Oleh
Hikmah Maulidyah
No. 17
Kelas IX C
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU RUSYD
Ia adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd kelahiran Cordova
pada tahun 520 H / 1126 M ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal
dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).[5]
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di
Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan.
Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah
yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibnu Rusyd dari kecil
tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya
kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibnu Sina dalam
kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.
Perhatian keluarga Ibnu Rusyd yang besar itu terhadap ilmu pengetahuan
meruapakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi
ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan
otaknya, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya
intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan
laiinnya.
Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode
perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap
perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol)
ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan
bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd (ketika itu umurnya 43
tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada biang
ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan
megoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga
ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat, karena keteledoran
transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibnu
Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibnu Rusyd (dalam usia 56 tahun)
menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.[10]
Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh
kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh mmbawa filsafat yang menyeleweng dari
ajaran –ajaran Islam. Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu
tempat bernama Lucena daerah Cordova.
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan
membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua
buku Ibnu Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu
kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai
penyeleweng dan menjadi kafir.
Setelah Ibnu Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada tahun
1198 dalam usia 72 tahun.
Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap
filsafat aristoteles. Karangannya meliputi berbagai bidang ilmu, seperti; fikih, ushul,
bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Buku-bukunya
adakalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat
tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, makatidakmengherankan kalau ia
memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkaskan filsafat
aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Palto,
Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Gazali dan Ibnuj
Bajah.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-
karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya
Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul
tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang
ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra
Diantara b uku-bukunya yang penting dan yang sampai antara lain yaitu :
1. Bidayatul Mujtahid,
2. Faslul Maqal fi ma baina al-Hikmati was- Syar’iat min ittsal (ilmu kalam).
3. Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam).
4. Tahafut at-Tahafut
5. Dhamimah li Mas’alah al Il-‘ilm al-Qadim .
6. Kulliyat fi al-Tibb
Pemikirannya
a. Agama dan Filsafat
Menurut Ibnu Rusyd Agama dan filsafat tidaklah bertentangan, bahkan orang
islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas
filsafat ialah tidak lain daripada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta
semua yang ada ini. Sebagaimana di didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
mengandung kalimat menyuruh kepada manusia supaya berfikir tentang wujud an
alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian Al-Qur’an sebenarnya
menyuruh manusia untuk berfilsafat. Kalau pendapat akal dan filsafat bertentangan
dengan teks wahyu, maka teks wahyu harus diberi interpretasi demikian rupa
sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
Sebagaiman telah dijelaskan pada latar belakang makalah ini bahwa Al-Ghazali
dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh
persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka.
Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai
filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran
mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis
sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut sebagai jawaban dari tahafut al-falasifah Al-
Gazali. Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof ialah
berkaitan dengan masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan yang bersifat
juz’iyyat, dan kebangkitan jasmani. Berikut ini akan dijelaskan tanggapan Ibnu
Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.
1. Qadimnya Alam
Mengenai qadim dan haditsnya alam Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan
yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan
apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada),
lebih condong kepada soal penamaan belaka. Sebabnya, mereka sendiri pada
dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang
menengahi keduanya. Para teolog maupun filosof sepakat dalam memberikan
sebutan nama kepada kedua sisi wujud itu, tetapi mereka berselisih mengenai wujud
pertengahan. Pada wujud yang pertengahan inilah alam semesta menempatkan
posisinya.
Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar
dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan
(materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang
tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud
ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah
tidak ada).
Sisi wujud yang berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah: wujud yang
keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu
apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk
menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini dapat
diketahui dengan bukti-bukti pikiran yaitu Allah SWT., yang memperbuat dan
menciptakan segala sesuatu serta memeliharanya pula.
Adapun sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya
tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi wujud
karena sesuatu, yaitu Zat pembuat, dan wujud tersebut adalah alam keseluruhannya.
Semua golongan sepakat tentang adanya ketiga sifat tersebut bagi alam, yaitu bukan
dari tiada, tidak didahuli zaman dan terjadi karena Zat pembuat. Ulama-ulama kalam
mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam, atau seharusnya mengakui
demikian, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerakan dari
benda.
Kalau ulama kalam mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alami ni dari tiada
sama sekali, maka perkataan tersebut menurut Ibnu Rusyd tidak dapat dibenarkan.
Yang benar adalah adanya dua zat (perkara) yang azali, yaitu Tuhan dan alam. Akan
tetapi azalinya Tuhan berbeda dengan azalinya alam dalam pertimbangan pikiran,
sebab Tuhan menjadi sebab wujudnya alam.
Apabila kita memperkirakan bahwa alam itu baru, maka kelanjtannya seperti
yang dikatakan oleh ulama kalam, yaitu bahwa alam itu mesti ada yang membuatnya.
Akan tetapi bisa timbul keragu-raguan tentang macamnya wujud Zat pembuat
tersebut yan tidak bisa dihindari oleh ilmu kalam, yaitu bahwa zat pembuat itu tidak
bisa kita katakan azali (qadim) atau baru. Tidak bisa dikatakan baru karena dia
membutuhkan zat yang membuat-Nya, dan begitu seterusnyasampai tidak
berkesudahan, dan ini mustahil. Tidak dikatakan azali karena hal ini berarti bahwa
pembuatannya yangberubungan dengan perkara-perkara yang dibuat itu azali pula,
dan kelanjutannya perkara-perkara yang dinuat tadi adalah azali juga.
Perkara yang baru wujudnya harus berhubungan dengan pembuat yang baru,
kecuali kalau ulama kalam mau mengakui adanya pembuat baru dari pembuat qadim,
karena perkara yang dibuat mesti berhubungan dengan perbuatan pembuat,
sedangkan mereka tidak mau mengakuinya, sebab salah satu kaedah mereka ialah
bahwa apa yang bergandengan dengan perkara yang baru adalah baru pula. Jawaban
ulama-ulama kalam bahwa pembuatan baru itu terjadi karena iradat (kehendak) yang
qadim tidak dapat melenyapkan keragu-raguan, sebab iradat bukanlah pembuatan
yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara yang dibuat itu baru,
maka perbuatan yang berhubungan dengan penciptaannya baru pula.
Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati
dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.
Bagi mereka yang lebih menguatkan segi kemiripannya dengan wujud yang qadim
maka mereka menamakannya wujud Qadim, sebaliknya mereka yang lebih
menguatkan segi kemiripannya dengan wujud baru maka mereka menamaknnya
wujud baru . Jadi pikiran-pikiran tentang alam tidak berjauhan sama sekali, sehingga
hal yang seperti itu tidak perlu dikafirkan.
3. Kebangkitan Jasmani
Pada waktu mebicarakan filsafat Al-Gazali, kita mengetahui alas an-alasan
filosof tentang ketinggian kebangkitan rohani dan bantahan-bantahan Al-Gazali
terhadap mereka. Sudah barang tentu Ibnu Rusyd, memberikan tanggapannya
terhadap masalah tersebut, apalagi masalah ini menjadi salah satu unsur bagi
kekafiran filosof, menurut penilaian Al-Gazali.
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat,
tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan
bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani
dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan
didunia ini.
Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan
kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh
mengandung beberapa alternatif diantaranya :
Pertama, dapat dikatakan (sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa
mutakallimun) bahwa manusia adalah tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden;
bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak
ada; dan bahwa kematian berarti ketidak-berlangsungan kehidupan, atau
terhalangnya pencipta dari penciptaan kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan
kembali berarti (1) perbaikan kembali oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap
(2) pengembalian eksistensi tubuh; dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah
lenyap. Atau, dapatlah dikatakan bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa
kehidupan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun
kedalam manusia, dimana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah
kematian tubuh, tetapi yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh
yang asli ketika semua bagian tubuh telah terkumpul.
Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada,
penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan yang sama dengan atau tidak
identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata “kembali” seperti yang kita pahami,
mengimplikasikan pengandaian kebakaan (lawan fana) satu hal dan membarukan hal
lain.
Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian kebakaan jiwa, dan
pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu diperhatikan, yang cocok disebut
“kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan fungsinya untuk menuju tubuh,
setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi
debu, atau dimakan ulat, burung-burung, dan berubah menjadi dara atau asap, atau
udara dan bercampur dengan udara dan asap di dalam alam, sedemikian rupa
sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain. Apabila hal tersebut
diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh
tidak:
1. Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada
saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan mengarah kepada kebangkitan
kembali dengan anggota badannya yang telah lepas, atau telinga dan hidungnya
putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama percis seperti
ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang disurga, karena
mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal firah (penciptaan). Hal ini
merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh karena itu, ini merupakan suatu
kesulitan yang muncul, apabila pengandaian pengembalian dibatasi pada
penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat kematian.
2. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang
belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di
beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat paceklik), maka
kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan sama, tubuh yang
dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak
mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya
dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah dibuktikan oleh
ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari
sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi liver,
begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita mengandaikan
beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ, kepada organ
apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu kemustahilan
sebagaimana yang disebutkan terdahulu.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam
tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya
yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan
terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.
Oleh Karena itu tidak terdapat ‘Ijma ulama tentang soal pembangkitan di hari
kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan
jasmani tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.
OLEH
ALMIRA ZUHROTUS S.
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU BATUTAH
BIOGRAFI AL-KHAWARIZMI
Oleh
DIVA AYU LESTARI
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI AL-KHAWARIZMI
Ahli matematika pada masa Al-Khwarizmi dan saat ini memberi opini tentang
Algebra, antara lain Ibnu Turk, Thabit ibn Qurra, al-Sidnani, Sinan ibn al-Fath, Abu
Kamil dan Abu al-Wafa al-Buzjani. Karya Algebra juga populer di Barat pada awal
abad XII ketika para pelajar Eropa mulai menerjemah dari bahasa Arab ke bahasa
Lain, seperti Johannes Hispalensis (fl.1140), Gherardo of Cremona (1114 – 1187),
Adelard of Bath (fl.1120) dan Robert of Chester (fl.1150).
Robert Bacon (1214 – 1294) dan Vincent de Beauvais (sekitar 1275) menjadikan
karya Al-Khwarizmi sebagai referensi dan mengambil beberapa istilah yang
ditemukan di buku itu, demikian pula Albertus Magnus (1208 – 1280) mengacu
tabel yang ditulis Al-Khwarizmi. Sejarawan F. Woepcke menyebut bahwa Leonardo
Fibonacci mengutip model Al-Khwarizmi untuk contoh soal tapi sebagian dari kasus
tersebut kemungkinan berasal dari Abu Kamil, tokoh dimana Fibonacci mengutip
sebagian masalah dalam aljabar.
Buku Algebra memberi kesan mendalam pada karya Regiomontanus (1436 –
1476), tidak saja mengacu pada akar quadrat (ars rei et census) tetapi juga
menggunakan teknik pengungkapan tertentu; ’restaurare defactus’ sebagai suatu
contoh, dengan cara sama yang persis dengan pemahaman dalam aljabar. Karpinski
mencantumkan, kopi naskah Algebra yang ditampilkan dalam kumpulan tulisan
Plimpton menyerupai tulisan tangan dan pemakaian singkatan yang digunakan
Regiomontanus (Johannes Mueller). Bahwa pengarus karya Al-Khwarizmi sangat
besar pada naskah negara-negara Barat dan Latin yang terlihat pada format tulisan
dasar-dasar aljabar yang dipelajari di Eropa.
