Anda di halaman 1dari 25

Biografi Ibnu Rusyd: Perintis Ilmu

Jaringan Tubuh
Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan menguasai banyak bidang ilmu,
seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi, filsafat, dan astronomi. Ibnu Rusyd lahir pada
tahun 1198 di Kordoba, Spanyol. Di Barat, ia dikenal dengan nama Averroes. Ayah Ibnu
Rusyd adalah seorang ahli hukum yang cukup berpengaruh di Kordoba. Sementara itu,
banyak saudaranya menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya
itulah yang sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitas Ibnu Rusyd di
kemudian hari. Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh perintis ilmu jaringan tubuh (histology). Ia
pun berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah dan penyakit cacar.

Abad XII dan beberapa abad sebelumnya adalah zaman keemasan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam. Saat itu, Dinasti Abbasiyah sedang berkuasa, dengan pusat
pemerintahan di Semenanjung Andalusia (Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu
sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka sering meminta para ilmuwan
untuk menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa. Dengan begitu, nama-
nama ilmuwan beserta Yunani beserta karyanya, seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, dan
Euclides, masih tetap terpelihara hingga sekarang.

Ibnu Rusyd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain sebagai
seorang ahli filsafat, ia juga dikenal pakar di bidang kedokteran, sastra, logika, ilmu pasti,
dan ilmu agama. Sehubungan dengan itu, ia sangat menguasai ilmu tafsir al-Quran dan hadis,
juga ilmu hukum dan fikih. Disebabkan kecerdasannya itulah, ia kemudian diangkat menjadi
Hakim Agung Kordoba, sebuah jabatan yang pernah dipegang kakeknya pada masa
pemerintahan Dinasti al-Murabitun di Afrika Utara. Ibnu Rusyd menjadi hakim agung selama
masa pemerintahan Khalifah Abu Yakub Yusuf hingga anaknya, Khalifah Abu Yusuf.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibnu Rusyd
menyempatkan diri menulis. Ia menghasilkan lebih dari dua puluh buku kedokteran. Salah
satunya adalah al-Kulliyyat fi al-Thibb, yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Latin.
Buku yang merupakan ikhtisar kedokteran yang terlengkap pada zamannya ini diterbitkan di
Padua pada tahun 1255. Sementara itu, salinannya dalam versi bahasa Inggris dikenal dengan
judul General Rules of Medicine. Salinan tersebut sempat dicetak ulang sebanyak beberapa
kali di Eropa. Para penulis sejarah mengungkapkan kedalaman pemahaman Ibnu Rusyd
dalam bidang kedokteran dengan berkata, Fatwanya dalam ilmu kedokteran dikagumi
sebagaimana fatwanya dalam fikih. Semua itu disebabkan kedalaman filsafat dan ilmu
kalamnya.

Ibnu Rusyd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada masa itu, buku-buku Aristoteles yang
diterbitkan masih sangat sedikit dan sulit dipahami. Menyadari hal itu, Ibnu Rusyd tergerak
untuk mengoreksi buku terjemahan karya Aristoteles tersebut bahkan melengkapinya. Ibnu
Rusyd juga menerjemahkan dan melengkapi sejumlah karya pemikir Yunani lain, seperti
Plato yang mempunyai pengaruh selama berabad-abad.

Pada tahun 1169-1195, Ibnu Rusyd menulis sejumlah komentar terhadap karya-karya
Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia,
Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean Ethick. Dengan
kecerdasannya, komentar Ibnu Rusyd itu seolah menghadirkan kembali pemikiran Aristoteles
secara lengkap. Di sinilah terlihat kemampuan Ibnu Rusyd yang luar biasa dalam melakukan
sebuah pengamatan. Di kemudian hari, komentar Ibnu Rusyd tersebut sangat berpengaruh
terhadap pembentukan tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani. Hal itulah yang
kemudian membuka jalan bagi Ibnu Rusyd mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan
Aristoteles dan filsafat Yunani.

Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai pengkritik Ibnu Sina yang paling bersemangat. Meskipun
begitu, ia tetap menghormati karya para pendahulunya. Ia juga tertarik pada gagasan al-
Farabi tentang logika. Hal itu selalu memberinya inspirasi untuk berkarya. Ibnu Rusyd adalah
seorang filosof yang telah berjasa mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.

Di bidang ilmu agama, Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya, seperti Tahafut at-tahafut,
sebuah kitab yang menjawab serangan Abu Hamid al-Ghazali terhadap para filosof terdahulu.
Sebagai seorang ahli ilmu agama dan filsafat, Ibnu Rusyd dianggap cukup berhasil
mempertemukan hikmah (filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu).

Semasa hidupnya, Ibnu Rusyd menghasilkan sekitar 78 karya, yang semuanya ditulis dalam
bahasa Arab. Kini, sejumlah karyanya tersimpan rapi di perpustakaan Escurial, Madrid,
Spanyol. Tidak banyak yang mengetahui kalau Ibnu Rusyd pernah hidup dalam pembuangan.
Ia pernah dibuang di Lecena, Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara.
Ia juga pernah dibuang ke Maroko karena difitnah seseorang.

