Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur pada Mata Kuliah
Paradigma dan Konsep Pendidikan Islam

Dosen :
Dr. H. Asep Ahmad Fathurrohman, Lc., M.Ag.

Disusun Oleh :
FITRIAH, S.Ag.
NIM. 2103090150973

PROGRAM PASCA SARJANA

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG
2016

BAB. I
PENDAHULUAN

Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang


pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga
sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja,
khususnya orang Yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat
Yunani adalah filsafat Persia, Cina, India, dan tentu saja filsafat Islam.
Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam membuka
mata barat adalah Ibnu Rusyd. Dalam dunia intelektual barat, tokoh ini lebih
dikenal dengan nama Averros. Begitu populernya Ibnu Rusyd dikalangan barat,
sehingga pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah gerakan yang disebut Viorrisme
yang berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd. Dari Ibnu
Rusyd lah mereka mempelajari Fisafat Yunani Aristoteles (384-322 SM), karena
Ibnu Rusyd terkenal sangat konsisten pada filsafat Aristoteles.
Filsafat Islam, sebagaimana sejarah muslim umumnya, telah melewati lima
tahap yang berlainan. Tahap pertama berlangsung dari abad 1 H/7 M hingga
jatuhnya Baghdad. Tahap kedua adalah tahap keguncang-guncangan selama
setengah abad. Tahap ketiga merentang dari adab ke-4/14 hingga abad ke 12/18.
tahap keempat adalah tahap yang paling menyedihkan, berlangsung sampai
setengah abad, inilah zaman kegelapan islam. Tahap kelima bermula pada
pertengahan abad ke 13 /19, yang merupakan priode renaisans modern.
Di antara kitab-kitab yang sangat populer dalam dunia filsafat Islam
bahkan dalam lingkungan filsafat Kristen di zaman pertengahan adalah Tahafut
al-Falasifah karya Imam Al-Ghazali dan kitab Tahafut at-Tahafut karya Ibn
Rusyd. Dua kitab tersebut sangat erat kaitannya sehingga yang satu tidak disebut
tanpa lainnya, terutama kitab yang terakhir ini yang di dalamnya Ibn Rusyd
menangkis serangan Al-Ghazali paragraf demi paragraf. Kitab yang pertama

ditulis pada tahun 484 H, sedangkan kitab yang kedua ditulis lebih kurang seratus
tahun sesudah itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd


Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu Ahmad bin Muhammad
Ibn Ahmad Ibn Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova,
1126M (520 H) Ia berasal dari keluarga ilmuan. Ayahnya dan kakeknya adalah
para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang sangat disegani di Spanyol.
Ayahnya adalah Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) adalah seorang fqih
(ahli hukum islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara
kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh
madzhab Maliki dan imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai
hakim agung di Spanyol. Sebagaimana ayah dan kakeknya Ibnu Rusyd juga
pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan awalnya dimulai dari belajar Al-Quran di rumahnya
sendiri dengan ayahnya. Selanjutnya ia belajar dasar-dasar ilmu keislaman
seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam, bahasa Arab dan Sastra. Dalam
ilmu fiqih ia belajar dan menguasai kitab Al-Muwaththa karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu
Muhammad Ibn Rizq dalam disi[plin ilmu perbandingan hukum islam (fiqh
ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual dibidang hadits. Dalam bidang ilmu
kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Jafar Harun al-Tardjalli
(berasal dari Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang
kedokteran adalah Ibn Zhuhr.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy)
Maroko atas permintaan Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian

memperkenalakannya dengan khalifah Abu Yaqub Yusuf. Dalam pertemuan


pertama anatara Ibn Rusyd dengan Khalifah terjadi proses Tanya jawab
diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, selain itu
mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd
menyangka bahwa petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karna persoalan
ini sangat kurasial dan sensitif ketika itu.
Ternyata dugaan itu meleset. Khalifah yang pencinta Ilmu ini malah
berdiskusi dengan ibnu thufail tentang masalah-masalah di atas. Khalifah Abu
yakub dengan fasih dan lancar menjelasan persoalan-persoalan itu dan
mengutif pendapat-pendapat seperti plato dan aristoteles. Khalifah dan ibnu
thufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang berat. Terlihat bahwa khalifah
yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat menguasai persoalan ilmu
filsafat pendapat-pendapat mutakallimin atau teolog Plato dan Aristiteles.
Ibnu Rusyd kagum pada pengetahuan khalifah tentang filsafat. Karenanya ia
pun berani menyatakan pendapatnya sendiri. Pertemuan pertama ini ternyata
membawa berkah bagi ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk
menterjemahkan karya-karya aristoteles menafsirkannya. Pertemuan itu pun
mengantarkan Ibnu Rusyd untuk menjadi qodhi di sevile setelah dua tahun
mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim agung di kordoba, selain tu pada
tahun 1182 ia kembali keistana muwahidun di marakhes menjadi dokter
pribadi khalifah pengganti ibnu thufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan
digantikan oleh putranya Abu Yusuf Ibnu Yakub Al-Mansur. Pada awal
pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibnu Rusyd sebagaimana
perlakuan ayahnya, namun pada 1195 mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan
tokoh agama, mereka mulai menyerang para filsafat dan filosof. Inilah awal
kehidupan pahit bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan oleh pemuka agama
yang memiliki pandangan sempit dan punya kepentingan serta ambisi-ambisi
tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu Rusyd. Akhirnya
Ibnu Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun

1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak


sekitar 50 km di sebela selatan cordova. Buku-bukunya dibakar di depan
umum, kecuali yang berkaitan dengan bidang kedokteran, matematika serta
astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rusyd, terdapat juga beberapa tokoh
fukaha dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu
Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Jafar al-Dzahabi, Abu Rabi
al-Khalif dan Nafish Abu al-Abbas.
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali
normal, khalifah menunjukkan sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia
kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibn Rusyd, sutau sikap yamg
sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al- Mansyur merehabilitasi Ibn
Rusyd an memanggilna kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat
perlakuan hormat. Tidak lama setelah itu, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember
1197 Ibn Rusyd meninngal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun setelah ia
wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, Cordova.

B. Pemikiran Ibnu Rusyd


Al Ghazali, dalam penutup Tahafut al-Falasifah dengan uslub
dialogis mengkafirkan para filosof dan keharusan memberi hukuman mati
bagi siapa yang menganut aqidah mereka itu. Karena mereka menyimpang
dalam tiga perkara: (1) pandangannya tentang keqadiman alam. (2)
pandangannya bahwa pengetahuan Tuhan itu tidak menjangkau al Juziat al
hadisah min al asykhas, partial yang merupakan ciptaan baru dari suatu
komponen dan, (3) pandangannya tentang kebangkitan rohani dan jasad dan
penghimpunannya kelak di akhirat.1[1]
Pandangan-pandangan al-Ghazali seperti yang disebutkan di atas
mendapat sanggahan/kritikan dari Ibn Rusyd sekaligus sebagai pembelaan
1[1]Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, (TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al
Maarif, 1966), hal. 307-308.

terhadap filosof, dalam karyanya yang terkenal Tahafut Al-Tahafut. Uraian


mengenai sanggahan Ibn Rusyd dipandanganpandangan tersebut dan
pembelaan terhadap parafilosof menjadi sangat menarik karena akan
menyuguhkan kejelasan mengenai kedudukan filsafat dalam pemikiran Islam.
Pemikiran filosofis al-Ghazali cenderung untuk disepakati mempengaruhi
belahan Timur Dunia Islam sampai dewasa ini dan dituding sebagai biang
keladi redupnya kreatifitas dan dinamika dalam berfilsafat. Sementara itu
pemikiran filosofis Ibn Rusyd dimulai diselidiki dan disepakati mempunyai
pengaruh yang tidak kecil dalam pemikiran Barat sejak abad pertengahan.2[2]
Sebagaimana telah diketahui bahwa al-Ghazali mengkafirkan para
filosof dalam tiga hal: (1) Qadimnya Alam, (2) Tuhan tidak mengetahui
juziyat dan (3) kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat.3[3]
1. Keqadiman/kekekalan Alam
Menanggapi kritikan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mengarang kitab
Tahufut- al-Tahafut. Pertama, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham
qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Menurut
Ibn Rusyd, konsep Al-Ghazali tentang alam, bahwa alam mempunyai
permulaan dalam zaman mengandung arti, ketika Tuhan menciptakan alam
tidak ada sesuatu disamping Tuhan, Tuhan ketika itu dalam kesendiriannya
dan karenanya Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil. Al Ghazali
mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para
filsuf muslim. Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan
bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi.4[4]Bagi para
filsuf muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami
mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya.5[5]Konsep Al-Ghazali
kata Ibn Rusyd tidak sesuai dengan kandungan Al-Quran. Didalam Al2[2]Ahmad Fuad Al-Ahwany, Dalamsegi-segi PemikiranFilsafatDalam Islam,
Ahmad Daudy (edt.) (Jakarta: BulanBintang, 1984), hal. 66.
3[3]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II,

(Jakarta: UII Press, 1979), hlm. 65.


4[4] Oliver leaman, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.56.
5[5]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka Setia,
2009), hlm. 232.

Quran digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada


sesuatu disampingnya. Ayat 7 dari surat Hud mengatakan:










Artinya: Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia
menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu
berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan
dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan
."berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan
bumi telah ada unsur lain disamping Tuhan, yaitu air. Selanjutnya ayat 30
dari surat Al-Anbiya mengatakan:






Artinya: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami
jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
?beriman

Ayat tersebut mengandung arti bahwa langit dan bumi pada


mulanya berasal dari unsur yang satu, kemudian menjadi dua benda yang
berlainan.6[6] Dan ( Q. S. al- Fushiat ayat 11 ) yang artinya kemudian Dia
menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan uap.
Benda benda lain seperti air dan uap menurut Ibnu Rusyd merupakan
cikal bakal terjadinya alam.7[7]
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat AlGhazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis serta
menegaskan bahwa pendapat Al-Ghazali tidak sesuai dengan kandungan
Al-Quran. Yang sesuai dengan kandungan Al-Quran sebenarnya adalah
konsep Al-Farabi, Ibn Sina, dan filusuf-filusuf lain. Disamping itu, kata
Khalaqa dalam Al-Quran, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan
bukan dari tiada, seperti yang dikatakan Al-Ghazali, tetapi dari ada,
seperti yang dikatakan filosof-filosof (Q.S. Al Mukminun : 12 )


Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia didalam alQuran diciptakan bukan dari tiada tetapi dari sesuatu yang ada, yaitu
intisari tanah seperti disebut oleh ayat diatas. Ibn Rusyd memang tidak
menerima konsep penciptaan dari tiada. tiada, kata ibnu rusyd tidak bisa
berubah menjadi ada, yang terjadi , yang ada berubah menjadi ada
dalam bentuk lain. Contohnya, adanya bumi dan langit, ada yang
berasal dari bentuk materi asal yang empat (api,udara,air,dan tanah) diubah
Tuhan menjadi ada dalam bentuk langit dan bumi. Dan yang qadim

6 [6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja
Grafindo Persada,1993), hlm. 127.
7[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), hlm. 52.

adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru
(hadis).8[8]
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibnu rusyd tidak membawa
kepada ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafah bukan hanya
berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang
diciptakan dalam keadaan terus-menerus.9[9] Jadi Tuhan qadim berarti
Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta, sedangkan alam qadim
berarti alam diciptakan. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam
bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan. Alam yang terus menerus dalam
keadaan diciptakan ini tetap akan ada sebagaimana yang digambarkan oleh
Al-Quran ayat 47-48 Surat Ibrahim.





Artinya: Maka Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan
menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha
perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka
semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah
.yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
Ayat tersebut menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu
dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit
yang lain. konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan
langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara
air, dan tanah kembali. Dari keempat unsur ini, Tuhan akan menciptakan
bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit akan hancur pula, dan dari
8[8]Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino Raya ,
2012), hlm. 96
9[9] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf , hlm. 129.

materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan
demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan
kandungan Al-Quran.10[10]
Jadi, Al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filosof karena pandangannya tentang qadimnya alam.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Al-Ghazali memberi tafsiran masingmasing tentang ayat-ayat Al-Quran mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan Al-Quran, tetapi pendapat
filosof dengan pendapat Al-Ghazali.
2. Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah
tidak mengetahui juziyyat (perincian) terhadap apa yang ada di alam.
Pernyataan ini menurut Al-Ghazali jelas-jelas menunjukkan ketidak
berimanan mereka. Sebaliknya yang benar, kata Al-Ghazali adalah Allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.11[11]
Dalam rangka menangkis serangan Al- Ghazali terhadap para filsuf
muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa filusuf muslim tidaklah
mempersoalkan apakah tuhan mengetahui hal hal yang juzi ( perincian
yang terjadi ) pada alam semesta ini. Para filsuf muslim berpendapat
bahwa Tuhan mengetahui hal hal yang bersifat juzi pada alam ini. Yang
mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang
bersifat juzi itu.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang juzi dengan
juzi-Nya dan mengetahui hal-hal yang kully dengan kully-Nya. Para filsuf
muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal- hal yang
bersifat juzi itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal hal
yang demikian. Para filosof, kata Ibnu Rusyd telah menarik garis pemisah
antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia, yakni kedua macam
10[10] Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 96-97.
11[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm.138-139.

pengetahuan ini berbeda secara esensial. karena pengetahuan manusia


mengambil bentuk efek ( akibat dari memperhatikan hal hal yang
bersifat juzi ) , sedangkan pengetahuan Allah merupakan sebab, yakni
sebab bagi munculnya hal hal yang bersifat juzi itu. Selain itu,
ketidaksamaan itu tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat
qadim, yakni semenjak azali tuhan mengetahui hal hal yang bersifat juzi
di alam semesta ini, betapa kecilnya hal tersebut. Manusia tidak
mengetahui pengetahuan sama sekali, kemudian secara berangsur angsur
memperoleh pengetahuan setelah memperhatikan bagian demi bagian
secara seksama. Dari itu, kata Ibnu Rusyd, siapa saja yang menyamakan
dua macam ilmu atau pengetahuan ini berarti ia telah mempertemukan halhal yang saling bertentangan dan mengkiaskan yang ghaib dengan yang
nyata. Sikap ini tidak benar dan jahil.12[12]
Dengan kata lain bahwa segala peristiwa yang terjadi di alam ini
telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud
dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmu-Nya terhadap sesuatu itu
adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu, sudah
seharusnya kalau cara yang ditempuh Tuhan untuk mengetahui sesuatu
tidak seperti cara yang ditempuh oleh makhluk-Nya itu sendiri.13[13]
3. Kebangkitan Jasmani
Dalam kitab Tahafut Al-Falasifah, Al-Ghazali menunjukan kepada
filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan
dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani.
Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat tersebut
dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Quran dengan tegas
menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani
nanti di surga.
Al-Ghazali menolak pendapat filosof yang mengatakan bahwa
pada hari kiamat nanti hanya jiwa (roh) saja yang dibangkitkan, sedangkan
12[12] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,(Bandung : Pustaka
Setia, 2009), hlm. 236-237.
13[13] Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta:
Tintamas, 1984), hlm. 72.

badan atau jasad tidak. Menurutnya bahwa yang dibangkitakan nanti


adalah jiwa dan badan, sehingga pahala dan hukuman pun ada yang
bersifat jasmani dan ada pula yang bersifat rohani (spiritual). Bukan
seperti yang dikatakan oleh filosof bahwa pahala dan hukuman itu hanya
bersifat spiritual dan hanya diterima oleh rohani.
Menurut Ibnu Rusyd tidaklah benar apa yang dikatakan oleh AlGhazali bahwa filosoffilosof mengingkari kebangkitan jasmani.14[14]
Kebangkitan jasmani sudah tersiar sekurang kurangnya seribu tahun
yang lalu (dari masa Ibnu Rusyd), sedangkan filsafat kurang dari masa
tersebut, sebab orang pertama yang mengatakan adanya kebnagkita
jasmani ialah nabi nabi Bani Israel sesudah Nabi Musa a.s.
Ibnu Rusyd juga menjelaskan bahwa filosof sebenarnya tidak
menolak adanya kebangkitan jasmani, bahkan semua agama mengakui
adanya kehidupan di akhirat. Hanya saja, kehidupan di akhirat menurut
filosof itu tidak sama dengan kehidupan didunia. Hal ini sesuai dengan
hadis: Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak
pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran. Dan
ucapan Ibnu Abbas: Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat
keduniaan kecuali nama saja. berarti bahwa di dalam surga nanti manusia
tidak dalam wujud jasad.
Lebih lanjut Ibn Rusyd menganalogikan antara tidur dan kematian.
Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu
merupakan bukti yang terang untuk mengatakan bahwa jiwa itu hidup
terus. Karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara
tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan
jiwa tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa
pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur. Perbandingan ini
menurutnya dapat menunjukkan bahwa antara jiwa dan badan dapat
dipisahkan.
Ibnu Rusyd selanjutnya menuduh Al-Ghazali sebagai orang yang
tidak konsisten. Dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah al-Ghazali
14[14] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1999), hlm.183.

mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi juga jiwa.
Tetapi dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa
kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan
tidak berbentuk jasmani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan (ijma)
dalam hal ini. Dengan itu maka filosof yang mengatakan adanya
kebangkitan dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikafirkan. Namun
demikian Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal
pembangkitan di akhirat itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani,
untuk lebih mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang baik dan
menjahui perbuatan jelek.15[15]
C. Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Rusyd terhadap Problematika Sosial
1.

Keagamaan
Rules of Dialogue
Sumbangan lain yang diberikan ibnu Rusyd adalah pandangannya
mengenai cara membangun rules of dialogue dalam upaya memahami
orang lain di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip
epistimologis16[16], yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem
referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode
aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu ilmu yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip
menciptakan kembali hubungan yang subur antar dua kutub dengan
mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd memberi pendapat bahwa
tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi
harmoni diantara keduanya, harmoni tidak berarti sama dan identik.
Karena itu adanya perbedaan harus kita hargai.

15[15]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,


2004), hlm.231
16[16] Ilyas supena, Filsafat Islam, (Semarang: Walisongo PRESS,
2002), hlm.152.

Ketiga mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara cara Al-Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari
kebenaran. Tujuan saya, kata Al-Ghazali, adalah mempertanyakan tesis
mereka dan saya berhasil. Ibnu Rusyd menjawab, Ini tidak sewajarnya
dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain
adalah mencari kebenaran bukan menyebarkan keraguan.
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah
mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang rasional, toleran,
dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula
pernah mengantarkan kejayaan islam di abad pertengahan.
2.

Wawasan Keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan pandangan Ibnu Rusyd yang
senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan.
Pertama Pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan
hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap taklid
terhadap warisan hukum -hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma
begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup.
Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman
tentang apa yang disebut agama (al-din) dan pemahaman agama (al-fikr aldiny).17[17]
Melihat fenomena ini, Ibnu Rusyd mencoba kembali batas batas
yang selama ini di kekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan
bisa berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu, ia mengudar
artefak-artefak hukum fikih dari berbagai mazhab, menganalisisnya
dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar
perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalildalil yang memproduk
suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu
Al- Quran dan sunnah.

17[17] Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.153

Dari setiap ijtihad fikih dua elemen penting yang patut diperhatikan
adalah objektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Berkenaan
dengan pendapat orang lain Ibnu Rusyd membuang jauh-jauh kebenaran
dalam setiap pendapat dan selalu mengajak yang lain untuk menempatkan
pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad berarti meniscayakan untuk
membuka kritik dan pembenahan. Kesalahan yang terjadi dalam proses
pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima kebenaran dengan
tanpa proses apapun.
Kedua, kebebasan berfikir dan tradisi kritik Ibnu Rusyd adalah
maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup
dalam situasi kegelapan dan terpasungnya kebebasan berfikir, Ibnu Rusyd
justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar
dengan syariat. Dengan fisafat manusia mampu menemukan keagungan
tuhan melalui olah cakrawala atas olah ciptaannya.
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji,
menganalisis, menjabarkan serta mengomentari filsafat Aristoteles secara
detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun Ibnu Rusyd berhasil
menyeimbangkan akal dan iman. Dihadapan keluhuran tradisi keagamaan
dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada kita
mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam
ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif
dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya
dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al Quran sebagai kitab teks yang
perlu diberi interpretasi kontekstual. Islam sendiri tidak melarang
seseorang untuk berfilsafat, bahkan di Al- quran banyak terdapat ayat
yang memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil
( penafsiran ) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya
pertentangan antara pendapat akal serta teks Al Quran, ia memaparkan
bahwa takwil yang dimaksud disini adalah meningglkan arti harfiahnya

dan mengambil arti majasinya ( analogi ). Hal ini pula yang dilakukan para
ulama klasik pada periode awal dan pertengahan.
Sebagai ilmu kritis, filsafat memang bagaikan anjing
menggonggong, mengganggu dan menggigit. Berfilsafat berarti selalu
merasa tidak puas lantas membuka diri untuk menerima perdebatan
dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu
mempertanggungjawabkan setiap keputusannya secara rasional. Dan
sejarah peradaban membuktikan, sebuah bangsa yang menjadikan filsafat
sebagai bagian terpenting dalam proses pendewasaan bangsa akan relative
lebih siap untuk maju di berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, dialog antar agama, Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan
agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita
menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan
menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita
patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem
umat beragama adalah bagaimanana berhubungan dengan umat agama
lain. Dalam konteks islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya
tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan
kecurigaan terhadap agama lain.18[18]
Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting
seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya
kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu
sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog
muslim, Ibnu Kaldun, mengatakan perasaan seagama memang diperlukan,
tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial
(social belonging).
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan
pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog
secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melaui dialog,
setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama
18[18] Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.154

lain, karena salah satu fungsi utama agama. Jadi, manusia dapat meraih
kebenaran melalui pikirannya sendiri (mandiri) setelah ia berhasil
melepaskan diri dari sifat sifat hewani. Tingkatan ini oleh Ibnu Bajah
disebut dengan istilah mutawwahid. Mutawwahid dapat diartikan sebagai
penyendirian. Mutawahid disini berarti hidup menyendiri sambil
merenungkan berbagai ilmu teoritis. Dengan cara begitu, ia dapat
berhubungan dengan al aql al-faal (ful force mind).
Keempat, control atas kebijakan publik. Menurut Ibn Rusyd, islam
tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara
perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh karena itu, dengan
mendasarkan pada filsafat politik Plato, ia menghendaki seorang
pemimpin Negara juga seorang filsuf.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Telah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap
para filosof-filosof dalam tiga masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak
dibenarkan oleh Ibnu Rusyd. Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani
tidak beralasan karena masalah ini bagi para filosof adalah persoalan teori.
Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal yang
kecil tidak tepat karena masalah ini tidak menjadi pendapat-pendapat filosof.
Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam tidak juga tepat, karena pengertian
qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama
Kalam. Sedangkan kontekstualisasi Ibnu Rusyd dalam bidang sosio-agama
yaitu Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang
rasional, toleran, dan ramah. Ibnu Rusyd juga senantiasa menyegarkan dan
mendewasakan wawasan keagamaan, seperti Pluralisme dalam berijtihad,
kebebasan untuk berfikir, beliau juga mengadakan dialog antar umat beragama
bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kami telah berusaha semaksimal
mungkin dengan segala keterbatasan kami, kami menyadari bahwa masih
banyak kesalahan dalam penulisan maupun teknis pembuatan makalah ini.
Untuk itu, kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk perbaikan
makalah yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo
Persada,1993.
Ahmad Fuad Al-Ahwany, Dalam segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam,
Ahmad Daudy (edt.). Jakarta : BulanBintang, 1984.
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Maarif,
1966.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Ahmad Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Ibnu Rusyd Filsof Islam Terbesar di Barat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta : Kanisius,1980
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: UII
Press, 1979.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1983.
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, Jakarta: Tintamas, 1984.
Ilyas supena, Filsafat Islam, Semarang: Walisongo PRESS, 2002.
Jwm.Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan
Kanisius,1978
Madjid Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1984

Musa M.Yusuf , Bayn al-Din wa al-Falsafat Fi Rayi Ibn Rusyd wa Falasifat al


Asr al Wasith, Kairo: Dar al-Malarif,1980
Oliver leaman, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Rajawali, 1989.
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Suyudono yusuf, bersama ibn rusyd menengahi filsafat dan ortodoksi, Semarang:
Walisongo press, 2008
Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Arfino Raya ,2012.

Anda mungkin juga menyukai