Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

FILSAFAT IBNU RUSYD

Disusun Oleh :
Efa Ariska
NIM. 20220190048148

FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-AMIN GERSIK
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Filsafat Ibnu Rusyd”. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah FILSAFAT ISLAM pada Universitas Muhammadiyah Buton (UMB).
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang benderang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya,
dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa paper ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan
makalah ini.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua
bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
C. Tujuan ...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Rusyd..........................................................................................................3
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd...........................................................................................4
C. Karya-Karya Ibnu Rusyid..................................................................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................................12
B. Saran .................................................................................................................................12
Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dominasi pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri
terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan
negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal
ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam
memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah
benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof
Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang pernah timbul
didunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga sekaligus membantah
pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja, khususnya orang yunani. Diantara
filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat yunani adalah filsafat Persia, cina, India, dan
tentu saja filsafat islam.
Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata barat
adalah Ibn-Rusyd. Dalam dunia intelektual barat, tokoh ini lebih dikenal dengan nama averros.
Begitu populernys Ibnu Rusyd dikalangan barat, sehingga pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah
gerakan yang disebut viorrisme yang berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu
Rusyd. Dari Ibnu Rusydlah mereka mempelajari Fisafat yunani Aristoteles (384-322 s.M), karena
Ibnu Rusyd terkenal sangat konsisten pada filsafat Aristoteles.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif
keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama
sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang.
Penyusunan makalah ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Bpk. Muh. Ridwan,
S.Ag.,MA selaku dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat Islam” kepada kami. Dan makalah ini
akan kami jadikan sebagai bahan belajar kelompok atau diskusi. Jadikanlah makalah ini sebagai
penambah wawasan dalam peningakatan kegiatan belajar.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang penulis tarik dari latar belakang di atas yaitu :
a. Penjelasan tentang Ibnu Rusyid dan sejarahnya.
b. Ibnu Rusyid sebagai filosof.
c. Pengaruh pemikiran Ibnu Rusyid terhadap perkembangan filsafat.

1
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a. Menambah wawasan tentang Ibnu rusyid dan kehidupannya sebagai filosof.
b. Memahami hasil pemikiran Ibnu Rusyid dan karya-karyanya
c. Sebagai bahan diskusi atau belajar kelompok.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd adalah seorang jenius yang berasal dari Andalusia dengan pengetahuan
ensiklopedik. Masa hidupnya sebagian besar diberikan untuk mengabdi sebagai "Kadi" (hakim)
dan fisikawan. Di dunia barat, Ibnu Rusyd dikenal sebagai Averroes dan komentator terbesar atas
filsafat Aristoteles yang mempengaruhi filsafat Kristen di abad pertengahan, termasuk pemikir
semacam St. Thomas Aquinas. Banyak orang mendatangi Ibnu Rusyd untuk mengkonsultasikan
masalah kedokteran dan masalah hukum.
Diantara para filosof Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia
Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad
ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M,
sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ayah dan kakek Ibnu Rusyd adalah
hakim-hakim terkenal pada masanya. Ibnu Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang
mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum,
matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat dari Abu Ja'far Harun dan Ibnu Baja.
Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga
yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung
di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi
hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-
Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam
keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd.
Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya
dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan
Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada
para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian
Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya
seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan
Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali
yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di
Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan
politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan
kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.

3
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup
yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu
pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu
pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi
maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit
dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para
wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averrois, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini
sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya
metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata
Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu
Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan
sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois. Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut
Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu
Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang
filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada
tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah
guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan
al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan
pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas
terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang
dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah
segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua
itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan
Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.

B. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd


1) Kritik Terhadap Al-Ghazali
Seperti disebut diatas, bahwa Ibnu Rusyd hidup dan melontarkan pemikirannya
beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-
Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang
kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafuth al-falasifah.
Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat
dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan
Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bathil dan pada

