Anda di halaman 1dari 73

TUGAS SKL

BIOGRAFI IBNU RUSYD

Oleh
Hikmah Maulidyah
No. 17
Kelas IX C

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU RUSYD

Istana Kota Andalusia


Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal
bernama Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat
peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-
ilmuan muslim besar seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca:
masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan
terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga
dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban Islam di
Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari
Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia Islam akhirnya
memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam
khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal
dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar
terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai komentator Aristoteles.
Sebagai komentator Aristoteles, buah pikiran Ibnu Rusyd banyak dipengaruhi
oleh filosof Yunani.[1] beliau dianggap sebagai orang zindiq, karena pemikiran-
pemikiran filsafatnya sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang umum,
oleh karena pendapatnya itu juga beliau pernah dibuang oleh khalifah Abu Yusuf
(pengganti Abu Ya’kub) ke Mucena.
Dalam sejarah filsafat Islam, Al-Gazali dikenal sebagai seorang yang gencar
mengecam filosof, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina murid dan komentator Aristoteles.
Maslah-masalah kefilsafatan yang menjadi sasaran keritikan beliau adalah pada hal-
hal yang dianggapnya membahayakan umat islam .
Menurut Al-Gazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah, antara lain yang
menyebabkan kesalahan yang dilakukan oleh para filosof dengan pendapatnya,
bahwa ada dua puluh kesalahan. Tujuh belas pendapatnya menjadikan bid’ah dan
tiga pendapatnya menjadikannya kafir. Ketiga pendapat filofof itu ialah:
1. Alam itu qadim
2. Ilmu tuhan tidak meliputi hal-hal yang kecil (juz’iyyat)
3. Tidak ada kebangkitan jasmani.
Terhadap lontaran tuduhan Al-Gazali tersebut, Ibnu Rusyd kemudian tampil
dengan bukunya Tahafuth al-Tahafut sebagai jawaban dan pemembelaan kepada para
filofof atas tuduhan Al-Gazali itu. 

Ia adalah Abdul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd kelahiran Cordova
pada tahun 520 H / 1126 M ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal
dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).[5]
Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di
Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan.
Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah
yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibnu Rusyd dari kecil
tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya
kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibnu Sina dalam
kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.
Perhatian keluarga Ibnu Rusyd yang besar itu terhadap ilmu pengetahuan
meruapakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi
ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan
otaknya, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya
intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan
laiinnya.
Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode
perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap
perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol)
ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan
bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd (ketika itu umurnya 43
tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada biang
ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan
megoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga
ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat, karena keteledoran
transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibnu
Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibnu Rusyd (dalam usia 56 tahun)
menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.[10]
Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh
kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh mmbawa filsafat yang menyeleweng dari
ajaran –ajaran Islam. Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu
tempat bernama Lucena daerah Cordova.
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan
membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua
buku Ibnu Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu
kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai
penyeleweng dan menjadi kafir.
Setelah Ibnu Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada tahun
1198 dalam usia 72 tahun.

B. Karya dan Pemikirannya 

Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap
filsafat aristoteles. Karangannya meliputi berbagai bidang ilmu, seperti; fikih, ushul,
bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Buku-bukunya
adakalanya merupakan karangan sendiri atau ulasan, atau ringkasan. Karena sangat
tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, makatidakmengherankan kalau ia
memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkaskan filsafat
aristoteles. Buku-buku lain yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Palto,
Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Gazali dan Ibnuj
Bajah.
Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-
karya dalam berbagai disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya
Ibnu Rusyd mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul
tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4 judul tentang
ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra

Diantara b uku-bukunya yang penting dan yang sampai antara lain yaitu :

1. Bidayatul Mujtahid,
2. Faslul Maqal fi ma baina al-Hikmati was- Syar’iat min ittsal (ilmu kalam).
3. Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam).
4. Tahafut at-Tahafut
5. Dhamimah li Mas’alah al Il-‘ilm al-Qadim .
6. Kulliyat fi al-Tibb

Pemikirannya
a. Agama dan Filsafat 
Menurut Ibnu Rusyd Agama dan filsafat tidaklah bertentangan, bahkan orang
islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Tugas
filsafat ialah tidak lain daripada berfikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta
semua yang ada ini. Sebagaimana di didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang
mengandung kalimat menyuruh kepada manusia supaya berfikir tentang wujud an
alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian Al-Qur’an sebenarnya
menyuruh manusia untuk berfilsafat. Kalau pendapat akal dan filsafat bertentangan
dengan teks wahyu, maka teks wahyu harus diberi interpretasi demikian rupa
sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.

b. Dalil Wujud Tuhan 


Dalam Fashl al-Maqal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu
hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang diciptakan-Nya untuk
dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Allah memberikan dua dalil dalm kitab-
kitab-Nya yang diringkas oleh Ibnu Rusyd sebagai:
1. Dalil ‘inayah (pemeliharaan) 
Apabila ala mini kita perhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang
ada didalamnya sesuai sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain.

2. Dalil Ikhtira’ (penciptaan). 


Dalil ikhtira’ ini sama jelasnya dengan dalil ‘Inayah, karena adanya penciptaan
Nampak jelas pada hewan yang bermacam-macam, tumbuh-tumbuhan dan bagian-
bagian alam lainnya.Makhluk-makhluk tersebut tidak lahir dalam wujud dengan
sendirinya.
Kedua dalil tersebut di atas, sesuai untuk orang-oran awam dan filosof, dan
bisa diterima oleh keduanya. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat kualitatif
saja, yakni filosof mempunyai kelebihan atas orang awam tentang jumlah perkara
yang diketahuinya. Kalau orang-orang awam hanya mencukupkan denan
pengetahuan pertama dari indera-indera untuk membuktikan adanya ‘inayah dan
ikhtira’ dari tuhan, maka filosof menambah pengetahuan tersebut dengan
pengetahuan yang diperoleh dari pembuktian pikiran yang meyakinkan (burhan)
Disamping kedua dalil tersebut diatas Ibnu Rusyd mengemukakan dalil lain,
yaitu dalil gerak atau dalil penggerak pertama, yang diambilnya dari Aristoteles.
Dalil tersebut mengatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan suatu gerakan
yan abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak
bergerak dan tidak berbenda, yaitu Tuhan. 

c. Tingkat Kemampuan manusia


Dalam hal ini Ibnu Rusyd membuat perbedaan tingkat kapasitas dan
kemampuan manusia dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Mereka
adalah kelompok yang menggunakan metode retorik (khathabi), metode dialektik
(jadali) dan metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai
oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan pengkhususan yang
diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat intelektual dan daya kemampuan
berfikirnya tinggi.
Tingkat kemampuan manusia ini terkait dengan masalah pembenaran atau
pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd
menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani,
jadali dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu
berbeda-beda dan beragam. Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan
semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada
kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.
“Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara hikmah, pengajaran yang baik
dan ajak bicaralah (debat) mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Ia juga lebih tahu siapa
yang mendapat petunjuk. (al-Nahl: 125)

C. Tanggapan atas kritik Al-Gazali 

Sebagaiman telah dijelaskan pada latar belakang makalah ini bahwa Al-Ghazali
dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh
persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka.
Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai
filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan pemikiran
mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu ia menulis
sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut sebagai jawaban dari tahafut al-falasifah Al-
Gazali. Tiga masalah filsafat yang menyebabkan kekafiran para filosof ialah
berkaitan dengan masalah qadimnya alam, pengetahuan Tuhan yang bersifat
juz’iyyat, dan kebangkitan jasmani. Berikut ini akan dijelaskan tanggapan Ibnu
Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.

1. Qadimnya Alam 
Mengenai qadim dan haditsnya alam Ibnu Rusyd menjelaskan, perselisihan
yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik mengenai persoalan
apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada setelah tiada),
lebih condong kepada soal penamaan belaka. Sebabnya, mereka sendiri pada
dasarnya sepakat tentang adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang
menengahi keduanya. Para teolog maupun filosof sepakat dalam memberikan
sebutan nama kepada kedua sisi wujud itu, tetapi mereka berselisih mengenai wujud
pertengahan. Pada wujud yang pertengahan inilah alam semesta menempatkan
posisinya.
Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar
dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan
(materi) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang
tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan sebagainya. Wujud
ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang muhdatsah (tercipta setelah
tidak ada).
Sisi wujud yang berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah: wujud yang
keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu
apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk
menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan). Wujud ini dapat
diketahui dengan bukti-bukti pikiran yaitu Allah SWT., yang memperbuat dan
menciptakan segala sesuatu serta memeliharanya pula.
Adapun sisi wujud yang di antara keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya
tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi wujud
karena sesuatu, yaitu Zat pembuat, dan wujud tersebut adalah alam keseluruhannya.
Semua golongan sepakat tentang adanya ketiga sifat tersebut bagi alam, yaitu bukan
dari tiada, tidak didahuli zaman dan terjadi karena Zat pembuat. Ulama-ulama kalam
mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam, atau seharusnya mengakui
demikian, karena bagi mereka zaman adalah sesuatu yang menyertai gerakan dari
benda.
Kalau ulama kalam mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alami ni dari tiada
sama sekali, maka perkataan tersebut menurut Ibnu Rusyd tidak dapat dibenarkan.
Yang benar adalah adanya dua zat (perkara) yang azali, yaitu Tuhan dan alam. Akan
tetapi azalinya Tuhan berbeda dengan azalinya alam dalam pertimbangan pikiran,
sebab Tuhan menjadi sebab wujudnya alam.
Apabila kita memperkirakan bahwa alam itu baru, maka kelanjtannya seperti
yang dikatakan oleh ulama kalam, yaitu bahwa alam itu mesti ada yang membuatnya.
Akan tetapi bisa timbul keragu-raguan tentang macamnya wujud Zat pembuat
tersebut yan tidak bisa dihindari oleh ilmu kalam, yaitu bahwa zat pembuat itu tidak
bisa kita katakan azali (qadim) atau baru. Tidak bisa dikatakan baru karena dia
membutuhkan zat yang membuat-Nya, dan begitu seterusnyasampai tidak
berkesudahan, dan ini mustahil. Tidak dikatakan azali karena hal ini berarti bahwa
pembuatannya yangberubungan dengan perkara-perkara yang dibuat itu azali pula,
dan kelanjutannya perkara-perkara yang dinuat tadi adalah azali juga. 
Perkara yang baru wujudnya harus berhubungan dengan pembuat yang baru,
kecuali kalau ulama kalam mau mengakui adanya pembuat baru dari pembuat qadim,
karena perkara yang dibuat mesti berhubungan dengan perbuatan pembuat,
sedangkan mereka tidak mau mengakuinya, sebab salah satu kaedah mereka ialah
bahwa apa yang bergandengan dengan perkara yang baru adalah baru pula. Jawaban
ulama-ulama kalam bahwa pembuatan baru itu terjadi karena iradat (kehendak) yang
qadim tidak dapat melenyapkan keragu-raguan, sebab iradat bukanlah pembuatan
yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara yang dibuat itu baru,
maka perbuatan yang berhubungan dengan penciptaannya baru pula.
Jadi letak permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati
dan memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.
Bagi mereka yang lebih menguatkan segi kemiripannya dengan wujud yang qadim
maka mereka menamakannya wujud Qadim, sebaliknya mereka yang lebih
menguatkan segi kemiripannya dengan wujud baru maka mereka menamaknnya
wujud baru . Jadi pikiran-pikiran tentang alam tidak berjauhan sama sekali, sehingga
hal yang seperti itu tidak perlu dikafirkan. 

2. Ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang kecil (Juz’iyat)


Tentang soal yang kedua ini, bahwa tuhan tidak mengetahui perincian yang ada
dalam alam, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Al-Gazali salah paham; karena tidak
pernah kaum filosof mengatakan yang demikian. Yang dikatakan kaum filosof
menurut Ibnu Rusyd ialah bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi
di alam tidak sama dengan penetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan
manusia dalam hal ini mengambil bentuk efek, sedang pengetahuan Tuhan
merupakan sebab, yaitu sebab bagi wujudnya perincian tersebut. Selanjutnya
penetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu
semenjak azali tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh
betapapun kecilnya.
Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang sangat disetujuinya.
Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat. Halnya
sama seperti seorang kepala negara yang tidak mengetahui soal-soal kecil di
daerahnya.
Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas suatu argumen sebagai berikut: Yang
menggerakkan itu, yakni Tuhan al-Mukharrik, merupakan akal yang murni, bahkan
merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang
tinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian
antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin
Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama
luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan
Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juziyat), maka
itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang
sempurna.
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan
mengetahui hal-hal yang bersifat juz’iyat yang terdapat di alam semesta ini atau tidak
mengetahuinya.[35] Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’iyat
tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahui yang juz’iyat dengan cara manusia
mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek
yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta
berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan
kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya.
[36] Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan
mengetahui yang juz’iyat tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’iyat berwujud
seperti wujud saat ini.
Jadi dalam hal ini, Tuhan mengetahui segala sesuatu tetapi dengan cara yang
berbeda dengan manusia, manusia pada mulanya tidak memiliki pengetahuan, tetapi
secara berangsur-angsur ia memperoleh pengetahuan melalui pengamatan alam
semesta.

3. Kebangkitan Jasmani 
Pada waktu mebicarakan filsafat Al-Gazali, kita mengetahui alas an-alasan
filosof tentang ketinggian kebangkitan rohani dan bantahan-bantahan Al-Gazali
terhadap mereka. Sudah barang tentu Ibnu Rusyd, memberikan tanggapannya
terhadap masalah tersebut, apalagi masalah ini menjadi salah satu unsur bagi
kekafiran filosof, menurut penilaian Al-Gazali.
Menurut Ibnu Rusyd, filsuf mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat,
tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan
bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani
dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan
didunia ini.
Argumen-argumen rasional secara aktual telah membuktikan kemustahilan
kembangkitan kembali tubuh-tubuh. Pengandaian kembalinya jiwa ke dalam tubuh
mengandung beberapa alternatif diantaranya :
Pertama, dapat dikatakan (sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa
mutakallimun) bahwa manusia adalah tubuh, dan kehidupan hanyalah satu aksiden;
bahwa jiwa yang diandaikan berdiri sendiri, dan yang disebut pengatur tubuh, tidak
ada; dan bahwa kematian berarti ketidak-berlangsungan kehidupan, atau
terhalangnya pencipta dari penciptaan kehidupan. Oleh karena itu, kebangkitan
kembali berarti (1) perbaikan kembali oleh Allah, terhadap tubuh yang telah lenyap
(2) pengembalian eksistensi tubuh; dan (3) perbaikan kembali kehidupan yang telah
lenyap. Atau, dapatlah dikatakan bahwa materi tubuh tepat sebagai tanah, dan bahwa
kehidupan kembali (ma’ad) berarti bahwa tanah ini akan dikumpulkan dan disusun
kedalam manusia, dimana kehidupan diciptakan untuk pertama kalinya.
Kedua, dapat dikatakan bahwa jiwa adalah suatu mawjud yang tetap hidup setelah
kematian tubuh, tetapi yang akan dikembalikan, pada saat kebangkitan, kepada tubuh
yang asli ketika semua bagian tubuh telah terkumpul.
Alternatif pertama, jelas salah, karena ketika kehidupan serta tubuh telah tiada,
penciptaan kembali akan merupakan suatu penciptaan yang sama dengan atau tidak
identik dengan apa yang telah ada. Tetapi kata “kembali” seperti yang kita pahami,
mengimplikasikan pengandaian kebakaan (lawan fana) satu hal dan membarukan hal
lain.
Terhadap alternatif yang kedua, yakni pengandaian kebakaan jiwa, dan
pengembalian ke tubuh yang asli. Apabila hal itu diperhatikan, yang cocok disebut
“kambali” berarti pembukaan lagi oleh jiwa dan fungsinya untuk menuju tubuh,
setelah terpisah dari kematian. Tetapi ini mustahil. Tubuh manusia berubah menjadi
debu, atau dimakan ulat, burung-burung, dan berubah menjadi dara atau asap, atau
udara dan bercampur dengan udara dan asap di dalam alam, sedemikian rupa
sehingga tak terpisahkan dan dilepaskan satu sama lain. Apabila hal tersebut
diandaikan sebagai suatu ketakwaan kepada kekuasaan Allah, maka tidak boleh
tidak:
1. Apakah bagian-bagian itu saja yang akan dikumpulkan kembali, yang ada pada
saat kematian. Maka tidak boleh tidak hal itu akan mengarah kepada kebangkitan
kembali dengan anggota badannya yang telah lepas, atau telinga dan hidungnya
putus, atau angngota tubuhnya cacat, dalam bentuk yang sama percis seperti
ketika ia hidup di dunia. Tetapi ini hina, apalagi bagi orang-orang disurga, karena
mereka diciptakan alam keadaan cacat di awal firah (penciptaan). Hal ini
merupakan suatu lelucon yang sangat lucu. Oleh karena itu, ini merupakan suatu
kesulitan yang muncul, apabila pengandaian pengembalian dibatasi pada
penyusunan kembali bagian-bagian yang ada pada saat kematian.
2. Ataukah bahwa semua bagian-bagian itu akan disusun kembali dengan yang
belum pernah ada dimasa seseorang masih hidup, hal ini mustahil karena:
 Karena apabila manusia makan manusia lain (kebiasaan yang terdapat di
beberapa tempat tertentu, dan sering terjadi pada saat paceklik), maka
kebangkitan kedua-duanya akan sulit . karena materinya akan sama, tubuh yang
dimakan akan diserap sebagai makanan ke dalam tubuh si pemakan. Dan tidak
mungkin untuk mengembalikan dua jiwa dalam satu tubuh.
 Karena akan merupakan keharusan bahwa bagian yang sama hendaknya
dikembalikan lagi sebagai liver, hati dan tangan sekaligus. Telah dibuktikan oleh
ilmu kedokteran bahwa beberapa bagian organ tubuh memperoleh makanan dari
sisa makanan organ yang lain. Bagian hati menyedikan makanan bagi liver,
begitu juga dengan bagian-bagian yang lai. Maka apabila kita mengandaikan
beberapa bagian khusus yang merupakan materi bagi semua organ, kepada organ
apa yang akan dikembalikan? Bahkan seseorang tidak perlu kemustahilan
sebagaimana yang disebutkan terdahulu.
Sebaliknya, menurut Ibnu Rusyd justru Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, dalam
tahafuth al-falasifah dikatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani semata. Akan tetapi dalam bukunya
yang lain, Al-Ghazali mengatakan bahwa kaum sufi berpendapat yang akan
terjadi di akhirat adalah kebangkitan rohani.
Oleh Karena itu tidak terdapat ‘Ijma ulama tentang soal pembangkitan di hari
kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan
jasmani tidak ada tidaklah dapat dikafirkan.

