Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

Pengantar Filsafat Islam Dr. Muhammad Zainal Abidin, M.Ag

IBNU RUSYD

Oleh :

Muhammad Hidayatullah (190103040328)

Dewi Muliana Ramadani Yanti (190103040346)

Raudatunnisa (190103040356)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


FAKULTAS USHHULUDDIN DAN HUMANIORA
PSIKOLOGI ISLAM
BANJARMASIN
2020
A. PENDAHULUAN

Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang


pernah timbul di dunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga
sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja,
khususnya orang Yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain
filsafat Yunani adalah filsafat Persia, Cina, India, dan tentu saja filsafat Islam.

Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam membuka
mata barat adalah Ibnu Rusyd. Dalam dunia intelektual barat, beliau lebih dikenal
dengan nama Averros. Begitu populernya Ibnu Rusyd dikalangan barat, sehingga
pada tahun 1200-1650 terdapat sebuah gerakan yang disebut Viorrisme yang
berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd. Dari Ibnu Rusydlah
mereka mempelajari Fisafat Yunani Aristoteles (384-322 s.M), karena Ibnu Rusyd
terkenal sangat konsisten pada filsafat Aristoteles.

1
B. PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup

Ibnu Rusyd, Averroes, nama lengkapnya adalah Abu Al-Wahid


Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di kota Kardoba, Andalus (spanyol
sekarang), tahun 1126 M, dari keluarga bangsawan dan terpelajar.

Ibnu Rusyd adalah filsuf Muslim yang terakhir muncul di dunia Islam
belahan Barat.1 Beliau dikenal sebagai orang yang mempunyai minat besar pada
keilmuan. Diriwayatkan bahwa sejak dewasa Ibnu Rusyd tidak pernah absen dari
kegiatan membaca dan keilmuan kecuali pada malam ayahnya meninggal dan
malam perkawinannya.

Pendidikan awalnya di tempuh di Kardoba. Di kota ini ia belajar tafsir,


hadis, fiqih, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat,
dan kedokteran. Kota Kardoba sendiri pada saat saat itu dikenal sebagai pusat
studi-studi filsafat, saingan kota Damaskus, Baghdad, Kairo di timur.

Setelah menamatkan pendidikannya tahun 1159 M, Ibnu Rusyd dipanggil


Gubernur Seville untuk membantu reformasi pendidikan di sana. Namun,
menjelang tahun 1169 M, ketika terjadi “kebangkitan” filsafat di Andalus yang
didorong Khalifah Abu Ya’kub Yusuf (1135-1184 M), ia dibawa dan
diperkenalkan Ibn Tufail (1105-1185 M) kepada khalifah. Pada pertemuan
tersebut, Ibnu Rusyd diberi tugas untuk memberi ulasan dan komentar atas
pikiran-pikiran filsafat Aristoteles (384-322 M). Tidak lama kemudian, tahun
1169 M, Ibnu Rusyd diangkat dalam hakim di Seville. Pengangkatan ini berkaitan
dengan kemampuannya dalam bidang hukum di samping kedekatannya dengan
khalifah.

1
Amroeni Drajat, Filsafat Islam: Buat yang Pengen Tahu, (Medan: PT Gelora Aksara Pratama,
2006), 73.

2
Ibnu Rusyd sangat mumpuni dalam bidang hukum dan menjadi satu-
satunya pakar dalam soal khalifiyah di zamannya, Bidayah al-Mujtahid (ditulis
tahun 1168 M), bukunya yang menguraikan tentang sebab-sebab munculnya
pendapat dalam hukum (fiqih) dan alasannya masing-masing dinilai sebagai karya
terbaik di bidangnya.

Setelah beberapa lama bertugas di Saville, Ibnu Rusyd diangkat sebagai


hakim agung di Kardoba, tahun 1182 M. Namun, beberapa bulan kemudian ia
pindah ke Marakesy untuk menggantikan Ibn Taufail (1105-1185 M) sebagai
penasihat khalifah. Pada 1184 M, ketika Abu Yusuf Ya’kub Al-Manshur (1160-
1199 M) naik tahta, Ibnu Rusyd tetap tinggal di Marakesy, Maroko, mendampingi
sang khalifah dan menjadi pensehatnya.

Ibnu Rusyd benar-benar mencurahkan perhatiannya pada filsafat. Ulasan-


ulasannya atas filsafat Aristoteles kebanyakannya kebanyakan ditulis pada masa-
masa itu sehingga digelari “sang pengulas” oleh Dante Aligheri. Namun, posisi
dan dukungan lembaga kekhalifahan tersebut ternyata tidak berlangsung lama.
Akibat tekanan publik yang menguat, nasib Ibnu Rusyd berubah drastis. Pada
1195 M, ia terkena mihnah, fitnah sehingga dibuang ke Lucena, di kepulauan
Atlantik, kemudian buku-bukunya dibakar di depan umum dan pemikirannya
tentang filsafat dan sains dilarang untuk disebarkan, kecuali kedokteran dan
astronomi. Untungnya hukum tersebut tidak berlangsung lama. Khalifah segera
menarik kembali Ibnu Rusyd dan mengembalikan nama baiknya. Pada 1198 M,
Ibnu Rusyd meninggal di Marakesy pada usia 72 tahun dan jenazahnya di bawa
ke Kardoba untuk dimakamkan di sana.2

2
Khudori Soleh, FILSAFAT ISLAM, (Jogjakarta: AR-RUZZ Media, 2014), hal 154.

3
2. Karya-karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Muslim terbesar di Barat pada


abad pertengahan. Kehebatan Ibnu Rusyd dapat dilihat melalui karya-karyanya
yang menghabiskan setarus ribu lembar kertas.3 Demikian juga pengakuan Henry
Corbin, dan pada masa Ibnu Rusyd itu filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia
termasuk salah satu tokoh pemikir yang sangat produktif. Karya-karyanya
meliputi berbagai bidang, seperti filsafat, kalam, fiqih, falak, nahwu, dan
kedokteran. Namun sangat disayangkan, banyak diantara karyanya yang tidak
dapat ditemukan lagi, yang masih tertulis dalam bahasa Arab, karena sebagian
besar karyanya yang masih dapat ditemukan itu berupa terjemahan dalam bahasa
Ibrani dan Latin.

Secara umum karya Ibnu Rusyd dapat dikelompokan menjadi (1) karya asli,
(2) ulasan panjang (syuruh kubro) atau penafsiran (tafsirat), (3) ulasan sedang
(syuruh wustha) atau jawami’, dan (4) ulasan pendek (syruh shughra) atau
ringkasan (talkishat). Selain karya-karya aslinya, karya ulasan itu sebagian besar
dilakukan terhadap karya-karya Aristoteles, selebihnya adalah terhadap karya-
karya Galen dan filosof lain. Sebagai pengulas dikatakan orang bahwa ia tidak
tertandingi oleh tokoh lain, dan ia merupakan sosok tokoh pengulas besar (al
syarih al-kabir). Konon, Ibnu Rusyd sendiri tidak menguasai bahasa Yunani,
sehingga untuk melakukan pekerjaan tersebut ia merujuk kepada berbagai
terjemahan yang telah ada yang dibuat oleh para penerjemah profesional
terdahulu, seperti Hunain Ibn Ishaq (809-873), Ishaq Ibn Hunain (w. 911), Yahya
Ibn ‘Adi (w. 974), Abu Bisyr Matta (w. 911), dan lain-lain. Dengan mengambil
terjemahan-terjemahan tersebut Ibnu Rusyd menyeleksi dan mencari yang
paling tepat untuk mengesampingkan yang salah, sehingga ia dapat membersihkan
pemikiran Aristoteles dari unsur-unsur Platonik.

3
Amroeni Drajat, Filsafat Islam: Buat yang Pengen Tahu,74.

4
Secara ringkas perbedaan karakter karya-karya Ibnu Rusyd menurut
kelompoknya adalah sebagaimana yang berikut. Pada tafsir atau syarh, Ibnu
Rusyd terlebih dulu menampilkan teks yang dinyatakan oleh Aristoteles secara
literal, paragraf demi paragraf, dari terjemahan yang diterimanya. Dengan kata
lain ia membiarkan dulu teks-teks tersebut berbicara sendiri. Kemudian terhadap
teks-teks tersebut Ibnu Rusyd menginterpretasikan, mengulas, dan menjelaskan
bagian demi bagian dari paragraf tersebut. Dengan usaha itu, ungkapan dan
kalimat Ibnu Rusyd lebih sempurna daripada teks Aistoteles. Dalam ulasan
tersebut Ibnu Rusyd membagi tema kitab menjadi beberapa persoalan, setiap
persoalan dibagi menjadi pasal-pasal, dan setiap pasal dibagi menjadi paragraf-
paragraf. Usaha Ibnu Rusyd ini terilhami dan terpengaruh oleh metode para
penafsir Al-Qur’an. Sedangkan pada talkhis, Ibnu Rusyd hanya meringkaskan
atau menampilkan pokok-pokok pikiran Aristoteles tanpa menyertakan teksnya.
Ia tidak mengemukakan pandangan-pandangan ilmiahnya saja. Oleh karena itu,
tentang karya yang berbentuk talkhish ini, ada yang mengatakan sebagai
pemikiran murni Ibnu Rusyd.4

