Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

“KAUSALITAS DAN PENGETAHUAN MENURUT IBNU RUSYD”


Dosen Pengampu :

Ahmad Hasan Saleh, S.Pd. MPI

Disusun oleh :

Raja Kumala Enda. M.N (21103082)

M. Saputra Adiwijoyo (21103083)

Umi Hasanah (21103084)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2021/2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puji dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang “KAUSALITAS DAN PENGETAHUAN MENURUT IBNU RUSYD”sebagai
tugas mata kuliah filsafat islam.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada bapak Ahmad Hasan Saleh, S.Pd.
MPI. Selaku dosen pengampu mata kuliah filsafat islam, berkat tugas yang diberikan dapat
menambah wawasan penyusun berkaitan dengan topik yang diberikan. Penyusun juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Oleh karena itu, penyusun memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan pada makalah ini. Akhir kata dari kami
berharap semoga makalah tentang “sejarah kenabian menurut ibnu sina” dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Kediri,18 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Riwayat singkat ibnu Rusyd 4
B. Konsep ilmu Pengetahuan menurut Ibnu Rusyd 5
C. Pandangan kausalitas menurut Ibnu Rusyd 6
BAB III PENUTUP 11
A. Kesimpulan 11
DAFTAR PUSTAKA 13

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Tidak asing lagi di dunia ilmu pengetahuan keberadaan rasionalisme dan filsafati
sebagai madzhab Ibnu Rusyd. Beliau adalah pengibar bendera rasionalitas dan filsafat
Islam dengan corak Yunani dengan perpaduan agama. Ibnu Rusyd berupaya memadukan
teks agama dan rasionalitas. Tidak heran jika Ibnu Rusyd mendudukkan akal pada posisi
tertinggi dalam epistemologi ilmu pengetahuan. Dan ulama-ulama Islam yang
mendahului belum pernah melakukan apa yang telah diperjuangkan Ibnu Rusyd dalam
memerankan akal sebagai ujung tombak di seluruh bidang keilmuan. Sementara itu
rasionalitas dan pemikiran filsafati di dunia dianggap hal baru sebelum Ibnu Rusyd
mempopulerkannya di dunia Islam.
Menurut Ibnu Rusyd metode rasional dan aktivitas filsafati merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang utama, bahkan wajib. Beliau mengajukan argumentasi beberapa ayat
Al-Quran yang menunjukkan rasionalitas dan filsafati sebagai sumber
pengetahuan. Selanjutnya ibn rusyd mengatakan akal merupakan kumpulan hukum dan
undang-undang yang berlaku pada alam. Sedangkan hukum kausalitas sendiri
berdasarkan pada alamnya. Karena hukum kausalitas yang berada pada akal adalah juga
hukum kausalitas yang ada pada alam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Riwayat singkat Ibnu Rusyd?


2. Bagaimana pengetahuan menurut ibnu Rusyd?
3. Bagaimana kausalitas menurut Ibnu Rusyd?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui riwayat dari ibnu rusyd