Ibnu Rusyd wafat pada tahun 1198 (595 H) di kota Marakis, Maroko. Jenazahnya kemudian
dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana.

Sumber: Buku Biografi Para Ilmuwan Muslim


Mengenal Imuan Islam : Ibnu Rushd (Averroes)

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan muslim yang cerdas dan menguasai
banyak bidang ilmu, seperti al-Quran, fisika, kedokteran, biologi, filsafat, dan
astronomi. Ibnu Rusyd lahir pada tahun 1198 di Kordoba, Spanyol. Di Barat, ia
dikenal dengan nama Averroes. Ayah Ibnu Rusyd adalah seorang ahli hukum
yang cukup berpengaruh di Kordoba. Sementara itu, banyak saudaranya
menduduki posisi penting di pemerintahan. Latar belakang keluarganya itulah
yang sangat mempengaruhi proses pembentukan tingkat intelektualitas Ibnu
Rusyd di kemudian hari. Ibnu Rusyd adalah seorang tokoh perintis ilmu jaringan
tubuh (histology). Ia pun berjasa dalam bidang penelitian pembuluh darah dan
penyakit cacar.

Abad XII dan beberapa abad sebelumnya adalah zaman keemasan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Saat itu, Dinasti Abbasiyah
sedang berkuasa, dengan pusat pemerintahan di Semenanjung Andalusia
(Spanyol). Para penguasa muslim pada masa itu sangat mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka sering meminta para ilmuwan untuk
menggali kembali warisan intelektual Yunani yang masih tersisa. Dengan begitu,
nama-nama ilmuwan beserta Yunani beserta karyanya, seperti Aristoteles, Plato,
Phytagoras, dan Euclides, masih tetap terpelihara hingga sekarang.

Ibnu Rusyd dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan yang komplit. Selain
sebagai seorang ahli filsafat, ia juga dikenal pakar di bidang kedokteran, sastra,
logika, ilmu pasti, dan ilmu agama. Sehubungan dengan itu, ia sangat
menguasai ilmu tafsir al-Quran dan hadis, juga ilmu hukum dan fikih. Disebabkan
kecerdasannya itulah, ia kemudian diangkat menjadi Hakim Agung Kordoba,
sebuah jabatan yang pernah dipegang kakeknya pada masa pemerintahan
Dinasti al-Murabitun di Afrika Utara. Ibnu Rusyd menjadi hakim agung selama
masa pemerintahan Khalifah Abu Yakub Yusuf hingga anaknya, Khalifah Abu
Yusuf.
Biografi Ibnu Rusyd: Perintis Ilmu Jaringan Tubuh
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter dan hakim agung, Ibnu Rusyd
menyempatkan diri menulis. Ia menghasilkan lebih dari dua puluh buku
kedokteran. Salah satunya adalah al-Kulliyyat fi al-Thibb, yang kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Latin. Buku yang merupakan ikhtisar kedokteran
yang terlengkap pada zamannya ini diterbitkan di Padua pada tahun 1255.
Sementara itu, salinannya dalam versi bahasa Inggris dikenal dengan judul
General Rules of Medicine. Salinan tersebut sempat dicetak ulang sebanyak
beberapa kali di Eropa. Para penulis sejarah mengungkapkan kedalaman
pemahaman Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran dengan berkata, Fatwanya
dalam ilmu kedokteran dikagumi sebagaimana fatwanya dalam fikih. Semua itu
disebabkan kedalaman filsafat dan ilmu kalamnya.

Ibnu Rusyd juga seorang ahli filsafat yang cerdas. Pada masa itu, buku-buku
Aristoteles yang diterbitkan masih sangat sedikit dan sulit dipahami. Menyadari
hal itu, Ibnu Rusyd tergerak untuk mengoreksi buku terjemahan karya Aristoteles
tersebut bahkan melengkapinya. Ibnu Rusyd juga menerjemahkan dan
melengkapi sejumlah karya pemikir Yunani lain, seperti Plato yang mempunyai
pengaruh selama berabad-abad.

Pada tahun 1169-1195, Ibnu Rusyd menulis sejumlah komentar terhadap karya-
karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De
Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, Rhetorica, dan Nichomachean
Ethick. Dengan kecerdasannya, komentar Ibnu Rusyd itu seolah menghadirkan
kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap. Di sinilah terlihat kemampuan
Ibnu Rusyd yang luar biasa dalam melakukan sebuah pengamatan. Di kemudian
hari, komentar Ibnu Rusyd tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan
tradisi intelektual kaum Yahudi dan Nasrani. Hal itulah yang kemudian membuka
jalan bagi Ibnu Rusyd mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles
dan filsafat Yunani.

Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai pengkritik Ibnu Sina yang paling bersemangat.
Meskipun begitu, ia tetap menghormati karya para pendahulunya. Ia juga
tertarik pada gagasan al-Farabi tentang logika. Hal itu selalu memberinya
inspirasi untuk berkarya. Ibnu Rusyd adalah seorang filosof yang telah berjasa
mengintegrasikan Islam dengan tradisi pemikiran Yunani.

Di bidang ilmu agama, Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya, seperti Tahafut
at-tahafut, sebuah kitab yang menjawab serangan Abu Hamid al-Ghazali
terhadap para filosof terdahulu. Sebagai seorang ahli ilmu agama dan filsafat,
Ibnu Rusyd dianggap cukup berhasil mempertemukan hikmah (filsafat) dengan
syariat (agama dan wahyu).

Semasa hidupnya, Ibnu Rusyd menghasilkan sekitar 78 karya, yang semuanya


ditulis dalam bahasa Arab. Kini, sejumlah karyanya tersimpan rapi di
perpustakaan Escurial, Madrid, Spanyol. Tidak banyak yang mengetahui kalau
Ibnu Rusyd pernah hidup dalam pembuangan. Ia pernah dibuang di Lecena,
Spanyol, karena dianggap murtad dan menghina kepala negara. Ia juga pernah
dibuang ke Maroko karena difitnah seseorang.

Ibnu Rusyd wafat pada tahun 1198 (595 H) di kota Marakis, Maroko. Jenazahnya
kemudian dibawa ke Andalusia dan dimakamkan di sana.

Sumber
Sumber: Buku Biografi Para Ilmuwan Muslim
Dunia barat (Eropa) pantas berterima kasih pada Ibnu Rusyd. Sebab, melalui pemikiran dan
karya-karyanyalah Eropa melek peradaban. "Suka atau tidak, filosofi Cordova dan
mahagurunya, Ibnu Rusyd, telah menembus sampai ke Universitas Paris," tulis Ernest Barker
dalam The Legacy of Islam.

Dilahirkan pada 1126 M di Cordova (Spanyol--red), Ibnu Rusyd bernama lengkap Abul
Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Di Barat, ia dikenal sebagai
Averrous. Keluarganya dikenal memberikan perhatian dan apresiasi besar pada ilmu
pengetahuan dan tergolong masyhur di kota Cordova.

Itu yang membuat Rusyd kecil haus ilmu dan menunjukkan talen serta kejeniusan yang luar
biasa sejak masa kanaknya. Sementara, ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan
di Andalusia. Bakat ini pula yang menurun kepada Rusyd, ketika ia diamanati menjabat
sebagai qadi (hakim) di Sevilla (Spanyol) dan sebagai qadi al-qudaad (hakim agung) di
Cordova.
Tak seperti anak-anak seusianya, masa kecil Rusyd dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin
ilmu: Alquran, tafsir, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksakta seperti matematika,
astronomi, logika, filsafat dan kedokteran.

Itu sebabnya, Ibnu Rusyd dikenal sebagai ahli berbagai ilmu pengetahuan. Sebagai qadi al-
qudaad, ia dekat dengan para amir (penguasa) Dinasti Al Muwahhidun yang memerintah saat
itu, khususnya dengan Abu Yusuf Yakqub al Mansur, amir dinasti ketiga Muwahhidun.

Beberapa kalangan ulama yang tidak suka dengannya, karena ajaran filsafatnya, berupaya
menyingkirkan Rusyd dengan cara memfitnah bahwa dia telah menyebar ajaran filsafat yang
menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itu, Rusyd diasingkan ke suatu tempat bernama
Lucena.Tak hanya itu, karya-karyanya menyangkut filsafat dibakar dan diharamkan
mempelajarinya.

Sejak saat itu, filsafat tak lagi mendapat tempat dan berkembang di dunia Islam. Namun,
beberapa tahun kemudian, amir Al Mansur memaafkan dan membebaskannya. Ia lalu pergi
ke Maroko dan menghabiskan sisa hidupnya di negeri tanduk Afrika Utara ini hingga
wafatnya pada 1198 M.
Pemikiran Rusyd

Membaca Ibnu Rusyd, yang paling menonjol adalah aspek falsafaty (estetika logika dan
filsafat) yang terbentang di hampir setiap karyanya. Menurutnya, nilai filsafat dan logika itu
sangat penting, khususnya dalam mentakwilkan dan menafsirkan Alquran sebagai kitab teks,
yang selalu membutuhkan artikulasi makna dan perlu diberi interpretasi kontekstual dan
bukan artikulasi lafadz.

Islam sendiri, demikian Rusyd, tidak melarang orang berfilsafat, bahkan Al Kitab, dalam
banyak ayatnya, memerintahkan umatnya untuk mempelajari filsafat. Menurut Rusyd, takwil
(pentafsiran) dan interpretasi teks dibutuhkan untuk menghindari adanya pertentangan antara
pendapat akal dan filsafat serta teks Alquran. Ia memaparkan, takwil yang dimaksud di sini
adalah meninggalkan arti harfiah ayat dan mengambil arti majasinya (analogi). Hal ini pula
yang dilakukan para ulama klasik periode awal dan pertengahan.