4
akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para
filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
 Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
 Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/
individual/ partikular).
 Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham
tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran. Polarisasi dan kesimpulan ini mampu
mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap
filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada
ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantangan yang
di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf,
menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf.
Itu saja sudah cukup bukti kehujjahan dan pengaruh keilmuan Al-Ghazali pada pemahaman
keagamaan umat saat itu. Begitu pula pelik dan resikonya memberi bantahan dan sanggahan
terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti dilakukan Ibnu Rusyd.
Dalam pada itu, Ibnu Rusyd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para
filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah
paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan
harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan
maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap
Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rusyd
dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap
berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
Harmonisasi agama dan filsafat
Memulai makalahnya, Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari
filsafat dan manthiq (logika) diperbolehkan menurut syara’, ataukah dilarang, ataukah
diperintahkan –baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rusyd,
kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai
bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong
kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’,
pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau
perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-
A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk

5
wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu
pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari
padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada
menggunakan kias rasional. Artinya, syara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari
metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula,
yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat.
Maka menurut syara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rusyd, karena syari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu
kearah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa
yang diajarkan oleh syara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain,
melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak
disebutkan syari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau syara’ menyebutkannya, jika
berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil
(interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.
Qadimnya alam
Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu
hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud
yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta
dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda
seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun
disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-
Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada
wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului
oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh al-Qadim. Inilah alam keseluruhan,
perselisihan disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat
waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu
dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud
ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang
terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun
mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula.
Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak
ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi
menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka
maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari
tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi
sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu
Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan

6
bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan
dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu
Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran.
Dalam hal ini kaum teolog yang menyatakan alam diciptakan Tuhan dari tiada, justeru tidak
mempunyai dasar pijakan dalam ajaran al-Quran.
Gambaran kebangkitan di akhirat
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka
berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang
pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filsuf tidak
berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filsuf hanya berpaham bahwa
kebangkitan hanya bersifat rohani.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justeru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam tahafuth
al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat
hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya yang lain, Al-Ghazali mengatakan
bahwa kaum sufi berpendapat yang akan terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.
Pengetahuan Tuhan
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal
yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Persoalannya
adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’a tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu
yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat
merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya
objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan
merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-
Nya. Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan
mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat
ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak
mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini,
sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan
sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang
mengadakannya.
Kesalahan Al-Ghazali
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali atas kedua failasuf tidaklah definitif. Karena dalam bukunya
“At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya
mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti
ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias

7
rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun
fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam
bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat
dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa
dimaafkan jika mereka salah.
Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang
dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka
mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah syara’ untuk mempelajarinya. Adapun
kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini
melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan,
sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan
menyebabkan kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali –
terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan
filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.

2) Pengaruhnya di Eropa
Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan
Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu
al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat
bukanlah filsafat tetapi tasawuf, bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah
yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Sebaliknya, di dunia Islam bagian
Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam pemikiran filsafat masih berkembang sesudah
serangan al-Ghazali tersebut. Maka secara berangsur, kekayaan khazanah ilmu pengetahuan
dan filsafat di wilayah timur beralih ke wilayah barat. Hal itu terlihat dengan banyaknya
buku-buku ilmu dan filsafat yang beredar di wilayah barat, terutama di Andalusia dan Sisilia,
sebagai maha karya kaum Muslimin di timur dan barat.
Dinamis dan semaraknya perkembangan ilmu pengetahuan ditangan umat Islam di
Andalusia dan Sisilia akhirnya menarik minat orang-orang dari kalangan Yahudi dan Kristen
untuk menuntut ilmu ke wilayah itu dan melakukan penerjemahan-penerjemahan atas seluruh
karya-karya Aristoteles, seperti yang dilakukan St. Thomas Aquinas dengan meminta
rekannya, William Moerbeke untuk melakukan penerjemahan tersebut. Setelah penerjemahan
tersebut, tampak bahwa Ibnu Rusyd tidak melakukan kesalahan dalam intisari filsafat. Oleh
kalangan Yahudi dan Nasrani, mereka mengenal Ibnu Rusyd sebagai sang pemberi penjelasan
atau komentator filsafat Aristoteles. Dante dalam syairnya Divine Comedy, mengatakan Ibnu
Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya.
Aziz Dahlan menjelaskan para pelopor lain dalam mempelajari filsafat tidak hanya
dari kalangan intelektual tetapi juga dari kalangan agamawan Kristen, seperti Paus Silvester II