D. Pengaruh Pemikiran Avveroisme di Eropa

Sebagaimana diketahui sebelumnya, pemikiran Ibnu Rusyd masuk ke Barat


melalui gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu berpengaruh bagi
orang-orang kristen Eropa karena dikenal sebagai “komentator Aristoteles” yang
membawa semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Melalui terjemahan
karya-karya bahasa Arabnya ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, para sarjana Barat
abad pertengahan banyak dipengaruhi pandangan-pandangan filsafat Aristoteles yang
dikembangkan Ibnu Rusyd.
Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant
(1235-1282) dan diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van
Nijvel dan Antonius van Parma. Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan
menelaah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan
rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian
mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk mengoptimalkan
penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan
semangat rasional.
Seperti ditegaskan Russel, jasa Ibnu Rusyd tidak mungkin diingkari dalam
membuka dinamika berpikir orang-orang Kristen Eropa (dan ironisnya, tidak pada
kebanyakan orang-orang muslim sendiri), kemudian dari Eropa menyebar ke seluruh
dunia melalui ilmu pengetahuan.
Filsafat Yunani mungkin memang kaya dan indah, tetapi tidakmenghasilkan
ilmu pengetahuan (science). Para filosof muslimlah yang melengkapinya dengan
ilmu pengetahuan sehingga menjadi lebih jauh bermanfaat. Inilah yang ditegaskan
oleh seorang ahli kebudayaan Yahudi, yang mengatakan bahwa orang-orang muslim,
dibantu oleh orang-orang Yahudi telah menembus jalan buntu filsafat, kemudian
menerobos berbagai jalan baru ilmiah yang sampai sekarang ini pun tetap merupakan
bagian integral science modern.
TUGAS SKL

BIOGRAFI IBNU BATUTAH

OLEH
ALMIRA ZUHROTUS S.

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU BATUTAH

Abu Abdullah Muhammad bin Battutah (bahasa Arab: ‫د إبن‬RR‫دﷲ محم‬RR‫أبوعب‬


‫بطوطة‬, Abu Abdullah Muhammad ibn Bathuthah) atau juga dieja Ibnu Batutah (24
Februari 1304 - 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko.
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan
pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika
sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah
fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad
ke-14.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari
dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah
apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh
tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia
melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia
Muslim (sekitar 44 negara modern).
Pada usia sekitar 21 tahun 4 bulan, ia menunaikan rukun iman kelima.
Perjalananya menuju ke Baitullah telah membawanya berpetualang dan menjelajahi
dunia. Ia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah tujuan mulia.
Sampai kemudian Ia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi sekitar 44 negara
selama 30 tahun.
Rihlah Ibnu Batutoh, inilah salah satu  buku legendaris yang mengisahkan
perjalanan seorang petualang agung itu pada 1325 hingga 1354 M. Sejatinya, Rihlah
bukanlah  judul buku, tetapi hanya menggambarkan sebuah genre (gaya sastra). Judul
asli dari buku yang ditulis Ibnu Batutah itu adalah Tuhfat al-Nuzzhar fi Ghara’ib al-
Amshar wa ’Aja’ib al-Asfar (Persembahan Seorang Pengamat tentang Kota-kota
Asing dan Perjalanan yang Mengagumkan) ditulis oleh Ibnu Juzay, juru tulis Sultan
Maroko, Abu ‘Inan. Karya ini telah menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa
sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Perancis, Inggris dan Jerman.
Buku itu disusun menjadi sebuah perjalanan dunia yang mengagumkan dengan
mengaitkan berbagai peristiwa, waktu pengembaraan serta catatan-catatan penting
yang berisi berita dan peristiwa yang dialami Ibnu Batutah selama pengembaraanya.
Dalam karyanya tersebut, Ibnu Batutah tidak mengumpulkan rujukan atau bahan-
bahan dalam menunjang tulisannya hanya mengisahkan pengalaman atau sejarah
empiris negara atau kota-kota yang pernah disinggahinya terutama yang menyangkut
kultur setempat. Pencapaian Ibnu Batutah yang luar biasa itu, konon dirampas dan
disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika, termasuk Maroko.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun hingga ke
negeri Cina”. Islam memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan,
hingga ke tempat yang jauh sekalipun. Terinspirasi hadits itu, Ibnu Batutah pun
melakukan perjalanan untuk mencari pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan
membentuk konsep Al-Rihlah fi talab al-’ilmi (Perjalanan untuk Mendapatkan Ilmu
Pengetahuan).
Ibnu Batutah menghabiskan umurnya hingga 30 tahun untuk berpetualang dari
satu negeri ke negeri lainnya. Hampir seluruh dunia telah dijelajahinya, mulai dari
Afrika Utara ke Timur Tengah, dari Persia ke India terus ke Asia Tenggara, termasuk
Indonesia dan India. Kemudian dilanjutkan ke arah Timur Laut menuju daratan
China dan ke arah Barat hingga sampai ke Spanyol.
Pengembaraannya itu ia lakukan antara musim haji yang satu ke musim haji
berikutnya. Ia menjadikan Makkah Al Mukaramah sebagai awal berlayar dan sebagai
tempat kembali berlabuh. Sungguh suatu pengembaraan yang penuh kejadian penting
dalam sejarah, sarat
dengan makna dan
hikmah. Pengembaraan
perdananya dimulai
ketika menunaikan
ibadah haji yang
pertama, tepat pada
tanggal 14 Juni 1325. Ia
bersama jamaah Tanger
lainnya menempuh keringnya hawa
laut Mediterania di tengah teriknya daratan berpasir Afrika Utara.
Semuanya dilakukan hanya dengan berjalan kaki.
Dalam perjumpaannya dengan banyak orang, Ibnu Batutah senantiasa berusaha
meningkatkan kualitas silaturahim dengan mendekati orang-orang yang bisa diajak
ber-mudzakarah serta berbagi ilmu dan pengalaman. Ia sangat terinspirasi dengan
hadits Nabi Saw.,“Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang jahat adalah
seperti orang yang membawa minyak misik (harum) dan orang yang meniup bara
api pandai besi. Orang yang membawa minyak misik mungkin akan memberikannya
kepadamu, atau engkau akan membelinya atau engkau merasakan bau harum
daripadanya. Adapun peniup bara api pandai besi, mungkin akan membakar
pakaianmu, atau engkau akan merasakan bau yang busuk daripadanya”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tempat-tempat yang disinggahi diceriterakannya secara lengkap dengan bahasa
yang indah, sehingga siapa yang membaca tulisan Ibnu Batutah atau
mendengarkannya berhasrat untuk mengunjunginya. Kemauannya yang kuat untuk
mengunjungi wilayah-wilayah Islam saat itu membawanya mengembara.
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara
hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang
relatif aman. Jalur yang umu digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah
memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil,
dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di
'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan
alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang
selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang
ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah
melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya
tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem,
misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk
mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan
suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat
dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya
ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya,
dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya
adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.Dengan cara bergabung dengan suatu
rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf,
tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah,
lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh
Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan
oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah
untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke
utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol,
yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan
tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui
Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan
tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia.
Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan
mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah
berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa
daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang
ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya,
sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia
berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan
Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di
bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India.
Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki
sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah
Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan
Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di
Sungai Volga.
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Batutah sempat
membuatnya terdampar di Samudera Pasai (kini Aceh). Tepatnya di sebuah Kerajaan
Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13
hingga 15 M. dengan Raja pertamanya Sultan Malikussalih (W 1297), yang sekaligus
sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada
tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.
Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju Cina menyebutkan, Ia
pernah mampir di wilayah Samudera Pasai. Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu
Batutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan
kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum.
Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para
ulama dan pejabat Samudera Pasai.
Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif
Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah
Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345). Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan
Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan
pengajian dan mudzakarah tentang Islam.
Penjelajah termasyhur asal Maghrib (sebutan Maroko dalam Bahasa Arab) itu
sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat
itu. ”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat
mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid
untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa
berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.
Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di
Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah
(semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia
juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi
tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi
dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitabnya yang berjudul Tuhfat
al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang
memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain; raja Iraq yang
dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja
Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah
perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Melayu Malik Al-Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Ibnu Batutah sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang kala itu masih
dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku
masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika
pemimpinnya mati. 
Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu
Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina.
Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan,
peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah ini, kini Bangsa Indonesia sangat
dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran dan
cinta terhadap agama Islam yang moderat. Hal itu juga diakui oleh para ulama
Maroko, “Masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka memiliki
kecintaan yang luar biasa terhadap agama” pengakuan Dr Idris Hanafi,  Dosen pakar
Hadits beberapa waktu lalu saat menyampaikan kuliah studi Islam di Univ. Imam
Nafie’, Tanger-Maroko.
Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang
sangat ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar
seperti raja. Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi
dari sebuah Hadits Rasul Saw., “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
hendaklah memuliakan tamunya, yaitu
jaizahnya.” Para sahabat bertanya: “Apakah
jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau S.a.w.
bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya.
Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad
atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari.
Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah
padanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Nama besar dan kehebatan Ibnu Batutah dalam menjelajahi dunia di abad
pertengahan itu, hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang
mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak heran,
karya-karyanya disimpan Barat.
Sebagai bentuk penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union
(IAU) Perancis mengabadikan Ibnu Batutah menjadi nama salah satu kawah bulan.
Kawah Ibnu Batutah itu terletak di Barat daya kawah Lindenbergh dan Timur laut
kawah bulan terkenal Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Batutah tersebar beberapa
formasi kawah hantu. Kawah Ibnu Batutah berbentuk bundar dan simetris. Dasar
bagian dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11
kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya. Kawah
Ibnu Batutah awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian memberinya
nama Ibnu Batutah.
Selain dijadikan nama kawah di bulan, Ibnu Batutah juga diabadikan dan
dikenang masyarakat Dubai lewat sebuah mall atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu
Batutah Mall. Di sepanjang koridor mall itu dipajangkan hasil penelitian dan
penemuan Ibnu Batutah.
Sementara di kampung halamannya sendiri, Tanger-Maroko Ibnu Batutah
sangat terkenal. Di dekat Stadion Tanger terdapat bentuk Globe kecil yang menandai
kediaman Ibnu Batutah yang kecil. Terdapat juga di Hotel Ibn Battouta di Jalan
(Rue) Magellan, dibagian bawah perbukitan ada burger Ibn Battouta dan Cafè Ibn
Battouta. Ferry yang menghubungkan Spanyol dengan Maroko menyeberangi Selat
Gibraltar juga bernama M.V. Ibn Battouta. Begitu juga bandara kota Tanger bernama
Ibn Battouta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu sembilan abad
silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang dunia.
(Dikutip dari berbagi sumber, termasuk buku ”Rihlah Ibnu Batutoh”) 
TUGAS SKL