2. Untuk mengetahui pengetahuan menurut Ibnu Rusyd
3. Untuk mengetahui kausalitas menurut Ibnu Rusyd

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Riwayat singkat Ibnu Rusyd


Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi Alandalusi. Dia biasa di panggil Abu
Al walid, Ibnu Rusyd, atau ibnu Rusyd Al-Hafid. Ibnu Rusyd lahir di Cordova pada
tahun 520 H / 1126 M, ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan
keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibnu Rusyd
adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman
pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan.
Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah
yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibnu Rusyd dari kecil
tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya
kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibnu Sina dalam
kedokteran dan filsafat, Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika
dan filsafat. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak begitu dikenal, tetapi
secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan
Seville terkenal karena aktifitas-aktifitas artistiknya.
Ibnu Rusyd mengajar ilmu perundang-undangan dan kedokteran di Cordova.
Kemudian ia berkelana ke Marrakesy pada 548 H/1135 M atas permintaan Ibnu
Thufail, seorang tabib Khalifah Yusuf (ayahanda Khalifah Ya`qub) pada waktu itu,
yang mempertemukannya dengan Khalifah. Peristiwa pertemuan ini di
dokumentasikan dan di catat dalam sejarah Andalusia pada masa pemerintahan Al-
Murabithun dan Muwahhidiah. Saat itu, Khalifah Yusuf bertanya kepada ibnu Rusyd
mengenai pandangan para filosof tentang persoalan alam, apakah alam itu qodim atau
baru? Ibnu Rusyd segera memahami bahwa diskusi tentang persoalan ini mengarah
pada penindasan terhadap filosof sebagai akibat penyelewengan mereka dari syariat
bukan hal aneh pada masa itu. Oleh karena itu, ibnu Rusyd tidak mengaku bahwa ia
mempelajari filsafat. Ketika Khalifah Yusuf melihat kebimbangan Ibnu Rusyd dan
mengetahui apa yang dapat membebaskannya dari kebimbangan itu, ia menoleh
kepada Ibnu Thufail. Kemudian Ibnu Thufhail membahas persoalan tersebut dengan

3
mengemukakan pendapat Aristoteles, Plato, dan filosof lain yang kerap kali ditolak
oleh para ahli kalam. Ibnu Rusyd kagum dengan pengetahuan dan keluasan
pandangan Ibnu Thufail. Maka Ibnu Rusyd merasa tenang, lalu ia menjawab
pertanyaan yang di ajukan kepadanya dengan mengemukakan pendapatnya sendiri.
Ibnu Rusyd pulang dari pertemuan dengan Khalifah Yusuf itu dengan membawa
hadiah dan kehormatan yang di berikan Khalifah kepadanya.
2. Konsep Ilmu Pengetahuan menurut Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd mendefinisikan ilmu pengetahuan dalam kitabnya sebagai berikut:
“ilmu pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan dan pengenalan (ma‟rifat) kepada
Allah dan pengetahuan terhadap seluruh ciptaan-Nya sesuai dengan sebenar-benarnya,
sesuai dengan ciri-cirinya yang istimewa, pengetahuan tentang ilmu untuk
kebahagiaan akhirat dan kesengsaraan di akhirat.”
Menurut Ibnu Rusyd ilmu pengetahuan dianggap sebagai “ilmu pengetahuan
sejati” apabila sudah mencapai tingkat ma`rifat (pengetahuan dan pengenalan) kepada
Allah SWT dan seluruh ciptaannya yang ada di alam semesta secara esensial.
Menurut Ibnu Rusyd ilmu pengetahuan sejati ini adalah tujuan utama syariat, yang
tentunya disertai dan diiringi dengan pengamalan yang benar. Adapun pengamalan
ilmu pengetahuan adalah melakukan amal-amal perbuatan yang dapat mengantarkan
seseorang pada kebahagiaan, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang mengantarkan
pelakunya pada kesengsaraan . Dengan kata lain, menurut Ibnu Rusyd, ilmu
pengetahuan harus disertai amal perbuatan kebaikan yang mengantarkan seseorang
pada kebahagiaan yang sejati.
Ibnu Rusyd lebih dikenal di Eropa tengah daripada di Timur dikarenakan
beberapa sebab. Pertama, tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya itu diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli
dalam bahasa arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantaran mengandung semangat
anti filsafat dan filosof. Kedua, Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah
menerima filsafat dan metode ilmiah yang di anut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan di
Timur ilmu filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis
keagamaan. Sebenarnya, dia sendiri terpengaruh oleh adanya pertentangan ilmu dan
filsafat dengan agama. Agama memenangkan pertikaian di Timur, dan ilmu
memenangkannya di Barat.
Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode
perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada

4
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap
perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol) ke
seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan
bangsa-bangsa Barat.
Ibnu Rusyd juga di kenal sebagai seorang filosof muslim terbesar di Barat
pada abad pertengahan. Demikian juga pengakuan Henry Corbin, dan pada masa Ibnu
Rusyd itu filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia termasuk salah satu tokoh pemikir
yang sangat produktif. Karya-karyanya meliputi berbagai bidang, seperti filsafat,
kalam, fiqih, falak, nahwu, dan kedokteran. Namun sangat disayangkan, banyak
diantara karyanya yang tidak dapat ditemukan lagi, apabila yang masih tertulis dalam
bahasa Arab, karena sebagian besar karyanya yang masih dapat ditemukan itu berupa
terjemahan dalam bahasa Ibrani dan Latin.1
3. Pandangan Ibnu Rusyd Tentang Kausalitas
Dalam catatan sejarah filsafat Islam, Ibnu Rusyd tampil untuk merespon
beberapa pandangan Al-Ghazali. Buku monumentalnya Tahafut al-Tahafut (kerancuan
dalam kerancuan) ditulis dalam rangka memberikan ulasan sekaligus sanggahan dan
kritik atas pandangan Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof).
Di dalam buku tersebut Ibnu Rusyd menjawab sekaligus memberi umpan balik
terhadap bebarapa persoalan, yang menurutnya, Al-Ghazali telah ‘salah’ di dalam
memahami maksud yang diinginkan para filosof yang mendahuluinya, Al-Farabi dan
Ibnu Sina. Menariknya di dalam buku, tersebut Ibnu Rusyd tidak hanya memberikan
kritik atas Al-Ghzali saja, melainkan ia pun memberikan kritik atas Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Ibnu Sina pun telah melakukan kekeliruan di
dalam memahami pikiran-pikiran Aristoteles2.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa wujud yang baru (al-maujudat al-muhdatsah)
mengandaikan adanya empat sebab: sebab efesien (fa’il), sebab materi (maddah), sebab
bentuk (shurah), dan sebab tujuan (ghayah). Keempat sebab tersebut bersifat pasti
(dharuri) dalam membentuk dan melahirkan akibat3.

1
http://repository.uinbanten.ac.id/4284/4/BAB%20II.pdf
2
Namun, bukan di sini tempatnya, untuk menguraikan kritikan Ibn Rusyd terhadap Al-farabi dan Ibn Sina.
Dalam hal ini Ibn Rusyd, di dalam bukunya, hendak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya dipahami
dan dimaksudkan oleh Aristoteles, yang menurutnya kemudian, telah disalahpahami oleh para filosof
lainnya, khususnya dalam permasalahan kausalitas.
3
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (ed.), (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), j.II, h. 784.Gagasan
mengenai empat sebab ini berasal dari Aristoteles. K. Bertens menjelaskan sebagai berikut: pertama,
Penyebab efesien (“efficient cause”) yang menjalankan kejadian. Misalnya, tukang kayu yang membuat
sebuah kursi. Kedua, penyebab final (“final cause”). Inilah yang tujuan menjadi arah seluruh kejadian.