E. Kesimpulan
Sepeninggal Al-Khwarizmi, keberadaan karyanya beralih kepada komunitas
Islam termasuk cara menjabarkan bilangan dalam metode perhitungan, bilangan
pecahan; pengetahuan aljabar yang merupakan suatu warisan untuk menyelesaikan
persoalan perhitungan; dan rumusan lebih akurat dari yang pernah ada sebelumnya.
Di dunia Barat, ilmu matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya Al-
Khwarizmi dibanding karya penulis abad pertengahan. Masyarakat modern saat ini
berhutang budi pada Al-Khwarizmi dalam hal penggunaan bilangan Arab. Notasi
penempatan bilangan dengan basis 10, penggunaan bilangan irasional, dan
diperkenalkannya konsep aljabar modern membuatnya layak jadi figur penting
dalam bidang matematika di abad pertengahan. Sistem bilangan Arab yang
diperkenalkannya membawa perubahan dalam komposisi dan karakteristik
matematika dan revolusi proses perhitungan di abad pertengahan Eropa. Dengan
penyatuan matematika Yunani, Hindu dan mungkin Babylonia, teks aljabar
merupakan salah satu karya Islam di jagat dunia. Disamping itu kita juga tidak
melupakan karyanya yang lain, seperti huruf-huruf aljabar, algoritma, penemuan
notasi angka nol, nilai akar bilangan merupakan bukti peran Al-Khwarizmi
mengembangkan pengetahuan tentang perhitungan.
TUGAS SKLI
Oleh
ADINESIA CAHYANI E.
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
Biografi Ibnu Sina
Nama Kelompok
1. Wahyu Arya
2. Moch. Avansa
3. Dewa Ayu Lestari
4. Nanda Evada
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
TUGAS AQIDAH AKHLAK
Pengampu : Mua’ifah
Nama Kelompok
1. Dwi Lestari
2. Risqi Wulandari
3. Sabrina Septiana
4. Hikmah Maulidiyah
5. Adhya Prasetyo
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
TUGAS SKI
Oleh
DWI LESTARI
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU ‘ARABI
Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i
al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-
karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi
memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia
sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat,
sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga
berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya
yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim
(Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini.
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli
1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia
diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.
Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan
kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya
dihabiskan di tengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara
Ibnu Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri
dengan bantuan tentara bayaran kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid),
leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibnu Mardanisy berdiam di Mursia dan
Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu
dengan raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela kerajaannya
melawan kekuatan baru dari Al Muwahidin, meskipun kekuasaanya semakin surut
ketika Ibnu ’Arabi lahir. Dinasti Al Muwahidin berasal dari suku-suku Berber dari
pegunungan Atlas Maroko. Pengikut dari pemimpin keagamaan Ibnu Tumart, dan
muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu
Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibnu ’Arabi, Al
Muwahidin telah membangkitkan dan mengkosolidasi kembali persatuan muslim di
Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-
orang Kristen di utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai Ibukota lokal dan
membangun stabilitas diseluruh daerah Afrika Utara.
Pada tahun 1172 Ibnu Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap
kekuasaan Al Muwahidin. Ayah Ibnu’Arabi bersama-sama dengan rombongan
pengikut Ibnu ’Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiannya
pada sultan Al Muwahidin, Abu Ya’qub Yusuf I, dan menjadi salah satu penasehat
militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat
kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan Al Muwahidin di
Spanyol. Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh sultan ; seperti
memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama
di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras, dan kultur dimana
penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan
dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibnu ’Arabi tumbuh di lingkungan
yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama dan
filsafat. Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada
lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla
abad ke dua belas pada masa Ibnu ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan
gabungan kota London, Paris dan New York dimasa sekarang – sebuah campuran
yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan dan peristiwa.
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-
anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk
keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi,
hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al
Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang
kemudian sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-
tahun.
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai
pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan
sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi,
dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan
sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.
Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun. Dia menjalani pengasingan diri
(khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya,
diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika ikut pesta makan-makan bersama teman-
temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu
disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia
mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena
ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota
Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari
ia tetap tinggal disana sendirian melakukan khalwat, melakukan zikir dan hanya
keluar saat shalat.
Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia
bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan
dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut
periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan
ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan
merupakan masa ia melakukan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas,
namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi.
Ini adalah masa yang hampir semua manusia pasti mengalami, agar mereka
memahami makna kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna kedekatan
dengan Tuhan.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan
spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan
dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya
keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama
mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova.
Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan
spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang
diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal ia berkelana
mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui Syeikh Abu
Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan
Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin
menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair
untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf,14 yang
barangkali adalah Syeikh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah
seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibnu’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-
kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.15
Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan Abu Madyan secara fisik tidak
pernah tercapai – bahkan ajaran Abu Madyan diperolehnya hanya dari murid-
muridnya yang nota bene adalah guru-gurunya, seperti A Mawruri, Al Kumi, dan Al
Sadrani – akan tetapi Ibnu’Arabi meyakini bahwa Abu Madyan mengenalnya bahkan
telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.16 Tokoh inilah yang kerap kali
disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibnu’Arabi
dengan aliran Neopatonisme.
Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi
yang diterimanya kedalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di akhir 1194
setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid al
Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan
sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah)
untuk al Mawruri.
Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan
Al Muwahidin dan memasuki jalan rohani, Ibnu ’Arabi melakukan perjalanan yang
menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Dia mulai sebagai Isawi,
kemudian menjadi Musawi, dan setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia
akhirnya sampai pada warisan Muhammad. Terkadang proses ini berada dibawah
bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para
nabi itu sendiri. Ibnu ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan
spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan rasul. Bagi
dia kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi intergral dan
menyatukan kebijaksanaan Muhammad. Warisan kenabian ini membentuk basis riil
dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Isa, menekankan pada penarikan
diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Musa, saat cahaya wahyu diturunkan.
Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, dia
akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muhammad.
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan
kemudian, Ibnu’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara
perempuannya, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan
duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara Al Muwahidin di
Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibnu ’Arabi mendapat tawaran pekerjaan
dalam pasukan pengawal sultan. Karena teringat ucapan Salih al Adawi, Ibnu ’Arabi
menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara
perempuannya menuju Fez dan tinggal disana untuk beberapa tahun. Setelah kedua
adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali
mencurahkan diri pada jalan spiritual.
Fez tampaknya menandai periode kebahagian yang luar biasa dalam
kehidupannya, dimana dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan
spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang
sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris
Muhammad – dia sendiri juga semakin jauh masuk kedalam warisan ini. Di Masjid
Al Azhar di Fez dia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya – visi
cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahanya yang besar. Di
tahun berikutnya, pada usia tiga puluh tiga tahun, dia mengalami suatu perjalanan
yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan
perjalanan malam Nabi Muhammad yang terkenal. Perjalanan ini kemudian tertuang
dalam kitab Al Isra (Kitab Perjalanan Pertama).
Setelah di anugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibnu’Arabi
kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan
Desember tahun itu ia berada di Kordova saat pemakaman Ibnu Rusyd. Kemudian
dari Kordova, bersama sahabat dekatnya Al Habasyi mereka menuju ke Granada dan
kembali bertemu dengan Abdallah al Mawrauri. Pada bulan Januari 1199 di Granada
Ibnu’Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali.22 Dari
Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negri kelahirannya ini,
mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia
lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.
Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi akhirnya tiba di
Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan
ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka adalah Abu Syuja’ al Imam al
Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis
ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān
al Asywāq.
Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya
itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya
karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam
penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul
Abdāl, Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental
adalah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan
langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari
peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, dimana dia bertemu dengan figur pemuda
misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna isoterik dari al Qur’an. Di
samping itu, sebuah visi tentang nabi Muhammad melengkapi perjalanan rohaninya
menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian.27 Pada periode Makkah ini juga
terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia
(daerah Rum). Syakh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi
penasehat raja di Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari
Sadruddin al Qunawi, salah seorang tokoh kunci diantara murid-murid Syaikh al
Akbar.
Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad
dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul
selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memberinya
pentahbisan al Khidr untuk ketiga kalinya. Selama tinggal di sini ia berhasil
menyelesaikan tiga karya, yaitu Tarazzulah al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal
Jamāl, dan kitab Kunh mā lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205
(602 H) mereka (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara melalui Dyarbakir, dan
Malatya sampai di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi menyusun Risalah al Anwār
(Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhbungan dengan Ahaduddin Hamid
al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke
Yerussalem lalu Hebron (disini berhasil menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan
ibadah Haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali
berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibnu’Arabi dari Andalusia yaitu
Al Khayyat dan Al Mawruri.30 Tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak
bersimpati pada Ibnu’Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan
dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir
tahun 1207 Ibnu’Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Hadist dan
juga mengunjungi keluarga Abu Syuja’bin Rustam. Setelah tinggal di Makkah
sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada
tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang
disana.
Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana
dia bertemu dengan guru sufi terkenal Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang
kitab Awarif al Ma’arif.
Pada periode antara 1213 – 1221 Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo,
Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi
sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq
wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra
Majduddin, Sadruddin Qunawi yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa
lama kemudian sahabatnya Al Habasyi juga wafat.
Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga akhir
hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan
yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi
panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat terkenal
dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus Al Malik al ‘Adl menawarinya
untuk tinggal di Istana. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya besarnya Futūĥātul
al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu
menyelasaikan puisinya Al Diwan al Akbar.34 Adapun Sadruddin al Qunawi yang
telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama
dengan Awhaduddin Kirmani, sahabat Ibnu ‘Arabi sekaligus guru Qunawi.
Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani
638 H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu
‘Arabi melakukan upacara pemakamannya.
Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat diketahui ada tiga
orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali
dalam Futūĥātul al Makkiyyah II halaman 278 dan III halaman 235. Fathimah binti
Yunus bin Yusuf ; putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imad al Din (Futuhat
IV halaman 554). Dan seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putii seorang
Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futūĥātul IV halaman 559).
Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya
serta bagaimana nasibnya.
Oleh
DWI YASTI
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU AL-BAITAR
(AHLI BOTANI PENEMU HINDIBA)
Karyanya
Sebagian besar buku karya Ibnu al-Baitar berasal dari hasil penelitiannya
selama beberapa tahun terhadap berbagai jenis tumbuhan. Tak hanya berisi hasil
penelitian, buku tersebut juga di lengkapi penjelasan & komentar panjang. Di
kemudian hari, karya-Karya Ibnu al-Baitar menjadi buku rujukan ilmu botani yang
sangat penting. Kontribusi Ibnu al-Baitar tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu botani & kedokteran selanjutnya, baik di Eropa maupun Asia.
Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab Al-Jami’ li Mufradat Al-Adweya
wa Al-Aghtheya (dibawa ke Barat dan diterjemahkan menjadi The Complete [book]
in Simple Medicaments and Nutritious Items) . Buku ini sangat populer dan
merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu
pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan
hingga abad 16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400
item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan
yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150
penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani
sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758.
Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-Mughni fi al-Adwiya al-
Mufrada (diterjemahkan di Eropa menjadi The Ultimate in Materia Medica) yakni
ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah
pula dengan 20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Pada masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak
dikutip sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa
Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta
memberikan transfer pengetahuan.
Tak hanya itu, ada juga Mizan al-Tabib (The Physician’s Balance), Al-Ibana
wa Al-I’lam ‘ala ma fi Al-Minhaj min Al-Khalal wa Al-Awham yang merupakan
telaah kritisnya atas ilmu farmasi sebelumnya, Minhaj al-Bayan fi ma yasta’meluhu
al-Insan yang disusun oleh Abu Ali Yahya ibn Jazla al-Baghdadi (493 H/1100 M)
serta juga Al-Af’al al-Ghariba wa al-Khawas al-’Ajiba.
“Catatan-catatan Al-Baytar adalah catatan terpenting dalam dunia tumbuhan
dari seluruh periode kejayaan ahli botani, mulai dari masa Dioscorides sampai
abadke-16,” ungkap Sarton. Catatan Al-Baytar, kata ahli sejarah ini, seperti kamus
atau ensiklopedia lengkap tentang tumbuh-tumbuhan.
Wafat
Ibnu Al-Baitar meninggal di Damaskus pada tahun 1248. Dunia mengenangnya
sebagai seorang yang paling berjasa dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
berpengaruhpenting dalam perkembangan ilmu botani
TUGAS SKI
BIOGRAFI AL KINDI
Oleh
QONITA HELGA
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI AL-KINDI
Filsafat Jiwa’al-Nafs
Dalam. Islam, persoalan jiwa, (roh) pada dasarnya tidak dianggap satu
persoalan yang perlu lagi dipersoalkan, karena ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
telah memberikan pernyataan bahwa persoalan roh adalah urusan Tuhan, bukan
urusan manusia.
Menurut al-Kindi, roh itu tidak tersusun, mempunyai arti panting, sempurna
dan mulia. Substansi roh berasal dari subtansi Tuhan, Hubungan roh dan Tuhan
sebagaimana dengan hubungan cahaya dan matahari.
Selain itu, jiwa bersifat spritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dengan Tuhan.
Tubuh mempunyai hawa nafsu, dan sifat pemarah sedangkan roh menentang hawa
nafsu. Jadi menurut saga, bahwa roh adalah merupakan sosial kontrol terhadap tubuh.
Tubuh akan binasa tanpa roh. Dengan roh pulalah manusia memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya. Roh bersifat kekal dan tidak hancur, sebagaimana hancurnya badan
kalau meninggal, karena substansinya berasal dari Tuhan. Merupakan cahaya yang
dipancarkan oleh Tuhan.
Selama di dalam badan roh tidak memperoleh ketenangan yang sebenarnya dan
pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan roh
memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang
sempurna. Setelah bercerai dengan badan roh pergi ke alam kebenaran ( ), alam akal
( ) di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan
Di sinilah kesenangan abadi dari roh.[29]
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai 3 daya, yakni:
1. Daya bernafsu
2. Daya pemarah
3. Daya berfikir [30]
Daya berfikir ini disebut dengan akal, bagi al-Kindi akal terbagi atas tiga bagian
sebagai berikut:
a. Akal bersifat potensial
b. Akal yang keluar dari akal yang potensial
c. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas
Akal yang bersifat potensial, tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada
kekuatan yang menggerakkannya dari luar, olehnya itu al-Kindi menambah satu
macam akal yang memiliki wujud di luar wujud manusia yang bernama akal yang
selamanya dalam aktualitas yang membuat akal menjadi potensial dalam roh manusia
menjadi aktuil.
Menurut dugaan saya, mungkin inilah yang disebut akal yang tak terbatas. Hal
ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang membedakan menjadi dua macam akal
yakni akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin itulah yang menerima pikiran.
Sedangkan akal agen menghasilkan obyek-obyek pemikiran. Akal agen ini selalu
aktual, dan selalu tersendiri, kekal dan tak rusak.
Menurut syayyid Syarif akal itu ada disebut juga (intelak pertama), hakikat
Muhammadiyah, nafs wahidah, hakikat asmaiyyah yang identik dengan eksistensi
pertama yang diciptakan Allah yang, dinamakan (khalifah terbesar) atau inti cahaya,
intinya merupakan wahana penampakan zat. Sedangkan cahayanya penammpakan
pada umumnya. Yang intinya dinamakan (nafs wahidah) cahayanya dinamakan
intelak pertama.
Dan rupanya teori tentang nafs,/jiwa masih belum tuntas karena filosof di
belakang al-Kindi masih mempersoalkan. Dan yang terpenting menurut al-Kindi
bagaimana menyempurnakan jiwa untuk memperoleh kebahagian tertinggi.
TUGAS SKI
BIOGRAFI
ABU BAKAR MUHAMMAD ZAKARIA
AR-RAZI
Oleh
RISQI WULANDARI
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
ABU BAKAR MUHAMMAD ZAKARIA AR-RAZI
Beliau bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi. Dalam
bahasa Latin nama panggilan beliau, Ar-Razi telah dirubah menjadi Rhazes. Selain
itu, karena kemampuan Ar-Razi di bidang kimia sangat besar, maka sebagian penulis
Eropa menyebut beliau dengan panggilan “Boyle Persia” yang disamakan dengan
ahli fisika dan kimia Inggris, Robert Boyle. Abu Bakar Ar-Razi lahir pada tahun 251
H/ 865 M di Rayy, Teheran, Iran. Namun berdasarkan sumber referensi lain beliau
dilahirkan pada tahun 240 H/ 854 M.
Sejak kecil Ar-Razi telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu
pengetahuan. Beliau juga dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang
ketat. Sewaktu muda beliau sudah mempelajari filsafat, kimia, matematika, dan
kesustraan. Baru pada usia 30 tahun beliau mulai mempelajari bidang kedokteran.
Dalam perjalanan kariernya, beliau harus meninggalkan pengabdian di kota
kelahirannya. Sebab penguasa Baghdad telah memanggil Ar-Razi untuk menjadi
kepala rumah sakit di Baghdad. Sehingga selain memberikan teori-teori , beliau juga
langsung mempraktikkan ilmunya dalam perawatan pasien di berbagai rumah sakit di
Teheran dan Baghdad.
Beliau mempraktikkan ilmu kedokteran selama 35 tahun. Beliau tidak hanya
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di Rayy dan Baghdad , tetapi juga daerah-
daerah lain di luar ke dua kota tersebut sering beliau kunjungi dalam rangka
mengabdi kepada masyarakat setempat.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ar-Razi pada masa tua justru
mempelajari bidang kedokteran. Beliau tidak hanya mempelajari kedokteran Arab
dan Yunani seperti para ilmuwan muslim lainnya, melainkan beliau juga
menambahkan pengalamannya dalam bidang kedokteran dengan mempelajari
kedokteran India. Selain itu beliau juga sangat berpengalaman dalam bidang kimia,
dengan bekal ilmu kimianya yang luas beliau pun menekuni dunia medis. Menurut
ar-Razi seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya disebabkan oleh respon
reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut.
Ar-Razi mengajak untuk bersikap teliti dalam melakukan praktik kedokteran
dan mendiagnosa berbagai macam penyakit. Beliau menulis nasihat kepada para
dokter agar memperhatikan hal kecil maupun besar agar dapat mendiagnosa secara
tepat. Ketelitian mendiagnosa yang diiringi dengan kekuatan analisa, kedalaman
teori, kemampuan dalam menganalisis dan menyimpulkannya akan membawa
kepada penemuan ilmiah yang telah ada sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa
kontribusi al-Razi di bidang kedokteran:
Menemukan pengaruh faktor kejiwaan dalam penyembuhan penyakit
Menemukan perbedaan antara cacar air dan campak
Melakukan eksperimen pengobatan kepada hewan sebelum dilakukan pada
manusia
Mengetahui perbedaan antara mulas di usus kecil dengan gangguan usus
besar
Menemukan pengaruh cahaya pada lingkaran hitam di mata
Penggagas etika kedokteran
Menemukan pengaruh alergi terhadap orang yang sakit
Unggul dalam bidang kedokteran dan operasi mata
Membuat daftar seni menjaga kesehatan
Tidak berlebih-lebihan dalam beraktivitas dan beristirahat
Tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum
Menghidari sikap hidup berlebihan
Tempat tinggal yang baik dan teratur
Menghindari perbuatan keji
Menjaga keseimbangan ambisi dan upaya mencapainya
Mempertahankan kebiasaan baik termasuk berolahraga
Beliau memperingatkan bahwa terdapat penyakit yang disebabkan oleh faktor
keturunan
Ar-Razi merupakan dokter yang pertama kali memisahkan antara kedokteran
anak dan kedokteran umum.
Ar-Razi mengobati sebagian penyakit dengan mengatur pola makan saja
tanpa harus menggunakan obat-obatan
Beliau menemukan benang jahit untuk operasi yang terbuat dari bahan
selaput hewan.
Beliau pertama kali menjelaskan penggunaan perban gipsum pada
pengobatan patah tulang
Beliau menyimpulkan penggunaan air raksa dan komposisi timah dalam
membuat obat gosok
WAFAT
Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafat beliau, terdapat sumber yang
menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 313 H/ 925 M. Terdapat pula sumber
yang menyatakan bahwa beliau wafat pada 364 H/ 975 M. Bahkan Ibnu Katsir
mengatakan dalam “Al-Bidayah” bahwa ar-Razi wafat pada tahun 311 H/ 923 M.
TUGAS SKI
Oleh
SABRINA SEPTIANA
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI ABU AL-HASAN ALI BIN SAHL RABBAN AL-TABARI
Abu al-Hasan Ali bin Sahl Rabban al-Tabari atau yang lebih dikenal
dengan nama Al-Tabari yakni seorang hakim, ulama Muslim, dokter dan
Psikolog legendaris Muslim dari kurun ke-9 M. Selain dikenal sebagai seorang
psikolog, al-Tabari juga menguasai ilmu lain yakni, fisika dan kedokteran.
Namanya tetap dikenang berkat karya-karya tulisnya yang sangat berpengaruh.
Al-Tabari lahir pada tahun 838 M, berasal dari keturunan Yahudi Persia
yang menganut pedoman Zoroaster. Nama belakang al-Tabari yakni kenangan
bahwa beliau keturunan Yahudi yang berasal dari Merv di Tabaristan.
Ia lahir dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, Sahl Ibnu Bishr yakni andal
pengobatan, astrolog dan andal matematika yang terkenal. Dia tergolong
keluarga darah biru dan orang-orang di sekitar memanggilnya Raban yang
artinya pemimpin kami.
Sang ayah yakni guru pertama bagi al-Tabari. Dari ayahnya, ia
mempelajari ilmu pengobatan dan kaligrafi. Sebagai seorang cowok yang
cerdas, Ali juga sangat mahir berbahasa Suriah dan Yunani. Nama besarnya
dicatat dan diabadikan dalam karya muridnya Muhammad Ibnu Zakariya al-
Razi alias Rhazes, fisikawan agung.
Al-Tabari kemudian mengabdi di istana khalifah Dinasti Abbasiyah
sampai kepemimpinan al-Mutawakkil (847-861). Diperkirakan ketika itulah,
beliau tetapkan hijrah ke dunia Islam pada ketika Khalifah Abbasiyah, Al-
Mu'tasim (833-842) berkuasa.