BIOGRAFI AL-KHAWARIZMI

Oleh
DIVA AYU LESTARI

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI AL-KHAWARIZMI

Nama sebenar al-Khawarizmi ialah Muhammad Ibn Musa al-khawarizmi. Selain


itu beliau dikenali sebagai Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Yusoff.  Al-
Khawarizmi telah dikanali di Barat sebagai al-Khawarizmi, al-Cowarizmi, al-
Ahawizmi, al-Karismi, al-Goritmi, al-Gorismi dan beberapa cara ejaan lagi.
Beliaulah yang menemukan Al Jabru wal Mukobala. (penjabaran dan penyelesaian).
Di nama latinkan menjadi Aljabar.
Beliau telah dilahirkan di Bukhara.  Pada tahun 780-850M adalah zaman
kegemilangan al-Khawarizmi.  al-Khawarizmi telah wafat antara tahun 220 dan
230M.  Ada yang mengatakan al-Khawarizmi hidup sekitar awal pertengahan abad
ke-9M.  Sumber lain menegaskan beliau di Khawarism, Usbekistan pada tahun
194H/780M dan meninggal tahun 266H/850M di Baghdad.
A.  Riwayat Hidup
Al-Khwarizmi diperkirakan hidup di pinggiran Baghdad pada masa Khalifah al-
Ma’mun (813 – 833) zaman Abasiyah, sebagai anggota Bayt al Hikma Baghdad yang
meneliti ilmu-ilmu pengetahuan dan terjemah yang didirikan ayah al-Ma’mun. Pada
masa Al-Khwarizmi hidup pula tokoh lain yang juga ahli astronomi dan matematika
seperti, Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi, salah satu dari tiga
serangkai ‘Banu Musa ibn Shakir’ selain Abdullah dan al-Khwarizmi sendiri. Hampir
sebagian besar kesuksesan yang dicapai al-Khwarizmi, seperti tulisan tentang
astronomi dan aljabar didedikasikan untuk al-Ma’mun. Di pihak lain, Khalifah yang
dikenal juga seorang ilmuan tokoh pengetahuan dan sahabat al-Khwarizmi ini
memberikan perhatian pada karya al-Khwarizmi dan memberikan berbagai
penghargaan.
Al-Khwarizmi kemungkinan besar adalah satu-satunya ahli astronomi yang
diikutsertakan dalam proyek pimpinan al-Ma’mun untuk mengukur panjang satu
derajat lingkar bumi sepanjang garis busur. Sejak dia mengetahui bahwa bumi
berbentuk seperti bola, suatu nilai yang akurat untuk mengetahui lingkar bumi telah
dicapai, yaitu panjang satu derajat dikalikan dengan 360.
Al-Khwarizmi diungkapkan mencoba untuk membuat ramalan tentang masa
hidup Nabi Muhammad SAW melalui ilmu astronomi. Dia hitung secara cermat
waktu Nabi dilahirkan. Ia termasuk salah seorang ahli perbintangan yang
bekerjasama membuat sebuah Peta Dunia untuk memenuhi permintaan al-Ma’mun,
lalu terkenal dalam pembuatan Peta Ptolemy.
Sebagai “Bapak Ilmu Pengetahuan Aljabar” dia menulis buku berjudul Algebra,
yang kemudian diklasifikasi oleh para sejarawan matematika sebagai Dasar-dasar
Pengetahuan Matematika. Al-Khwarizmi adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan ilmu aljabar dalam suatu bentuk dasar yang dapat diterapkan
dalam hidup sehari-hari. Hal ini berbeda dengan konsep aljabar Diophantus yang
lebih cenderung menggunakan aljabar untuk aplikasi teori-teori bilangan.
Penamaan tersebut bukan berasal dari tulisan karya Al-Khwarizmi dan bukan
“Aritmatika” yang merupakan tulisan Diophantus. Para ahli ilmu pasti kuno
(termasuk Yunani) mempertimbangkan bilangan sebagai suatu besaran. Ini terjadi
ketika Al-Khwarizmi memberi pemahaman angka sebagai sebuah hubungan murni
di era modern dimana ilmu pengetahuan aljabar salah satu bagiannya.
Karya Al-Khwarizmi berjudul Kitab al-Jabr w’al-muqabalah (The Book of
Restoring and Balancing) menjadi titik awal aljabar dalam dunia Islam. Kata aljabar
ini digunakan di dunia Barat untuk obyek yang sama. Menurut Kasir (1931), kata
aljabar berasal dari tulisan Al-Khwarizmi yang mencantumkan ’al-jab’ sebagai
judulnya. Tulisan ini diterjemahkan (abad XII) ke dalam bahasa Latin oleh Gerhard
Cremona dan Robert Chester, dimana buku ini digunakan sebagai buku wajib
matematika dasar di Eropa hingga abad XVI.
Pengaruh lain yang berkait dengan ilmu matematika adalah suku kata
”algoritm” yang dikonotasi sebagai sebuah prosedur baku dalam menghitung
sesuatu. Kata ini berasal dari perubahan versi Al-Khwarizmi ke versi Latin
‘algorismi’, ‘algorism’ dan akhirnya menjadi ’algorithm’. Angka yang tertera dalam
setiap halaman tulisan adalah salah satu bukti peran Al-Khwarizmi dalam
aritmatika. Tulisan aritmatika berbahasa Arab yang pertama kali diterjemah ke
bahasa Latin berperan penting dalam perkembangan bilangan Arab dan sistem
bilangan yang diterapkan saat ini. Bahwa penggunaan sistem bilangan Arab dan
notasi penulisan basis sepuluh, telah diperkenalkan oleh Al-Khwarizmi, dapat
dikatakan sebagai suatu revolusi perhitungan di abad pertengahan bagi bangsa
Eropa.
B.  Pendidikan
Dalam pendidikan telah dibuktikan bahawa al-Khawarizmi ialah seorang tokoh
Islam yang berpengetahuan luas.  Pengetahuan dan kemahiran beliau bukan sahaja
meliputi bidang syariat tapidi dalam bidang falsafah, logik, aritmetik, geometri,
muzik, kejuruteraan, sejarah Islam dan kimia. Al-Khawarizmi sebagai guru aljabar
di Eropah.  Beliau telah menciptakan pemakaian Secans dan Tangens dalam
penyelidikan trigonometri dan astronomi.  Dalam usia muda beliau bekerja di
bawah pemerintahan Khalifah al-Ma’mun, bekerja di Bayt al-Hikmah di Baghdad.
Beliau bekerja dalam sebuah observatory iaitu tempat menekuni belajar matematik
dan  astronomi.  Al-Khawarizmi juga dipercayai memimpin perpustakaan
khalifah.  Beliau pernah memperkenalkan angka-angka India dan cara-cara
perhitungan India pada dunia Islam.  Beliau juga merupakan seorang penulis
Ensiklopedia Pelbagai Disiplin.
Al-Khawarizmi adalah seorang  tokoh yang mula-mula memperkenalkan aljabar
dan hisab.  Banyak lagi ilmu pengetahuan yang beliau pelajari dalam bidang
matematik dan menghasilkan konsep-konsep matematik yang begitu popular
sehingga digunakan pada zaman sekarang.
C.  Kepribadian Al-khawarizmi
Keperibadian al-Khawarizmi telah diakui oleh orang Islam dan juga Barat.  Al-
Khawarizmi telah dianggap sebagai sarjana matematik yang masyhur oleh orang
Islam dan ia diperakui oleh orang Barat.  Ini dapat dibuktikan bahawa
G.Sartonmengatakan “pencapaian-pencapaian yang tertinggi telah doperolehi oleh
orang-orang Timur….”  Maka temasuklah al-Khawarizmi itu sendiri. Al-Khawarizmi
patu disanjungi kerana beliau adalah seorang yang pintar. Menurut Wiedmann pula
berkata….’ al-Khawarizmi mempunyai personaliti yang teguh dan seorang yang
bergeliga sains’.  Setiap apa yang dinyatakan oleh penulis, ini telah terbukti bahawa
al-Khawarizmi mempunyai sifat keperibadian yang tinggi dan sekaligus disanjung
oleh orang Islam.
D.  Karyanya
1.         Aritmatika
Karya aritmatika Al-Khwarizmi berjudul “Kitab al-jam wa’l-tafriq bi-hisab al-
Hid (Book of Addition and Subtraction by the Method of Calculation) kemungkinan
ditulis setelah mengerjakan Algebra. Edisi bahasa Arab telah hilang, tapi versi Latin
ditemukan tahun 1857 di perpustakaan Universitas Cambridge, diyakini merupakan
karya Al-Khwarizmi yang diterjemahkan Adelard of Bath pada abad XII. Buku ini
diterbitkan oleh B. Boncompagni dengan judul Algoritmi de numero indorum
(Roma, 1857) dan lalu oleh Kurt Vogel dengan judul Mohammed ibn Musa
Alchwarizmi’s Algorithmus (Aalen, 1963). Karya ini dikenal pelajaran pertama yang
ditulis dengan menggunakan sistem bilangan desimal, merupakan titik awal
pengembangan matematika dan sains. Pelajar di Eropa mengaitkan Al-Khwarizmi
dengan ‘new aritmetic’ yang akhirnya menjadi basis notasi angka, dimana penulisan
angka Arab dikenal dengan istilah ’algorism’ atau ’algorithm’.
Hasil karya Al-Khwarizmi menjadi penting karena merupakan notasi pertama
menggunakan basis angka Arab dari 1 sampai 9,0 dan pola nilai-penempatan. Ini
dilengkapi pula dengan aturan-aturan yang diperlukan dalam bekerja denga
menggunakan bilangan notasi Arab dan penjelasan tentang empat basis operasi
perhitungan, yaitu; penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Ini juga
mengakomodir bentuk-bentuk penulisan angka yang lazim digunakan, yaitu
penulisan dengan enam digit desimal dan penggunaan tanda akar.
Diantara serangkaian notasi bilangan Arab yang diperkenalkan Al-Khwarizmi,
tidak terlalu signifikan dibanding notasi nol digit. Tanpa keberadaan bilangan nol
tabel-tabel yang memiliki kolom dalam satuan puluhan, ratusan dan selanjutnya
diperlukan untuk menempatkan satu satuan bilangan sesuai fungsinya. Notasi nol
disimbolkan dengan sebuah ruang kosong dalam satu rangkaian angka, bentuk
lingkaran kecil ini sebenarnya merupakan salah satu temuan matematika yang
terbesar. Notasi nol juga membuka jalan bagi konsep penulisan bentuk positif dan
negatif dalam aljabar.
2.         Aljabar
Buku “Kitab al-jam wa’l-tafriq bi-hisab al-Hid” yang ditulis Al-Khwarizmi
antara tahun 813- 833 berkait dengan teori persamaan linier dan kuadrat dengan
satu variabel yang tak diketahui sebagaimana dasar perhitungan yang terkait
bilangan binominal dan trinominal. Karya Al-Khwarizmi ini diyakini merupakan
buku pertama dalam sejarah dimana istilah aljabar muncul dalam konteks disiplin
ilmu, lebih jauh dipertegas dalam pembukaan, formulasi dan kosakata yang secara
teknis adalah kosakata baru.
Ilmu pengetahuan aljabar sendiri merupakan penyempurnaan terhadap
pengetahuan yang telah dicapai bangsa Mesir dan Babylonia. Kedua bangsa ini telah
memiliki catatan yang berhubungan dengan masalah aritmatika aljabar dan
geometri pada permulaan 2000 SM. Di dalam Arithmatica of Diophantus tercatat
tentang persamaan quadrat, namun belum terbentuk secara sistematis, karena itu
sebelum Al-Khwarizmi aljabar tak serius dan sistematis dipelajari. Meski begitu
terdapat perdebatan bahwa Al-Khwarizmi berkiblat pada ilmu matematika Yunani,
dan yang lain menyebut bangsa India dan Babylonialah inspirator karya Al-
Khwarizmi. Pertentangan opini itu tak mampu membuktikan adanya hubungan
antara karya Al-Khwarizmi dengan sumber-sumber yang diperkirakan sebelumnya.
Sejarawan matematika mengakui, bahwa mustahil jika mereka ”… terfokus pada
keaslian konsep dan model aljabar oleh Al-Khwarizmi, yang tidak diangkat dari
konsep aritmatika sebelumnya, juga bukan dari karya Diophantus ”.
Bagian pertama tulisan Al-Khwarizmi menekankan teori-teori yang berkait
dengan subyeknya, memberi penerangan terhadap terminologi penulisan dan
konsep penulis. Bagian kedua, penekanan pada prosedur normal yang mensahkan
penggunaan perhitungan praktis untuk direduksi dengan dasar-dasar aljabar.
Bagian akhir berkenaan aplikasi aljabar bidang perdagangan, penelitian lapangan,
pengukuran geometri dan aplikasi hukum waris Islam.
Dalam karya Algebra, ia gunakan istilah jadhr (roo) yang berasal dari istilah
radix / root, untuk penekanan awal. Menurut David E. Smith, ide pencatuman kata
’akar’ dalam istilah matematika karena awalnya selalu ditulis dalam tulisan Arab.
Terjemah edisi Latin menyebut radix sebagai istilah umum warisan peradaban
Romawi yaitu Latus. Radix (root) berasal dari kata jadhr dalam bahasa Arab, sedang
Latus (side) merupakan sisi dari suatu persegi geometri. Istilah ini tak memiliki
sinonim dalam bahasa Yunani, sebagai contoh, Diophantus menamakan suatu
kumpulan dengan istilah the number yang diartikan suatu kelompok besar dari satu
satuan. Al-Khwarizmi menggunakan istilah mal yang dimaksud adalah pengganti
square yang tak dapat diketahui meski terkadang digunakan untuk pengganti istilah
thing. Persamaan lain yang digunakan secara khusus adalah istilah simple number
yang disebut sebagai dirham.
Dengan menggunakan ketiga istilah tersebut, Al-Khwarizmi membuat dalil
bahwa semua jenis masalah yang ada dapat digolongkan pada salah satu dari enam
persamaan dasar seperti di bawah ini:
    Akar sama dengan bilangan (bx = c).
    Mal sama dengan akar (ax2 = bx).
    Mal sama dengan bilangan (ax2 = c).
    Bilangan dan mal sama dengan akar (c + ax2 = bx).
    Bilangan sama dengan akar ditambah mal (c = bx + ax2).
    Mal dama dengan bilangan ditambah akar (ax2 = c + bx).
Poin pertama dalam persamaan dasar adalah membuat kelengkapan identifikasi
terhadap kasus sederhana pada tingkat pertama. Keenam persamaan tersebut
menunjukkan bahwa Al-Khwarizmi tidak mengenal keberadaan bialangan negatif
atau bilangan nol sebagai suatu koefisien. Jika diamati dari karyanya, dia tidak
mencantumkan penandaan simbol tetapi menjabarkan segalanya, termasuk
bilangan-bilangan dalam bentuk perkataan. Al-Khwarizmi mengenalkan bahwa
terdapat dua hasil dari akar quadrat, tetapi ia hanya menuliskan nilai positif, yang
mungkin dapat menjadi hasil irasional.
Al-Khwarizmi membuat aturan (aljabar dan al-muqabalah) untuk
menyelesaikan masing-masing dari keenam persamaan dan memberi penjelasan
lengkap untuk memperkecil persoalan terhadap masing-masing bentuk persamaan.
Dalam bahasa matematika, istilah aljabar (pemulihan) lebih cenderung mengacu
kepada pengertian suatu nilai positif, seperti contoh di dalam aljabar:
x2 = 40x – 4x2 dapat diubah menjadi bentuk aljabar 5x2 = 40x
Contoh lain dari buku Al-Khwarizmi adalah: 50 + x2 = 29 + 10x
Dengan proses al-muqabalah, direduksi menjadi 21 + x2 = 10x.
Kedua operasi tersebut digabungkan dengan operasi aritmatika seperti
perkalian, penambahan, pengurangan, dan pembagian dari bilangan nominal dan
binominal sebagaimana konsep dasar dari perhitungan konsep quadrat yaitu dapat
menyelesaikan berbagai masalah yang ada dalam karya Algebra Al-Khwarizmi.
Selanjutnya dari buku tersebut Al-Khwarizmi memberi contoh penyelesaian bentuk
ketiga yang digabung dengan persamaan quadrat, serta jenis persamaan yang
berbeda dengan bantuan angka-angka memakai ide keseimbangan permukaan.
 Pengaruh Karya Algebra

Ahli matematika pada masa Al-Khwarizmi dan saat ini memberi opini tentang
Algebra, antara lain Ibnu Turk, Thabit ibn Qurra, al-Sidnani, Sinan ibn al-Fath, Abu
Kamil dan Abu al-Wafa al-Buzjani. Karya Algebra juga populer di Barat pada awal
abad XII ketika para pelajar Eropa mulai menerjemah dari bahasa Arab ke bahasa
Lain, seperti Johannes Hispalensis (fl.1140), Gherardo of Cremona (1114 – 1187),
Adelard of Bath (fl.1120) dan Robert of Chester (fl.1150).
Robert Bacon (1214 – 1294) dan Vincent de Beauvais (sekitar 1275) menjadikan
karya Al-Khwarizmi sebagai referensi dan mengambil beberapa istilah yang
ditemukan di buku itu, demikian pula Albertus Magnus (1208 – 1280) mengacu
tabel yang ditulis Al-Khwarizmi. Sejarawan F. Woepcke menyebut bahwa Leonardo
Fibonacci mengutip model Al-Khwarizmi untuk contoh soal tapi sebagian dari kasus
tersebut kemungkinan berasal dari Abu Kamil, tokoh dimana Fibonacci mengutip
sebagian masalah dalam aljabar.
Buku Algebra memberi kesan mendalam pada karya Regiomontanus (1436 –
1476), tidak saja mengacu pada akar quadrat (ars rei et census) tetapi juga
menggunakan teknik pengungkapan tertentu; ’restaurare defactus’ sebagai suatu
contoh, dengan cara sama yang persis dengan pemahaman dalam aljabar. Karpinski
mencantumkan, kopi naskah Algebra yang ditampilkan dalam kumpulan tulisan
Plimpton menyerupai tulisan tangan dan pemakaian singkatan yang digunakan
Regiomontanus (Johannes Mueller). Bahwa pengarus karya Al-Khwarizmi sangat
besar pada naskah negara-negara Barat dan Latin yang terlihat pada format tulisan
dasar-dasar aljabar yang dipelajari di Eropa.

E.  Kesimpulan
Sepeninggal Al-Khwarizmi, keberadaan karyanya beralih kepada komunitas
Islam termasuk cara menjabarkan bilangan dalam metode perhitungan, bilangan
pecahan; pengetahuan aljabar yang merupakan suatu warisan untuk menyelesaikan
persoalan perhitungan; dan rumusan lebih akurat dari yang pernah ada sebelumnya.
Di dunia Barat, ilmu matematika lebih banyak dipengaruhi oleh karya Al-
Khwarizmi dibanding karya penulis abad pertengahan. Masyarakat modern saat ini
berhutang budi pada Al-Khwarizmi dalam hal penggunaan bilangan Arab. Notasi
penempatan bilangan dengan basis 10, penggunaan bilangan irasional, dan
diperkenalkannya konsep aljabar modern membuatnya layak jadi figur penting
dalam bidang matematika di abad pertengahan. Sistem bilangan Arab yang
diperkenalkannya membawa perubahan dalam komposisi dan karakteristik
matematika dan revolusi proses perhitungan di abad pertengahan Eropa. Dengan
penyatuan matematika Yunani, Hindu dan mungkin Babylonia, teks aljabar
merupakan salah satu karya Islam di jagat dunia. Disamping itu kita juga tidak
melupakan karyanya yang lain, seperti huruf-huruf aljabar, algoritma, penemuan
notasi angka nol, nilai akar bilangan merupakan bukti peran Al-Khwarizmi
mengembangkan pengetahuan tentang perhitungan.
TUGAS SKLI

BIOGRAFI IBNU SINA

Oleh
ADINESIA CAHYANI E.

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
Biografi Ibnu Sina

Ibnu Sina atau yang dikenal dengan Avicenna adalah seorang ilmuwan, filsuf


muslim, dan dokter. Ia mempunyai nama lengkap Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin
Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina. Ia dikenal sebagai bapak pengobatan modern
karena kemahirannya sejak kecil dalam pengobatan. Ibnu Sina juga seorang penulis
yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan. Ia dilahirkan di Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan).
Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan
pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Ibnu Sina secara
penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat
ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir
dalam bidang kedokteran.
Ibnu Sina adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar.
Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh
banyak orang sebagai “bapak kedokteran modern.” George Sarton menyebut Ibnu
Sina “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal pada
semua bidang, tempat, dan waktu.” pekerjaannya yang paling terkenal adalah The
Book of Healing dan The Canon of Medicine, dikenal juga sebagai sebagai Qanun
(judul lengkap: Al-Qanun fi At Tibb).
Kehidupannyan dikenal lewat sumber – sumber berkuasa. Suatu autobiografi
membahas tiga puluh tahun pertama kehidupannya, dan sisanya didokumentasikan
oleh muridnya al-Juzajani, yang juga sekretarisnya dan temannya. Ibnu Sina lahir
pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang
wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili,
berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur
suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah
Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di
Bukhara.Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismaili,
pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa,
yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun.
Ibn Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya
segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan
suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa
kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan
juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari
aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang
memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak
muda.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa
abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-
kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring
dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun
karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab
kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah
menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.
Meskipun bermasalah besar pada masalah – masalah metafisika dan pada
beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia
juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa
penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku – bukunya,
mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah
menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan
kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu
kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan
memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari
Aristoteles, sampai kata – katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak
dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh
Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Yang sangat
mengagumkan adalah kesenangannya pada penemuan, yang dibuat dengan bantuan
yang dia harapkan hanya misteri, yang mempercepat untuk berterima kasih kepada
Allah SWT, dan memberikan sedekah atas orang miskin.
Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori
kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya
sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini
memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan
bahwa “Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti
matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya
menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat
– obat yang sesuai.” Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan
dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari
suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal
tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung
pendidikan dan ilmu. Ketika perpustakaan dihancurkan oleh api tidak lama
kemudian, musuh – musuh Ibnu Sina menuduh din oa yang membakarnya, dengan
tujuan untuk menyembunyikan sumber pengetahuannya. Sementara itu, Ibnu Sina
membantu ayahnya dalam pekerjaannya, tetapi tetap meluangkan waktu untuk
menulis beberapa karya paling awalnya.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty
menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud
of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana
vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi
gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain
melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening
untuk bakat – bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam,
seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat
berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang
memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah.
Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman,
yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar
logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ;
dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di
Hyrcania.
Dalam dunia Islam kitab – kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena
kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis
sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam
bahasa Persia. Buku – bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran
dalam tahun 1954. Karya – karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat
adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-
Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada
itu, ia banyak menulis karangan – karangan pendek yang dinamakan Maqallah.
Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu
bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan
soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang
paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan
diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan
berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang
monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik
dalam Islam.
Diantara karangan – karangan Ibnu Sina adalah :
1. As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang
Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
2. Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta.
Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan
di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan
berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
(1)Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan
Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis – penulis
Yunani kemudiannya. (2)Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan).
Bagian – bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu,
kekosongan dan gambaran). (3)Matematika. Bagian matematika mengandung
pandangan yang berpusat dari elemen – elemen Euclid, garis besar dari Almagest-
nya Ptolemy, dan ikhtisar – ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
(4)Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat
Aristoteles dengan elemen – elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar
percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan –
kepercayaan.Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran
filsafat di pelbagai sekolah tinggi.
3. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
4. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada
Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
5. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
6. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
7. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
8. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
9. Danesh Nameh. Buku filsafat.
10. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
11. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar – dasar
ilmu logika secara lengkap.
12. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal.
915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
13. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
14. Al-Hudud. Berisikan istilah – istilah dan pengertian – pengertian yang dipakai
didalam ilmu filsafat.
15. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil – dalil dan
peringatan – peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
16. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
17. dan sebagainya