5
Eksistensi “sebab” menjadi niscaya (dharuri) dalam melahirkan suatu “akibat”.
Para teolog pun berpendapat bahwa kehidupan ini menjadi syarat bagi adanya alam.
Artinya, keberadaan alam tidak terlepas dari suatu tujuan, yakni adanya sebuah
kehidupan. Seorang yang mengetahui pasti seorang yang hidup. Artinya, “hidup”
menjadi syarat yang niscaya dalam pengetahuan karena bagaimana mungkin seorang
yang telah mati, atau benda mati, dapat mengetahui sesuatu. Hal ini tidak mungkin.
Oleh karena itu, “sebab” bukanlah sesuatu yang bersifat mungkin, dalam arti boleh ada
dan boleh tidak ada, melainkan bersifat pasti. Demikian pula para teolog mengakui
bahwa segala sesuatu memilki hakikat dan batasan (hukum-hukum) yang bersifat
dharuri dalam mewujudkan yang ada (maujud). Karena itu, barang siapa menafikan
“sebab” berarti menafikan akal. Ibn Rusyd meyakini bahwa alam diciptakan Allah
lengkap berikut hukum- hukumnya. Hukum-hukum itulah yang menjadi sifat khusus
pada setiap benda di alam ini. Sifat-sifat tersebut bersifat pasti. Manusia tidak begitu
saja mengetahui sifat-sifat yang ada pada benda-benda dengan segenap kompleksitas
kekhususannya. Untuk mengetahuinya diperlukan penelitian. Karena itu, menolak
hukum kausalitas sebagai sesuatu yang dapat disaksikan lewat pancaindra adalah
pandangan sufistik. Barang siapa yang menafikan itu (sebab efesien) niscaya tidak akan
mampu menolak untuk mengakui bahwa stiap hasil perbuatan adalah akibat dari si
pembuat. Dengan kata kain, setiap akibat mestilah ada pelakunya.
Ibn Rusyd mengatakan: “Saya tidak tahu apa yang diinginkan mereka (Al-
Ghazali dan para teolog lainnya) dengan menyebut al-‘adah (adat kebiasaan). Apakah
kebiasaan pelaku (‘adah al-fa’il), kebiasaan wujud (al-‘adah al-maujud), ataukah
kebiasaan kita di dalam menghukumi yang ada? Karena mustahil Allah memiliki adat
kebiasaan. Sebab, kebiasaan mesti melekat pada pelaku dan mengharuskan adanya
perbuatan yang berulang- ulang. Jika yang dimaksudkan mereka (Al-Ghazali dan lain-
lain) bahwa adat itu adalah suatu yang maujud, maka sesunguhnya kebiasaan itu hanya
untuk yang berjiwa. Tetapi jika kebiasaan itu ada pada sesuatu selain yang berjiwa,
maka yang demikian adalah hukum alam, dan ini tidak mungkin. Bila kebiasaan yang
dimaksudkan adalah kebiasaan yang ada pada kita yang menghukumi atas segala yang
maujud, maka kebiasaan seperti ini adalah tidak lebih dari pekerjaan akal yang
diperoleh dari fenomena alam yang kemudian dibentuk akal menjadi sebuah pikiran.

Misalnya, kursi dibuat supaya orang dapa duduk di atasnya. Ketiga, penyebab material (“material cause”)
misalnya kayu sebagai bahan yang dijadikan kursi. Keempat, penyebab formal (“formal cause”). Misalnya
bentuk dari kursi. K. Bertens Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kansius, 2006), Cet., ke-22, h. 174.

6
Bila arti kebiasaan yang dimaksudkan al-Ghazali arti yang terakhir ini, maka
sesunguhnya para filosof pun tidak mengingkarinya.
Ibn Rusyd juga mengakui bahwa keputusan atau penilaian tentang yang wujud
pada akal berasal dari pengalaman empiris. Hal ini menjadi dasar pertimbangan
mengapa hukum sebab akibat bersifat dharuri. Akal di sini berfungsi meneliti fenomena
yang ada berupa kejadian-kejadian yang ada di alam ini dalam kaitan hukum kausalitas,
sehingga kemampuan akal berbeda satu dengan yang lain. Logika menetapkan adanya
hukum kausalitas. Sedangkan mengetahui berbagai akibat tidak akan sempurna tanpa
mengetahui sebab-sebabnya. Menolak kausalitas berarti menolak eksistensi ilmu
pengetahuan (sains). Sebagai konsekuensi logis, tidak ada sesuatu yang dapat diketahui
secara pasti; Dan kalau memang ada, tidak lebih dari prasangka belaka, tidak ada
pembuktian (burhan) dan tidak ada definisi sama sekali.
Selanjutnya Ibnu Rusyd mengatkan bahwa akal merupakan kumpulan hukum dan
undang-undang yang berlaku pada alam. Sedangkan hukum kausalitas sendiri bersandar
pada alam. Karenanya, hukum kausalitas yang berada pada akal adalah juga hukum
kausalitas yang ada pada alam4. Di dalam persoalan mukjizat, Ibn Rusyd memberikan
alasan sekaligus pembelaan terhadap tuduhan Al-Ghazali yang menyerang para filosof
dengan alasan bahwa mereka tidak mempercayai mukjizat yang terjadi pada nabi dan
rasul. Ibn Rusyd berpendapat bahwa para filosof sama sekali tidak pernah menolak
mukjizat yang pernah terjadi pada nabi dan rasul. Karena bagi mereka (para filosof),
persoalan mukjizat tidak layak diperbincangkan dan diperdebatkan terutama di dalam
masalah yang menjadi prinsip dan dasar-dasar syari’at. Bagi mereka untuk
membicarakan hal tersebut diperlukan etika dan sopan santun yang tinggi. Karena
orang yang mengingkari mukjizat berarti zindik. Prinsip-prinsip dan dasar syari’at
bersifat pasti dan setiap orang harus menerima begitu saja menentang, beradu argumen
dalam masalah- masalah prinsip berarti membatalkan keberadaan manusia. Oleh karena
itu orang zindik harus dibunuh.
Ibn Rusyd menambahkan bahwa dasar-dasar dan prinsip syari’at adalah termasuk
masalah ketuhanan yang mengatasi akal pikiran manusia. Karenanya, manusia harus
mengakui tanpa harus mengetahui sebab-sebabnya. Karena itu pula dari generasi
terdahulu belum pernah seorang pun berbicara soal mukjizat, menyebarluaskan, dan
menjelaskanya, karena mukjizat merupakan dasar dalam menetapkan dan

4
Khalil Syarifuddin, Ibn Rusyd, (Beirut: Dar wa Maktabah al-Hilal, 1979), h. 75.

7
mengukuhkan syari’at. Sedangkan syari’at merupakan prinsip keutamaan. Al-Ghazali