Adapun karya aslinya adalah tulisan-tulisan yang dibuatnya, yang tidak


berasal dari karya orang lain meskipun di dalamnya ia mengutip atau menyebut
pandangan orang lain. Karya ini ada yang berbentuk buku dan ada pula
yang berbentuk risalah atau makalah-makalah. Berikut adalah klasifikasi karya-
karya Ibnu Rusyd sesuai dengan disiplin ilmu yang sudah popular.

a. Filsafat
 Tahafut at-Tahafut (kerancauan dalam kerancauan) buku ini merupakan
magnum opus dan puncak kematangan pemikiran filsafat Ibnu Rusyd. Isi
buku ini merupakan serangan balasan Ibnu Rusyd atas serangan Al-
Ghazali terhadap para filosof sebagaiman dalam bukunya Tahafut al-
Falasifah. Dalam buku ini Ibnu Rusyd membela filosof atas tuduhan al-
Ghazali dalam masalah-masalah filsafat. Buku ini di tulis sekitar tahun
1180 dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahas Ibrani

4
Aminullah el-Hady, Ibn Rusyd Membela Tuhan, (Surabaya: LPAM, 2004), 41-43.

5
pada tahun 1328. Diterjemah ke dalam bahasa Inggris oleh Van den
Berghe, 1954. Dan ke dalam bahasa Jerman oleh Marx Holten, terbit di
Bron pada 1913.
 Jauhar al-Ajram as-Samawiyyah (struktur benda-benda langit).
Sebenarnya kitab ini adalah kumpulan makalah yang ditulis dalam waktu
dan kondisi yang berbeda-beda, kitab ini sudah diterjemah ke dalam
bahasa Ibri dan Latin. Dan biasanya dijadikan satu dengan karya-karya
Aristoteles.
 Ittisal al-‘Aql al-Mufarriq bi al-Ihsan, 2 jilid (komunikasi akal yang
membedakan dengan manusia).
 Kitab fi al-‘Aql al-Huluyani aw fi Imkan al-Ittisal (akal subtantif yang
mungkin dapat berkomunikasi). Kitab ini sudah diterjemah ke dalam
bahasa Latin sejak abad XIV M.
 Syrah ittisal al-‘Aql bi al-Ihsan (komentar kaitan akal dengan manusia)
karya Ibn Bajjah.
 Masail fi Muktalif Aqsam al-Mantiq (beberapa masalah tentang aneka
beberapa logika), diterjemah ke dalam bahasa Latin.
 Al-Masail al-Burhaniyah (masalah-masalah argumentatif), diterjemah ke
dalam bahasa Latin.
 Khulasah al-Mantiq (ringkasan ilmu logika), diterjemah ke dalam bahasa
Ibri.
 Muqadimah al-Falsafah (pengantar ilmu filsafat) diterjemah ke dalam
bahasa Ibri.
 Al-Natijah Mutabaqah (mengambil kesimpulan yang sesuai),
menanggapi pendapat Al-Farabi tentang qiyas.
 Jawami’ Aflaton (komunitas Platonisme), diterjemah ke dalam bahasa
Latin.
 At-Ta’rif bi Jihah Nadzr al-Farabi fi Sina’ah al-Mantiq wa Nadzr Aristo
Fiha (menganal fisi Al-Farabi dan Aristoteles tentang kreasi logika).
 Syuruh Kayiroh ‘ala al-Farabi fi Masail al-Mantiqi Aristo (beberapa
komentar tentang logika Aristoteles).

6
 Maqallah fi ar-Radd ‘ala Ali bin Sina (makalah jawaban untuk Ibn Sina)
 Syarh al-Alahiyat al-Awsat (Talkhis Al-Ilahiyat) komentar tentang
ketuhanan yang tidak rumit.
 Risalah fi Anna Allah Ya’lam al-Juz’iyat (risalah bahwa Allah
mengetahui yang teknis juz’i)
 Maqalah fi al-Wujud as-Sarmadi wa al-Wujud az-Zamani (makalah
tentang eksistensi Implisit dan eksistensi waktu).
 Al-Fash’an Masail Waqa’at fi al-Ilm al-Ilahi (pemerkasaan masalah
yang ada dalam ilmu Ketuhanan), tanggapan terhadap beberapa problem
dalam kitab Asy-Syfa’ karya Ibn Sina.
 Masail fi’ Ilm An-Nafs (beberapa maslah tentang ilmu jiwa).

b. Ilmu Kalam.
 Fasl al-Maqal fima Baina al-Hikmah wa Asy-Syari’ah min alIttisal
(uraian tentang kaitan filsafat dan syari’ah) ditahqid Joshep Muller di
Minich, Jerman 1859 dan diterjemah sekaligus diberi kata pengantar oleh
Georege hourani 1961.
 I’tiqad Masysyain wa al-Mutakallimin (keyakinan kaum leberalis dan
pakar ilmu kalam).
 Al-Manahij fi Ushul ad-Din (beberapa metode dalam membahas dasar-
dasar agama).
 Syarh aqidah al-Imam al-Mahdi (penjelasan tentang aqidah imam al-
Mahdi). Kitab ini menjelaskan keyakinan dan teologi Abu Abdillah
Muhammad Bin Tumart (w.1130) yang mirip dengan teologi Syi’ah.
 Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid al-Millah (beberapa metode argumentatif
dalam aqidah agama), ditahqiq dan diterjemah ke dalam bahasa Jerman
oleh Josep Muller, 1859.
 Damimah li Mas’alah wa Nihayah al-Qadim (inti maslah ilmu kuno).

7
c. Fiqih dan Ushul Fiqh.
 Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (dasar mujtahid dan
tujuan orang sederhana) dicetak diberbagai negara dalam lintas mazhab
dan diterjemah ke dalam beberapa bahasa.
 Mukhtasar al-Mustafa (ringkasan al-Mustafa, karya Al-Ghazali).
 Al-Tanbih ila al-khata’ fi al-Muthun (peringatan kesalahanmatan).
 Risalah fi ad-Dahaya (risalah tenatng hewan qurban).
 Risalah fi al-Kharaj (risalah tenatng pajak tanah).
 Makasib al-Mulk wa al-Ru’asa’ al-Muharammah (penghasilan para raja
dan para pejabat yang diharamkan).
 Ad-Dar al-Khamil fi al-Fiqh (studi fiqih yang sempurna).

d. Ilmu Falaq Astronomi.


 Mukhtasar al-Maqisti, ditejemah ke dalam bahasa Ibri.
 Maqalah fi Harqah al-Jirm as-Samawi (makalah tentang gerakan
meteor).
 Kalam ‘ala Ru’yah Jirm as-sabitah (pendapat tentang melihat meteor
yang tetap tak bergerak).

e. Nahwu
 Kitab ad-Daruri fi an-nahwi (yang terpenting dalam ilmu nahwu).
 Kalam ‘ala al-Khalimah wa al-Ism al-musytaq (pendapat tentang kata
dan isim musytaq).

f. Kedokteran
 Al-Kuliayat (7 jilid). Studi lengkap tentang kedokteran. Menjadi buku
wajib dan selalu menjadi rujukan dalam berbagai Universitas di Eropa.
Diterjemah ke dalam bahasa Latin, Ibri dan Inggris.
 Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi at-Tibb. Kitab ini secara kuantitas paling
banyak beredar. Menjadi bahan kajian ilmu kedoteran di Oxford Univ.
Leoden dan Universitas Sourbron Paris.

8
 Maqalah fi at-Tiryaq (makalah tentang obat penolak racun), diterjemah
ke dalam bahasa Latin, Ibri dan bahasa Eropa lainya.
 Nasaih fi Amr al-Nisal (nasehat tentang penyakit perut dan diare),
diterjemah ke dalam bahasa Latin dan Ibri.
 Mas’alah fi Nawaib al-Humma (masalah tenatng penyakit panas).
 Beberapa ringkasan kitab-kitab galinus.

3. Pemikiran Ibnu Rusyd


a. Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal, Ibnu Rusyd berpandangan bahwa


mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa
filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang
berusaha menarik pelajaran/hikmah/‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian
akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan
seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan, maka semakin
sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan
dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa
menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan


dasar-dasar Syar’i maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, ia tidak
memiliki kemampuan/kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia
filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak
terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah
ketiadaan pendamping/guru yang handal yang bisa membimbingnya
memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu. Oleh karena
itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai
eksistensi Tuhan atau meragukan keberadaaan Tuhan. Kalaupun ia berada
dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3
faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor

9
tersebut. Sebab kemampuan manusia dalam menerima kebenaran dan
bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibnu Rusyd berpendapat
ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:

 Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)


Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk
ahli takwil, yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan
mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali
dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi).
 lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu
berfikir secara dialektik.
 Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)
Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan,
yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.

Ta’wil yang dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk
diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih
orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan
kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran. Penyebabnya
adalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman
lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini
merujuk pada Qur’an surat Al-Isra’: 85 “Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku.” (Q.S. Al-
Israa’: 85).

Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan


mereka itu tidak atau belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu
akan menyusahkan mereka. Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan
sebagaimana terdapat dalam teks-teks al-Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh

10
Allah SWT. sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan
intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan
metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam
cara saja. Satu pendekatan yang diyakini Ibnu rusyd bisa mendamaikan antara
bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik
manusia adalah kegiatan Ta’wil.

Metode ta’wil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau
ini. Al-Qur’an kadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas
ulama melakukan Qiyas (syar’i) untuk menjelaskan kedudukan obyek
pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar Burhani,
ia merpakan metode ta’wil atau qiyas untuk membincangkan persoalan-
persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an.

Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan


Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibnu Rusyd
beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu
jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas
makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai: makna yang
dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang
hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak
melanggar tradisi bahasa arab dalam membuat majaz. Misalnya dengan
menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu lainnya” karena adanya
faktor kemiripan, menjadi sebab/akibatnya, menjadi bandingannya atau
faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.

Ibnu Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash


sehingga perlu di ta’wil, agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang
tersembunyi di dalamnya adalah dengan tujuan menyelaraskan keberagaman
kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima
kebenaran. Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang
paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata

11
terhdap kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil’Ilm)
untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

b. Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah


Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan
kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya.
Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.

Konsepsi Ibnu Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh


Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama
Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran
Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah
dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat
Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina. Dalam pembuktian adanya
Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah,
masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu
sama lainnya, dan menggunakan ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i
sesuai dengan kepercayaan mereka. Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibnu
Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:

1) Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibnu Rusyd


menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan
sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibnu Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an
dalam berbagai ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga
dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi
orang –orang khusus yang terpelajar.
2) Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada
tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang
ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang

12
ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah
terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh
sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, an-Naba’:78:6-7 Bukankah Kami telah menjadikan bumi
itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. an-
Naba:6-7)
3) Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan
segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan
berbagai jenis hewan, tumbuhtumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibnu
Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan
padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian
juga berbagai bintang dan falak di angkasa tunduk seluruhnya kepada
ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan
sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini
agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini. Ayat suci
yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73 Hai manusia,
telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk
menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah
mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. al-Hajj:73)
4) Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibnu Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah
seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini
menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu
berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang,
dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan
sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada
dzatnya maupun pada sifatnya. Akan tetapi, Ibnu Rusyd juga berakhir pada
kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak itu qadim.

13
5) Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibnu Rusyd tentang sifat-sifat Allah
berpijak pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-
sifat Allah, Ibnu Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara:
tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar
keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.5

5
Faturohman, “Ibnu Rusyd dan Pemikirannya”, jurnal TSARWAH, Vol. 1 No. 1 (Januari-Juni)
2016, 113-121.

14
C. PENUTUP
Kesimpulan

Ibnu Rusyd, Averroes, nama lengkapnya adalah Abu Al-Wahid


Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di kota Kardoba, Andalus (spanyol
sekarang), tahun 1126 M. Pendidikan awalnya di tempuh di Kardoba. Di kota ini
ia belajar tafsir, hadis, fiqih, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi,
logika, filsafat, dan kedokteran. Pada 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal di
Marakesy pada usia 72 tahun dan jenazahnya di bawa ke Kardoba untuk
dimakamkan di sana.

Di antara karya-karya Ibnu Rusyd yang sangat penting, yaitu Bidayatul


Mujtahid, Fashul Maqal fi bainal Al-Hikmah was Syariat min al-Ittisal,
Manahijal-Adillah fil laqaidi Ahlal Millah dan Tahafut at Tahafut.

Ibnu Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi


wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-
hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran/hikmah/‘ibrah
darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dalam masalah ketuhanan, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah
Penggerak Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan
kepada Allah ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ialah Esa-Nya. Wujud
dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya. Dalam pembuktian terhadap Tuhan,
Ibnu Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan, yaitu:

 Dalil wujud Allah.


 Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).
 Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan).
 Dalil Harkah (Gerak.)
 Sifat-sifat Allah.

15
DAFTAR PUSTAKA

Drajat, Amroeni. Filsafat Islam: Buat yang Pengen Tahu, Medan, PT Gelora
Aksara Pratama, 2006.

Faturohman, “Ibnu Rusyd dan Pemikirannya”, jurnal TSARWAH, Vol. 1 No. 1


(Januari-Juni), 2016.

el-Hady, Aminullah, Ibn Rusyd Membela Tuhan, Surabaya, LPAM, 2004.

Soleh, Khudori, FILSAFAT ISLAM, Jogjakarta, AR-RUZZ Media, 2014.

16

Anda mungkin juga menyukai