NIM : 1631037
1. KELAHIRAN
Beliau adalah : al-Imam al-Hafizh, ahli sejarah Islam, Syamsuddin Abu Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-
Dimasyqi adz-Dzahabi. Beliau dilahirkan pada Rabiul Akhir 673 H di sebuah desa bernama
Kafarbatna di dataran padang hijau Damaskus, di tengah sebuah keluarga yang berasal dari
Turkmenistan, yang ikut kepada kabilah Bani Tamim, dan mereka menetap di kota Mayyafarqin
dari daerah Bani Bakar yang paling terkenal.
Adz-Dzahabi tumbuh di tengah keluarga yang cinta ilmu dan beragama. Keluarga inilah
yang memberikan perhatian kepada beliau dengan mengirimnya kepada para syaikh kota Damaskus
yang terkenal. Dan adz-Dzahabi telah berhasil mendapat ijazah dari mereka ketika masih kecil,
sewaktu umurnya belum genap 18 tahun, perhatian dan orientasinya sangat jelas untuk menuntut
ilmu. Adz Dzahabi tinggal selama 4 tahun bersama salah seorang sastrawan, yaitu Alaudin Ali bin
Muhammad Al Halabi, yang terkenal dengan sebutan Al Bushbush. Dia mulai fokus menuntut ilmu
ketika berusia 18 tahun.
Perhatiannya bermula kepada ilmu qiraah dan hadis; dan yang mendorongnya ke arah itu
adalah kecerdasaannya yang sangat jenius dalam berdiskusi dan memahami ilmu, dan
kemampuannya yang luar biasa dalam mengingat dan menghafal, serta cita-citanya yang tinggi
untuk bertemu para ulama dan berpetualang dalam menuntut ilmu.
Adz-Dzahabi telah mencurahkan kesungguhan dalam mengambil kedua disiplin ilmu itu
secara langsung dari syaikh-syaikh negeri Syam yang paling masyhur pada masa itu. Disamping
belajar hadits dan qira`at, dia juga belajar ilmu-ilmu lainnya, seperti nahwu. Dia belajar kitab Al
Hajibiyyah dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab). Ia juga belajar kepada pakar Bahasa Arab, Ibnu
An-Nahhas, disamping mempelajari kumpulan-kumpulan syair, bahasa, serta sastra,
secara sima’i (mendengarkan). Adz-Dzahabi juga mempelajari kitab-kitab sejarah. Dia
menyimak al maghazi, sirah, sejarah umum, mu’jam para syaikh dan syaikhat, serta buku-buku
biografi lainnya.
Kemudian beliau bertualang ke Mesir dan Syam, dan beliau mengunjungi lebih banyak kota
untuk tujuan yang mulia ini, hingga ilmu yang digapainya menjadi perumpamaan (tauladan). Imam
Adz-Dzahabi sangat berambisi melakukan perjalanan ke negeri-negeri lain untuk mendapatkan
sanad Ali, supaya dapat belajar secara sima’i (mendengar langsung), dan bertemu dengan para ahli
hadits untuk belajar dan mengambil manfaat dari mereka. Namun, ayahnya tidak mendukungnya.
Setelah berusia 20 tahun, ayahnya membolehkannya melakukan perjalanan-perjalanan yang tidak
jauh. Ayahnya mendampinginya saat mendatangi orang-orang yang dituju. Bahkan kadang-kadang
mendampinginya dalam sebagian perjalanannya dan ikut mendengar dari beberapa syaikh.
Adz-Dzahabi melakukan perjalanan di kota-kota negeri Syam pada tahun 693 H, dengan
melewati kota-kota yang paling terkenal, yaitu Ba’albek, Halab, Himsh, Hamah, Tripoli, Karak,
Ma’arrah, Basra, Nabulus, Ramallah, Al Quds (Jerusalem), dan Tabuk. Dia mendengar dan belajar
kepada beberapa orang syaikh yang hidup pada masa itu, diantaranya Al Muwaffiq An-Nashibi (W.
695 H).
Dia juga melakukan perjalanan ke Mesir pada tahun 695 H dengan melewati Palestina.