Dalam kaitan kandungan Alquran ini, Rusyd membagi manusia kepada tiga kelompok:
awam, pendebat, dan ahli fikir. Kepada ahli awam, kata Rusyd, Alquran tidak dapat
ditakwilkan, karena mereka hanya dapat memahami secara tertulis. Demikian juga kepada
golongan pendebat, takwil sulit diterapkan. Takwil, secara tertulis dalam bentuk karya, hanya
bisa diperuntukkan bagi kaum ahli fikir.

Dalam cakra pandang itulah, kata Rusyd, takwil atas teks secara benar dapat dilakukan dan
dipahami oleh ahlul fikir. Pemikiran Rusyd tersebut kemudian dikenal sebagai teori
perpaduan agama dan filsafat. Sementara itu, menyangkut pemaknaan atas Quran, Rusyd
berpendapat bahwa Alquran memiliki makna batin di samping makna lahir.

Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-
akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat
sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.

Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:
Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian
yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan
adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil
ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus
sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada
pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.
Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk
di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi
tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan
pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan,
tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang
mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang
menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles.
Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang
abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan
berbenda, yaitu Tuhan.
Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan
bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak,
selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya
penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd
yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih
dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan
kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.

Hal lain yang tidak lepas dari sosok Ibnu Rusyd adalah, ketika polemik hebat antara dia
dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat (hingga mengkafirkan
Rusyd) ia tuangkan dalam buku berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd
membalas dengan menulis Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan).

Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah
meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan
ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd,
juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan
ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali
manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.

Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami
'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:
Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam
kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis
ilmu-ilmu Yunani.
Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali
hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu
Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat,
tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu,
hak untuk berbeda harus dihargai.
Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti
para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah
mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak
sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah
mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."
Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-
nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di
masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.

Barat Terkagum Karya Rusyd

Pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusdy sampai ke dunia Barat melalui Ernest Renan, seorang
penulis dan sejarawan asal Perancis. Renan, penulis biografi Rusyd berjudul Averroes et
j'averroisme mengatakan, filosof Rusyd telah menulis lebih dari 20 ribu halaman dalam
berbagai disiplin ilmu.
Apresiasi dunia Barat yang demikian besar terhadap karya Rusyd, kata Alfred Gillaume
dalam "Warisan Islam", menjadikan Rusyd lebih menjadi milik Eropa dari pada milik Timur.
"Averroisme tetap merupakan faktor yang hidup dalam pemikiran Eropa sampai kelahiran
ilmu pengetahuan eksperimental modern," tulis Gillaume.
"Ibnu Rusyd adalah seorang rasionalis, dan menyatakan berhak menundukkan segala sesuatu
kepada pertimbangan akal, kecuali dogma-dogma keimanan yang diwahyukan. Tetapi ia
bukanlah free thinker, atau seorang tak beriman," tulis Phillip K Hitti.
Selain Tahaafutut Tahaafut, beberapa karya besar Rusyd lain adalah Kitab fil Kulliyat fi at
Tibb (kaidah-kaidah umum dalam ilmu kedokteran) yang telah diterjemahkan ke bahasa latin
dan menjadi rujukan penting kedokteran; Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Kitab
permulaan bagi mujtahid dan akhir makna/maksud); Kitab Fashl al Maqal fii ma Baina
Syariah wa al Hilmah min al Ittisal, (menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal
karena keduanya adalah pemberian Tuhan); Al Kasyf 'an Manahij al Adillah fi 'Aqaid al
Millah (menyingkap masalah metodologi dan dalil-dalil kaum filsuf dalam keyakinan
beragama).

Oleh : Syafieh, M. Fil. I

A. Pendahuluan

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu
Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang
maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar seperti Ibnu
Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada
dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja
(The dark middle ages), sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan
munculnya peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk
mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia
Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah
dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof
muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan
banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia
terkenal sebagai komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sekilas akan diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi
dan karyanya, tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya
dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di Barat.

B. Ibnu Rusyd

1. Biografi dan Pendidikannya

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di
Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer
dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois.
Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga
yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan.
Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M
diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa
dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung,
Qadhi al-Qudhat di Cordova.[1]

Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa
penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-
Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa
Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan
demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf
konsonan b diubah menjadi v, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-
huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd,
karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf sy, huruf sy dan d dianggap dengan s
sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan s dan d dianggap sulit dalam bahasa
Latin, maka huruf d dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan
antara huruf s dengan s posesif maka antara o dan s diberi sisipan e sehingga
Averroes, dan e sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[2]

Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu
pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-
Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia
juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan.
Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova
terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas
artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan
kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur.[3]

Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih,
maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada
tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana,
iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova,
dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan
Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Yaqub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang
fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha.
Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada
kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd
disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu
tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak
disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri
kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun
1198 M.[4]

A. Karya-Karyanya

Sebagai seorang filsafat Islam di dunia Islam bagian Barat, Ibnu Rusyd juga telah membuat
sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang
ke arah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah sebagai berikut :

a. Tahafut at-Tahafut. Kitab ini berupaya menjabarkan dengan menyanggah butir demi butir
keberatan terhadap al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut lebih luwes daripada fashl dalam
menegaskan keunggulan agama yang didasarkan pada wahyu atas akal yang dikaitkan dengan
agama yang murni rasional. Akan tetapi, Tahafut at-Tahafut juga setia kepada Fashl, melalui
pandangan terhadap diri Nabi yang mempunyai akl aktif untuk melihat gambaran-gambaran
secara rasional. Seperti halnya juga para filsuf, dan yang mengubah gambaran-gambaran
tersebut dengan mengubah imajinasi menjadi simbol-simbol yang sesuai kebutuhan orang
awam. Dengan demikian, rasioanlisme religius Ibnu Rusyd bukan sekedar reduksionisme,
seperti halnya paham Al-Muwahhidun, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk
membangun kemabli rantai penalaran secara aposteriori.[5]

b. Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syariah min al-Ittishal (Kitab ini berisikan
tentang hubungan antara filsafat dengan agama)

c. Al-Kasyfan Manahij al-Adillat fi Aqaid al-Millat, (berisikan kritik terhadap metode


para ahli ilmu kalam dan sufi)

d. Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (berisikan uraian-uraian di bidang fiqih).

B. Pemikirannya

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat
dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat
syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran
Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer
(asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari
Alexandre dAphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan
Thamestius.[6]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim
sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun
dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim
tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur
Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd
dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya
Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles pada masa
dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[7]

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam
berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga memiliki
pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim
besar dan terkenal pada masa klasik hingga sekarang.

1. Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa
dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal
yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ibrah darinya, sebagai
sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan
seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa
mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan
mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-
ciptaan-Nya.

Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syariy
maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang
memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan
diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah
ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan
benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.

Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak mempercayai
eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi
semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam
dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam
menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd
berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:

a. Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)

b. lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)

c. Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)[8]

Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil
, yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak
ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria
pembuktian semacam ini (khatabi)

Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan tawil
dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik.

Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan
tawil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat,
sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Tawil yang dilakukan dengan metode Burhani
sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik
terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode tawil burhani diberikan kepada
mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan
tawil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman
secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Quran surat Al-Isra : 85 :

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku. (Q.S. Al-Israa: 85)

Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak /
belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.

Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks al
Quran. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat
pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak
menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam
cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang
transenden dengan pemikiran spekulatif rasionalistik manusia adalah kegiatan Tawil .
Metode tawil bisa bikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini. Al-Quran kadang
berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syariy)
untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut anhu tersebut. Demikian pula
dengan nalar Burhani, ia merpakan metode tawil / qiyas untuk membincangkan persoalan-
persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh al quran.

Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Quranik dengan
konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syariy
memiliki keterbatasan makna. Oleh karena itu jika terjadi taarudl dengan qiyas burhani,
maka harus dilakukan tawil atas makna lahiriyyah teks. Tawil sendiri didefinisikan sebagai:
makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang
hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar
tradisi bahasa arab dalam mebuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan sesuatu dengan
sebutan tertentu lainnya karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab / akibatnya,
menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek
yang awal.

Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu ditawil,
agar diketahui makan bathinyyah (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya adalah dengan
tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter
dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa
yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhdap
kecenderungan kelompok ulama yang pandai (al Rasyikhuna fil Ilm) untuk merenungi
makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.

2. Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak Pertama
(muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah Akal, dan
Maqqul. Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda dari zat-Nya.[9]

Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh Aristoteles, Plotinus,
Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang dipeluknya. Mensifati
Tuhan dengan Esa merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak
Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai dalam
filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.

Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah, Mutazilah, Asyariyah,


dan falasifah, masing-masing golongan tersebut mempunyai keyakinan yang berbeda satu
sama lainnya, dan menggunakan tawil dalam mengartikan kata-kata Syari sesuai denngan
kepercayaan mereka.[10]

Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang menyakinkan:

a. Dalil wujud Allah. Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-
dalil yang pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai
dengan apa yang telah digariskan oleh Syara, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu
Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Quran dalam
berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang orang khusus yang terpelajar.

b. Dalil inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan). Dalil ini berpijak pada tujuan
segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk
tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia.
Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj
diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, al-Naba:78:6-7

Artinya: Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,. dan gunung-
gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)

c. Dalil Ikhtira (dalil ciptaan) Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala
makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-
tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi
kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga
berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena itu
siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui
hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua
realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan
itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu
merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.
Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. (QS. Al-Hajj:73)

d. Dalil Harkah (Gerak.) Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd
memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan
oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu
keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang,
dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak
pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan
tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa gerak
itu qadim.

e. Sifat-sifat Allah. Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak
pada perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd
mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan
pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak
logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
3. Tanggapan Terhadap Al-Ghazali

Ibnu Rusyd di kenal oleh banyak orang sebagai filosof yang menentang al-Ghazali. Hal ini
terlihat dalam bukunya berjudul Tahafutut-tahafut, yang merupakan reaksi buku al-Ghazali
berjudul Tahafutut Falasifah. Dalam bukunya, Ibnu Rusyd membela pendapat-pendapat ahli
filsafat Yunani dan umat Islam yang telah diserang habis-habisan oleh al-Ghazali. Sebagai
pembela Aristoteles (filsafat Yunani), tentunya Ibnu Rusyd menolak prinsip Ijraul-Adat dari
al-Ghazali. Begitu pula al-Farabi, dia juga mengemukakan prinsip hukum kausal dari
Aristoteles. Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah
usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat
dari kedua pemikir Islam tersebut.

Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn
Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat.
Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi
dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan
mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya.

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali


melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut,
menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari
serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut
al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Berikut perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.
Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut:

1. Alam qadim (tidal bermula),

2. Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak,

3. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya;
uangkapan ini bersifat metaforis,

4. Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,

5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al
wujud,

6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,

7. Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,

8. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi

9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),

10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak dapat berubah),
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara
universal,

12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,

13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,

14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,

15. Tujuan yang menggerakkan,

16. Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,

17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,

18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati
ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,

19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya
membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.

20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani. [11]

Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan kestabilan umat
yaitu: pertama, alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal. Filsuf-filsuf
mengatakan (yang juga diyakini Ibn Rusyd) bahwa alam itu qadim. Qadim-nya Tuhan atas
alam sama dengan qadim-nya illat atas malul-nya (sebab-akibat), yaitu dari segi zat dan
tingkatan, bukan dari segi zaman atau masa.

a. Pedapat Filosuf tentang Qadimnya Alam

Namun menurut Al-Ghazali, pendapat para filsuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan
adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex
nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan
demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk
kekafiran.

Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak
mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah
menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah ada yang berubah menjadi ada dalam
bentuk lain.

Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa
Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Dalam hal ini
mereka merujuka pada al-Quran Surat Ibrahim ayat 47-48:

Karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada
rasul-rasul-Nya; sesungguhnya Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai pembalasan. (Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan
mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa. (Q.S. Ibrahim: 47-48).

Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit
dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan
Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum
langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa.

Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada (al-ijad min aladam, cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang
memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah
alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim,
alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[12]

Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya
Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam
bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-adam), menurut filosof Muslim adalah suatu
yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu.
Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim. [13]

Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan Tuhan lebih dahulu adanya daripada
alam dan masa ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada,
kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita
membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang
ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang
berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.

Dalam perdebatan di atas, kita akan mendapatkan satu pandangan bahwa perdebatan ini tidak
akan pernah usai. Karena dari satu sisi Al-Ghazali menganggap bahwa pendapat filsuf dan
termasuk Ibn Rusyd tentang qadimnya alam termasuk membawa kekafiran. Kemudian di sisi
yang lain Ibn Rusyd juga enggan pendapatnya dianggap akan atau telah menimbulkan
kekafiran. Dan lagi, kedua tokoh ini mungkin juga para pengikut keduanya, sama-sama
memiliki dasar yang kuat dan meyakinkan.

Dalam Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang
alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik. Lebih lanjut dijelaskan,
mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:

1. Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya
ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan,
tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.

2. Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat
diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya.
Wjud yang qadim inilah yang disebut Allah.

3. Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu
wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya
karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada
kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis
yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya
mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak
azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut
baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka
katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar
qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa
sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.[14]

b. Pedapat Filosuf tentang Pengetahuan Tuhan

Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan. Golongan
filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) kecil, kecuali
dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala
peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan
perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu
ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami
perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).

Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya
mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala
Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali,
setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di
alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang
berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui
segala sesuatu yang secara rinci.

Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan
Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd
membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.

Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali.
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filsuf tidak ada yang
mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian
yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi
menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filsuf timbul dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian
diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia
tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya
tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyyah) yang materi itu.

Pendapat kedua fiilosof ini sangat menarik untuk dilihat sudut perbedaannya, oleh sebab itu
Oliver Leaman mencoba memahami kedua pemikir tersebut dengan pendekatan ajaran
agama. Bahwa pembahasan kedua pemikir tersebut didasarkan pada pembedaan pengetahuan,
yakni pengetahuan Tuhan dan Manusia. Dalam bukunya diungkapkan;

Tuduhan yang menarik ini semula timbul dari cara para filosof membedakan antara
pengetahuan kita dan pengetahuan Tuhan. Dilihat dari sudut pandang agama, Islam sangat
jel;as mengajarkan bahwa Tuhan mengetahui setiap dan segala sesuatu yang ada di atas dunia
yang sementara ini. Seperti seorang manusia boleh menduga bahwa pengetahuan seperti itu
adalah penting sekali untuk tindakan penentuan keputusan tentang nasib jiwa manusia setelah
mati. Bagaimanapun juga, suatu pikiran yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan alam
semesta, kemudian setelah itu melupakannya bukanlah pikiran menarik bagi paham ortodok
Islam. biasnya ada sedikit keraguan, bagaimanakah pandangan al-Quran tentang hakikat
kekuasaan Tuhan (Qudrat Tuhan). Bahkan, Tuhan mengetahui semua pemikiran-pemikiran
manusia Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. Dia
(Allah) mengetahui dengan persis individu-individu yang baru dilahirkan.[15]

Jadi, dalam hal ini apakah benar Ibnu Rusyd berpandangan seorang Al-Ghazali salah dalam
hal pembacaan sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Atau ini hanya Ibn Rusyd tidak
mememiliki argumen lain tentang pengetahuan Tuhan? Di manakah letak permasalahan yang
dimaksud Al-Ghazali? Mungkinkah permasalahannya hanya pada kesalahpahaman Al-
Ghazali sendiri kepada para filosof, seperti yang dikatakan Ibnu Rusyd? Atau sebaliknya?

c. Pedapat Filosuf tentang Kebangkitan Jasmani

Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang
terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap
hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan
diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur
pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan
ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia
yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.

Al-Ghazali tidak sepaham dengan pendapat para filosof di atas. Dia mengatakan bahwa jiwa
manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia merupakan substansi
yang berdiri sendiri. Al-Ghazali mengungkapkan:

adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang


mengatakan bahwa badan jasmani tidak akan dibangkitkan pada hari Kiamat, tetapi jiwa
(roh) yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itupun akan bersifat spiritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya,
mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah
dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.[16]

Dalam membantah gugatan Al-Ghazali, Ibnu Rusyd mencoba untuk menggambarkan


kebangkitan rohani melalui analogi tidur. Ketika manusia tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula
ketika manusia mati, maka badan akan hancur, jiwa tetap hidup bahkan jiwalah yang akan
dibangkitkan. Adapun ungkapannya sebagai berikut:
perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang
bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan
cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa
tidaklah terhenti. Maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian akan sama dengan
keadaannya ketika tidur..dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan cocok
untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-
orang yang terpelajar yang keberlangsungan hidup daripada jiwa itu adalah satu hal yang
pasti. Hal inipun terang gambling dari firman Tuhan, Tuhan mengambil jiwa-jiwa pada saat
kematiannya untuk kembali kepada-Nya, dan jiwa-jiwa orang yang belum mati pada saat
tidur mereka.[17]

Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filosof dan Al-Ghazali. bukan
antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd
adalah dari para filosof atau bahkan "kebencian" Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn
Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filosof. Perdebatan Al-
Ghazali dan Ibnu Rusyd pun terjadi

C. Gerakan Averroisme di Eropa

Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat


Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga
disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke 13-17.[18]

Kontak Eropa dengan pemikiran Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun
setelah kematian Abu Yacub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf
al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu Rusyd, sehingga
beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan Cardova. Pemerintah juga
memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan sekaligus melarang membaca karya-
karyanya.[19] Beberapa pengikut setia dari muridnya seperti Maimunides, Joseph
Benjehovah, bangsa Yahudi ini menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini
Ibnu Rusyd melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau
adalah bangsa Yahudi.

Pemikirannya terus berkembang di Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari


bahasa Arab ke bahasa latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang
selama ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan
Averroisme di Barat yang mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang
rasional dan ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan
terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya
sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun (1328) yang pertama
kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban
dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu Rusyd
lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[20]

Tokoh yang terkenal sebagai pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan
diikuti oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van
Parma.[21]Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan
Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu
Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-
sarjana Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham yang
bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat bangkit dari keterpurukan
menuju puncak pengetahuan, sehingga Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan
penyebrangan muslim ke Barat.[22]

Ajaran-ajaran mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah
pandangan mereka tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan
Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang
menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa
ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah
yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan).[23] atau Prima Causa
menurut Aristoteles.

Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka
tentang teori kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah
menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh akal-akal
berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap
penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan
Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam
yang tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya
diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap ajaran Ibnu Rusyd
berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun 1277 M pandangan-pandangan
Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan
gereja. Siger van Brabant sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian.
Pada tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas
yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme
dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak
kurang dari 340.000 pengikut Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar
hidup-hidup.[24] Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah
dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta 97.023 orang
duhukum dengan berbagai sisksaan.[25]

Namun demikian, larangan dan kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut
perkembangan gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai
wilayah lainnya di Eropa.[26] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan statemen bahwa
Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya kebenaran ada dua yaitu kebenaran
filosofis dan kebenaran teologi.[27]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan
renaisans di Eropa, artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan
Yunani dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan gereja
sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada abad ke-14 hingga sekitar
pertengahan abad ke-17.[28]

Inti renaisans adalah mengangkat kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh
Dewa dan motologi dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada
manusia bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu
Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan
kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan sebagai warisan dari
peradaban Yunani dan Islam.

D. Kesimpulan

Jika mau menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan
Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al_kindi, al-Farabi
dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat
dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Dengan
keunggulan itu, Ibnu Rusyd mampu mematahkan serangan Al-Ghazali dengan cara yang
lebih tajam dan jelas.

Maka dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu
pengetahuan pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian
Ibnu Rusyd terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan
golongan orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak
ada yang menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

DAFTAR BACAAN

Athif al-Iraqi, Muhammad. Al-Nazah al- Aqliyah fi Falsafah Ibnu Rusyd, Kairo: Dar al-
Maarif, 1979.

Asari, Hasan. Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam
Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, Medan: Pasca
Sarjana IAIN SUMUT, 1999.

Al-Nadwi, Abu al-Hasan. Islam and The World, Lucknow: Academy of Islamic Recearch and
Publication, 1979.

Abduh, Muhammad. Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj. Mahyuddin
syah. Bandung; Diponegoro, 1992.

Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang: 1975.

Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Cet.
Kedelapan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Mesir: Dar al-maarif, t. t.

Hossein Nasir, Seyyed. Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 1996.

Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Jakarta: Rajawali, 1989.
Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina, 1997

Muhammad Amin, Miska. Epistemologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1983.

Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Kairo: Dar al-Maarif, 1968.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Cet keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Nasution, Harun. Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Kairo: Dar al-Maarif, 1976

______________,Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995.

----------------------,Al-Ghazali dan Filsafat, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali


diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia,
Jakarta: 26 Januari 1985

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Jakarta: yayasan
Obor, 1991.

Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Maarif, 1973.

______________, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi, Sudan: Jamiaah


Ummi Durman al-Islamiyah, 1967.

Rusyd, Ibnu, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syariah wa al-Hikmat min al-Ittishal,
Tahkik Muhammad Immarat, Kairo: Dar al-Maarif, 1972

----------------. Kaitan Filsafat dengan Syariat, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-
Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996.

Syarif, M.M. History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963

Shiddiqi, Nauruzzaman. Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim: Jakarta:


Bulan Bintang, 1986.

Qasim, Mahmud, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi Sudan: Jamiaah
Ummi Durman al-Islamiyah, 1967

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

[1] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963) ,
hal. 197

[2] Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95

[3] M.M. Syarif, Para Filosof , hal. 199

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX,( Jakarta: Bulan Bintang,
1973.) hlm. 47
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam , hlm. 229

[6] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, Cet. kedelapan (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997), h.
108

[7] Ibid, Hal. 110

[8] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 116

[9] Ibid, hal.. 117

[10] Ibid

[11] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 83-84

[12] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004) , hal. 226

[13] Harun Nasution,Al-Ghazali dan Filsafat, Makalah Simposium tentang Al-Ghazali


diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta Se-Indonesia,
(Jakarta: 26 Januari 1985), hlm. 5

[14] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Syariah wa al-Hikmat min al-Ittishal,
Tahkik Muhammad Immarat, (Kairo: Dar al-Maarif, 1972), hal.40-42

[15] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat , hlm.161

[16] Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dhalal ..., hlm. 76

[17] Ibid., hlm.147

[18] Harun Nasution, Islam Rasional,( Bandung: Mizan, 1995), hal. 116

[19] Mahmud Qasim, Falsafah Ibnu Rusyd wa Atharruha fi al-Tafkir al-Gharbi (Sudan:
Jamiaah Ummi Durman al-Islamiyah, 1967), hal. 12

[20] Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), hal.
96

[21] Ibid, hal. 97

[22] Nauruzzaman Shiddiqi, Tamaddum Muslim Bunga Rampai Kebudataan Muslim


(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hal. 67

[23] Hasyimsyah, Filsafat, hal. 119

[24] Abu al-Hasan al-Nadwi, Islam and The World (Lucknow: Academy of Islamic Recearch
and Publication, 1979), hal. 114

[25] Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Islam Menurut Islam dan Kristen, terj.
Mahyuddin syah (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 53

[26] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd.., hal. 99.

[27] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd (Jakarta: Bulan Bintang: 1975), hal.
70

[28] Hasan Asari, Dari Yunani Hingga Renaisans: Melacak Peranan Peradaban Islam Dalam
Tradisi Intelektual Barat, Journal Analytica Islamica, Volume I, Nomor I, (Medan: Pasca
Sarjana IAIN SUMUT, 1999), hal. 35.

Read more: http://syafieh.blogspot.com/2013/05/pemikiran-filsafat-islam-ibnu-


rusyd.html#ixzz3CmXZ6mRr

Anda mungkin juga menyukai