IBN RUYSD
Disusun dalam rangka untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Umum
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Syekh Muhammad Nafis
Dosen Pengampu:
MUHAMMAD HUSNI, S.Th.I, M. pd
Oleh:
Muhammad Trias Zulpijaredo
NIM. 20010122
Agus Salim
NIM. 20010202
1
Rossi Delta Fitrianah, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7 Nomor 1, Juni2018
2
Hamzah, “EPISTEMOLOGI IBNU RUSYD DALAM MEREKONSILIASI AGAMA DAN FILSAFAT”. Vol. 4 No. 1 Juli 2018
3
Rossi Delta Fitrianah, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7 Nomor 1, Juni2018
Ibn Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat karena
adanya serangan yang berat terhadap agama terutama oleh ulama fiqih termasuk Al-
Ghazali. Karenanya, Ibn Rusyd harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dan
menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya
dan menjelaskan perumusan-perumusannya. Pada masa dinasti Muwahhidun dan juga
dinasti yang berkuasa sebelumnya, terjadi konflik atau perang pemikiran antara
kelompok anti filsafat yang dipelopori oleh ulama fiqih dengan kelompok yang
mendukung filsafat. Kebanyakan dari mereka yang anti filsafat memandang bahwa
keduanya adalah dua entitas yang berbeda dan saling bertentangan. Sebagai seorang
kepala hakim pada waktu itu, Ibn Rusyd tentu merasa perlu untuk menengahi konflik
tersebut.
Upaya untuk mendamaikan filsafat dan syariat sebenarnya bukan merupakan upaya
yang pertama kali dilakukan oleh Ibn Rusyd. Jauh sebelumnya, hal ini telah dilakukan
oleh para filsuf muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Sijistani, Ibn Miskawaih, Ibn Sina
dan Ibn Tufail dengan berbagai argumen yang berbeda-beda. Dalam permasalahan ini Ibn
Rusyd mengarang kitab yang bernama Fasl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-
Syari‘ah min al-Ittisal, usaha tersebut dilakukan untuk menepis kesan adanya
pertentangan antara kedua bidang tersebut. Ia memandang bahwa antara keduanya tidak
ada pertentangan dan tidak perlu dipertentangkan.4
C. KEHARUSAN BERFILSAFAT MENURUT SYARA’
Menurut Ibn Rusyd, persesuaian dan perpaduan antara agama dan filsafat sudah
sepantasnya dianggap sebagai ciri penting dari filsafat islam, cara yang digunakan oleh
Ibn Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius. Dalam Fashl Al-Maqal Ibn Rusyd
mengawali pembahasannya dengan keharusan berfilsafat menurut syara’. Ibn Rusyd
memulainya dengan menjelaskan kedudukan filsafat dalam syariat. Berdasarkan
penjelasan tersebut ia sampai pada kesimpulan bahwa berfilsafat merupakan suatu
aktivitas yang diwajibkan atau paling tidak sekedar merupakan anjuran dalam syariat
agama. Dengan kesimpulan ini, maka filsafat bukan merupakan sesuatu yang dilarang
atau bertentangan dengan agama. Ibn Rusyd berpendapat bahwa filsafat merupakan
4
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019
sarana untuk mengetahui segala yang maujud sehingga manusia mampu mengambil
pelajaran (i‘tibar) darinya.
Agama pada dasarnya mendorong manusia agar ia merenungkan yang maujud.
Pengetahuan tentang maujud, membawanya pada kesimpulan tentang adanya Tuhan yang
menciptakan maujud tersebut. Semakin sempurna pengetahuan tentang ciptaan nya, maka
semakin sempurna pula pengetahuan manusia mengenai penciptanya. Untuk mendukung
argumennya, ia mengutip ayat Al-Qur’an yang artinya:
1. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang
mempunyai pandangan!” (Q.S. al-Hasyr [59]: 2).
2. “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala apa
yang diciptakan Allah” (Q.S. al-A‘rāf [7]: 185)
3. “Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat)
di langit dan bumi” (Q.S. al-An‘ām [6]: 75).