Kemudian melakukan perjalanan ke Iskandariyah (Alexandria) dan Bilbis, lalu belajar kepada
beberapa orang syaikh disana, seperti Jamaludin Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad bin
Abdullah Al Halabi, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Azh-Zhahiri (W. 696 H). Dia juga
melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 698 H, dan di sana dia belajar
dengan cara sima’i kepada beberapa orang syaikh di Makkah, Madinah, Arafah, dan Mina. Di
antara mereka adalah Syaikh Dar Al Hadits di Madrasah Al Mustanshiriyah, yaitu Al Alim Al
Musnid Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Muhsin, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Al
Kharrath Al Hanbali (W. 748 H).
Nama beliau pun mulai bergaung di dunia Islam, dan para penuntut ilmu berdatangan dari
segala penjuru, setelah beliau menjelma menjadi seorang imam dalam ilmu qiraah, syaikh penghafal
hadis yang ulung, seorang ulama yang unggul dalam kritik hadis, dan ternama sebagai hujjah
dalam al-Jarh wa at-Ta’dil.
Adz-Dzahabi sempat menduduki sejumlah jabatan keilmuan di kota Damaskus, di
antaranya: pemberi khutbah, pengajar, menjadi syaikh agung di sejumlah perguruan hadis, seperti
Dar al-Hadis di Turbah Umm ash-Shalih, Dar al-Hadis azh-Zhahiriyah, Dar al-Hadis wa al-Qur’an
at-Tankiziyah, dan Dar al-Hadis al-aFadhiliyah. Pada tahun 1944 M, ia mendapat gelar doktoral
dalam bidang Tafsir dan Hadits. lalu menjadi dosen bidang As-Syari’ah wal Qanun di universitas
Al-Azhar. Tahun 1968 ditunjuk universitas Kuwait untuk mengampu dosen bidang Tafsir dan
Hadits dan pada tahun 1971 kembali ke Mesir untuk mengajar kuliah Ushuluddin.
Pada tanggal 15 April 1975 beliau terpilih menjadi Menteri Waqaf. Namun beliau hanya
bertahan satu tahun saja sampai pada tahun 1976. Walau hanya sebentar saja menjabat sebagai
mentri, tetapi beliau telah menunjukkan sikap-sikap terpuji yang layak ditiru pemimpin manapun.
Seperti beliau menolak security khusus di depan rumahnya, dan setiap malam rumahnya selalu
ramai dengan kajian-kajian Islam yang terbuka bagi siapa saja.
Dan semua kesibukan ini tidaklah menghalanginya untuk melakukan penelitian akademis
dan penulisan karya tulis. Bahkan beliau telah meninggalkan kekayaan ilmiah yang besar dan penuh
berkah, di mana kitab-kitab dan karya tulis beliau mencapai 215 buah yang mencakup disiplin:
qiraat, hadis, mushthalah hadis, sejarah, biografi, akidah, ushul fiqh, dan raqa’iq (ilmu etika
berbicara).
Husain Az-Zahabi termasuk salah satu ulama tahun 70-an yang memberikan seluruh
ilmunya untuk meninggikan bendera Islam dan melawan kedhaliman dalam berbagai bentuk.
Menurutnya dakwah Islam harus dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan atau
terorisme dan penegakan hukum Islam adalah jalan keluar untuk segala problematika umat baik
dalam akhlaq, politik ekonomi. Beliau juga memandang bahwa pemikiran Islam harus dibersihkan
dari segala macam bentuk khurafat dan kesesatan karena hari ini suara kesesatan lebih kuat daripada
suara kebenaran.
3. KARIR KEILMUANNYA
Imam Adz-Dzahabi memegang jabatan Khatib di masjid Kafr Batna —salah satu desa di
lembah Damaskus— pada tahun 703 H, dan menetap disana sampai tahun 718 H. Sebelum
meninggal, dia bekerja sebagai guru besar hadits di lima tempat di Damaskus, yaitu: Masyhad
Urwah atau Dar Al Hadits Al Urwiyyah, Dar Al Hadits An-Nafisah, Dar Al Hadits At-Tankaziyah,
Dar Al Hadits Al Fadhiliyah di Kallasah, dan Turbah Ummu Ash-Shalih.
