Makalah
Dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur pada Mata Kuliah
Paradigma dan Konsep Pendidikan Islam
Dosen :
Dr. H. Asep Ahmad Fathurrohman, Lc., M.Ag.
Disusun Oleh :
FITRIAH, S.Ag.
NIM. 2103090150973
BAB. I
PENDAHULUAN
ditulis pada tahun 484 H, sedangkan kitab yang kedua ditulis lebih kurang seratus
tahun sesudah itu.
BAB II
PEMBAHASAN
6 [6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, ( Jakarta : Raja
Grafindo Persada,1993), hlm. 127.
7[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), hlm. 52.
adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru
(hadis).8[8]
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibnu rusyd tidak membawa
kepada ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafah bukan hanya
berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang
diciptakan dalam keadaan terus-menerus.9[9] Jadi Tuhan qadim berarti
Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta, sedangkan alam qadim
berarti alam diciptakan. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam
bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan. Alam yang terus menerus dalam
keadaan diciptakan ini tetap akan ada sebagaimana yang digambarkan oleh
Al-Quran ayat 47-48 Surat Ibrahim.
Artinya: Maka Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan
menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha
perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (yaitu) pada hari (ketika) bumi
diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka
semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah
.yang Maha Esa lagi Maha Perkasa
Ayat tersebut menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu
dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit
yang lain. konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan
langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara
air, dan tanah kembali. Dari keempat unsur ini, Tuhan akan menciptakan
bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit akan hancur pula, dan dari
8[8]Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Arfino Raya ,
2012), hlm. 96
9[9] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf , hlm. 129.
materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan
demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai
sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan
kandungan Al-Quran.10[10]
Jadi, Al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk
mengkafirkan filosof karena pandangannya tentang qadimnya alam.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Farabi dan Al-Ghazali memberi tafsiran masingmasing tentang ayat-ayat Al-Quran mengenai penciptaan alam. Yang
bertentangan bukanlah pendapat filosof dengan Al-Quran, tetapi pendapat
filosof dengan pendapat Al-Ghazali.
2. Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam
Menurut Al-Ghazali para filosof Muslim berpendapat bahwa Allah
tidak mengetahui juziyyat (perincian) terhadap apa yang ada di alam.
Pernyataan ini menurut Al-Ghazali jelas-jelas menunjukkan ketidak
berimanan mereka. Sebaliknya yang benar, kata Al-Ghazali adalah Allah
mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi yang luput dari
pengetahuan-Nya.11[11]
Dalam rangka menangkis serangan Al- Ghazali terhadap para filsuf
muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa filusuf muslim tidaklah
mempersoalkan apakah tuhan mengetahui hal hal yang juzi ( perincian
yang terjadi ) pada alam semesta ini. Para filsuf muslim berpendapat
bahwa Tuhan mengetahui hal hal yang bersifat juzi pada alam ini. Yang
mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal-hal yang
bersifat juzi itu.
Menurut Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang juzi dengan
juzi-Nya dan mengetahui hal-hal yang kully dengan kully-Nya. Para filsuf
muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal- hal yang
bersifat juzi itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal hal
yang demikian. Para filosof, kata Ibnu Rusyd telah menarik garis pemisah
antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia, yakni kedua macam
10[10] Yaya Sunarya, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 96-97.
11[11] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, hlm.138-139.
mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi juga jiwa.
Tetapi dalam bukunya mengenai tasawuf, ia mengatakan bahwa
kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk rohani dan
tidak berbentuk jasmani. Oleh karena itu tidak ada kesepakatan (ijma)
dalam hal ini. Dengan itu maka filosof yang mengatakan adanya
kebangkitan dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikafirkan. Namun
demikian Ibn Rusyd berkesimpulan bahwa bagi orang awam soal
pembangkitan di akhirat itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani,
untuk lebih mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang baik dan
menjahui perbuatan jelek.15[15]
C. Kontekstualisasi Pemikiran Ibnu Rusyd terhadap Problematika Sosial
1.
Keagamaan
Rules of Dialogue
Sumbangan lain yang diberikan ibnu Rusyd adalah pandangannya
mengenai cara membangun rules of dialogue dalam upaya memahami
orang lain di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip
epistimologis16[16], yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem
referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode
aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu ilmu yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip
menciptakan kembali hubungan yang subur antar dua kutub dengan
mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd memberi pendapat bahwa
tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi
harmoni diantara keduanya, harmoni tidak berarti sama dan identik.
Karena itu adanya perbedaan harus kita hargai.
Ketiga mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara cara Al-Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari
kebenaran. Tujuan saya, kata Al-Ghazali, adalah mempertanyakan tesis
mereka dan saya berhasil. Ibnu Rusyd menjawab, Ini tidak sewajarnya
dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain
adalah mencari kebenaran bukan menyebarkan keraguan.
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah
mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang rasional, toleran,
dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula
pernah mengantarkan kejayaan islam di abad pertengahan.
2.
Wawasan Keagamaan
Terdapat empat hal dari pandangan pandangan Ibnu Rusyd yang
senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan keagamaan.
Pertama Pluralisme dalam ijtihad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
pintu ijtihad ditutup oleh sebagian kalangan dan dipersempit dari persoalan
hukum hanya menjadi persoalan hukum agama. Akibatnya, sikap taklid
terhadap warisan hukum -hukum fikih yang telah terkodifikasi menjelma
begitu saja menjadi wawasan sosial dan pandangan hidup.
Sikap taklid tersebut juga berawal dari kaburnya pemahaman
tentang apa yang disebut agama (al-din) dan pemahaman agama (al-fikr aldiny).17[17]
Melihat fenomena ini, Ibnu Rusyd mencoba kembali batas batas
yang selama ini di kekang. Dengan bersandar bahwa pemikiran keagamaan
bisa berkembang sesuai dengan perubahan ruang dan waktu, ia mengudar
artefak-artefak hukum fikih dari berbagai mazhab, menganalisisnya
dengan model pembacaan sosiologis-hermeneutis, menelisik akar
perbedaan setiap mazhab dalam menggali dalildalil yang memproduk
suatu hukum, kemudian menembus jantung hukum fikih itu sendiri, yaitu
Al- Quran dan sunnah.
Dari setiap ijtihad fikih dua elemen penting yang patut diperhatikan
adalah objektifikasi dan pertimbangan dimensi moral etiknya. Berkenaan
dengan pendapat orang lain Ibnu Rusyd membuang jauh-jauh kebenaran
dalam setiap pendapat dan selalu mengajak yang lain untuk menempatkan
pendapat sesuai dengan konteksnya. Berijtihad berarti meniscayakan untuk
membuka kritik dan pembenahan. Kesalahan yang terjadi dalam proses
pergulatan akal jauh lebih baik dari sekedar menerima kebenaran dengan
tanpa proses apapun.
Kedua, kebebasan berfikir dan tradisi kritik Ibnu Rusyd adalah
maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Islam. Meskipun hidup
dalam situasi kegelapan dan terpasungnya kebebasan berfikir, Ibnu Rusyd
justru dengan lantang mengatakan bahwa rasionalisme dan filsafat sejajar
dengan syariat. Dengan fisafat manusia mampu menemukan keagungan
tuhan melalui olah cakrawala atas olah ciptaannya.
Ibnu Rusyd menjadi orang yang pertama kali mengkaji,
menganalisis, menjabarkan serta mengomentari filsafat Aristoteles secara
detail dan gamblang. Menurut Muhammad Arkoun Ibnu Rusyd berhasil
menyeimbangkan akal dan iman. Dihadapan keluhuran tradisi keagamaan
dan tradisi filsafat, pandangan Ibnu Rusyd telah mengenalkan kepada kita
mentalitas dan nalar abad pertengahan, baik dalam konteks Arab-Islam
ataupun Latin-Yunani-Kristen. Nalar filsafat telah memainkan peran aktif
dalam memelihara hak manusia untuk mengkritik dan bertanya.
Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu sangat penting, khususnya
dalam mentakwilkan dan menafsirkan Al Quran sebagai kitab teks yang
perlu diberi interpretasi kontekstual. Islam sendiri tidak melarang
seseorang untuk berfilsafat, bahkan di Al- quran banyak terdapat ayat
yang memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Takwil
( penafsiran ) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya
pertentangan antara pendapat akal serta teks Al Quran, ia memaparkan
bahwa takwil yang dimaksud disini adalah meningglkan arti harfiahnya
dan mengambil arti majasinya ( analogi ). Hal ini pula yang dilakukan para
ulama klasik pada periode awal dan pertengahan.
Sebagai ilmu kritis, filsafat memang bagaikan anjing
menggonggong, mengganggu dan menggigit. Berfilsafat berarti selalu
merasa tidak puas lantas membuka diri untuk menerima perdebatan
dialektis. Berbeda dengan agama, filsafat selalu
mempertanggungjawabkan setiap keputusannya secara rasional. Dan
sejarah peradaban membuktikan, sebuah bangsa yang menjadikan filsafat
sebagai bagian terpenting dalam proses pendewasaan bangsa akan relative
lebih siap untuk maju di berbagai sektor kehidupan.
Ketiga, dialog antar agama, Ibnu Rusyd mengatakan perbedaan
agama tidak menjadi penghalang untuk melakukan dialog. Apabila kita
menemukan kebenaran dari agama lain, kita patut menerima dan
menghormatinya. Sebaliknya, jika kita menemukan kesalahan, maka kita
patut memperingatkan dan memaafkannya. Memang, salah satu problem
umat beragama adalah bagaimanana berhubungan dengan umat agama
lain. Dalam konteks islam, fikih yang tersedia mempunyai dilemanya
tersendiri sehingga baik secara eksplisit maupun implisit telah menebarkan
kecurigaan terhadap agama lain.18[18]
Dialog antar umat agama sekarang ini semakin dirasa penting
seiring meluasnya aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kuatnya
kesadaran agama dalam masyarakat dapat menjadi faktor pemersatu
sekaligus mudah disalahgunakan sebagai alat pemecah belah. Sosiolog
muslim, Ibnu Kaldun, mengatakan perasaan seagama memang diperlukan,
tetapi tidak cukup untuk menciptakan perasaan memiliki kesatuan sosial
(social belonging).
Untuk itu, setiap pemeluk agama perlu mengungkapkan
pandangannya secara tepat serta mendengarkan pandangan mitra dialog
secara terbuka tanpa disertai dengan penilaian apriori. Melaui dialog,
setiap pemeluk agama belajar dari pandangan dan pengalaman satu sama
18[18] Ilyas supena, Filsafat Islam, hlm.154
lain, karena salah satu fungsi utama agama. Jadi, manusia dapat meraih
kebenaran melalui pikirannya sendiri (mandiri) setelah ia berhasil
melepaskan diri dari sifat sifat hewani. Tingkatan ini oleh Ibnu Bajah
disebut dengan istilah mutawwahid. Mutawwahid dapat diartikan sebagai
penyendirian. Mutawahid disini berarti hidup menyendiri sambil
merenungkan berbagai ilmu teoritis. Dengan cara begitu, ia dapat
berhubungan dengan al aql al-faal (ful force mind).
Keempat, control atas kebijakan publik. Menurut Ibn Rusyd, islam
tidak mempunyai banyak pemikiran tentang filsafat politik, sementara
perebutan kekuasaan amat dahsyat terjadi. Oleh karena itu, dengan
mendasarkan pada filsafat politik Plato, ia menghendaki seorang
pemimpin Negara juga seorang filsuf.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Telah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap
para filosof-filosof dalam tiga masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak
dibenarkan oleh Ibnu Rusyd. Pengkafiran dalam masalah kebangkitan jasmani
tidak beralasan karena masalah ini bagi para filosof adalah persoalan teori.
Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal yang
kecil tidak tepat karena masalah ini tidak menjadi pendapat-pendapat filosof.
Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam tidak juga tepat, karena pengertian
qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama
Kalam. Sedangkan kontekstualisasi Ibnu Rusyd dalam bidang sosio-agama
yaitu Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai nilai beragama yang
rasional, toleran, dan ramah. Ibnu Rusyd juga senantiasa menyegarkan dan
mendewasakan wawasan keagamaan, seperti Pluralisme dalam berijtihad,
kebebasan untuk berfikir, beliau juga mengadakan dialog antar umat beragama
bertujuan untuk mencegah kesalahpahaman.
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun penulis. Kami telah berusaha semaksimal
mungkin dengan segala keterbatasan kami, kami menyadari bahwa masih
banyak kesalahan dalam penulisan maupun teknis pembuatan makalah ini.
Untuk itu, kritik yang konstruktif sangat kami harapkan untuk perbaikan
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo
Persada,1993.
Ahmad Fuad Al-Ahwany, Dalam segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam Islam,
Ahmad Daudy (edt.). Jakarta : BulanBintang, 1984.
Al-Ghazali, Tahafut al-falasifah, TahqiqSulaiman Dunia, Kairo: Dar al Maarif,
1966.
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Ahmad Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Ibnu Rusyd Filsof Islam Terbesar di Barat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta : Kanisius,1980
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta: UII
Press, 1979.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1983.
Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, Jakarta: Tintamas, 1984.
Ilyas supena, Filsafat Islam, Semarang: Walisongo PRESS, 2002.
Jwm.Bakker SY, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta: Penerbitan Yayasan
Kanisius,1978
Madjid Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1984