Dari autobiografi dan karangan – karangannya dapat diketahui data tentang


sifat – sifat kepribadianhya, misalnya :
1) Mengagumi dirinya sendiri
Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu
Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur
10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku
dikagumi.
2) Mandiri dalam pemikiran
Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada
Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang
penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar
mereka menyebutnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa
dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi
ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.
3) Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya
setepat – tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara
syarat – syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu.
Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu,
akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya
kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.
Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan
membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat,
saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak
sibuk dengan hal – hal lainnya” Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam
dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila
dihormati.
4) Cepat melahirkan karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis – garis
besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang
lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat
mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan
kedisiplinan yang dilakukannya.
Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang
penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat
paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran
Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham
paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran
iluminasi.
Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal
Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang
terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah
menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di
bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa.
Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun
1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap
tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles
Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia
mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu
Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang
kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya
dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag
yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal
dan dikuburkan di Hamazan. Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal
kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang
sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.
TUGAS AQIDAH AKHLAK
Pengampu : Mua’ifah

Nama Kelompok
1. Wahyu Arya
2. Moch. Avansa
3. Dewa Ayu Lestari
4. Nanda Evada

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
TUGAS AQIDAH AKHLAK
Pengampu : Mua’ifah

Nama Kelompok
1. Dwi Lestari
2. Risqi Wulandari
3. Sabrina Septiana
4. Hikmah Maulidiyah
5. Adhya Prasetyo

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
TUGAS SKI

BIOGRAFI IBNU AL ‘ARABI

Oleh
DWI LESTARI

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU ‘ARABI

Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i
al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-
karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi
memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia
sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat,
sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga
berfungsi untuk membedakan dirinya dengan salah seorang tokoh Andalusia lainnya
yang terkenal, yakni Abu Bakr Muhammad Ibn ’Arabi (1076-1148), kepala hakim
(Qadi) Sevilla ; kelak Ibnu ’Arabi belajar pada sepupu dari tokoh ini.
Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli
1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia
diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.
Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki, kelahirannya jelas merupakan
kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya
dihabiskan di tengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara
Ibnu Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk diri sendiri
dengan bantuan tentara bayaran kristen. Dalam tradisi Rodrigo Diaz (El Cid),
leluhurnya yang terkenal pada abad ke XI, Ibnu Mardanisy berdiam di Mursia dan
Valencia dan oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu
dengan  raja-raja dari Castile dan Aragon dan selama 25 tahun membela kerajaannya
melawan kekuatan baru dari Al Muwahidin, meskipun kekuasaanya semakin surut
ketika Ibnu ’Arabi lahir. Dinasti Al Muwahidin berasal dari suku-suku Berber dari
pegunungan Atlas Maroko. Pengikut dari pemimpin keagamaan Ibnu Tumart, dan
muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu
Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibnu ’Arabi, Al
Muwahidin telah membangkitkan dan mengkosolidasi kembali persatuan muslim di
Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-
orang Kristen di utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai Ibukota lokal dan
membangun stabilitas diseluruh daerah Afrika Utara.

Pada tahun 1172 Ibnu Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap
kekuasaan Al Muwahidin. Ayah Ibnu’Arabi bersama-sama dengan rombongan
pengikut Ibnu ’Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiannya
pada sultan Al Muwahidin, Abu Ya’qub Yusuf I, dan menjadi salah satu penasehat
militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat
kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibukota kerajaan Al Muwahidin di
Spanyol. Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh sultan ; seperti
memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno, membuat Sevilla menjadi kota utama
di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras, dan kultur dimana
penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof dan teolog, dan para wali berdampingan
dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibnu ’Arabi tumbuh di lingkungan
yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agama dan
filsafat. Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada
lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla
abad ke dua belas pada masa Ibnu ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan
gabungan kota London, Paris dan New York dimasa sekarang – sebuah campuran
yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan dan peristiwa.
Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-
anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk
keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar disekolah resmi,
hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Al
Qur’an oleh salah seorang tetanganya, Abu Abdallah Muhammad al Khayyat, yang
kemudian sangat dia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-
tahun.
Sejak menetap di Sevilla ketika berusia delapan tahun, Ibnu’Arabi memulai
pendidikan formalnya. Di kota pusat ilmu pengetahuan itu, dibawah bimbingan
sarjana-sarjana terkenal mempelajari Al Qur’an dan tafsirnya, hadist, fiqih, teologi,
dan filsafat skolastik. Sevilla adalah suatu pusat sufisme yang penting pula, dengan
sejumlah guru sufi terkemuka yang tinggal disana.
Pada usia relatif muda, mungkin 16 tahun. Dia menjalani pengasingan diri
(khalwat). Menurut kisah yang ditulis lebih dari 150 tahun setelah wafatnya,
diceritakan bahwa Ibnu ’Arabi suatu ketika ikut pesta makan-makan bersama  teman-
temannya dan sebagaimana kebiasaan di Andalusia, setelah hidangan daging lalu
disajikan anggur. Saat dia hendak mulai minum segelas anggur, tiba-tiba dia
mendengar seruan, “Wahai Muhammad, bukan untuk ini engkau diciptakan!” Karena
ketakutan mendengar suara yang tegas ini, dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota
Sevilla. Disana ia menjumpai reruntuhan yang mirip sebuah gua. Selama empat hari
ia tetap tinggal disana sendirian melakukan khalwat, melakukan zikir dan hanya
keluar saat shalat.
Ibnu’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya : Ia
bertugas dalam pasukan tentara Sultan Al Muwahiddin selama beberapa waktu, dan
dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut
periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan
ini diakhiri oleh pengalaman konvensi atau pencerahan. Kejahilan Ibnu’Arabi bukan
merupakan masa ia melakukan dosa besar atau tindakan yang melampaui batas,
namun hanya ketidakpedulian (terhadap Tuhan) dan godaan dari daya tarik duniawi.
Ini adalah masa yang hampir semua manusia pasti mengalami, agar mereka
memahami makna kejauhan dari Tuhan dan karena itu memahami makna kedekatan
dengan Tuhan.
Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan
spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibnu’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan
dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya
keputusan bulat adalah saat ia dan panglima Al Muwahidin bersama-sama
mengerjakan shalat di Masjid Agung Kordova. 
Begitulah, sejak saat itu Ibnu’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan
spiritual dan penghambaan penuh terhadap Allah sesuai dengan ajaran yang
diberikan oleh Isa, Musa dan Muhammad.
Pada 590 H (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal ia berkelana
mengelilingi Andalusia. Petama ia munuju kota Murur, untuk menemui Syeikh Abu
Muhammad al Maururi. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Cordova dan
Granada, Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin
menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair
untuk mengunjungi Syeikh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf,14  yang
barangkali adalah Syeikh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah
seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibnu’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-
kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya.15 
Meskipun keinginannya untuk bertemu dengan Abu Madyan secara fisik tidak
pernah tercapai – bahkan ajaran Abu Madyan diperolehnya hanya dari murid-
muridnya yang nota bene adalah guru-gurunya, seperti A Mawruri, Al Kumi, dan Al
Sadrani – akan tetapi Ibnu’Arabi meyakini bahwa Abu Madyan mengenalnya bahkan
telah menemuinya berkali-kali secara spiritual.16 Tokoh inilah yang kerap kali
disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibnu’Arabi
dengan aliran Neopatonisme. 
Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi
yang diterimanya kedalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya. Di akhir 1194
setelah kembali ke Andalusia ia menulis salah satu karya besarnya, Mashashid al
Asrar (kontemplasi atas misteri-misteri) untuk sahabat-sahabat dari Mahdawi. Dan
sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbirat al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyah)
untuk al Mawruri. 
Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan
Al Muwahidin dan memasuki jalan rohani, Ibnu ’Arabi melakukan perjalanan yang
menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Dia mulai sebagai Isawi,
kemudian menjadi Musawi, dan setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia
akhirnya sampai pada warisan Muhammad. Terkadang proses ini berada dibawah
bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para
nabi itu sendiri. Ibnu ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan
spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan rasul. Bagi
dia kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi intergral dan
menyatukan kebijaksanaan Muhammad. Warisan kenabian ini membentuk basis riil
dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Isa, menekankan pada penarikan
diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Musa, saat cahaya wahyu diturunkan.
Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, dia
akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muhammad.
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan
kemudian, Ibnu’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudara
perempuannya, sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya. Desakan
duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara Al Muwahidin di
Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibnu ’Arabi mendapat tawaran pekerjaan
dalam pasukan pengawal sultan. Karena teringat ucapan Salih al Adawi, Ibnu ’Arabi
menolak tawaran itu. Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudara
perempuannya menuju  Fez dan tinggal disana untuk beberapa tahun. Setelah kedua
adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali
mencurahkan diri pada jalan spiritual.
Fez tampaknya menandai periode kebahagian yang luar biasa dalam
kehidupannya, dimana dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan
spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang
sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris
Muhammad – dia sendiri juga semakin jauh masuk kedalam warisan ini. Di Masjid
Al Azhar di Fez dia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya – visi
cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahanya yang besar. Di
tahun berikutnya, pada usia tiga puluh tiga tahun, dia mengalami suatu perjalanan
yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan
perjalanan malam Nabi Muhammad yang terkenal. Perjalanan ini kemudian tertuang
dalam kitab Al Isra (Kitab Perjalanan Pertama).
Setelah di anugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibnu’Arabi
kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Di bulan
Desember tahun itu ia berada di Kordova saat pemakaman Ibnu Rusyd. Kemudian
dari Kordova, bersama sahabat dekatnya Al Habasyi mereka menuju ke Granada dan
kembali  bertemu dengan Abdallah al Mawrauri. Pada bulan Januari 1199 di Granada
Ibnu’Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali.22  Dari
Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negri kelahirannya ini,
mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia
lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.
Di akhir perjalanan panjangnya dari barat, Ibnu’Arabi akhirnya tiba di
Makkah pada pertengahan 1202. Di kota ini namanya mencuat, para tokoh dan
ilmuwanpun sering menemuinya. Diantara mereka adalah Abu Syuja’ al Imam al
Muwakkil yang mempunyai seorang putri cantik dan cerdas bernama Nizam. Gadis
ini memunculkan inspirasi pada diri Ibnu’Arabi sehingga lahirlah karyanya Turjumān
al Asywāq.
Menurut Ibnu ’Arabi dalam mukadimah karyanya itu, secara lahiriah karya
itu merupakan untaian puisi cintanya kepada gadis rupawan itu, tapi sebenarnya
karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.
Selama dua tahun di Makkah (1202-1204), Ibnu’Arabi sibuk dalam
penulisan. Karya-karyanya pada periode ini adalah : Misykātul Anwār, Ĥilyatul
Abdāl, Ruhul Quds, dan Tājul Rāsail. Namun karyanya yang paling monumental
adalah Al Futūĥātul Makkiyyah, yang diklaimnya merupakan hasil pendidikan
langsung dari Tuhan. Penulisan kitab yang menjadi masterpiece-nya ini berawal dari
peristiwa saat ia bertawaf di Ka’bah, dimana dia bertemu dengan figur pemuda
misterius yang memberinya pengetahuan tentang makna isoterik dari al Qur’an. Di
samping itu, sebuah visi tentang nabi Muhammad melengkapi perjalanan rohaninya
menuju puncak, yakni sebagai penutup kewalian.27 Pada periode Makkah ini juga
terjadi pertemuan antara dia dengan Syaikh Majduddin Ishaq bin Yusuf dari Anatolia
(daerah Rum). Syakh ini adalah seorang tokoh spiritual penting yang menjadi
penasehat raja di Istana Seljuk, yang suatu saat nanti akan menjadi ayah dari
Sadruddin al Qunawi, salah seorang tokoh kunci diantara murid-murid Syaikh al
Akbar.
Pada tahun 1204 (601 H) Ibnu ’Arabi meninggalkan Makkah menuju Bagdad
dan tinggal selama 12 hari, lalu melanjutkan perjalanan ke Mosul. Tinggal di Mosul
selama satu bulan, Ibnu’Arabi bertemu dengan Abdallah bin Jami yang memberinya
pentahbisan al Khidr untuk ketiga kalinya.  Selama tinggal di sini ia berhasil
menyelesaikan  tiga karya, yaitu Tarazzulah al Maushiliyyah, Kitab Al Jalāl wal
Jamāl, dan kitab Kunh mā lā Budda lil murīd minhu. Dari Mosul, selama tahun 1205
(602 H) mereka  (Ibnu ’Arabi dan Habasyi) berangkat keutara melalui Dyarbakir, dan
Malatya sampai di Konya. Pada tahun ini Ibnu’Arabi menyusun Risalah al Anwār
(Risalah Cahaya). Dan untuk pertama kalinya berhbungan dengan Ahaduddin Hamid
al Kirmani seorang guru spiritual dari Iran. Pada tahun 1206 Ibnu ‘Arabi menuju ke
Yerussalem lalu Hebron (disini berhasil menulis Kitab Al Yaqin) dan menunaikan
ibadah Haji di Makkah pada bulan Juli 1206. Menjelang 1207 mereka kembali
berada di Kairo, berkumpul bersama sahabat lama Ibnu’Arabi dari Andalusia yaitu
Al Khayyat dan Al Mawruri.30 Tetapi sayangnya lingkungan di Kairo tidak
bersimpati pada Ibnu’Arabi, karena ajaran-ajarannya dianggap menyimpang dan
dituduh melakukan bid’ah. Mereka merasa tertekan dengan keadaan ini, pada akhir
tahun 1207 Ibnu’Arabi kembali ke Makkah untuk melanjutkan belajar Hadist dan
juga mengunjungi keluarga Abu Syuja’bin Rustam. Setelah tinggal di Makkah
sekitar satu tahun lalu berjalan lagi ke utara menuju Asia kecil. Tiba di Konya pada
tahun 1210 (607 H) dan disambut baik oleh penguasa Kay Kaus dan orang-orang
disana.
Pada tahun 1212 (609 H) Ibnu ’Arabi kembali mengunjungi Bagdad. Di sana
dia bertemu dengan guru sufi terkenal Shihabuddin Umar al Suhrawardi, pengarang
kitab Awarif al Ma’arif.
Pada periode  antara 1213 – 1221 Ibnu’Arabi berkelana lagi ke Aleppo,
Makkah, Anatolia, Malatya dan Aleppo lagi. Sewaktu tinggal di Malatya Ibnu’Arabi
sempat menulis Istilāhāt al Shufiyyah. Pada tahun 1221 di Aleppo, Majduddin Ishaq
wafat, dan Ibnu’Arabi mengambil tugas membesarkan dan mendidik putra
Majduddin, Sadruddin Qunawi yang saat itu berusia sekitar 7 tahun. Tidak berapa
lama kemudian sahabatnya Al Habasyi juga wafat.
Pada tahun 1223 (620 H) Ibnu’Arabi menetap di Damaskus hingga akhir
hayatnya, kecuali sekedar kunjungan singkat ke Aleppo pada tahun 1231. Perjalanan
yang panjang, hasil karya yang luar biasa, kefakiran dan kemiskinan yang menjadi
panggilan hidupnya, semua telah menggerogoti kesehatannya. Kini dia amat terkenal
dan dihormati di mana-mana. Penguasa Damaskus Al Malik al ‘Adl menawarinya
untuk tinggal di Istana. Disini Ibnu ’Arabi merampungkan karya besarnya Futūĥātul
al Makkiyyah dan juga Fushūsul Hikam sebagai ikhtisar ajaran-ajarannya. Selain itu
menyelasaikan puisinya Al Diwan al Akbar.34 Adapun Sadruddin al Qunawi yang
telah dibesarkan dan dididiknya selalu mendampinginya dengan setia, bersama
dengan Awhaduddin Kirmani, sahabat Ibnu ‘Arabi sekaligus guru Qunawi.
Ibnu ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 (28 Rabi’al Tsani
638 H) dalam usia 76 tahun. Qadhi ketua di Damaskus dan 2 orang murid Ibnu
‘Arabi melakukan upacara pemakamannya.
Tentang isteri-isterinya menurut R.W.J. Austin yang dapat diketahui ada tiga
orang yaitu, Maryam, yang dinikahinya di Sevilla dan disebutnya sebanyak dua kali
dalam Futūĥātul al Makkiyyah II halaman 278 dan III halaman 235. Fathimah binti
Yunus bin Yusuf ; putri seorang syarif di Makkah, ibunda dari Imad al Din (Futuhat
IV halaman 554). Dan seorang wanita yang tidak diketahui namanya, putii seorang
Qadi ketua Maliki yang dinikahinya di Damaskus (Futūĥātul IV halaman 559).
Sedangkan ibunda dari Zainab (anak perempuan Ibnu ‘Arabi) tidak diketaui namanya
serta bagaimana nasibnya.

Corak Pemikiran dan Gaya Ibnu ‘Arabi


Secara tipikal Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai seorang sufi. Dan anggapan ini
relatif benar jika kita memahami istilah sufisme untuk menunjuk pada tambatan
pemikiran dan praktek Islam yang menekankan pengalaman langsung dari obyek-
obyek iman.37 Terlepas dari perbedaan mengenai asal-usul kata yang membentuk
artinya seperti safa (suci) ; shaf (baris) suffah (penghuni masjid nabawi) : sophia
(hikmah) ; atau suf (bulu domba) – tasawuf mengandung makna yang dalam yang
merujuk pada kebersihan batin, mendekatkan diri pada Tuhan, menjauhkan diri dari
kesombongan dan ketamakan terhadap daya tarik dunia. Tasawuf secara umum
adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upaya
merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman hakikat realitas dan kebahagian
rohaniah.
Dari segi epistemologi, sufisme atau tasawuf adalah hasil dari proses mujahadah
(mengekang hawa nafsu), musyahadah (pandangan batin) dan intuisi. Sedangkan
filsafat adalah hasil dari cara kerja akal (logika) dan argumentasi yang kuat.
Keduanya mempunyai obyek yang sama, yakni alam beserta isinya, manusia serta
perilakunya dan eksistensi Tuhan. Pemaduan kedua unsur ini, yakni filsafat dan
tasawuf menjadi sinergi luar biasa yang melahirkan corak berfikir rasional
transedental. Inilah yang mewarnai corak pemikiran Ibnu ‘Arabi. Hasilnya adalah
terjalin kamunitas antara perspektif nalar dan spiritual.
Dalam wacana ilmu tasawuf, dibedakan adanya tiga corak atau aliran pemikiran
sufisme, yaitu : Tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf filosofis atau falsafi.
Kemudian pembagian tiga corak ini disingkat oleh Prof. H.A. Rivay Siregar menjadi
dua aliran yaitu tasawuf sunni (gabungan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf amali)
dan tasawuf filosofi. Keduanya mempunyai sejumlah kesamaan yang prinsipil
disamping perbedaan –perbedaan yang mendasar. Persamaannya adalah bahwa
keduanya mengaku bersumber dari Qur’an dan Sunnah dan sama-sama berjalan al
maqamat dan al ahwal. Perbedaannya adalah mengenai kedekatan antara sufi dengan
Tuhannya. Penganut tasawuf sunni mengatakan bahwa sedekat apapun antara
seorang manusia dengan Tuhannya tidak mungkin jumbuh karena tidak satu esensi.
Sedangkan penganut tasawuf filosofis mengatakan bahwa manusia berpadu dengan
Tuhan karena manusia tercipta dari esensi-Nya. Selain itu perbedaan bersumber dari
perbedaan instrumen yang digunakan dalam memecahkan persoalan. Di satu pihak,
tasawuf sunni cukup menggunakan dalil-dalil naqli dari ajaran Islam, cenderung
ortodok dan sederhana dalam pemikiran. Di lain pihak tasawuf filosofis sangat gemar
terhadap ide-ide spekulatif dengan menggunakan analisis filsafat yang mereka
kuasai, baik filsafat Timur maupun Barat.
Kemudian pada abad kelima Hijriyyah, aliran sunni mengalami masa kejayaan di
tangan Abu al Hasan al Asyari (w. 324 H) dengan teologi Ahlus sunnah wal jama’ah
dan mengkritik keras terhadap keekstriman tokoh sufi seperti Abu Yazid al Busthami
dan Al hallaj, yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil. Pada abad kelima
Hijriyyah ini tasawuf aliran filosofis tenggelam dan baru muncul kembali dalam
bentuk lain, yaitu pribadi para sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyyah dan
setelahnya.41 Mulai saat itulah tasawuf filosofis berkembang lagi dan sampai pada
puncaknya, aliran ini melahirkan sesosok sufi filosofis yang menggemparkan pada
abad-abad berikutnya yakni Syaikh al Akbar Ibnu al ‘Arabi. Bahkan sampai saat ini
terus menjadi bahan kajian yang aktual.
Umumnya para sufi filosofis begitu gigih mengkompromikan ajaran-ajaran
filsafat yang bersal dari luar Islam ke dalam ajaran mereka, serta menggunakan
terminologi-terminologi filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajaran
tasawuf mereka. Para sufi juga filosof ini mengenal dengan baik filsafat Yunani
seperti Socrates, Plato dan aliran Stoa (didirikan oleh Zeno), serta aliran
Neoplatonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Selain itu mereka juga
mempelajari filsafat-filsafat timur kuno, baik dari persia maupun India, serta
menelaah karya-karya filosof Islam, seperti Al Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu ‘Arabi dapat dilihat dari
dua sudut pandang, yakni tasawuf dan filsafat, meskipun tidak secara murni. Jika
dalam membahasnya kita menggunakan kacamata tasawuf, maka pemikirannya dapat
dikategorikan tasawuf filosofis. Jika menggunakan kacamata filsafat, maka
pemikirannya dikategorikan filsafat mistis.
Kita dapat melihat dari segi tasawuf karena ia menjalani laku kehidupan rohani
seperti sufi pada umumnya dan kehidupannya dipenuhi pengalaman spiritual yang
agung dan secara epistemologis ia mendapatkan pengetahuan dari intuisi, kasyf
(penyingkapan) dan dzauq (rasa). Sedangkan dari sudut pandang filsafat, Ibnu ‘Arabi
dapat disebut seorang filosof, karena selain dia faham betul dengan teori-teori filsafat
dari berbagai unsur sehingga bahasa yang digunakan adalah bahasa filsafat, tetapi
juga pemikirannya menambah pada obyek-obyek kajian filsafat, yaitu problem
metafisika.
Menurut A.E. Affifi, secara keseluruhan Ibnu ‘Arabi dapat digambarkan sebagai
filosof bertipe tidak beraturan (desultory) dan eklektik. Dikatakannya bahwa gayanya
yang ambiquity (mendua) disebabkan paling tidak oleh tiga hal, yaitu : pertama Ibnu
‘Arabi menggunakan istilah-istilah yang diambilnya dari berbagai sumber. Misalnya
The Good-nya Plato, The One-nya Plotinus, substansi universal-nya Asy’ari dan
Allahnya Islam. Kadang-kadang ia menggunakan satu kata untuk beberapa makna,
misalnya hakikat, diartikan sebagai realitas, kadang esensi, kadang suatu idea atau
suatu ciri. Yang kedua, bahwa Ibnu ‘Arabi selalu berusaha merekonsiliasikan 
dogma-dogma ortodok Islam dengan pemikiran panteistik. Dan yang ketiga, ia
menggunakan bahasa yang puitis dan fantastis sehingga mengaburkan pemikiran
yang logis dan ketat.
Siapapun tidak menyangkal bahwa memahami pemikiran Ibnu ‘Arabi bukanlah
hal yang mudah. Meskipun karya-karyanya yang berjumlah ratusan dapat
memberikan gambaran yang utuh buah pemikirannya, tetapi ungkapan-ungkapan
yang digunakan bersifat simbolis dan mengandung makna yang begitu dalam
sehingga sulit dimengerti oleh orang-orang yang mempelajarinya. Tidak
mengherankan jika, pada suatu waktu di musim dingin di parlemen Mesir terjadi
perdebatan seru di tengah para tokoh pemikir, mengenai boleh tidaknya salah satu
karya Ibnu ‘Arabi diterbitkan secara bebas. Sebagian berpendapat boleh, sebagian
melarangnya karena dikhawatirkan menyesatkan pembacanya.44  Memang
diperlukan sikap kritis dan ekstra hati-hati karena pembahasannya merambah hal-hal
yang sangat fundamental dalam pemikiran, yaitu spekulasi tentang hakikat segala
realitas. Itulah mengapa karya-karyanya cenderung dicurigai dan dianggap
membahayakan keimanan, terutama dikalangan sunni yang nota bene dianut oleh
mayoritas umat Islam.
Namun lain halnya bagi sejumlah sarjana, yang sebagian berasal dari kalangan
Syi’ah dan sebagian dari luar Islam. Mereka memiliki sikap yang lebih
menggembirakan terhadap konsep-konsep tasawuf filosofis, termasuk didalamnya
Ibnu ‘Arabi. Hal ini antara lain disebabkan karena pandangan para sufi dianggap
lebih liberal yang mengandung pesan universal bagi bentuk agama apapun. Sehingga
adanya keragaman di dunia ini tidak menjadi halangan untuk terjalinnya harmoni
kehidupan, karena hanya ada satu realitas yang mendasarinya.

Karya-karya Ibnu ‘Arabi


Futūĥāt al Makkiyyah (pembukaan Makkah) adalah karya Ibnu ‘Arabi yang
menjadi perdebatan di parlemen Mesir. Berisi tentang kehidupan spiritual para sufi
beserta ajaran-ajarannya, prinsip-prinsip metafisika, dan ilmu-ilmu keagamaan
seperti tafsir atas Al Qur’an, hadist dan fiqih. Menurut pengakuan Ibnu ‘Arabi, karya
ini merupakan hasil pendiktean dari Tuhan melalui malaikat-Nya.
Karya monumental kedua adalah Fushūsh al Hikam (untaian permata
kebijaksanaan). Diakui Ibnu’Arabi, karya ini ditulis berdasarkan perintah Nabi SAW
untuk diajarkan pada umat manusia.
Selain dua karya utama tersebut, berikut adalah karya-karyanya yang terhimpun
dalam beberapa kategori. Karya yang berisi tentang metafisika dan kosmologi ada
tiga buah, yaitu Insya’al Dawair (lingkaran yang meliputi) Uqlah al Mustawfiz dan
Tadbirah al Ilahiyyah (pemerintahan ilahiyyah)
Suatu kumpulan karya Ibnu ‘Arabi yang berisi tentang pengalaman-pengalaman
spiritual dan petunjuk-petunjuk abstrak maupun praktis bagi penempuh jalan ruhani,
tergabung dalam Rasa’il Ibnu al Arabi. Diantaranya adalah kitab-kitab sebagai
berikut :
a.    Kitab Al Isra’ (Perjalanan malam)
b.    Hilyah al Abdāl (perhiasan para pengganti)
c.    Risalah al Anwār (risalah cahaya-cahaya)
d.    Kitab Al Fana’ fi al Musyahadah (fana’ dalam kontemplasi)
e.    Istilah al Shufiyyah (istilah sufi) 
Karya-karya mengenai biografi para sufi yang hidup di zamannnya adalah Ruĥ
al Quds (Ruh-ruh suci) dan Al Durrah al Fakhirah. Kedua kitab ini
diterjemahkan dalam satu buku oleh R.W.J Austin dan di beri judul Sufis of
Andalusia.
Turjumān al Asywāq adalah karya Ibnu ‘Arabi yang mengundang penafsiran
negatif tentangnya, karena dianggap sebagai ekspresi dari cinta nafsu yang
dipersembahkan untuk Nizam. Tetapi kemudian sebagai pembelaan bahwa itu
merupakan ekspresi cinta terhadap Tuhan, Ibnu ‘Arabi menulis Dzakha’ir al
Alāq.
Kitab Al Alif, kitab Al Ba’, kitab Al Ya’, adalah seni karya-karya ringkas,
menggunakan sistem penomoran alfabetis. Dimulai di Yerusalem tahun 1204
(602 H). Seri kitab ini membahas prinsip-prinsip Ilahiyyah yang berbeda-beda
seperti : ketunggalan (ahadiyyah), kasih (Rahman) dan cahaya (Nūr).
Fihrist al mu’allafah adalah katalog karya tulis yang dibuat Ibnu ‘Arabi sendiri
untuk karya-karyanya yang memuat 248 karya. Di tulis pada tahun 1229/1230
(627 h) di Damaskus untuk muridnya Sadruddin al Qunawi.
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya Ibnu ‘Arabi yang akan memakan
tempat jika dituliskan semua. Di bawah ini adalah karya-karya yang dapat kami
sebutkan :
 Mashasid al Asrar al Qusdsiyyah (kontemplasi misteri kudus)
 Anqa’Mughrib (burung anqa’ di barat)
 Misykat al Anwār (relung cahaya)
 Mawaqi’ al Nujūm (letak bintang-bintang)
 Taj al Rasa’il (mahkota surat-surat)
 Kitab Jalāl wa al Jamāl (keagungan dan keindahan)
 Kitab Tajalliyah (kitab teofani)
 Dan Awrat al Usbu’ (doa’ untuk seminggu)
TUGAS SKI

BIOGRAFI IBNU AL BAITAR

Oleh
DWI YASTI

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI IBNU AL-BAITAR
(AHLI BOTANI PENEMU HINDIBA)

Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baitar Dhiya


al-Din al-Malaqi (‫)ابن البيطار‬. Namun salah satu ilmuwan Muslim terbaik yang pernah
ada ini lebih dikenal sebagai Ibnu Al-Baitar/Al-Baytar. Dia dikenal sebagai ahli
botani (tetumbuhan) dan farmasi (obat-obatan) pada abad pertengahan. Dilahirkan
pada akhir abad 12 di kota Malaga (Spanyol), Ibnu Al-Baitar menghabiskan masa
kecilnya di tanah Andalusia tersebut.
Minatnya pada tumbuh-tumbuhan sudah tertanah semenjak kecil. Beranjak
dewasa, dia pun belajar banyak mengenai ilmu botani kepada Abu al-Abbas al-
Nabati yang pada masa itu merupakan ahli botani terkemuka. Setelah belajar pada
Ibn Al-Rumeyya, ia menguasai tiga bahasa sekaligus, Spanyol, Yunani, dan Suriah.
Berbekal kemampuan berbahasa inilah, ia mengadakan perjalanan ke beberapa
negara untuk mengembangkan ilmu yang diminatinya, botani. Dari sinilah, al-Baitar
pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan beraneka ragam jenis tumbuhan.
Tahun 1219 dia meninggalkan Spanyol untuk sebuah ekspedisi mencari ragam
tumbuhan. Bersama beberapa pembantunya, al-Baitar menyusuri sepanjang pantai
utara Afrika dan Asia Timur Jauh. Tidak diketahui apakah jalan darat atau laut yang
dilalui, namun lokasi utama yang pernah disinggahi antara lain Bugia, Qastantunia
(Konstantinopel), Tunisia, Tripoli, Barqa dan Adalia.
Setelah tahun 1224 al-Baitar bekerja untuk al-Kamil, gubernur Mesir, dan
dipercaya menjadi kepala ahli tanaman obat. Tahun 1227, al-Kamil meluaskan
kekuasaannya hingga Damaskus dan al-Baitar selalu menyertainya di setiap
perjalanan. Ini sekaligus dimanfaatkan untuk banyak mengumpulkan tumbuhan.
Ketika tinggal beberapa tahun di Suriah, Al-Baitar berkesempatan mengadakan
penelitian tumbuhan di area yang sangat luas, termasuk Saudi Arabia dan Palestina,
di mana dia sanggup mengumpulkan tanaman dari sejumlah lokasi di sana.

Karyanya
Sebagian besar buku karya Ibnu al-Baitar berasal dari hasil penelitiannya
selama beberapa tahun terhadap berbagai jenis tumbuhan. Tak hanya berisi hasil
penelitian, buku tersebut juga di lengkapi penjelasan & komentar panjang. Di
kemudian hari, karya-Karya Ibnu al-Baitar menjadi buku rujukan ilmu botani yang
sangat penting. Kontribusi Ibnu al-Baitar tersebut sangat mempengaruhi
perkembangan ilmu botani & kedokteran selanjutnya, baik di Eropa maupun Asia.
Sumbangsih utama Al-Baitar adalah Kitab Al-Jami’ li Mufradat Al-Adweya
wa Al-Aghtheya (dibawa ke Barat dan diterjemahkan menjadi The Complete [book]
in Simple Medicaments and Nutritious Items) . Buku ini sangat populer dan
merupakan kitab paling terkemuka mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan ilmu
pengobatan Arab. Kitab ini menjadi rujukan para ahli tumbuhan dan obat-obatan
hingga abad 16. Ensiklopedia tumbuhan yang ada dalam kitab ini mencakup 1.400
item, terbanyak adalah tumbuhan obat dan sayur mayur termasuk 200 tumbuhan
yang sebelumnya tidak diketahui jenisnya. Kitab tersebut pun dirujuk oleh 150
penulis, kebanyakan asal Arab, dan dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani
sebelum diterjemahkan ke bahasa Latin serta dipublikasikan tahun 1758.
Karya fenomenal kedua Al-Baitar adalah Kitab al-Mughni fi al-Adwiya al-
Mufrada (diterjemahkan di Eropa menjadi The Ultimate in Materia Medica) yakni
ensiklopedia obat-obatan. Obat bius masuk dalam daftar obat terapetik. Ditambah
pula dengan 20 bab tentang beragam khasiat tanaman yang bermanfaat bagi tubuh
manusia. Pada masalah pembedahan yang dibahas dalam kitab ini, Al-Baitar banyak
dikutip sebagai ahli bedah Muslim ternama, Abul Qasim Zahrawi. Selain bahasa
Arab, Baitar pun kerap memberikan nama Latin dan Yunani kepada tumbuhan, serta
memberikan transfer pengetahuan.
Tak hanya itu, ada juga Mizan al-Tabib (The Physician’s Balance), Al-Ibana
wa Al-I’lam ‘ala ma fi Al-Minhaj min Al-Khalal wa Al-Awham yang merupakan
telaah kritisnya atas ilmu farmasi sebelumnya, Minhaj al-Bayan fi ma yasta’meluhu
al-Insan yang disusun oleh Abu Ali Yahya ibn Jazla al-Baghdadi (493 H/1100 M)
serta juga Al-Af’al al-Ghariba wa al-Khawas al-’Ajiba.
“Catatan-catatan Al-Baytar adalah catatan terpenting dalam dunia tumbuhan
dari seluruh periode kejayaan ahli botani, mulai dari masa Dioscorides sampai
abadke-16,” ungkap Sarton. Catatan Al-Baytar, kata ahli sejarah ini, seperti kamus
atau ensiklopedia lengkap tentang tumbuh-tumbuhan.

Penemu Ramuan Herbal Kanker (Hindiba)


Adalah al-Baitar, seorang ilmuwan Muslim abad ke-12 M yang berhasil
menemukan ramuan herbal untuk meng obati kanker bernama Hindiba. Ramuan
Hindiba yang ditemukan al-Baitar itu mengandung zat antikanker yang juga bisa
menyembuhkan tumor dan ganguan-gangguan neoplastic.
Kepala Departemen Sejarah dan Etika, Universitas Istanbul, Turki, Prof Nil
Sari dalam karyanya Hindiba: A Drug for Cancer Treatment in Muslim Heritage,
telah membuktikan khasiat dan kebenaran ramuan herbal Hindiba yang ditemukan al-
Baitar itu. Ia dan sejumlah dokter lainnya telah melakukan pengujian secara ilmiah
dan bahkan telah mempatenkan Hindiba yang ditemukan al-Baitar.
Menurut Prof Nil Sari, Hindiba telah dikenal para ahli pengobatan
(pharmacologis) Muslim, serta herbalis di dunia Islam. Umat Muslim telah
menggunakan ramuan untuk menyembuhkan kanker jauh sebelum dokter di dunia
Barat menemukannya, ungkap Prof Nil Sari.
Setelah melakukan pengujian secara ilmiah, Prof Nil Sari menyimpulkan
bahwa, Hindiba memiliki kekuatan untuk mengobati berbagai penyakit. Hindiba
dapat membersihkan hambatan yang terdapat pada saluran-saluran kecil di dalam
tubuh, khususnya dalam sistem pencernaan. Tapi domain yang paling spektakuler
adalah kekuatannya yang dapat menyembuhkan tumor ungkapnya.
Untuk melacak khasiat dan ramuan Hindiba, Prof Nil Sari pun melakukan
penelitian terhadap literatur pengobatan masa lalu. Ia melacak dua masterpiece
ilmuwan Muslim, yakni Ibnu Sina lewat Canon of Medicine serta ensiklopedia
tanaman yang ditulis al-Baitar.
Ketika kami melihat teks lama secara lebih dekat, kami melihat adanya
kebenaran yang sedikit sekali kami ketahui tentang ramuan tanaman (herbal) di masa
lalu,ungkapnya. Dalam teks peninggalan kejayaan Islam itu dijelaskan bahwa
Hindiba dan berbagai jenis herbal lainnya dibagi menjadi dua kelompok utama, yakni
herbal yang diolah dan herbal yang tak diolah.
Menurut teks pengobatan kuno, keampuhan pengobatan kanker dengan
menggunakan Hindiba didasarkan atas pertimbangan teoritis pengobatan, yakni efek
obat-obatan medis beroperasi sesuai dengan sifat dari konstituen. Menurut Prof Nil,
konstituen yang dihasilkan dari dekomposisi akan memiliki efek yang disebut energi.
Potensi kualitas panas dan dingin dalam sifat obat akan keluar sebagai hasil
dekomposisi dalam tubuh.
Komponen aktif komponen alami yang panas akan segera bereaksi. Akan
tersebar melalui jaringan secara efektif. Konstituen panas bereaksi sebelum
konstituen dingin dan membersihkan hambatan dalam saluransaluran kecil pada
bagian tubuh dan memperlancar penyebaran konstituen dingin. Kemudian, unsur
dingin itu datang dan mulai berfungsi menjalankan fungsinya.
Dalam risalah kedokteran berbahasa Arab, peninggalan era keemasan Islam,
disebutkan bahwa semua jenis pembengkakan seperti kutil atau benjolan telah
menyebabkan gangguan pada saluran. Sedangkan kanker digambarkan sebagai massa
yang keras. Diidentifikasi sebagai pembengkakan yang keras, kanker berkembang
dari kecil kemudian menjadi besar ditambah dengan rasa sakit.
Mengutip catatan Ibnu Sina dalam Canon of Medicine, Prof Nil Sari
mengungkapkan, tumor atau kanker, bila di biarkan akan semakin bertambah ukur
annya. Sehingga kanker itu akan menyebar dan merusak. Akarnya dapat menyusup di
antara elemen jaringan tubuh. Prof Nil Sari menemukan gambaran serupa tentang
kanker dalam manuskrip pengobatan di era Usmani.
Menurut Ibnu Sina, tumor digolongkan menjadi dua, yakni tumor panas dan
dingin. Tumor yang berwarna dan terasa hangat saat disentuh biasanya disebut tumor
panas, sementara tumor yang tidak berwarna dan terasa hangat disebut tumor dingin.
Ibnu Sina menyebut kanker sebagai bentuk tumor yang berada di antara tumor
dingin.
Khasiat Hindiba diteliti Prof Prof Nil Sari dengan menyajikan data yang
mendalam mengenai latar belakang teori percobaan invivo dan invitro dengan sari
herbal dari Turki. Ia memulai dari filsafat Turki Usmani, yang berakar dari
pengobatan Islam. Dalam karyanya ini, disebutkan bahwa obat Cichorium intybus L
dan Crocus sativus L diidentifikasi sebagai alternatif tanaman yang identik satu sama
lain yang merupakan komponen aktif untuk pengobatan kanker.
Prof Nil Sari dan rekannya Dr Hanzade Dogan mencampurkan C intybus L dan
kunyit (saffron) dari Safranbolu, seperti yang dijelaskan teks pengobatan lama. Yang
lebih menarik adalah hasil penelitian laboratorium kami yang menunjuk kan bahwa
dari ekstrak C intybus L yang ditemukan menjadi paling aktif pada kanker usus
besar, ujar Prof Nil Sari.
Menurut dia, Hindiba terbukti sangat efektif mengobati kanker. Sayangnya,
kata dia, pada zaman dahulu, Hindiba lebih banyak disarankan sebagai obat untuk
perawatan tumor. Hal itu terungkap dalam kitab Ibnu al-Baitar. Menurut al-Baitar,
jika ramuan Hindiba dipanaskan, dan busanya diambil dan disaring kemudian
diminum akan bermanfaat untuk menyembuhkan tumor.
Pakar pengobatan di era Kesultanan Turki Usmani, Mehmed Mumin, mengung
kapkan bahwa Hindiba bisa meng obati tumor dalam organ internal. Namun, lebih
sering dianjurkan untuk perawatan tumor pada tenggorokan. Jika kayu ma nis di
campurkan pada jus Hindiba (khu sus yang diolah dengan baik) dapat digunakan un
tuk obat kumurkumur serta ber manfaat pula untuk perawatan tumor, sakit dan
radang tenggorokan.
Kontribusi Al-Baitar tersebut merupakan hasil observasi, penelitian serta
pengklasifikasian selama bertahun-tahun. Dan karyanya tersebut di kemudian hari
amat mempengaruhi perkembangan ilmu botani dan kedokteran baik di Eropa
maupun Asia. Meski karyanya yang lain yakni kitab Al-Jami baru diterjemahkan dan
dipublikasikan ke dalam bahasa asing, namun banyak ilmuwan telah lama
mempelajari bahasan-bahasan dalam kitab ini dan memanfaatkannya bagi
kepentingan umat manusia.

Wafat
Ibnu Al-Baitar meninggal di Damaskus pada tahun 1248. Dunia mengenangnya
sebagai seorang yang paling berjasa dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
berpengaruhpenting dalam perkembangan ilmu botani
TUGAS SKI

BIOGRAFI AL KINDI

Oleh
QONITA HELGA

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI AL-KINDI

Perkembangan Zaman memberikan kesempatan peningkatan dan


pengembangan alam fikiran Bangsa Arab, terutama setelah wafatnya Rasulullah,
sedangkan keperluan dan kebutuhan untuk memperoleh kepastian hukum dialihkan
kepada al-Qur’an dan al-sunnah. Kedua dasar ini tentu membutuhkan penjelasan dan
penafsiran yang jelas dan shahih, yang selanjutnya menimbulkan ijtihad atau
kemampuan daya fakir brilian, guna menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu.
Yang jelas bahwa kekuatan daya fakir seseorang sangat ditentukan oleh taraf
kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya, sehingga dapat
menghasilkan kesimpulan yang benar.
Dalam sejarah Islam, penulisan filsafat yang sistematis bam dimulai pada abad
ke-9, Sebelumnya kegiatan filosofis hanya berkisar pada penerjemahan karyakarya
filsafat Yunani. Penulis yang pertama-tama merayakan tradisi penulisan filsafat
adalah al-Kindi. Filosof ini mengaku keturunan kabilah Kindah, lahir di kota Kufah
dan di kota itu, ayahnya menjabat Gubernur.
Awal mula pemikiran filsafat, seperti halnya penciptaan manusia, sama-sama
melampaui perjalanan sejarah. Pemikiran merupakan ciri yang tidak bisa dipisahkan
dari manusia, di mana pun ia menjejakkan kakinya. Pemikiran dan pemahaman
senantiasa dibawanya. Oleh karena itu, tidak ada informasi secara pasti mengenai
pemikiran-pemikiran yang tak tertulis oleh manusia, kecuali dugaan berdasarkan
peninggalan yang ditemukan.
Diantara sekian banyak persoalan yang ingin diungkap oleh pemikiran manusia
adalah pengetahuan tentang ” wujud”, awal dan akhirnya, pengetahuan tentang
wujud ini, sejalan dengan pengetahuan keagamaan. Oleh karena itu, dapatlah
dikatakan bahwa pemikiran filosof terkuno ada dalam pemikiran keagamaan Timur.
Tak diragukan bahwa orang-orang Islam terdahulu dengan taraf kecerdasanya
telah banyak menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan diantaranya :
fisika, matematika, ekonomi, politik, logika. Psikologi, musik dsb.
Al-Kindi adalah seorang filosof Islam yang pertama merintis usaha untuk
mempertemukan agama dan filsafat yang didasarkan atas ketentuan dan dalil-dalil
pikiran. Menurutnya filsafat adalah pengetahuan yang benar, al-Quran juga
membawa argumen-argumen yang meyakinkan dan benar dan tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Sementara para filosof
Yunani tidak menemukan adanya titik temu filsafat dan agama.
Menurut al-Kindi, seorang tidak perlu malu untuk mengakui kebenaran itu,
meskipun kebenaran itu dari suatu bangsa yang perbedaannya sangat jauh dari kita
sehingga orang-orang yang mengingkari kebenaran tidak seorang pun akan rendah
sebab kebenaran, sebaliknya semua orang menjadi akan mulia oleh kebenaran.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka tulisan ini mencoba menelusuri
secara khusus tentang: Riwayat Hidup Al-Kindi dan Pandangan Al-Kindi tentang
keserasian filsafat dan agama, Filsafat Ketuhanan dan Filsafat Jiwa Al-Nafs.
Nama, lengkapnya, al-Kindi adalah Abu Yusuf Yakub, bin Ishak ibu alSubbah
Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-asy’ats bin Qais al-Kindi. ia populer dengan
sebutan al-Kindi. la lahir di Kufah (Iraq) sekitar 185 H. dan wafat tahum 26o H./873
M. prang tuanya adalah gubernur di Bashrah.
Setelah dewasa, ia ke Bagdad dan mendapat perlindungan dan khalifah al.-
Ma’mun (Daulah Abbasiah) dan khalifah al-Mu,tasim.[5] Neneknya bernama, al-
Asy’ats bin Qaish. Termasuk seorang sahabat Nabi yang paling pertama datang di
kota Kufah.
Ketika al-Kindi sampai di Bagdad, ia sangat senang dengan suasana intelektual
di sana, ia menerjemahkan beberapa karya dan merevisi terjemahan orang lain,
seperti teologi Aristoteles. Untuk mengalih bahasakan istilah-istilah filosofis dan
ilmiah tertentu yang ia tentukan dalam karya karya asing, is menciptakan kata-kata
baru dalam bahasa Arab. Seperti jirm untuk tubuh, thinah untuk materi al-tawahum
untuk imajinasi dan lain-lain.
Sebagai penults yang sangat produktif, ia memiliki sekitar 270 dalam berbagai
bidang ilmu yang dikenal pada masanya, seperti geometrik, musik, astronomi,
parmakologi, meteorologi, kimia, kedokteran dan polomika. la juga menulis semua
cabang ilmu filsafat, seperti logika, fisika, metafisika, psikologi dan etika.
Di dalam menulis karya-karya tersebut, pertama ia menjelaskan sejelas
mungkin pandangan-pandangan para pendahulunya kemudian merevisi dan
kemudian mengembangkannya sesuai dengan kepentingan-kepentingan baru.
Karya-karya al-Kindi yang berjumlah sekitar 270 buah, tersebar di belahan
dunia Islam, akan tetapi, banyak be-rupa risalah-risalah pendek dalam bidang filsafat,
antara lain sebagai berikut:
1. Fi al-falsafah al-ula (filsafat pertama)
2. Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang
rahasia spritual).
3. Risalah fi Hudud al-Asyya wa Rusumiha (defenisi bendy-bendy uraiannya)
4. Fi Ma’iyah al-Ilmu wa al-Aqsami (filsafat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya)
Mengenai kematiannya tidak ada kepastian, L, Musognon mengatakan ia wafat
sekitar 245 H (860 M). C. Laninno menduga tahun wafat al-Kindi sekitar (w.
26o H/873 M). Adapun Mustafa Abdul Raziq mantan Rektor at-Azhar
mengatakan tahun (252 H/866 M),[10]