Maka dengan pandangan tersebut Ibn Rusyd secara tegas menyatakan bahwa orang
yang melarang untuk mempelajari filsafat dengan alasan akan memiliki pandangan yang
bertentangan dengan syariat, atau karena adanya kasus-kasus penyimpangan sebagaimana
kasus filsuf terdahulu maka tindakan tersebut adalah suatu puncak kebodohan bahkan
dianggap menjauhi Tuhan. Sebab orang yang demikian berarti menghalangi orang lain
untuk melakukan sesuatu yang telah diwajibkan atau dianjurkan oleh syariat. Bagi Ibn
Rusyd, penalaran rasional yang dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak akan
menghasilkan pertentangan dengan syariat.5
D. KEHARUSAN TAKWIL
Makna takwil menurut Ibn Rusyd adalah memalingkan makna suatu lafaz dari
makna yang sebenarnya (haqiqi) kepada makna metaforik (majazi), tanpa harus
melanggar tradisi (kaidah) bahasa Arab dalam membuat metafora. Para filosof Islam
bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk
mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Al-Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash
yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Bagi Ibn Rusyd, nash-nash tersebut dapat
ditakwilkan sepanjang memenuhi aturan-aturan takwil dalam bahasa arab, seperti halnya
lafaz-lafaz dari syara’ dapat pula ditakwilkan dari segi aturan fiqh. Karena itu, para ulama
5
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang dari syara’ diartikan menurut lahirnya,
tidak pula dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna batinnya.6
Ibn Rusyd dengan tegas memastikan bahwa apabila hasil penalaran metode berpikir
demonstratif bertentangan dengan makna lahiriah syariat, maka dibolehkan untuk
melakukan penakwilan. Bahkan menurutnya, jika terdapat makna lahiriah apapun dalam
syariat yang tampak bertentangan dengan hasil atau kesimpulan metode berpikir
demonstratif, lalu syariat itu diteliti secara cermat seluruh bagian dan partikel-
partikelnya, maka akan ditemukan kesimpulan yang mendukung dilakukannya
penakwilan itu. Namun dalam hal ini, Ibn Rusyd menegaskan bahwa makna yang
diperoleh dari takwil tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki
kemampuan intelektual di atas rata-rata orang kebanyakan. Ia tidak boleh disampaikan
kepada semua orang, terlebih kepada masyarakat awam, sebab setiap orang memiliki
kemampuan penalaran yang berbeda. 7
Ibn Rusyd membagi tiga kelompok manusia berdasarkan kemampuan penalarannya.
1. Khitabiyyat (kaum awam): golongan yang berpegang pada argumen yang bersifat
tekstualis retorik, artinya argumen yang lebih banyak berdasarkan emosi (‘atifah)
dibanding akal.
2. Jadaliyyat (kalangan pemikir/teolog): golongan yang berpegang pada argumen yang
bersifat dialektik, artinya argumen yang dibangun atas dasar yang bersifat dhzanni.
3. Burhaniyyat (kalangan filosof): golongan yang hanya berpegang pada argumen
demonstratif (burhani), artinya argumen yang ditopang oleh proposisi yang bersifat
aksiomatis.
Kelompok terakhir inilah yang merupakan ahli takwil dan dianggap mampu
menerima kesimpulan makna takwil tersebut. Ibn Rusyd mengecam orang-orang yang
menyampaikan makna takwil kepada yang bukan ahlinya. Ia menganggap bahwa
tindakan tersebut merupakan kesalahan besar, bahkan berpotensi dianggap sebagai
kekafiran. Hal ini sebab menurutnya, menyampaikan makna takwil kepada masyarakat
6
Amin Abdullah, “Mendamaikan agama dan filsafat” . cetakan 1 (Yogyakarta : Kalimedia 2015) P.49
7
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
awam yang belum mampu memahaminya, sama saja membuka peluang untuk mereka
terjerumus ke dalam kekafiran.8
Penjelasan diatas sesuai dengan pernyataannya, yaitu ”Sebabnya, karena tujuan dari
takwil adalah membatalkan baca, mengganti pemahaman lahir (tekstual) dengan
pemahaman interpretatif. Maka, ketika makna tekstual tersebut benar-benar telah
tergantikan dalam pemahaman kaum literalis, sedangkan mereka belumlah mampu
menerima makna takwil, maka jelas hal tersebut akan menjerumuskan mereka kepada
kekafiran jika makna takwil tersebut berkaitan dengan pokok pokok syariat.” 9
E. ATURAN-ATURAN TAKWIL
Ibn Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan takwil,
yaitu:
1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi
bahwa syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2. Yang berhak mengadakan takwil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof
tertentu saja, yaitu mereka yang mendalami ilmunya. Takwil ini tidak boleh dilakukan
oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan
ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan merekan telah menyebabkan terjadinya
perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam islam.