4. KARYA-KARYA ILMIAHNYA
Imam Adz-Dzahabi meninggalkan banyak karya yang sangat berhraga, diantaranya: Tarikh
Al Islam wa Wafayat Al Masyahir wa Al A’lam, Tadzkirah Al Huffazah, Mizan Al I’tidal fi Naqd
Ar-Rijal, Akhbar Qudhat Dimasyq, Man Tukullima fihi Wahuwa Mautsuq, Tajrid Asma` Ash-
Shahabah, Al Kasyif fi Rijal Al Kutub As-Sittah, Mukhtashar Taqwim Al Buldan, Ahl Al Mi`ah
Fasha’idani, Talkhish Al Mustadrak, At-Talwihat fi Ilm Al Qira`at, Al Arba’un Al Buldaniyah, Al
’Adzb As-Salsal fi Al Hadits Al Musalsal, Al Muqizhah fi ’Ilm Mushthalah Al Hadits, Ahadits Ash-
Shifat, Mas`alah Al Ijtihad, Kasyf Al Kurbah ’Inda Faqd Al Ahibbah, Juz’un fi Mahabbati Ash-
Shalihin, Tarjamah Ahmad bin Hambal, Ath-Thibb An-Nabawi dan masih banyak lagi karyanya.
WAFAT
Perjalanan dakwah tak pernah lekang aral rintangan yang bisa sampai pada pembunuhan,
dan itu beliau alami. Pada tanggal 4 Juli 1977 sekelompok teroris yang tidak suka dengan cara
dakwahnya membunuhya sehingga beliau wafat dan mendapatkan karunia syahid yang diidam-
idamkan banyak orang. Jasad beliau dishalatkan di masjid jami’ Al-Azhar dan yang menjadi
imamnya Syaikh Shalih Al-ja’fari. Beribu-ribu orang ikut menshalatkannya dari teman, murid-
murid dan orang-orang yang mengenalnya dan mengetahui budi pekertinya. Sebagai pernghormatan
baginya, jasad beliau dimakamkan di komplek makam keluarga Imam Syafi’i.
Adapun metodologi yang di gunakan oleh Adz Dzahabi dalam karangannya ini (tafsir wal
mufassirun), menurut saya tidaklah menggunakan metodologi-metodologi yang biasa digunakan
dalam kebanyakan kitab-kitab tafsir, yaitu tahlili (diskriprif-analitis), ijmali (tafsir global),
muqorron (perbandingan), maudhu’i (tematik). Karena menurut saya kitab tafsir wal mufassirun
bukanlah kitab tafsir yang isinya membahas ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan bisa dikatakan bukan
kitab tafsir Al-Qur’an ya karena memang isinya bukan ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsirkan.
Melainkan sebuah tulisan yang di tulis berdasarkan kaidah penulisan risalah doctoral, yang memang
kitab ini ditulis untuk di ajukan sebagai risalah doctoriyah (tesis Ph.D) pada tahun 1365 H atau
1946 di kuliah Ushuludin di Uneversitas Al-Azhar. Bahakan oleh beberapa kalangan, kitab ini
dikatagorikan sebagai kamus tafsir, karena kitab ini dengan secara detail mebahas berbagai metode
yang ditempuh oleh para mufassir, berbagai corak yang dikenal di kalangan ulama klasik, juga
corak corak tafsir yang lahir di masa kontemporer. Dalam kitab ini, juga lebih dominan membedah
profil kitab dan pengarang tafsirnya sekaligus, yang diklasifikasikan menurut masa dan corak tafsir
yang dikembangkannya.
Sama halnya dengan metodologi, corak penafsiran kitab tafsir wal mufassirin ini tidak
menonjolkan salah satu dari corak-corak penafsiran yang digunakan pada kitab-kitab tafsir (apakah
itu bercorak tafsir sufi, fiqhi, falsafi, ilmi, atau, adabi ijtima’i). Bahkan isinya adalah pembeberan
corak tafsir yang digunakan oleh para ahli tafsir beserta kitabnya.
Yang mana pada dasarnya, kitab ini membicarakan tentang tafsir dan perkembangannya,
yang secara mendetail mengupas berbagai metode dan corak yang digunakan oleh para mufassir,
sehingga menurut kitab ini tidak masuk dalam corak-corak kitab tafsir.
Adapun ringkasan isi dari ke-3 jilid kitab tafsir wal mufassirun.