Masalah hubungan filsafat dan agama, menimbulkan masalah- baru yang


diperdebatkan pada zaman al-Kindi. Ahli-ahli agama pada umumnya menolak
keabsahan ilmu filsafat, karena di antara produk pemikiran filsafat jelas
menunjukkan pertentangan dengan ajaran al-Qur’an, Sebagai seorang. filosof al-
Kindi telah mengangkat dirinya sebagai pembela ilmu filsafat yang seharusnya tidak
dipertentangkan dalam agama karena keduanya membawa kebenaran yang serupa.
Agama dan filsafat menurutnya adalah ilmu pengetahuan yang benar oleh
karena itu, Al-Qur’an sebagai sebuah wahyu dari Allah tidak mungkin bahkan
mustahil bertentangan kebenaran yang dihasilkan filsafat sebagai sebuah upaya
maksimal dalam menggunakan akal untuk menemukan kebenaran. Karena itu,
mempelajari filsafat dan berfilsafat bukanlah merupakan pengingkaran terhadap
kebenaran wahyu (al-Qur’an), dan teologi sebagai bagian dari filsafat, sangat penting
untuk dipelajari.
Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus
menjadi tujuan dari keduanya. Agama di samping wahyu mempergunakan akal dan
filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama menurut al-Kindi adalah
Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat, maka orang tersebut menurut
al-Kindi telah mengingkari kebenaran, menolaknya berarti ia “kafir” padahal kita
harus menyambut kebenaran dari mana pun datangnya, sebab tiada yang lebih
berharga bagi pencari kebenaran, kecuali kebenaran itu sendiri.
Adanya golongan menolak filsafat alas dasar tidak mau menerima ta’wil,
padahal menurut al-Kindi, itu tidak boleh dijadikan alasan sebab, al-Qur’an adalah
bahasa Arab dan bahasa Arab memilih 2 macam, pertama makna hakiki dan kedua
adalah makna majazi, tame saja yang dapat mena’wilkan al-Qur’an hanya orang yang
mendalam agamanya dan ahli fikir.
AI-Kindi juga mengacu pada al-Qur’an yang banyak menyuruh meneliti
penomana yang banyak terjadi dalam alam, misalnya dalam (Qs. al-Gasyiah ayat 17
sampai 20 (32): 4). Artinya: Maka apakah tidak memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, langit bagaimana ditinggikan, gunung-gunung bagaimana ditegakkan,
bumi bagaimana, dihamparkan.
Dan firman Allah yang berbunyi dalani surah al-Araf. 185: Dan apakah mereka
tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan
Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka kepada berita
manakah lagi mereka akan beriman selain kepada .M Qur’an itu?
Ayat itu menunjukkan, kepada kita, agar berfilsafat, mengamati fenomena
alam, sehingga manusia semakin sadar terhadap kebenaran Tuhan. Namun demikian
tidak bisa dipungkiri perbedaan di antara keduanya, sebagaimana dijelaskan al-Kindi
dalam karyanya Kammiyah Kutub Aristoteles, sebagaimana. Berikut :
FIISAFAT 
– Himaniora[14] yang dicapai oleh filsafat dengan berfikir, belajar. 
– Jawaban filsafat memerlukan pemikiran dan perenungan. 
– Menggunakan metode logika 
– Ilmu insaniyah 
AGAMA 
– Ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi, karma di peroleh tanpa proses
belajar, dan hanya diterima secara langsung para Rasul dalam bentuk wahyu. 
– Jawaban a1-Qur’an meyakinkan secara mutlak. 
– Pendekatan keyakinan.[15] 
– Ilmu Ilahiyah. 
Mencermati skema di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Kindi menganut
rasionalisme, tetapi tetap memposisikan agama sebagai kebenaran tertinggi.
Kesesuaian antara filsafat dan agama di dasarkan pada tiga alasan, sebagai berikut.
Pertama : Ilmu agama merupakan bagian dari ilmu filsafat.
Kedua : Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kebenaran
filsafat saing berkesesuaian.
Ketiga : Menurut ilmu secara logika diperintahkan dalam at-Qur’an.[16]
Atas dasar inilah Al-Kindi telah membuka pintu tentang penafsiran filosofis terhadap
al-Qur’an, sehingga terjadi persesuaian antara agama dan filsafat.[17]
Filsafat ketuhanan
Bagi al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud
yang lain. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an dengan firman-Nya, Wujud-Nya tidak
berakhir, sedangkan wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah yang
Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat yang menyamainya dalam
segala aspek Ia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ainiah
(jus’I) atau mahiyah (universal). tidak ainiyah karma Tuhan tidak termasuk benda-
benda yang ada dalam alam. Bahkan ia pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi
dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karma
Tuhan bukan merupakan jenis,[19] atau species[20] , Tuhan hanya satu dan tidak ada
yang scraps dengannya.
Tuhan adalah unik, Ia adalah al-Haq al-Awwal ( )dan Ia semata-mata satu.[21]
Lebih lanjut dikemukakan dalam bukunya “al-Sinaat al-Uzma, bahwa Allah Maha
terpuji, Dia adalah penyebab bab gerak yang abadi (Qadim), maka ia tidak dapat
dilihat dan tak bergerak penyebab gerak tanpa menggerakkan dirinya, inilah
gambarannya bagi yang memahaminya Lewat kata-kata sederhana: Ia Tunggal
sehingga tidak dapat dipecah-pecah, ia menjadi tunggal, dan ia tak terlihat, karma ia
tak tersusun dan tak ada susunan baginya tetapi sesungguhnya ia terpisah dari segala
yang dapat dilihat, karena, ia penyebab gerak segala yang dapat dilihat.
Kelihatannya al-Kindi pengalih konsepsi hellenistis tentang Tuhan. Al-Kindi
membuat istilah-istilah baru: Tuhan Maha Besar, la Maha tinggi, ia bukan materi, tak
berbentuk, tak berjumlah, tak berhubungan, juga tidak dapat disifati dengan ciri-ciri
yang ada (al-ma’qulat). Ia abadi. oleh karena itu, Ia Maha Esa (al-Wahdah).
Argumen-argumen al-Kindi tentang kemaujudan Tuhan betumpuh pada
keyakinan sebab akibat, segala yang maujud pasti ada yang menyebabkan
kemaujudannya, hanya rangkaian- sebab itu terbatas akibatnya, ada sebab pertama
atau sebab sejati yaitu Tuhan.
Dalil-dalil lain tentang adanya Tuhan adalah dunia mulanya tak maujud, oleh
karenanya pasti butuh satu pencipta. segala ciptaan tak abadi, hanya Tuhanlah sendiri
yang abadi. Hal ini menunjukkan bahwa segala hal itu berproses. Demikian pula
dunia secara keseluruhan tak abadi karma mereka terbatas dan tercipta, segala yang
terbatas dengan ruang dell waktu adalah tak abadi.
Jadi, dunia (alam) ini baharu sebagaimana pendapat para mutakallimun, hanya
saja perbedaannya adalah dari segi kandungan dalilnya. Oleh karena itu, timbal
pertanyaan apakah mungkin sesuatu dalam kenyataan ini menjadi sebab bagi dirinya
atau tidak,? Al-Kindi menjawab tentu tidak mungkin, karena sesuatu yang ada dalam
alam ini sebab padanya. Olehnya itu, alam ini ada permasalahannya baik dari segi
gerak maupun dari segi waktu. Pencipta itu tidaklah banyak melainkan Maha Fsa,
tidak terbilang, Dialah yang langsung karena ia tidak berubah. Sesuatu yang berubah,
ia tidak langgeng.

Filsafat Jiwa’al-Nafs
Dalam. Islam, persoalan jiwa, (roh) pada dasarnya tidak dianggap satu
persoalan yang perlu lagi dipersoalkan, karena ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi
telah memberikan pernyataan bahwa persoalan roh adalah urusan Tuhan, bukan
urusan manusia.
Menurut al-Kindi, roh itu tidak tersusun, mempunyai arti panting, sempurna
dan mulia. Substansi roh berasal dari subtansi Tuhan, Hubungan roh dan Tuhan
sebagaimana dengan hubungan cahaya dan matahari.
Selain itu, jiwa bersifat spritual, ilahiyah, terpisah dan berbeda dengan Tuhan.
Tubuh mempunyai hawa nafsu, dan sifat pemarah sedangkan roh menentang hawa
nafsu. Jadi menurut saga, bahwa roh adalah merupakan sosial kontrol terhadap tubuh.
Tubuh akan binasa tanpa roh. Dengan roh pulalah manusia memperoleh pengetahuan
yang sebenarnya. Roh bersifat kekal dan tidak hancur, sebagaimana hancurnya badan
kalau meninggal, karena substansinya berasal dari Tuhan. Merupakan cahaya yang
dipancarkan oleh Tuhan.
Selama di dalam badan roh tidak memperoleh ketenangan yang sebenarnya dan
pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan roh
memperoleh kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang
sempurna. Setelah bercerai dengan badan roh pergi ke alam kebenaran ( ), alam akal
( ) di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan
Di sinilah kesenangan abadi dari roh.[29]
Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai 3 daya, yakni:
1. Daya bernafsu 
2. Daya pemarah  
3. Daya berfikir [30]
Daya berfikir ini disebut dengan akal, bagi al-Kindi akal terbagi atas tiga bagian
sebagai berikut:
a. Akal bersifat potensial 
b. Akal yang keluar dari akal yang potensial 
c. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas
Akal yang bersifat potensial, tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada
kekuatan yang menggerakkannya dari luar, olehnya itu al-Kindi menambah satu
macam akal yang memiliki wujud di luar wujud manusia yang bernama akal yang
selamanya dalam aktualitas yang membuat akal menjadi potensial dalam roh manusia
menjadi aktuil.
Menurut dugaan saya, mungkin inilah yang disebut akal yang tak terbatas. Hal
ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang membedakan menjadi dua macam akal
yakni akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin itulah yang menerima pikiran.
Sedangkan akal agen menghasilkan obyek-obyek pemikiran. Akal agen ini selalu
aktual, dan selalu tersendiri, kekal dan tak rusak.
Menurut syayyid Syarif akal itu ada disebut juga (intelak pertama), hakikat
Muhammadiyah, nafs wahidah, hakikat asmaiyyah yang identik dengan eksistensi
pertama yang diciptakan Allah yang, dinamakan (khalifah terbesar) atau inti cahaya,
intinya merupakan wahana penampakan zat. Sedangkan cahayanya penammpakan
pada umumnya. Yang intinya dinamakan (nafs wahidah) cahayanya dinamakan
intelak pertama.
Dan rupanya teori tentang nafs,/jiwa masih belum tuntas karena filosof di
belakang al-Kindi masih mempersoalkan. Dan yang terpenting menurut al-Kindi
bagaimana menyempurnakan jiwa untuk memperoleh kebahagian tertinggi.
TUGAS SKI

BIOGRAFI
ABU BAKAR MUHAMMAD ZAKARIA
AR-RAZI

Oleh
RISQI WULANDARI

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
ABU BAKAR MUHAMMAD ZAKARIA AR-RAZI

Beliau bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Ar-Razi. Dalam
bahasa Latin nama panggilan beliau, Ar-Razi telah dirubah menjadi Rhazes. Selain
itu, karena kemampuan Ar-Razi di bidang kimia sangat besar, maka sebagian penulis
Eropa menyebut beliau dengan panggilan “Boyle Persia” yang disamakan dengan
ahli fisika dan kimia Inggris, Robert Boyle. Abu Bakar Ar-Razi lahir pada tahun 251
H/ 865 M di Rayy, Teheran, Iran. Namun berdasarkan sumber referensi lain beliau
dilahirkan pada tahun 240 H/ 854 M.
Sejak kecil Ar-Razi telah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu
pengetahuan. Beliau juga dididik dan dibesarkan dalam lingkungan agama yang
ketat. Sewaktu muda beliau sudah mempelajari filsafat, kimia, matematika, dan
kesustraan. Baru pada usia 30 tahun beliau mulai mempelajari bidang kedokteran.
Dalam perjalanan kariernya, beliau harus meninggalkan pengabdian di kota
kelahirannya. Sebab penguasa Baghdad telah memanggil Ar-Razi untuk menjadi
kepala rumah sakit di Baghdad. Sehingga selain memberikan teori-teori , beliau juga
langsung mempraktikkan ilmunya dalam perawatan pasien di berbagai rumah sakit di
Teheran dan Baghdad.
Beliau mempraktikkan ilmu kedokteran selama 35 tahun. Beliau tidak hanya
berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di Rayy dan Baghdad , tetapi juga daerah-
daerah lain di luar ke dua kota tersebut sering beliau kunjungi dalam rangka
mengabdi kepada masyarakat setempat.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa ar-Razi pada masa tua justru
mempelajari bidang kedokteran. Beliau tidak hanya mempelajari kedokteran Arab
dan Yunani seperti para ilmuwan muslim lainnya, melainkan beliau juga
menambahkan pengalamannya dalam bidang kedokteran dengan mempelajari
kedokteran India. Selain itu beliau juga sangat berpengalaman dalam bidang kimia,
dengan bekal ilmu kimianya yang luas beliau pun menekuni dunia medis. Menurut
ar-Razi seorang pasien yang telah sembuh dari penyakitnya disebabkan oleh respon
reaksi kimia yang terdapat di dalam tubuh pasien tersebut.
Ar-Razi mengajak untuk bersikap teliti dalam melakukan praktik kedokteran
dan mendiagnosa berbagai macam penyakit. Beliau menulis nasihat kepada para
dokter agar memperhatikan hal kecil maupun besar agar dapat mendiagnosa secara
tepat. Ketelitian mendiagnosa yang diiringi dengan kekuatan analisa, kedalaman
teori, kemampuan dalam menganalisis dan menyimpulkannya akan membawa
kepada penemuan ilmiah yang telah ada sebelumnya. Berikut ini adalah beberapa
kontribusi al-Razi di bidang kedokteran:
 Menemukan pengaruh faktor kejiwaan dalam penyembuhan penyakit
 Menemukan perbedaan antara cacar air dan campak
Melakukan eksperimen pengobatan kepada hewan sebelum dilakukan pada
manusia
 Mengetahui perbedaan antara mulas di usus kecil dengan gangguan usus
besar
 Menemukan pengaruh cahaya pada lingkaran hitam di mata
 Penggagas etika kedokteran
 Menemukan pengaruh alergi terhadap orang yang sakit
 Unggul dalam bidang kedokteran dan operasi mata
 Membuat daftar seni menjaga kesehatan
 Tidak berlebih-lebihan dalam beraktivitas dan beristirahat
 Tidak berlebih-lebihan dalam makan dan minum
 Menghidari sikap hidup berlebihan
 Tempat tinggal yang baik dan teratur
 Menghindari perbuatan keji
 Menjaga keseimbangan ambisi dan upaya mencapainya
 Mempertahankan kebiasaan baik termasuk berolahraga
 Beliau memperingatkan bahwa terdapat penyakit yang disebabkan oleh faktor
keturunan
 Ar-Razi merupakan dokter yang pertama kali memisahkan antara kedokteran
anak dan kedokteran umum.
 Ar-Razi mengobati sebagian penyakit dengan mengatur pola makan saja
tanpa harus menggunakan obat-obatan
 Beliau menemukan benang jahit untuk operasi yang terbuat dari bahan
selaput hewan.
 Beliau pertama kali menjelaskan penggunaan perban gipsum pada
pengobatan patah tulang
 Beliau menyimpulkan penggunaan air raksa dan komposisi timah dalam
membuat obat gosok

Berikut ini adalah beberapa karya ar-Razi dalam bidang kedokteran:


 Kitab Al-Hawi
Merupakan buku ensiklopedia kedokteran yang meliputi semua ilmu kedokteran
Arab, Yunani, dan India yang dikumpulkan oleh Ar-Razi dan terdapat tambahan
pengetahuan baru sesuai dengan pengalaman dan penemuan ar-Razi. Buku
tersebut terdiri dari bab-bab yang sangat banyak dan artikel-artikel yang
dikhususkan oleh ar-Razi untuk mengupas secara tuntas salah satu cabang
kedokteran atau mengobati salah satu anggota badan, hinggga tidak ada satu pun
dari jenis penyakit itu yang terlupakan, mulai dari penyakit tipus, panas dingin,
pusing, hingga penyakit yang berhubungan dengan syaraf dan kelumpuhan.
Selain itu berisi juga tentang penyakit dada, kedokteran mata, hidung dan telinga
serta kedokteran gigi.
 Kitab Ath-Thib Al-Mansuri
Buku tersebut berisi tentang anatomi tubuh manusia, termasuk anatomi kerangka
manusia, susunan urat saraf serta anatomi pembuluh darah di tenggorokan. Selain
itu buku tersebut juga berisi 10 risalah dalam menjaga kesehatan seperti yang
telah dipaparkan sebelumnya serta beberapa topik penting lainnya.
 Kitab Al-Asrar
Berisi tentang obat-obatan secara medis serta pencampurannya.
 Kitab Al-Jadari wa Al-Hishbah
Berisi tentang perbedaan penyakit cacar dan campak serta bagaimana
mendiagnosa penyakit tersebut sejak dini.
 Kitab Man La Yahdhuruhu Ath-Thabib
Berisi berbagai pengobatan sederhana dan bersifat sementara sebagai pertolongan
pertama pada kecelakaan yang dapat dilakukan oleh siapa pun sebelum
datangnya dokter, atau sebelum orang sakit pergi ke dokter.
 Kitab Manafi’ Al-Aghdziyah
Berisi tentang pengaruh makanan bagi kesehatan secara umum dan manfaat serta
bahayanya dalam keadaan mengidap penyakit tertentu. Buku tersebut merupakan
buku yang pertama kali dikarang dalam ilmu makanan (dietetics).
Peristiwa Pembangunan Rumah Sakit Al-Bimarstan Al-Adhadi
Suatu ketika khalifah Al-Mu’tadh (892-902 M) ingin membangun sebuah rumah
sakit yang terkenal di Baghdad dengan nama rumah sakit Al-Adhadi, beliau
bermusyawarah dengan para dokter terkemuka mengenai pembangunan dan
lokasi yang akan ditempati. Di antara para dokter tersebut, terdapat ar-Razi yang
kemudian mengusulkan untuk meletakkan potongan daging di berbagai tempat
yang diusulkan, kemudian dipilih tempat diletakkannya daging yang paling
sedikit busuknya sebagai tempat dibangunnya rumah sakit. Hal tersebut
disebabkan tempat di mana daging paling sedikit busuk, menunjukkan bahwa
tempat tersebut paling sedikit tingkat kelembapan serta polusinya.

Kisah-Kisah Seputar Keunggulan Ar-Razi Dalam Bidang Kedokteran


Edward Granaviel Brown, seorang dokter dan orientalis Inggris dalam bukunya
”Ath-Thibbul Arabi” menuturkan 2 kisah menarik mengenai keunggulan Ar-Razi
dalam bidang kedokteran dan kemampuannya dalam mengobati orang-orang yang
sakit.

Penemuan di Bidang Kimia


Sebelum menekuni bidang kedokteran Ar-Razi terlebih dahulu menekuni bidang
kimia. Ketika Jabir bin Hayyan dijuluki sebagai bapak kimia dan penggagasnya,
maka Ar-Razi dijuluki sebagai penggagas kimia modern, sebab beliau telah
mengembangkan kimia yang dasar-dasarnya telah ditemukan oleh Jabir bin Hayyan.
Ar-Razi banyak menetapkan rumus-rumusan ilmiah dan mengembangkan beberapa
instrumen kimia yang masih digunakan sampai saat ini. Beliau telah mendahului
Lavoisier (1743-1794 M) dan telah memudahkan tugas Lavoisier dalam menemukan
berbagai penemuan baru dalam bidang kimia.
Walaupun pada akhirnya ar-Razi dikenal sebagai ahli pengobatan, namun awalnya
beliau merupakan seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikuti oleh Nasr
(1968), Ar-Razi meninggalkan dunia kimia karena penglihatan beliau yang mulai
kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya. Namun dalam
bidang kimia ar-Razi telah menghasilkan banyak penemuan, diantaranya :
 Dalam buku-buku yang dikarangnya beliau memaparkan secara detil
mengenai lebih dari 20 peralatan kimia yang digunakan pada masanya, baik yang
terbuat dari kaca maupun logam
 Di dalam bukunya beliau membagi bahan-bahan kimia berdasarkan 4
kategori, yaitu logam, nabati, hewani, dan campuran. Kemudian membagi
cabang-cabangnya sesuai dengan keistimewaannya masing-masing.
 Beliau berhasil memadukan sebagian zat asam, diantaranya adalah sulfur
yang kemudian namanya diarabkan menjadi “zait az-zaj”. Kadang disebut “albir
al-kabir.”
 Beliau dapat mengeluarkan alkohol dari tetesan tajin dan gula yang telah
menjadi khamr, kemudian menggunakannya untuk pengobatan dan berbagai
keperluan medis lainnya. Dari buku kimia Arab, orang Barat mengetahui nama
alkohol dan menyebutnya dalam bahsa latin alcohol.
 Beliau dapat mengukur kadar jenis minuman keras dengan menggunakan
skala khusus yang disebut dengan skala alami.
 Beliau merupakan orang yang pertama kali melakukan penyulingan minyak
dan menghasilkan minyak tanah yang digunakan sebagai minyak lampu dan
bahan bakar pesawat.
 Ar-Razi juga mengusai metode dan prosedur pewarnaan benda perak agar
terlihat seperti emas dan teknik sebaliknya yang mampu menghapus warna
tersebut untuk mengembalikan perak pada warna asalnya. Proses penyepuhan
metal lainnya (tawas, garam, kalsium, besi, dan tembaga) juga dijabarkan oleh ar-
Razi dalam beberapa risalah. Beliau menjelaskan bahwa sepuhan tersebut dapat
bertahan selama bertahu-tahun tanpa pudar.

WAFAT
Terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun wafat beliau, terdapat sumber yang
menyatakan bahwa beliau wafat pada tahun 313 H/ 925 M. Terdapat pula sumber
yang menyatakan bahwa beliau wafat pada 364 H/ 975 M. Bahkan Ibnu Katsir
mengatakan dalam “Al-Bidayah” bahwa ar-Razi wafat pada tahun 311 H/ 923 M.
TUGAS SKI

BIOGRAFI ALI BIN RABBAN AL-TABARI

Oleh
SABRINA SEPTIANA

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI ABU AL-HASAN ALI BIN SAHL RABBAN AL-TABARI

Abu al-Hasan Ali bin Sahl Rabban al-Tabari atau yang lebih dikenal
dengan nama Al-Tabari yakni seorang hakim, ulama Muslim, dokter dan
Psikolog legendaris Muslim dari kurun ke-9 M. Selain dikenal sebagai seorang
psikolog, al-Tabari juga menguasai ilmu lain yakni, fisika dan kedokteran.
Namanya tetap dikenang berkat karya-karya tulisnya yang sangat berpengaruh.
Al-Tabari lahir pada tahun 838 M, berasal dari keturunan Yahudi Persia
yang menganut pedoman Zoroaster. Nama belakang al-Tabari yakni kenangan
bahwa beliau keturunan Yahudi yang berasal dari Merv di Tabaristan.
Ia lahir dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, Sahl Ibnu Bishr yakni andal
pengobatan, astrolog dan andal matematika yang terkenal. Dia tergolong
keluarga darah biru dan orang-orang di sekitar memanggilnya Raban yang
artinya pemimpin kami.
Sang ayah yakni guru pertama bagi al-Tabari. Dari ayahnya, ia
mempelajari ilmu pengobatan dan kaligrafi. Sebagai seorang cowok yang
cerdas, Ali juga sangat mahir berbahasa Suriah dan Yunani. Nama besarnya
dicatat dan diabadikan dalam karya muridnya Muhammad Ibnu Zakariya al-
Razi alias Rhazes, fisikawan agung.
Al-Tabari kemudian mengabdi di istana khalifah Dinasti Abbasiyah
sampai kepemimpinan al-Mutawakkil (847-861). Diperkirakan ketika itulah,
beliau tetapkan hijrah ke dunia Islam pada ketika Khalifah Abbasiyah, Al-
Mu'tasim (833-842) berkuasa.
Dunia psikologi Islam mengenal Al-Tabari sebagai aktivis terapi
penyakit jiwa. Selain dikenal sebagai seorang psikolog, ia juga menguasai
ilmu lain yakni, fisika dan kedokteran. Namanya tetap dikenang berkat karya-
karya tulisnya yang sangat berpengaruh. Lewat kitab Firdous al-Hikmah yang
di tulisnya pada kurun ke-9 M, beliau telah menyebarkan psikoterapi untuk
menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. Al-Tabari
menekankan kuatnya kekerabatan antara psikologi dengan kedokteran. Ia
berpendapat, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling
dan dan psikoterapi.
Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit alasannya
yakni imajinasi atau keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata al-
Tabari, sanggup dilakukan melalui "konseling bijak". Terapi ini sanggup
dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor yang tinggi.
Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri pasiennya.
Pemikirannya di kurun ke-9 M ternyata masih relevan sampai sekarang.
Al-Tabari dinilai muridnya sebagai seorang guru yang berdedikasi tinggi.
Tak heran, kalau murid-muridnya juga meraih ke suksesan ibarat dirinya, salah
satunya al-Razi.
Ia mengajari al-Razi ilmu pengobatan ketika menetap di wilayah Rai.
Lalu beliau hijrah ke Samarra dan menjadi sekretarisnya Mazyar ibnu Marin.
Meski begitu, ia kalah pamor dibanding, muridnya al-Razi.
Kitab "Firdous al-Hikmah" atau (Paradise of Wisdom) merupakan
adikarya sang psikolog. Ia menghasilkan karya pertamanya dalam bidang
pengobatan. Dia merupakan orang pertama yang mengusung ilmu kesehatan
bawah umur dan bidang pertumbuhan anak, ujar Amber Haque dalam bukunya
berjudul Psychology from
Islamic Perspec tive: Contributions of Early Muslim Scholars and Challenges
to
Contemporary Muslim Psychologists.
Kitabnya yang monumental itu juga diterjemahkannya ke dalam bahasa
Suriah. Al-Tabari mempunyai dua kompilasi untuk karya nya yang dinamakan
Deen-al-Doulat dan al-Sehhat. Adikarya sang ilmuwan itu sanggup ditemukan
di perpustakaan Universitas Oxford, Inggris. Al-Tabari tutup usia pada tahun
870 M, namun namanya sampai kini tetap abadi.
Firdous al-Hikmah berisi wacana sistem pengobatan yang dibentuk
dalam tujuh bagian. Buku yang ditulis dalam bahasa Arab ini disebut juga Al-
Kunnash. Buku ini dikategorikan sebagai ensiklopedia kedokteran dan
dibentuk dalam tujuh volume dan 30 bagian, dengan total 360 bab.
Dalam kitabnya itu, al-Tabari membagi ilmu pengobatan dalam beberapa
bagian, antara lain: ilmu kesehatan anak dan pertumbuhan anak serta psikologi
dan psikoterapi. Di cuilan pengobatan dan psikoterapi, al-Tabari menekankan
kekuatan antara psikologi dan pengobatan, dan kebutuhan psikoterapi dan
konseling pada pelayanan pengobatan pasien. Ia juga menerjemahkan buku ini
ke dalam bahasa Syria untuk memperluas warta ini sekaligus penggunaannya.
Informasi dalam buku Firdous al-Hikmah ini tidak pernah masuk ke bulat
pengetahuan dunia barat alasannya yakni tidak pernah diterjamahkan dan
diedit, gres pada kurun ke 20 dikenal di dunia barat, ketika Mohammed Zubair
Siddiqui berusaha mengedit sekaligus membaginya dalam lima cuilan kecil.
Menurut Amber Haque, al-Tabari menuliskan dalam risalahnya, untuk
mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan psikoterapi.
Ia melaksanakan pendekatan terhadap pasien dengan pertolongan konseling,
atau mencoba pasiennya mengungkapkan isi hati serta perasaan yang
menggangu. Ia juga mengajarkan supaya para dokter, memperlihatkan
perhatian, tidak hanya dalam bentuk pengobatan, namun juga dalam bentuk
berdialog. Inilah upaya yang diyakini Ali akan membantu suksesnya sebuah
pengobatan.
Pemikirannya dalam bidang psikologi banyak mensugesti al-Razi.
Melalui kitabnya El-Mansuri dan Al-Hawi, al-Razi juga berhasil
mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk
menangani sakit mental dan masalah-masalah yang berafiliasi dengan
kesehatan mental. Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama
yang membuka ruang psikiatri di sebuah rumah sakit di Kota Baghdad.
Pemikir Muslim lainnya di masa ke emasan Islam yang turut
menyumbangkan pemikirannya untuk pengobatan penyakit ke jiwaan
yakni Al-Farabi. Ilmuwan termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait
psikologi sosial dan berafiliasi dengan studi kesadaran.
Hingga kini, sebanyak lima karya al-Tabari masih tetap tersimpan di
perpustakaan. Dr Mohammed Zubair Siddiqui telah membandingkan dan
mengedit manuskrip karya al-Tabari. Dalam kata pengantarnya, Siddiqui
mengaku sangat kagum dengan karya sang ilmuwan dari kurun ke-9 M itu.
Menurut dia, buah pikir al-Tabari sungguh sangat berguna.
Ali bin Rabban al-Tabari awalnya yakni penganut Zoroaster. Ia
kemudian tetapkan untuk masuk Islam, alasannya yakni begitu kagum dengan
Alquran. Sang psikolog terkemuka itu mengaku tidak pernah menemukan
goresan pena maupun bahasa yang lebih hebat dan tepat dari Alquran.
Pengakuan al-Tabari terhadap kehebatan Alquran itu dikutip MSM
Saifullah dalam karyanya bertajuk Topics Relating to The Qur'an: I'jaz,
Grammarians & Jews. "Apa yang dikatakan Alquran itu yakni benar.
Kenyataannya yakni saya tidak menemukan satu buku pun dalam bahasa Arab
dan Persia serta dalam bahasa India atau Yunani yang tepat ibarat Alquran,"
tuturnya.

Karyanya:
 Firdous al-Hikmah (Paradise of Wisdom)
 Tuhfat al-Muluk (The King's Present)
 Hafzh al-Sihhah (The Proper Care of Health), mengikuti pengarang
Yunani dan Indian.
 Kitab al-Ruqa (Book of Magic or Amulets)
 Kitab fi al-hijamah (Treatise on Cupping)
 Kitab fi Tartib al-'Ardhiyah (Treatise on the Preparation of Food)
TUGAS SKI

BIOGRAFI ABU BAKAR AS-SIDDIQ

Oleh
BERTIFA HERO AISGORO

MTs MUHAMMADIYAH
TAHUN AJARAN 2018/2019
BIOGRAFI ABU BAKAR AS-SIDDIQ

Abu Bakar ash-Shiddiq adalah merupakan sahabat Nabi yang paling awal
memeluk Islam. Ia dikenal sebagai khalifa pertama yang meneruskan
perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin ummat islam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW beliau menjadi khalifah Islam
yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Dan merupakan satu di
antara empat khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang
diberi petunjuk.
Nama lengkap Abu Bakar adalah ‘Abdullah bin ‘Utsman bin Amir bi
Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Tayyim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin
Ghalib bin Quraisy. Bertemu nasabnya dengan nabi pada kakeknya Murrah
bin Ka’ab bin Lu’ai, dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma binti
Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya
sama-sama dari kabilah Bani Taim.
Abu Bakar merupakan ayah dari Aisyah yang merupakan istri Nabi
Muhammad SAW. Nama sebelum masuk islam adalah Abdul Ka’bah yang
artinya ‘hamba Ka’bah’. Setelah masuk islam namanya diubah oleh
Muhammad menjadi Abdullah yang artinya ‘hamba Allah.
Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memberinya gelar Ash-Shiddiq
yang artinya ‘yang berkata benar’ setelah beliau membenarkan dan
mempercayai peristiwa Isra Mi’raj yang diceritakan oleh Nabi Muhammad
SAW kepada para pengikutnya. Dan dari situlah ial lebih dikenal dengan nama
“Abu Bakar ash-Shiddiq”.
Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan keturunan Bani Taim, sub-suku
bangsa Quraisy. Dan menururt beberapa catatan sejarawan Islam ia adalah
seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar,
serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Saat Muhammad menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, ia pindah
dan hidup bertetangga bersama Abu Bakar. Sejak saat itulah mereka saling
berkenalan. Usia mereka berdua sama dan sama-sama seorang pedagang dan
ahli berdagang.
Dalam kitab Hayatussahabah, bab Dakwah Muhammad kepada
perorangan, dituliskan bahwa Abu bakar memeluk Islam oleh ajakan nabi. Dan
setelah itu ia meneruskan dakwah islaminya kepada Utsman bin Affan,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqas dan
beberapa tokoh penting dalam Islam lainnya.
Namun istri beliau Qutaylah binti Abdul Uzza dan anaknya Abd Rahman
bin Abu Bakar tidak mau memeluk Islam sehingga Abu Bakar
menceraikannya dan berpisah dengan anaknya. Tetapi istrinya yang lain,
Ummu Ruman, menjadi Muslimah.
Saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah (622 M), Abu Bakar adalah
satu-satunya orang yang menemaninya. Setelah beberapa saat Hijra, Nabi
Muhammad SAW menikah dengan anak Abu Bakar, sehingga ikatan
kekeluargaannya makin erat.
Masa wafat Nabi dan diangkatnya Abu Bakar menjadi Khalifa pertama.
Selama masa sakit Rasulullah saat menjelang wafat, dikatakan bahwa Abu
Bakar ditunjuk untuk menjadi imam salat menggantikannya, banyak yang
menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar akan menggantikan
posisinya.
Bahkan setelah Nabi SAW telah meninggal dunia, Abu Bakar Ash-
Shiddiq dianggap sebagai sahabat Nabi yang paling tabah menghadapi
meninggalnya Nabi SAW ini. Setelah kematian Nabi, dilakukanlah
musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di
Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar sebagai
pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam pada tahun 632 M.
Namun hasil musyawarah tersebut menjadi perdebatan dan menjadi
sumber perpecahan pertama dalam Islam. Saat itu umat Islam terpecah
menjadi kaum Sunni dan Syi’ah. Kaum Syi’ah percaya bahwa seharusnya Ali
bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad) yang menjadi pemimpin dan
dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah sendiri, sementara kaum sunni
berpendapat bahwa Rasulullah menolak untuk menunjuk penggantinya.
Kaum sunni berargumen bahwa Muhammad mengedepankan
musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi’ah
berpendapat bahwa nabi dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah
makan, minum, tidur, dan lain-lain, tidak pernah meninggal umatnya tanpa
hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir.
Banyak hadits yang menjadi rujukan dari kaum Sunni maupun Syi’ah
tentang siapa khalifah sepeninggal rasulullah, serta jumlah pemimpin Islam
yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-
masing kaum tersebut, Ali sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya
(berbai’at) kepada Abu Bakar dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab
dan Usman bin Affan).
Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang
antusias dan Ali menjadi pendukung setia Abu Bakar dan Umar. Sementara
kaum syi’ah menggambarkan bahwa Ali melakukan baiat tersebut secara pro
forma, mengingat ia berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istrinya yang
berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan
menutup diri dari kehidupan publik.
Masa kepemimpinan Abu Bakar terjadi beberapa masalah yang
mengancam persatuan diantara umat Islam saat itu. Beberapa suku Arab yang
berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem
yang ada. Beberapa di antaranya menolak membayar zakat walaupun tidak
menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk
agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala.
Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan
Nabi Muhammad dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi.
Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang
dikenal dengan nama perang Riddah. Dalam perang Ridda peperangan terbesar
adalah memerangi “Ibnu Habib al-Hanafi” yang lebih dikenal dengan nama
Musailamah al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya
sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad.
Pasukan Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba
oleh Khalid bin Walid. Sedangkan Musailamah sendiri terbunuh di tangan Al
Wahsyi, seorang mantan budak yang dibebaskan oleh Hindun istri Abu Sufyan
karena telah berhasil membunuhHamzah Singa Allah dalam Perang Uhud. Al
Wahsyi kemudian bertaubat dan memeluk Islam serta mengakui kesalahannya
atas pembunuhan terhadap Hamzah. Al Wahsyi pernah berkata, “Dahulu aku
membunuh seorang yang sangat dicintai Rasulullah (Hamzah) dan kini aku
telah membunuh orang yang sangat dibenci rasulullah (yaitu nabi palsu
Musailamah al-Kazab).”
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di
bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan
penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil
memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga
menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium.
Setelah masalah dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke
luar Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-
Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul ‘Ash, Yazid bin Abi
Sufyan dan Syurahbil.
Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia
18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan
meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke
Syria.
Abu Bakar memerintahkan para jenderal Islam melawan kekaisaran
Bizantium dan Kekaisaran Sassanid. Khalid bin Walid menaklukkan Irak
dengan mudah sementara ekspedisi ke Suriah juga meraih sukses.
Penyusunan kitab suci Al Qur’an
Abu Bakar juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Qur’an.
Setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah al-kadzab
dalam perang Riddah, banyak para penghafal Al Qur’an yang ikut tewas dalam
pertempuran. Umar kemudian meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan
koleksi dari Al Qur’an.
Dibentuklah sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit,
mulailah dikumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an dari para penghafal al-
Qur’an dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit
dan lain sebagainya, setelah lengkap penulisan ini maka kemudian disimpan
oleh Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar meninggal maka disimpan oleh Umar bin Khaththab
dan kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar dan juga istri dari Nabi
Muhammad. Kemudian pada masa pemerintahan Usman bin Affan teks teks
Al Qur’an tersebut menjadi dasar penulisan teks al-Qur’an yang dikenal saat
ini.
Abu Bakar wafat pada tanggal 23 Agustus 634 di Madinah karena sakit
yang dideritanya pada usia 61 tahun. Abu Bakar dimakamkan di rumah
putrinya Aisyah di dekat Masjid Nabawi, di samping makam Nabi Muhammad
SAW.

Anda mungkin juga menyukai