menganggap para filosof tidak memiliki dalil yang kuat untuk menetapkan kepastian
hukum kausalitas. Dalam hal ini Ibn Rusyd menjelaskan bahwa andaikata pelaku
pertma (Allah) dapat membuat terjadinya kebakaran tanpa penciptanya (api), maka
keyakinan seperti ini berarti menolak pancaindera dalam mewujudkan kausalitas. Tidak
seorang pun filosof yang meragukan pembakaran (proses terjadinya api yang
membakar) yang terjadi pada kapas, berasal dari api. Apilah yang menjadikan
pembakaran itu. Tetapi, hal itu tidak mutlak. Bahkan, faktor luar merupakan syarat
yang lebih penting dalam mewujudkan api terhadap proses terjadinya pembakaran. Di
sinilah terjadinya perselisihan pendapat dalam menetapkan faktor ekstern tadi apakah
faktor itu berfungsi sebagai pemisah (mufariq) atau perantara (washitah) di antara
pelaku kejadian dan pemisah selain dari api.
Ibn Rusyd mengatakan tidak perlu ragu seseorang untuk menyatakan “sebab”
belum cukup dengan dirinya sendiri dapat menghasilkan “akibat” yang
ditimpakkannya. Tapi, “sebab” mesti memiliki pelaku dari luar (fa’il min kharij) yang
menjadi syarat untuk mewujudkan suatu “akibat”. Sedangkan prinsip eksistensi
peristiwa ini secara hakiki (bi al- dzat) apakah Allah sendiri atau pengada yang lain
merupakan penengah di antara pengada dengan wujud lainnya. Al-Ghazali juga
mengakui hal ini. Sekalipun demikian, pada saat yang sama ia juga menyangkal
pandangannya sendiri. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki tabi’at khusus
yang dapat menjadi “sebab” bagi yang lainnya. Tetapi, ia pun “membolehkan”, seperti
pandangan para teolog, nabi yang dilemparkan ke dalam api dan api tidak membakar
seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim. Kemungkinan ini terjadi dengan cara Allah yang
mengubah sifat api atau sifat yang ada pada diri nabi Ibrahim. Allah mengurangi kadar
panas pada api melalui perantara malaikat sampai akhirnya panas pada api hilang sama
sekali atau Allah memperbarui sifat pada diri Ibrahim yang dengan sifat itu efek yang
ditimbulkan api tertolak. Ibn Rusyd menolak argumen di atas. Ia mengatakan bahwa
bahwa sesunguhnya para filosof menerima mukjizat terjadi pada para nabi seperti
Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Namun, kadang-kadang “akibat” dapat berbeda
dari biasanya, jika ada faktor penghambat pada “sebab”. Faktor tersebut berasal dari
luar, sehingga akibat yang biasa terjadi, seperti benda akan hangus bila di bakar, tidak
terjadi. Misalnya, bila tubuh dilapisi benda atau materi tahan api, maka materi tersebut
akan menghambat pengaruh api. Sebab inilah yang perlu dan ini pula yang menjadi
‘hikmah’ penciptaan. Pada konteks ini manusia dituntut untuk terus menggali berbagai