3. Hasil penakwilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani,
yaitu para filosof, bukan kepada orang awam, karena orang awam hanya mengetahui arti
lahirnya nash.
4. Kaum muslimin bersepakat bahwa dalam syara’ ada tiga bagian, yaitu: a. Bagian yang
harus diartikan menurut lahirnya, b. Bagian yang harus ditakwilkan, c. Bagian yang
masih diperselisihkan.10
8
Hamzah, “EPISTEMOLOGI IBNU RUSYD DALAM MEREKONSILIASI AGAMA DAN FILSAFAT”. Vol. 4 No. 1 Juli 2018
9
Muh. Bahrul Afif, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-
Desember 2019.
10
Amin Abdullah, “Mendamaikan agama dan filsafat” . cetakan 1 (Yogyakarta : Kalimedia 2015) P.49
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Rusyd, orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Ibn
Rusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Kordoba tahun 510 H/1126 M. Ibn
Rusyd wafat di Negeri Maghribi (Maroko) pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember
1198 M.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu salah satu pandangan Ibn
Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang perpaduan agama dan filsafat. Ibn Rusyd
harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat. Dalam permasalahan ini Ibn
Rusyd mengarang kitab yang bernama Fasl al-Maqal Fima Baina al-Hikmah wa al-
Syari‘ah min al-Ittisal, usaha tersebut dilakukan untuk menepis kesan adanya
pertentangan antara kedua bidang tersebut.
Ibnu Rusyd berpandangan bahwa agama dengan filsafat sesungguhnya tidak
bertentangan dan tidak perlu dipertentangkan. Dan pembelaannya terhadap filsafat tidak
dimaksudkan untuk menjauhkan masyarakat dari agama, melainkan bertujuan untuk
mensingkronisasikan atau mensinergikan keduanya. Sebab terjadinya kesan bahwa
agama bertentangan dengan filsafat disebabkan oleh karena adanya salah paham terhadap
agama dan filsafat itu sendiri.
B. SARAN
Kepada teman-teman yang ingin mengkaji pemikiran Ibn Rusyd perlu diketahui
bahwa meneliti Ibn Rusyd adalah hal yang menyenangkan dan membingungkan.
Menyenangkan karena pemikiran Ibn Rusyd tidak usang termakan zaman, dan
membingungkan karena pemikirannya sangan mendalam.
Kami selaku penulis menerima kritik dan saran pada pembaca sekalian untuk
menyempurnakan hasil makalah kami ini, karena kami menyadari bahwa makalah kami
ini masih sangat jauh kesempurnaan. Inilah usaha dan kerja keras dalam mencari,
mempelajari, dan menulis tentang Ibn Rusyd. Kami selaku penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat kepada pembaca terlebih lagi kepada pribadi kami selaku penulis
makalah dan mendapat kebaikan serta petunjuk dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrul Afif, Muh, “Menelaah Pemikiran Ibn Rusyd Dalam Kitab Fasl al-Maqal”. El-
Afkar Vol. 8 Nomor. 2, Juli-Desember 2019.
Delta Fitrianah, Rossi, M.Pd, “Ibnu Rusyd dan Pengaruhnya Dibarat”. El-Afkar Vol. 7
Nomor 1, Juni2018
Soleh, A.Khudori, “Upaya Ibn Rusyd Mempertemukan Agama dan Filsafat “. Malang,
Jawa Timur