8
(999-1003 M). Begitu pun setelah Toledo jatuh ketangan Alphonse (451 H/ 1058 M), dewan
penerjemahan (kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Latin) didirikan oleh Raymund (1130-
1150 M), Uskup Kepala di Toledo dan dewan ini dipimpin oleh Dominikus Gundisalvus.
Pengakajian yang tidak kalah bergairah bahkan mendapat dukungan kuat dari Kaisar Frederik
II (1212-1250 M), seperti di wilayah-wilayah Italia Selatan Palermo, Sisilia, dan Napoli. Di
pusat-pusat pengkajian ini, karya-karya Ibnu Rusyd mendapat apresiasi yang luar biasa tinggi,
hal itu terlihat dari banyaknya fasilitas yang diberikan Kaisar kepada Michael Scot (1175-
1234 M) untuk menyalin dan menterjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, sedangkan Hermanus
Allemanus (pada masa 1240-1260 M) menterjemahkan karya-karya al-Farabi.
Disamping kelompok pengidola, ternyata paham filsafat Ibnu Rusyd juga mendapat
penolakan bangsa Eropa yang datang dari kalangan gereja, seperti Keuskupan Paris
“mengharamkan” kajian-kajian terhadap buku-buku Ibnu Rusyd di berbagai perguruan tinggi
pada abad ke-13. Fakta-fakta diatas terkesan berlawanan, tetapi sebenarnya disanalah
kekuatan pengaruh filsafat Ibnu Rusyd yang tidak habis dan henti-hentinya dibahas bangsa
Eropa, secara sembunyi-sembunyi sekalipun. Karena itu sekali pun para Rahib dilarang
mempelajari hal-hal yang berbau duniawi tetapi mereka tetap mengkaji dan mendiskusikan
Ibnu Rusyd.

3) Averroisme
Ditangan Ibnu Rusyd, filsafat menjadi demikian menantang dan menarik minat
banyak orang untuk mendalaminya. Paham rasional yang dikembangkannya menjadi titik
terang bagi bangsa Eropa untuk meneropong persoalan peradaban dan keagamaan mereka.
Kias rasional, takwil dan pengetahuan burhani merupakan bentuk tertinggi dalam pemikiran
Muslim yang menjadikan peradaban Muslim unggul dan maju adalah tantangan secara
diametreal bagi paham keagamaan Kristen yang terbelakang karena tertutup, otoriter dan
dogmatis.
Seperti ditulis diatas, disini para agamawan Kristen bersikap “munafik” karena secara
resmi melarang, tetapi mempelajarinta secara diam-diam dalam gereja mereka. Karena itu
larangan Gereja tidak mempan menghalangi kaum intelektual untuk terus mengembangkan
paham filsafat, terutama paham Ibnu Rusyd di Eropa. Dari sini muncullah sekelompok
intelektual yang bersemangat menjadikan Ibnu Rusyd sebagai guru pertama (al-mua’allim al-
awwal). Mereka ini dipimpin Hermanus Allemanus (pada masa 1240-1260 M) mendirikan
aliran Averroisme. Penamaan Averroisme sebagai pengikut Ibnu Rusyd, menurut Sirajuddin
Zar (seperti disebut sebelumnya) adalah kurang tepat, lebih tepatnya dinisbahkan pada kakek
Ibnu Rusyd sendiri.
Munculnya gerakan dan aliran Averroisme ini sejatinya adalah lompatan besar dalam
pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan

9
dan filsafat. Sebab sebelumnya Eropa kosong dari dari ilmu pengetahuan, berfikir sempit dan
tidak menghargai akal. Bagi mereka satu-satunya sumber kebenaran hanyalah Gereja Kristen.
Seperti diketahui bahwa Gereja Katolik Roma sudah menancapkan dominasinya selama 11
abad di Eropa (abad ke-5 - abad ke-16 M) dan sukses dalam menyatukan Eropa didalam
kerajaan Gereja Katolik– ditandai dengan supremasi gereja secara absolut diatas negara.
Dalam situasi itu kehidupan masyarakat Barat sepenuhnya dalam kontrol dan dogma gereja
Katolik Roma, sehingga tidak ada kemerdekaan dan keselamatan diluar gereja.
Menurut Sirajuddin Zar, kendatipun Averroisme ini namanya dibangsakan kepada
Ibnu Rusyd, namun ajaran keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Hal itu disebabkan
oleh latar belakang agama yang berbeda. Kalau Ibnu Rusyd mengembangkan paham rasional
dalam bingkai ajaran Islam, sebaliknya Averroisme hanya mengambil dasar-dasar rasional
saja dengan meninggalkan keyakinan keagamaan mereka. Lebih jelasnya Sirajuddin Zar
menulis demikian.
“Ibnu Rusyd dilatarbelakangi oleh ajaran Islam yang rasional dan dinamis. Di dalam
Islam terdapat ajaran yang bersifat dogmatis (qath’I al-dalalah) amat sedikit jumlahnya.
Adapun yang terbanyak ialah ajaran Islam yang bersifat zhanni al-dalalah. Ia datang hanya
dalam bentuk prinsip-prinsip pokok, karena itu untuk mengoperasionalkannya diserahkan
pada otak manusia setempat dimana ia hidup…berbeda dengan Islam, agama Kristen semua
ajarannya bersifat dogmatis sehingga tidak bisa didamaikan antara ajarannya dengan filsafat.
Atas dasar inilah ketika Averroisme mengembangkan pemikiran rasional Ibnu Rusyd di
Eropa, yang atara agama dan filsafat dapat direkonsiliasikan, mendapat kesulitan.”
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dalam Islam, demikian juga paham filsafat
Ibnu Rusyd tidak ada kebenaran ganda, karena dari penjelasan sebelumnya jika terjadi ketidak
sesuaian penemuan kebanaran akal dengan kebenaran wahyu, maka dilakukan proses takwil.
Sehingga akhirnya hanya ada satu kebenaran, yaitu kesatuan kebenaran agama dan filsafat.
Sebaliknya bagi bangsa Eropa terdapat kebenaran ganda(double truth), karena tidak mungkin
mendamaikan kebenaran akal dan kebenaran agama. Jadi konsep kebenaran ganda yang
dikembangkan Averroisme merupakan bentuk penyimpangan dari paham Ibnu Rusyd.

C. Karya-Karya Ibnu Rusyid


 Bidayat Al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih)
 Kulliyaat fi At-Tib (buku kedokteran)
 Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at (filsafat dalam Islam dan menolak
segala paham yang bertentangan dengan filsafat)
Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Hujjatul Islam Imam Al-
Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu Rusyd (hingga

10
mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan berjudul “tahafut al-tahafut" (kerancuan
dari kerancuan). Menurut penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya tahafut
falasifah dengan pikiran-pikiran sufistik, dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan
serta tidak mencerminkan hasil pemahaman terhadap filsafat itu sendiri.

Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof dengan cara demikian,


tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami
pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar dan ini adalah
perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami secara benar-benar, dan
dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan
orang-orang bodoh.
Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat dalam diri
Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk” demikian kata pepatah. Dan bagi
Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menulis buku tahafut-nya tersebut. Boleh jadi
penulisannya itu dilakukan karena melayani selera massa dan lingkungannya.Polemik hebat
keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan kembali manusia setelah meninggal.
Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah pembangkitan
Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Ibnu
Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan
hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedangkan menurut Al-Ghazali, kebangkitan kembali manusia
tak hanya secara ruh, tapi juga Jasmaniyah. Ibnu Rusyd juga mengajarkan bagaimana cara
membangun rules of dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar kita.
Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama, keharusan untuk memahami
yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode
aksimotik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani. Prinsip kedua, dalam kaitan
relasi kita dengan Barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua
kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tetapi terjadi
harmoni diantara keduanya. Harmoni yang dimaksud tidak harus sama dan identik. Karena itu hak
untuk berbeda harus dihargai.
Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-
Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan
tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang
terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan
menyebarkan keragu-raguan.

11
12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang
dilakukan Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-
Farabi dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat
dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan
keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan “serangan” Al-Ghazali dengan cara yang lebih
tajam dan jelas.
Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu
pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu
Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan
orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang
menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

B. Saran
Tentunya makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kririk dan sarannya dari berbagai pihak manapun. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Dan mudah-mudahan
dapat dijadikan referensi untuk menambah khasanah keilmuan kita. Amin…

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.


Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 2003. Ibnu Ruysd: Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter. Yogyakarta:
Qirtas.
Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Padang: IAIN IB Press.
Madjid, Nurcholish. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Shaikh, M. Saeed. 1994. Studies in Muslim Philosophy. Delhi: Adam Publisher.
Zar, Sirajuddin. 1999. Filsafat Islam I. Padang: IAIN Press.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatny. Jakarta: Raja Grafimdo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai