinya:
1. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!” (Q.S. al-Hasyr [59]: 2).
2. “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa
yang diciptakan Allah” (Q.S. al-A‘rāf [7]: 185)
3. “Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat)
di langit dan bumi” (Q.S. al-An‘ām [6]: 75).
Maka dengan pandangan tersebut Ibn Rusyd secara tegas menyatakan bahwa orang
yang melarang untuk mempelajari filsafat dengan alasan akan memiliki pandangan yang
bertentangan dengan syariat, atau karena adanya kasus-kasus penyimpangan sebagaimana
kasus filsuf terdahulu maka tindakan tersebut adalah suatu puncak kebodohan bahkan
dianggap menjauhi Tuhan. Sebab orang yang demikian berarti menghalangi orang lain
untuk melakukan sesuatu yang telah diwajibkan atau dianjurkan oleh syariat. Bagi Ibn
Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak akan
menghasilkan pertentangan dengan syariat.5
D. KEHARUSAN TAKWIL
Makna takwil menurut Ibn Rusyd adalah memalingkan makna suatu lafaz dari
makna yang sebenarnya (haqiqi) kepada makna metaforik (majazi), tanpa harus
melanggar tradisi (kaidah) bahasa Arab dalam membuat metafora. Para filosof Islam
bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk
mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash
yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Bagi Ibn Rusyd, nash-nash tersebut dapat
ditakwilkan sepanjang memenuhi aturan-aturan takwil dalam bahasa arab, seperti halnya
lafaz-lafaz dari syara’ dapat pula ditakwilkan dari segi aturan fiqh. Karena itu, para ulama
5
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang dari syara’ diartikan menurut lahirnya,
tidak pula dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna batinnya.6
Ibn Rusyd dengan tegas memastikan bahwa apabila hasil penalaran metode berpikir
demonstratif bertentangan dengan makna lahiriah syariat, maka dibolehkan untuk
melakukan penakwilan. Bahkan menurutnya, jika terdapat makna lahiriah apapun dalam
syariat yang tampak bertentangan dengan hasil atau kesimpulan metode berpikir
demonstratif, lalu syariat itu diteliti secara cermat seluruh bagian dan partikel-
partikelnya, maka akan ditemukan kesimpulan yang mendukung dilakukannya
penakwilan itu. Namun dalam hal ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa makna yang
diperoleh dari takwil tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
kemampuan intelektual di atas rata-rata orang kebanyakan. Ia tidak boleh disampaikan
kepada semua orang, terlebih kepada masyarakat awam, sebab setiap orang memiliki
kemampuan penalaran yang berbeda. 7
Ibn Rusyd membagi tiga kelompok manusia berdasarkan kemampuan penalarannya.
1. Khitabiyyat (kaum awam): golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat
tekstualis retorik, artinya argumen yang lebih banyak berdasarkan emosi (‘atifah)
dibanding akal.
2. Jadaliyyat (kalangan pemikir/teolog): golongan yang berpegang pada argumen yang
bersifat dialektik, artinya argumen yang dibangun atas dasar yang bersifat dhzanni.
3. Burhaniyyat (kalangan filosof): golongan yang hanya berpegang pada argumen
demonstratif (burhani), artinya argumen yang ditopang oleh proposisi yang bersifat
aksiomatis.
Kelompok terakhir inilah yang merupakan ahli takwil dan dianggap mampu
menerima kesimpulan makna takwil tersebut. Ibn Rusyd mengecam orang-orang yang
menyampaikan makna takwil kepada yang bukan ahlinya. Ia menganggap bahwa
tindakan tersebut merupakan kesalahan besar, bahkan berpotensi dianggap sebagai
kekafiran. Hal ini sebab menurutnya, menyampaikan makna takwil kepada masyarakat

6
Amin Abdullah, “Mendamaikan agama dan filsafat” . cetakan 1 (Yogyakarta : Kalimedia 2015) P.49
7
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
awam yang belum mampu memahaminya, sama saja membuka peluang untuk mereka
terjerumus ke dalam kekafiran.8
Penjelasan diatas sesuai dengan pernyataannya, yaitu ”Sebabnya, karena tujuan dari
takwil adalah membatalkan baca, mengganti pemahaman lahir (tekstual) dengan
pemahaman interpretatif. Maka, ketika makna tekstual tersebut benar-benar telah
tergantikan dalam pemahaman kaum literalis, sedangkan mereka belumlah mampu
menerima makna takwil, maka jelas hal tersebut akan menjerumuskan mereka kepada
kekafiran jika makna takwil tersebut berkaitan dengan pokok pokok syariat.” 9
E. ATURAN-ATURAN TAKWIL
Ibn Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan takwil,
yaitu:
1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi
bahwa syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2. Yang berhak mengadakan takwil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof
tertentu saja, yaitu mereka yang mendalami ilmunya. Takwil ini tidak boleh dilakukan
oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan
ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan merekan telah menyebabkan terjadinya
perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam islam.
3. Hasil penakwilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani,
yaitu para filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam hanya mengetahui arti
lahirnya nash.
4. Kaum muslimin bersepakat bahwa dalam syara’ ada tiga bagian, yaitu: a. Bagian yang
harus diartikan menurut lahirnya, b. Bagian yang harus ditakwilkan, c. Bagian yang
masih diperselisihkan.10

8
Hamzah, “EPISTEMOLOGI IBNU RUSYD DALAM MEREKONSILIASI AGAMA DAN FILSAFAT”. Vol. 4 No. 1 Juli 2018
9
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
10
Amin Abdullah, “Mendamaikan agama dan filsafat” . cetakan 1 (Yogyakarta : Kalimedia 2015) P.49
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Rusyd, orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Ibn
Rusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Kordoba tahun 510 H/1126 M. Ibn
Rusyd wafat di Negeri Maghribi (Maroko) pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember
1198 M.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu salah satu pandangan Ibn
Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang perpaduan agama dan filsafat. Ibn Rusyd
harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat. Dalam permasalahan ini Ibn
Rusyd mengarang kitab yang bernama Fasl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-
Syari‘ah min al-Ittisal, usaha tersebut dilakukan untuk menepis kesan adanya
pertentangan antara kedua bidang tersebut.
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa agama dengan filsafat sesungguhnya tidak
bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Dan pembelaannya terhadap filsafat tidak
dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat dari agama, melainkan bertujuan untuk
mensingkronisasikan atau mensinergikan keduanya. Sebab terjadinya kesan bahwa
agama bertentangan dengan filsafat disebabkan oleh karena adanya salah paham terhadap
agama dan filsafat itu sendiri.
B. SARAN
Kepada teman-teman yang ingin mengkaji pemikiran Ibn Rusyd perlu diketahui
bahwa meneliti Ibn Rusyd adalah hal yang menyenangkan dan membingungkan.
Menyenangkan karena pemikiran Ibn Rusyd tidak usang termakan zaman, dan
membingungkan karena pemikirannya sangan mendalam.
Kami selaku penulis menerima kritik dan saran pada pembaca sekalian untuk
menyempurnakan hasil makalah kami ini, karena kami menyadari bahwa makalah kami
ini masih sangat jauh kesempurnaan. Inilah usaha dan kerja keras dalam mencari,
mempelajari, dan menulis tentang Ibn Rusyd. Kami selaku penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat kepada pembaca terlebih lagi kepada pribadi kami selaku penulis
makalah dan mendapat kebaikan serta petunjuk dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, “Mendamaikan agama dan filsafat” . cetakan 1 (Yogyakarta :


Kalimedia 2015) P.49

Bahrul Afif, Muh, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-
Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-Desember 2019.

Delta Fitrianah, Rossi, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7
Nomor 1, Juni2018

Faturohman, “Ibnu Rusyd dan Pemikirannya”. Volume 1 No. 1 (Januari-Juni) 2016

Hamzah, “Epistemologi Ibnu Rusyd Dalam MerekonsiliasiAgama dan Filsafat”. Vol. 4


No. 1 Juli 2018

Soleh, A.Khudori, “Upaya Ibn Rusyd Mempertemukan Agama dan Filsafat “. Malang,
Jawa Timur

Anda mungkin juga menyukai