Dunia psikologi Islam mengenal Al-Tabari sebagai aktivis terapi
penyakit jiwa. Selain dikenal sebagai seorang psikolog, ia juga menguasai
ilmu lain yakni, fisika dan kedokteran. Namanya tetap dikenang berkat karya-
karya tulisnya yang sangat berpengaruh. Lewat kitab Firdous al-Hikmah yang
di tulisnya pada kurun ke-9 M, beliau telah menyebarkan psikoterapi untuk
menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari
menekankan kuatnya kekerabatan antara psikologi dengan kedokteran. Ia
berpendapat, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling
dan dan psikoterapi.
Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit alasannya
yakni imajinasi atau keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata al-
Tabari, sanggup dilakukan melalui "konseling bijak". Terapi ini sanggup
dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor yang tinggi.
Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri pasiennya.
Pemikirannya di kurun ke-9 M ternyata masih relevan sampai sekarang.
Al-Tabari dinilai muridnya sebagai seorang guru yang berdedikasi tinggi.
Tak heran, kalau murid-muridnya juga meraih ke suksesan ibarat dirinya, salah
satunya al-Razi.
Ia mengajari al-Razi ilmu pengobatan ketika menetap di wilayah Rai.
Lalu beliau hijrah ke Samarra dan menjadi sekretarisnya Mazyar ibnu Marin.
Meski begitu, ia kalah pamor dibanding, muridnya al-Razi.
Kitab "Firdous al-Hikmah" atau (Paradise of Wisdom) merupakan
adikarya sang psikolog. Ia menghasilkan karya pertamanya dalam bidang
pengobatan. Dia merupakan orang pertama yang mengusung ilmu kesehatan
bawah umur dan bidang pertumbuhan anak, ujar Amber Haque dalam bukunya
berjudul Psychology from
Islamic Perspec tive: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges
to
Contemporary Muslim Psychologists.
Kitabnya yang monumental itu juga diterjemahkannya ke dalam bahasa
Suriah. Al-Tabari mempunyai dua kompilasi untuk karya nya yang dinamakan
Deen-al-Doulat dan al-Sehhat. Adikarya sang ilmuwan itu sanggup ditemukan
di perpustakaan Universitas Oxford, Inggris. Al-Tabari tutup usia pada tahun
870 M, namun namanya sampai kini tetap abadi.
Firdous al-Hikmah berisi wacana sistem pengobatan yang dibentuk
dalam tujuh bagian. Buku yang ditulis dalam bahasa Arab ini disebut juga Al-
Kunnash. Buku ini dikategorikan sebagai ensiklopedia kedokteran dan
dibentuk dalam tujuh volume dan 30 bagian, dengan total 360 bab.
Dalam kitabnya itu, al-Tabari membagi ilmu pengobatan dalam beberapa
bagian, antara lain: ilmu kesehatan anak dan pertumbuhan anak serta psikologi
dan psikoterapi. Di cuilan pengobatan dan psikoterapi, al-Tabari menekankan
kekuatan antara psikologi dan pengobatan, dan kebutuhan psikoterapi dan
konseling pada pelayanan pengobatan pasien. Ia juga menerjemahkan buku ini
ke dalam bahasa Syria untuk memperluas warta ini sekaligus penggunaannya.
Informasi dalam buku Firdous al-Hikmah ini tidak pernah masuk ke bulat
pengetahuan dunia barat alasannya yakni tidak pernah diterjamahkan dan
diedit, gres pada kurun ke 20 dikenal di dunia barat, ketika Mohammed Zubair
Siddiqui berusaha mengedit sekaligus membaginya dalam lima cuilan kecil.
Menurut Amber Haque, al-Tabari menuliskan dalam risalahnya, untuk
mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi.
Ia melaksanakan pendekatan terhadap pasien dengan pertolongan konseling,
atau mencoba pasiennya mengungkapkan isi hati serta perasaan yang
menggangu. Ia juga mengajarkan supaya para dokter, memperlihatkan
perhatian, tidak hanya dalam bentuk pengobatan, namun juga dalam bentuk
berdialog. Inilah upaya yang diyakini Ali akan membantu suksesnya sebuah
pengobatan.
Pemikirannya dalam bidang psikologi banyak mensugesti al-Razi.
Melalui kitabnya El-Mansuri dan Al-Hawi, al-Razi juga berhasil
mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk
menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berafiliasi dengan
kesehatan mental. Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama
yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad.
Pemikir Muslim lainnya di masa ke emasan Islam yang turut
menyumbangkan pemikirannya untuk pengobatan penyakit ke jiwaan
yakni Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait
psikologi sosial dan berafiliasi dengan studi kesadaran.
Hingga kini, sebanyak lima karya al-Tabari masih tetap tersimpan di
perpustakaan. Dr Mohammed Zubair Siddiqui telah membandingkan dan
mengedit manuskrip karya al-Tabari. Dalam kata pengantarnya, Siddiqui
mengaku sangat kagum dengan karya sang ilmuwan dari kurun ke-9 M itu.
Menurut dia, buah pikir al-Tabari sungguh sangat berguna.
Ali bin Rabban al-Tabari awalnya yakni penganut Zoroaster. Ia
kemudian tetapkan untuk masuk Islam, alasannya yakni begitu kagum dengan
Alquran. Sang psikolog terkemuka itu mengaku tidak pernah menemukan
goresan pena maupun bahasa yang lebih hebat dan tepat dari Alquran.
Pengakuan al-Tabari terhadap kehebatan Alquran itu dikutip MSM
Saifullah dalam karyanya bertajuk Topics Relating to The Qur'an: I'jaz,
Grammarians & Jews. "Apa yang dikatakan Alquran itu yakni benar.
Kenyataannya yakni saya tidak menemukan satu buku pun dalam bahasa Arab
dan Persia serta dalam bahasa India atau Yunani yang tepat ibarat Alquran,"
tuturnya.
Karyanya:
Firdous al-Hikmah (Paradise of Wisdom)
Tuhfat al-Muluk (The King's Present)
Hafzh al-Sihhah (The Proper Care of Health), mengikuti pengarang
Yunani dan Indian.
Kitab al-Ruqa (Book of Magic or Amulets)
Kitab fi al-hijamah (Treatise on Cupping)
Kitab fi Tartib al-'Ardhiyah (Treatise on the Preparation of Food)
TUGAS SKI
Oleh
BERTIFA HERO AISGORO
MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI ABU BAKAR AS-SIDDIQ
Abu Bakar ash-Shiddiq adalah merupakan sahabat Nabi yang paling awal
memeluk Islam. Ia dikenal sebagai khalifa pertama yang meneruskan
perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin ummat islam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW beliau menjadi khalifah Islam
yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Dan merupakan satu di
antara empat khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang
diberi petunjuk.
Nama lengkap Abu Bakar adalah ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bi
Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin
Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan nabi pada kakeknya Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ai, dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma binti
Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya
sama-sama dari kabilah Bani Taim.
Abu Bakar merupakan ayah dari Aisyah yang merupakan istri Nabi
Muhammad SAW. Nama sebelum masuk islam adalah Abdul Ka’bah yang
artinya ‘hamba Ka’bah’. Setelah masuk islam namanya diubah oleh
Muhammad menjadi Abdullah yang artinya ‘hamba Allah.
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq
yang artinya ‘yang berkata benar’ setelah beliau membenarkan dan
mempercayai peristiwa Isra Mi’raj yang diceritakan oleh Nabi Muhammad
SAW kepada para pengikutnya. Dan dari situlah ial lebih dikenal dengan nama
“Abu Bakar ash-Shiddiq”.
Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan keturunan Bani Taim, sub-suku
bangsa Quraisy. Dan menururt beberapa catatan sejarawan Islam ia adalah
seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar,
serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Saat Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah
dan hidup bertetangga bersama Abu Bakar. Sejak saat itulah mereka saling
berkenalan. Usia mereka berdua sama dan sama-sama seorang pedagang dan
ahli berdagang.
Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada
perorangan, dituliskan bahwa Abu bakar memeluk Islam oleh ajakan nabi. Dan
setelah itu ia meneruskan dakwah islaminya kepada Utsman bin Affan,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas dan
beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.
Namun istri beliau Qutaylah binti Abdul Uzza dan anaknya Abd Rahman
bin Abu Bakar tidak mau memeluk Islam sehingga Abu Bakar
menceraikannya dan berpisah dengan anaknya. Tetapi istrinya yang lain,
Ummu Ruman, menjadi Muslimah.
Saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah
satu-satunya orang yang menemaninya. Setelah beberapa saat Hijra, Nabi
Muhammad SAW menikah dengan anak Abu Bakar, sehingga ikatan
kekeluargaannya makin erat.
Masa wafat Nabi dan diangkatnya Abu Bakar menjadi Khalifa pertama.
Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu
Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang
menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan
posisinya.
Bahkan setelah Nabi SAW telah meninggal dunia, Abu Bakar Ash-
Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi
meninggalnya Nabi SAW ini. Setelah kematian Nabi, dilakukanlah
musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di
Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai
pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.
Namun hasil musyawarah tersebut menjadi perdebatan dan menjadi
sumber perpecahan pertama dalam Islam. Saat itu umat Islam terpecah
menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali
bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan
dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum sunni
berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya.
Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan
musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi’ah
berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah
makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal umatnya tanpa
hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.
Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi’ah
tentang siapa khalifah sepeninggal rasulullah, serta jumlah pemimpin Islam
yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-
masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya
(berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab
dan Usman bin Affan).
Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang
antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara
kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro
forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang
berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan
menutup diri dari kehidupan publik.
Masa kepemimpinan Abu Bakar terjadi beberapa masalah yang
mengancam persatuan diantara umat Islam saat itu. Beberapa suku Arab yang
berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem
yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak
menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk
agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala.
Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan
Nabi Muhammad dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi.
Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang
dikenal dengan nama perang Riddah. Dalam perang Ridda peperangan terbesar
adalah memerangi “Ibnu Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama
Musailamah al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya
sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad.
Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba
oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri terbunuh di tangan Al
Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan oleh Hindun istri Abu Sufyan
karena telah berhasil membunuhHamzah Singa Allah dalam Perang Uhud. Al
Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta mengakui kesalahannya
atas pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah berkata, “Dahulu aku
membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku
telah membunuh orang yang sangat dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu
Musailamah al-Kazab).”
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di
bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan
penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil
memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga
menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium.
Setelah masalah dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke
luar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-
Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul ‘Ash, Yazid bin Abi
Sufyan dan Syurahbil.
Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia
18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan
meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke
Syria.
Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran
Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak
dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
Penyusunan kitab suci Al Qur’an
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur’an.
Setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzab
dalam perang Riddah, banyak para penghafal Al Qur’an yang ikut tewas dalam
pertempuran. Umar kemudian meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan
koleksi dari Al Qur’an.
Dibentuklah sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit,
mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an dari para penghafal al-
Qur’an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit
dan lain sebagainya, setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan
oleh Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab
dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi
Muhammad. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan teks teks
Al Qur’an tersebut menjadi dasar penulisan teks al-Qur’an yang dikenal saat
ini.
Abu Bakar wafat pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit
yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah
putrinya Aisyah di dekat Masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad
SAW.