A. JILID I :
Bab Pertama: Membahas tentang Tafsir pada masa Nabi SAW dan para Sahabat, lalu
membahas tentang sumber tafsir pada masa ini yaitu Al-Qur’an, Hadits serta Ijtihad dan Istimbath,
juga membahas tentang Ahli Tafsir yang terkenal pada masa Sahabat dan metode tafsir mereka dan
yang terakhir membahas tentang kelebihan Tafsir pada masa Nabi SAW dan Sahabat.
Bab Kedua: Membahas tentang Tafsir pada masa Tabi’in. Bab ini membahas tentang
Madrasah Tafsir pada masa tabi’in yaitu Madrasah Tafsir di Makkah yang didirikan oleh Ibnu
Abbas, Madrasah Tafsir di Madinah yang didirikan oleh Ubay bin Ka’ab dan Madrasah Tafsir di
Iraq yang didirikan oleh Ibnu Mas’ud, lalu membahas tentang kelebihan Tafsir pada masa Tabi’in.
Dalam bab ketiga ini terdapat beberapa fashal, yang pertama, yaitu tentang apakah Tafsir
bil Ma’tsur itu ?. yang kedua, tentang Tafsir bir Ra’yi dan yang berhubungan dengannya. Kemudian
pada pasal yang ketiga membahas tentang pentingnya kitab Tafsir bir Ra’yi yang diperbolehkan dan
studi tentang kitab-kitabnya, yaitu:
Dan pada pasal yang keempat membahas tentang Tafsir bir Ra’yi al-Madhmumah atau
Tafsir dari kelompok bid’ah:
B. JILID II
Pasal yang keenam, membahas tentang Tafsir Filsafat dan metode tafsir mereka dalam dua
puluh lembar dan beliau sebutkan contoh Tafsir Filsafat dan metodenya seperti al-Farabi dan Ibnu
Sina.
Pasal yang ketujuh, membahas tentang Tafsir Fuqaha’ sekitar lima puluh halaman, berbicara
tentang perkembangan Tafsir Fiqih ayat-ayat hukum pada setiap mazhab fiqih. Dan membahas
enam kitab Tafsir tentang Ahkam Al-Qur’an.
Pasal yang kedelapan, membahas tentang Tafsir Ilmi dalam enam belas halaman, ia
sebutkan pendapat ulama terdahulu dan ulama sekarang kemudian ia sebutkan ikhtiyarnya dan
menolak tafsir ilmi seperti yang dirajihkan oleh Imam Syatibi.
Penutup, kitab ini ditutup dengan pembahasan tentang corak tafsir pada masa
modern,pembahasan ini menghabiskan sekitar seratus dua puluh halaman, beliau sebutkan beberapa
kitab tafsir:
C. JILID III
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada jilid ke tiga, kitab tafsir wal mufassirun ini ditulis
oleh putranya yaitu Doktor Musthafa Muhammad Adz Dzahabi sebagai pelengkap apa yang telah
ditulis oleh ayahnya tersebut. Adapun pembahasan yang diuraikan didalamnya terbagi kedalam
delapan bab, yaitu;
1. Kitab kitab tafsir al-ma’tsur oleh ahlu as sunnah. Seperti; muqotil bin sulaiman, dll.
2. Kitab kitab tafsir bir-ra’yi oleh alhu as sunnah, seperti; tafsir ibnu abi hatim, dll.
3. Kitab kitab tafsir al imamiyah al itsna asyariyah, seperti; tafsir iyasy, tafsir al-
Qummy, dll.
4. Kitab kitab tafsir ismailiyah, sepeti; asas at takwil.
5. Kitab tafsir ibadiyyah, seperti; tafsir kitabillah al aziz.
6. Kitab tafsir zaidiyyah; tafsir al-A’qom.
7. Kitab tafsir shufiyyaah, seperti; tafsir lathooif.
8. Dan terakhir pembahasan mengenai kitab kitab tafsir yang berkaitan dengan ayat
ayat ahkam, seperti; tafsir ahkamil qur’an karya at-tohawy.
Akan tetapi ada juga yang memang seharusnya di cetak 2 jilid menjadi 3 jilid, dimana yang
jilid ketiga berisi pembahasan tentang : Al-Kisaniyah, Az-Ziyadiyah, Al-Imamiyah, Al-Ghilah, dan
Al-Ima’iliyah.