8
rahasia alam yang belum terungkap. Karena itu, ini bisa saja terjadi, sebelum Ibrahim
dibakar tubuhnya lebih dulu diolesi dengan sesuatu yang menolak pengaruh api. Bagi
Ibnu Rusyd, api tidak akan berubah menjadi dingin selagi ia disebut api. Demikian pula
dengan benda-benda lain berikut karakteristik yang dimilikinya.
Perbedaan pandangan kaum mutakallimin, termasuk Al-Ghazali dengan para
filosof dalam soal “sebab”. Al-Ghazali tidak mengingkari hubungan niscaya antara
“sebab” dengan “akibat”, akan tetapi kemudian mengembalikan “sebab” langsung
kepada Allah. Rasa kenyang pada saat perut penuh dengan air sebagai contoh. Rasa
kenyang muncul karena Allah yang memberi rasa tersebut, bukan air. Sedangkan para
filosof meyakini dengan sepenuhnya bahwa air memiliki sifat antara lain
mengenyangkan. Sifat ini menjadi ciri khusus pada air. Demikian pula sifat khusus ini
berlaku pada benda lain.
Bagi para filosof, Tuhan menciptakan segala yang ada di alam sekaligus
menetapkan hukum- hukumnya. Oleh karenanya, setiap benda (materi) memiliki sifat-
sifat yang berbeda-beda yang menjadi ciri dan sifat kekhususannya. Khalil Syarifudin
mengtakan bahwa Ibnu Rusyd tidak mengingkari mukjizat para nabi seraya mengakui
tidak ada suatu apa pun yang dapat melemahkan sifat iradah Allah. Tetapi, ia
mengatakan lebih lanjut bahwa Ibn Rusyd menempatkan mukjizat pada urutan kedua
sebagai bukti kebenaran seorang nabi. Bagi Ibnu Rusyd, mukjizat adalah persoalan
yang datang dari luar diri nabi yang kemudian memperkuat kebenaran misi ke
rosulannya, bukan menjadi tolak ukur kebenaran dari risalahnya. Sedangkan orang pada
umumnya memandang mukjizat sebagai dalil. Ingatlah, demikian kata Ibnu Rusyd,
bahwa dalil satu- satunya yang dapat menetapkan kebenaran risalah kenabian. Itu
sendiri satu-satunya yang dapat menetapkan kerbenaran. Salah satu risalah kenabian
adalah syari’at itu sendiri yang sudah tercakup dalam Risalah itu. Ibn Rusyd memberi
perumpamaan dengan dua orang dokter yang salah satunya “menyembuhkan orang
sakit untuk menunjukkan bahwa ia seorang dokter. Sedangkan dokter yang lain,
menunjukkan bahwa ia dapat berjalan di atas air, adalah perbuatan yang keluar dari
kebiasaan dan merupakan mukjizat. Tetapi, hal ini bukanlah dalil untuk menunjukkan
bahwa ia seorang dokter.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkap ibnu rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi Alandalusi. Dia biasa di panggil Abu Al
walid, Ibnu Rusyd, atau ibnu Rusyd Al-Hafid. Ibnu Rusyd lahir di Cordova pada tahun
520 H / 1126 M, ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan
keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibnu Rusyd
adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman
pertengahan dengan sebutan “Averrois”. Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya,
tercatat sebagai tokoh keilmuan.
Ibn Rusyd memandang bahwa hukum kausalitas bersifat pasti. Keteraturan alam
dan sifat-sifat khusus pada benda-benda menunjukkan adanya suatu hukum yang
bersifat. Sunatullah tidak mungkin berubah secara aksidental karena telah menjadi
ketetapan Nya sejak azali. Dari fakta-fakta inilah manusia dapat memahami hukum-
hukum Allah sehingga ia dapat mengelola alam ini dan mewujudkan misi Tuhan
sebagai khalifah di bumi.
Sebagai konsekuensi logis dari sikap menerima dan menolak terhadap
eksistensi hukum kausalitas, maka secara logis yang pertama dapat melahirkan sikap
pesimis terhadap pengetahuan sains. Adanya ketidakpastian pada hukum-hukum yang
berlaku melahirkan sikap “ kurang bersemangat” di dalam meneliti alam semesta.
Sehingga, akibatnya jauh lebih di dunia islam perkembangan pengetahuan dan sains
mengalami keterlambatan jika tidak dapat dikatakan tertinggal di banding dunia lain.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa wujud yang baru (al-maujudat al-muhdatsah)
mengandaikan adanya empat sebab: sebab efesien (fa’il), sebab materi (maddah), sebab
bentuk (shurah), dan sebab tujuan (ghayah). Keempat sebab tersebut bersifat pasti
(dharuri) dalam membentuk dan melahirkan akibat.
Ibnu Rusyd mengatkan bahwa akal merupakan kumpulan hukum dan undang-
undang yang berlaku pada alam. Sedangkan hukum kausalitas sendiri bersandar pada
alam. Karenanya, hukum kausalitas yang berada pada akal adalah juga hukum
kausalitas yang ada pada alam. Di dalam persoalan mukjizat, Ibn Rusyd memberikan
alasan sekaligus pembelaan terhadap tuduhan Al-Ghazali yang menyerang para filosof
dengan alasan bahwa mereka tidak mempercayai mukjizat yang terjadi pada nabi dan

10
rasul. Ibn Rusyd berpendapat bahwa para filosof sama sekali tidak pernah menolak
mukjizat yang pernah terjadi pada nabi dan rasul. Karena bagi mereka (para filosof),
persoalan mukjizat tidak layak diperbincangkan dan diperdebatkan terutama di dalam
masalah yang menjadi prinsip dan dasar-dasar syari’at. Bagi Ibnu Rusyd, mukjizat
adalah persoalan yang datang dari luar diri nabi yang kemudian memperkuat kebenaran
misi ke rosulannya, bukan menjadi tolak ukur kebenaran dari risalahnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Rusyd, Abu Al-Walid, Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmati wa al-Syari‟ati min al-
Ittishal, hal. 8
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Sulaiman Dunya (ed.), (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), j.II, h.
784.Gagasan
K. Bertens Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kansius, 2006), Cet., ke-22, h. 174.
http://repository.uinbanten.ac.id/4284/4/BAB%20II.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai