Anda di halaman 1dari 16

Pemikiran Politik Muhammad Naquib Al-Attas

Prasetyo Haryo Wicaksono_201910360311261 || Muhammad Nur Rizky_20191036310 ||


Putri Nur Azizah_201910360311322 || Devi Ardiyanti_201910360311335 || Ervia Wijiyanti
Milasari_201910360311337

Latar Belakang Kehidupan

Naquibal-Attas dilahirkan ke dunia tepatnya pada tanggal 5 September 1931 di


Bogor, Jawa Barat. Beliau dilahrikan dari seorang ibu bernama Syarifah Raquan al-Aydarus
berasal dari Bogor, Jawa Barat, ibunya merupakan keturunan dari ningrat kerajaan Sunda di
Sukapura, dan bapaknya yang bernama Syed Ali Al-Attas. Di usianya yang ke-5 tahun
Naquib tinggal di Johor Malaysia bersama dengan pamannya dia Ahmad dan bibinya
Azizah paman dan bibinya merupakan anak dari nenek Naquib. Tepatnya Pada tahun 1941-
1945 Naquib kembali ke tanah Jawa Indonesia namun setelah berakhirnya Perang Dunia II
di tahun 1946, beliau kembali lagi Johor Malaysia dan tinggal dengan Ungku Abdul Aziz
ibn Ungku Abdul Majid yang merupakan salah satu pamannya dan pamannya tersebut
merupakan keponakan Sultan yang kelak menjabat sebagai Kepala Menteri Johor
Modern keenam. Paman dari Naquib Al-Attas ini memiliki sebuah bangunan perpustakaan
manuskrip sastra dan sejarah dari Melayu yang koleksinya sangat lengkap. Di perpustakaan
itulah Naquib Al-Attas banyak menghabiskan banyak masa mudanya untuk membaca dan
beliau juga mendalami manuskrip sejarah, sastra, agama serta buku-buku mengenai klasik
Barat.

Setelah pensiunnya Ungku Abdul Aziz, Naquib Al-Attas yang pada saat itu usianya
muda pindah dan menetap tinggal dengan paman yang lain yaitu Dato’ Onn ibn Dato’ ja’far
yang merupakan Kepala Menteri Johor ketujuh, dan terus tetap tinggal dengan beliau
sampai ia menyelesaikan pendidikan tingkat menengahnya. Setelah tamat dari sekolah
menengah pada tahun 1951, Naquib mendaftar di resimen Melayu sebagai seorang kadet
serta mengikuti sebuah pendidikan militer di negara Inggris dari tahun 1952-1955. Selama
pelatihannya di Inggris, beliau mendalami dan berusaha memahami aspek-aspek yang
dapat mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat negara Inggris. Selama
mengikuti pendidikan militer Naquib juga belajar mengenai metafisika tasawuf terutama dari
karya besar ulama’ tasawuf yang beliau akses melalui perpustakaan kampus, Naquib juga
sering berjalan-jalan ke wilayah yang memiliki budaya dan unsur negara Islam yang kuat.

Latar Belakang Pendidikan


Latar belakang dari keluarga Naquib peran dan pengaruh yang besar dalam
pendidikan awal seorang Naquib. Dari keluarga beliau yang berada di daerah Bogor, beliau
mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu keislaman. Di usianya yang ke 5-tahun Syed
Muhammad Naquib al-Attas menempuh pendidikan dasarnya di sebuah Sekolah Dasar Ngee
Heng Johor, Malaysia, tepatnya pada tahun 1936-1941. Namun pada saat masa penjajahan
dan pendudukan Jepang di Indonesia, beliau belajar ke daerah Jawa tepatnya di
Madrasah al-`Urwatual-Wuthqadi Sukabumi Jawa Barat, sekolah tersebut menggunakan
bahasa arab sebagai buku pengantar. Setelah Perang Dunia ke II, pada tahun 1946,
beliau kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengah di sekolah Bukit Zahra
School, dan kemudian melanjutkan di English College pada tahun 1946-1951. Pada saat
masa kuliah di Universitas Malaya Naquib menulis literatur tentang Sufisme. Setelah beliau
lulus dari Universitas Malaya, beliau mendapatkan kesempatan dan beasiswa untuk studi di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada. Pada Tahun 1962, Naquib
telah berhasil menyelesaikan studi pasca sarjananya kemudian melanjutkan kembali studi
ke School of Oriental and African Studies, University of London. Di tahun 1987, Naquib
mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi yang diberi nama International Institute of
Islamic Thought and Civilization (ISTAC) yang bertempat di Kuala Lumpur.

Karir/Karya

Setelah menyelesaikan program doctornya di universitas London, Al-Attas memulai


karirnya dengan menjadi dosen di universitas Malaya Singapura, tahun 1968-1970 beliau
menjabat sebagai ketua departemen kesusteraan dalam pengkajian melayu. Tahun 1970 Al-
Attas merupakan salah satu pendiri universitas kebangsaan di Malaysia, berselang 2 tahun
kemudian beliau di angkat menjadi guru besar dan kemudian menjadi dekan fakultas sastra
dan kebudayaan melayu di universitas tersebut. Tahun 1975, Al-Attas dilantik sebagai
anggota Imperial Iranian Academy of Philosophy. Beliau juga turut aktif dalam
mengembangkan pemikirannya untuk pendirian Universitas Islam kepada OKI (organisasi
Konferensi negara-negara islam) di Jeddah, Arab Saudi. Selama berkarir pun Al-Attas bayak
memperoleh pengakuan dan penghargaan atas ide-idenya terkait denga filsat, beliau juga
turut aktif dalm berpartisispasi sebagai pembicara di berbagai konferensi-konferensi ataupun
dalam acara-acara sebagai penceramah di tingkat internasional, salah satunya pada tahun
1976-1977 Al-Attas menjadi profesor tamu untuk studi islam di Universitas Temple dan
diminta Unesco untuk memimpin pertemuan para ahli sejarah islam di Aleppo, Suriah.
karena sumbangsihnya yang besar dalam hal bahsa dan kesusteraan serta kebudayaan
melayu, Al-Attas ditunjuk sebagai orang pertama yang menduduki kursi Ilmiah di Ohio
Universitas Amerika Serikat pada tahun 1980, dan beberapa kali menjadi anggota dalam
badan ilmiah internasional seperti member of internasional congress of the VII centery of
St. Thomas Aquinas, Member Malaysia Delegate Internasional Conress on the Millinery of Al-
Biruni, Member OF Internasional Conress of The VII Centenary of St. Bonaventura da
Bognaregia, Principal Consultant World of Islam Festival Congress, Sectional for Edication
World of Islam Festival Congress.

Karya yang dihasilkan oleh Al-Attas sudah banyak sekali, tercacat bahwa beliau
sudah menyampaikan lebih dari 400 makalah ilmiah di berbagai negara dan aktif dalam
menulis artikel-artikel dalam jurnal-jurnal Internasional. Al-Attas juga telah banyak
menerbitkan buku karyanya seperti pada tahun 1559 menerbitkan buku berjudul Rangkaian
Ruba’iyat, 1963 menerbitkan buku berjudul some Aspects Of Shifism as Understood and
Practised Among The Malays, tahun 1966 menerbitkan buku berjudul Raniri and the
wujudiyah of the 17thcentury Acheh, tahun 1968 menerbitkan buku berjudul the origin of
the malay sya’ir, premeliminary statement on a general theory ofthe islamization of the
malay-indonesian archipelago pad tahun 1969, pada tahun 1970 menerbitkan buku berjudul
the mysticism of hamzah fanshuri, tahun 1971 menerbitkan buku berjudul concluding
postscript to the origin of the sya’ir, dan lain-lain.

Ide Pemikiran

Pemikiran al-Attas secara garis besar dilandasi oleh kondisi kemunduran umat islam
dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam aspek pendidikan dan perkembangan
ilmu pengetahuan. Menurut beliau, zaman yang semakin maju dan berkembang pesat
membuat moderanitas menjadi tantangan tersendiri bagi umat islam. Karena saat ini
pertumbuhan SAINS semakin hari semakin mengikis nilai-nilai agama dan moral. Selain itu
menurut al-Attas SAINS sudah tercampur dengan budaya barat, sehingga menyebabkan
hilangnya peran agama dalam SAINS. Berikut beberapa gagasan al-Attas sebagai upaya
untuk mengembalikan nilai-nilai islam sebagai pandangan dunia :

A. Islamisasi Ilmu

Latar belakang gagasan islamisasi ilmu al-Attas ialah dikarenakan keprihatinan


beliau terhadap berbagai dampak negatif ilmu modern yang dipengaruhi oleh
pemikirian barat yang semakin tampak dan dirasakan oleh masyarakat luas. Menurut
beliau hal ini dikarenakan akibat dari adanya krisis didalam basis ilmu modern, yaitu
konsepsi tentang realitas atau pandangan dunia yang melekat pada setiap ilmu, yang
kemudian merembet pada persoalan epistemologis. Oleh karena itu menurut al-Attas
peradaban barat tidak layak dikonsumi mentah-mentah, melainkan harus melalui
proses dipilih dan dipilah.

Al-Attas kemudian mengajukan gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan,


serta menawarkan formulasi awal yang sistematis. Tujuan dari islmisasi ilmu ini
sendiri adalah untuk membebaskan masyarakat dari dua hal, pertama hal-hal yang
berbau jahiliyah (pra-islam) kedua, dari kendali sekuler atas nalar dan bahasanya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gagasan Islamisasi al-Attas ini merupakan upaya
dekonstruksi terhadap ilmu pengetahuan Barat untuk kemudian direkonstruksi ke
dalam sistem pengetahuan Islam.

Konsep islamisasi pengetahuan al-Attas ini sendiri bukanlah hanya sekedar


merubah disiplin ilmu melainkan juga beserta islamisasi pikiran, jiwa dan raga serta
kesan-kesannya terhadap kehidupan manusia agar menambah keimananya terhadap
Allah SWT. kunci utama dalam proses islamisasi ilmu adalah islamisasi bahasa,
Pengaruh islamisasi bahasa menghasilkan islamisasi pemikiran dan penalaran,
karena dalam bahasa terdapat istilah dan dalam setiap istilah mengandung konsep
yang harus dipahami oleh akal pikiran. oleh karena hal tersebutlah yang menjadikan
pentingnya islamisasi dalam bahasa, karena islamisasi bahasa akan menghasilkan
islamisasi pemikiran dan penalaran

B. Epistemologi Islam
Menurut al-Attas perkembangan ilmu pengetahuan saat ini adalah produk dari
kebingungan sekeptisme, sedangkan epistemologi Islam tidak berangkat dari
keraguan karna adanya keyakinan terhadap kebenaranan kandungan al-Qur’an sebagai
petunjuk. Oleh karena itu beliau menganggap pentingnya program islamisasi sebagi
sebuah upaya pemecahan masalah Epistemology modern SAINS saat ini yang
berpijak pada landasan pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama.

C. Dewesternisasi
Dewesternisasi sendiri adalah upaya pembersihan atau pelepasan segala sesuatu
dari pengaruh barat, terutama dari tubuh pengetahuan (menurut al-Attas) agar
mengubah nilai-nilai, dan tafsiran konseptual isi pengetahuan seperti yang disajikan di
zaman sekarang.

D. Metafisika dan Tasawuf Falsafi


Pemikiran metafisika al-Attas berangkat dari paham teologisnya. Dalam hal ini, al-
Attas berupaya menghidupkan kembali tasawuf falsafi yang menurutnya merupakan
sebuah keniscayaan dalam gagasan dewesternisasi. Dimana dalam tradisi tasawuf Islam,
calon sufi pada tingkat terakhir diwajibkan mengenal tiga ilmu, yaitu kebijaksanaan
ketuhanan (al-hikmah al-ilahiyah), ilmu naqliyah atau syari’ah (al-ulum al-syari’ah), dan
ilmu rasional (al-‘ulum al-‘aqliyah), Inilah yang dikenal dengan tasawuf falsafi. Al-Attas
meyakini bahwa ketiga ilmu tersebut dapat menghilangkan pengaruh pandangan Barat
dalam ilmu pengetahuan.

E. Gagasan tentang manusia


Al-Attas menyebutkan bahwa manusia terdiri dari jiwa rasional ( al-nafs al-
natiqqah) dan jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyyah). Menurut beliau adab terhadap
diri adalah jika jiwa hewani mampu dikendalikan oleh jiwa rasional sehingga tunduk
dalam kekuasaannya. Jiwa rasional haruslah memiliki posisi yang lebih tinggi
dibandingkan jiwa hewani, yang berarti seseorang harus mampu meletakkan kedua
potensi jiwa tersebut pada tempatnya yang wajar. Al-attas mendefinisikan manusia
sebagai ‘makhluk yang berbicara’ (al-hayawan al-nathiq), maksudnya ‘berbicara’
adalah berbahasa dan memiliki intelek untuk berpikir. Sedangkan secara subtansi,
manusia merupakan gabungan antara sifat hewani dan aqli (rasional), dimana
makna hewani merujuk pada sidat-sifat tercela, sedangkan sifat aqli (rasional)
merujuk pada hakikat insan dan dzatnya.

Pendidikan Islam

1. Konsep

Dalam pandangan al-Attas, ada beberapa kosa kata yang merupakan konsep kunci
untuk membangun konsep pendidikan, yaitu: ilmu, keadilan, pikiran, kebenaran,
makna, kebijaksanaan, simbol, hati, nalar, tindakan, jiwa, kata-kata, tatanan hirarkhis
dalam penciptaan (maratib dan darajat), interpretasi (tafsir dan ta’wil) dan adab.
Unsur terakhir yang disebutkan sendiri adalah inti atau konsep kunci dalam proses
pendidikan. Karena adab adalah meliputi disiplin pikiran, tubuh dan jiwa, sehingga dapat
memilih dan melakukan tindakan yang benar dan melawan yang keliru, agar terhindar
dari kehinaan. Karena pendidikan tidak hanya melibatkan fisik dan material saja,
melainkan juga aktivitas psikis dan immaterial.
2. Tujuan
Menurut Al-attas tujuan pendidikan adalah untuk membentuk dan menghasilkan
manusia yang “baik” dan berbudi luhur yang menyembah kepada Allah SWT dengan
membangun struktur kehidupan dunia sesuai dengan apa yang disyari’atkan dalam Al-
qur’an dan Hadist untuk menjunjung tinggi imannya. Selain itu tujuan pendidikan
lainnya adalah juga untuk menekankan manusia sebagai mahluk sosial yang
berhubungan dengan manusia lainnya, oleh karena itu individu dituntut sadar bahwa
ia harus berrhubungan secara tepat dengan tuhan masyarakat, dan alam.

3. Bentuk Sistem Pendidikan Islam


1. Kurikulum
Al-attas membagi dua kategori ilmu yaitu ;

 Ilmu fardhu ‘ain: pembacaan dan interpretasi Kitab Suci al- Qur’an, syari’at
(hukum dan fiih), sunah, teologi, metafisika Islam (psikologi, kosmologi dan
ontologi) dan ilmu Bahasa.

 ilmu fardhu kifayah : ilmu sosial atau kemanusiaan, SAINS, sejarah islam,
teknologi, budaya, perbandingan Agama dan sebagiannya
2. Metode
Al-Attas memandang metode metode cerita, metafora dan tauhid efektif dalam
menyampaikan pesan-pesan moral dan kebaikan. Selain itu metode tafsir dan ta’wil
juga berguna dalam mengkaji alam dan juga merupakan metode yang valid dalam
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu al-Attas meyakini bahwa metode tersebut
hendaknya diaplikasikan ke dalam bidang-bidang kegiatan intelektual dan penelitian
ilmiah lainnya.

Perkembangan Pemikiran

1. De-westernisasi dan Islamisasi


Westernisasi dipahami sebagai pembaratan atau mengadaptasi, meniru dan
mengambil alih gaya hidup Barat, dengan demikian de-westernisasi dipahami
sebagai upaya pemurnian sesuatu dari pengaruh-pengaruh Barat. Apabila dilihat
batasan yang diberikan Naquib tentang de-westernisasi adalah proses mengenal,
memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (substansi, roh, watak dan
kepribadian kebudayaan serta peradaban Barat) dari pengetahuan yang akan
merubah bagian bentuk-bentuk , nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan
seperti yang disajkan sekarang.

2. Metafisika dan Epistemologi


A. Metafisika Islam
Pemikiran metafisika al-Attas berangkat dari faham teologisnya. Dalam
tradisi Islam dikenal beberapa istilah contohnya adalah dalam tradisi tasawuf. Al-
Attas sendiri telah memberikan batasan yang jelas mengenai yang ada dalam
berbagai para salik dalam dunia kesufian. Paling tidak terdapat tiga tingkatan
yang ketiganya merupakan sebuah peringkat yang bersifat hirarkis, yaitu;
Pertama, mubtadi, yakni seorang sufi yang berada pada tingkatan awal. Dalam
gradasi ini si salik masih terbatas melaksanakan amalan-amalan yang berkisar
pada masalah moral dan adab. Tingkatan ini menjadi langkah pertama dalam
upaya mendapatkan tangga selanjutnya. Si salik tidak akan mengalami promosi
tingkat yang lebih tinggi bila dalam gradasi yang pertama belum berhasil secara
tuntas.
Kedua, mutawassith, memasuki gradasi kedua si salik sudah mendalami
dan mengamalkan wirid dan zikir mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan
frekuensinya ditentukan sang mursyid. Pada tingkatan ini si salik harus
melaksanakan wirid dan zikir secara kontinu atau berkelanjutan. Zikir itu sendiri
meliputi beberapa hal yang dimaksudkan yakni zikir dalam bentuk perkataan,
perbuatan dan perasaan atau dilakukan dalam hati.Ketiga yakni muntahy yang
pada tingkatan tertinggi ini, si salik memasuki dunia filsafat dan metafisika. Pada
gradasi terakhir ini terdapat hal yang mewajibkan si salik memiliki ilmu
pengetahuan yang mendalam tentang tiga jenis pengetahuan, yaitu
kebijaksanaan ketuhanan, ilmu-ilmu naqliyah atau syari‟ah dan ilmu-ilmu
rasional.
Dengan ketiga jenis pengetahuan ini, maka tasawuf yang dikemukakan
Naquib lebih dikenal dengan sebutan tasawuf falsafiy. Sedangkan tasawuf
terdapat batasannya sendiri yakni pada tingkatan pertama dan kedua dikenal
dengan istilah tasawuf akhlaqiy. Dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa
menurut Naquib al-Attas pencapaian tingkat tertinggi dalam tasawuf terkandung
juga pengetahuan yakni ma‟rifah, maka seorang yang sudah mencapai tingkat
muntahiy adalah seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi pula dalam
bidang pengetahuan. Upaya Naquib dalam menghidupkan kembali tasawuf falsafi
merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, krisis kebudayaan Barat dengan faham
sekularismenya berawal dari landasan filosofis yang tidak mau mengenal atau
menerima paradigma pemikiran alternatif. Hal ini dapat dilihat dari yang ada
pada landasan epistemologi Barat yang hanya mengacu pada pendekatan
rasional,empiris dan filosofis. Justru paradigma yang ada pada pemikiran Islam
bukan hanya rasional, empiris dan filosofis tetapi juga meliputi yang intuitif,
metaempiris dan filosofis yang mana itu merupakan paradigma alternatif yang
cukup menjanjikan.
B. Dialektika Epistemologi Modern dan Islam
1) Inti asumsi dan metode Epistemologi Modern
Untuk memahami inti epistemologi barat perlu dikemukakan
pandangan al-attas tentang asumsi-asumsi epistemology modern. Al-attas
mengatakan bahwa inti-inti episteotentik; bahwa ilmu yang berhubungan dan
bersangkut paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk pernyataan-
pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sains dan filsafat yang
diturunkan darinya,adlah khas bagi zaman tertentu; bahwa yang diterima
hanyalah teori-teori yang direduksi dari unsur-unsur inderawi, walaupun ada
kemungkinan melibatkan gagasan-gagasan yang melampaui jangkauan
empiris.
Al-attas tentunya memiliki perhatian yang besar yakni terhadap
khazanah intelektual barat. Sebab karenanya dengan memahami secara
mendalam tentang inti dari asumsi-asumsi dasar epistemologis disiplin-disiplin
modern tentunya mensyaratkan pemahaman yang mendalam tentang
khazanah intelektual barat itu sendiri. Sejalan dengan yang ada di strategi
islamisasinya, Al-attas tidak mencampakkan begitu saja inti asumsi
epistemology barat. Al-Attas kelihatannya menggunakan pendekatan tersebut
sebagai batu loncatan atau pendekatan untuk mengoreksi disiplin modern
dan memurnikan ilmu-ilmu islam yang telah tercelup dalam paham-paham
sekuler.Sains modern menurut al-attas tumbuh dan berkembang dari sebuah
filsafat yang sejak pertamanya telah mengukuhkan pandangannya, bahwa
segala sesuatu muncul terwujud dari sesuatu yang lainnya. Penolakan
terhadap realitas dan keberadaan tuhan sudah tersiram dalam filsafat ini.
Dalam lingkup yang ada pada sains modern, segala sesuatu yang
bukan sains, yaitu semua yang tidak sesuai dengan ilmu alam dan
matematika. Tak terkecuali yaitu teori tentang alam semesta, manusia atau
masyarakat, perlahan-perlahan dikenal sebagai filsafat. Namun, jika bisa
dikumpulkan semua “isme” yang telah disebut-sebut sebagai filsafat didunia
modern dan mendaftar semua definisinya, pasti akan ditemukan bahwa
keseluruhan “isme” tersebut tidak memiliki kesamaan apa-apa kecuali sama-
sama merupakan sejenis ilmu pengetahuan atau sains. Jadi memang sulit
biasanya untuk memisahkan antara filsafat dan sains modern. Sebab didalam
filsafat tersebut terkandung landasan sains. Dan sains itu sendiri
bersandarkan pada filsafat. Dengan landasan filsafat seperti tersebut diatas,
maka metode-metode utama yang dikembangkan tidak luput dari tiga macam
metode, yaitu; pertama, naasionalisme filosofis yang cenderung atau persepsi
inderawi. Kedua, rasionalisme secular yang cenderung lebih bersandar pada
pengalaman inderawi dan menyangklal otoritas serta intuisi, serta menolak
wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Ketiga, empiris filosofis
atau empiris logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang
dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa.
Dengan adanya landasan filosofis dan metode-metode yang dilahirkan
oleh ilmu-ilmu moder, maka semua objek kajian yang menjadi sorotan utama
hanyalah yang berkisar pada sesuatu yang dapat diserap pancaindera dan
alat bantunya belaka. Padahal terdapat masih banyak lagi realitas lain
sebenarnya memerlukan penelitian yang mendalam untuk
mengungkapkannya. Upaya pengungkapan realitas-realitas yang tidak
mampu diatasi dengan panca indera maupun alat-alat Bantu yang tercanggih
memerlukan landasan filosofis lain.Sebagai alternatif paradigma islam yang
layak untuk diperhatikan. Sesuai dengan universalitas dan kontinuitas islam
termasuk ajarannya tentang ilmu pengetahuan, islam memberikan tentang
sebuah discourse yang cukup terbuka bagi setiap orang untuk menggalinya
sedalam yang ia mampu. Meskipun banyak terdapat pandangan yang
berbeda bahkan kadang-kadang bertentangan antara yang satu dengan yang
lainnya, bukan berarti islam itu terpecah-pecah melainkan dengan banyaknya
interpretasi yang berbeda menunjukkan sifat terbukanya islam, berikut
ajaran-ajarannya termasuk wacana ilmu pengetahuan. Salah satu interpretasi
yang cukup mendalam diberikan oleh Al-attas dalam kajiannya tentang
epistemologi islam.
2) Sumber dan Metode Epistemologi Islam
Sumber dan metode ilmu. Al-attas mengatakan bahwa ilmu dating dari tuhan
dan diperoleh melalui sejumlah saluran yakni indera yang sehat, laporan yang
benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
A. Indera-indera Lahir dan Batin
Dengan menyebutkan istilah yakni “indera yang sehat” maka yang
dimaksud adalah indera lahiriah yang meliputi perasa tubuh, pencium,
peraa lidah, penglihat dan pendengar yang semuanya berfungsi untuk
mempersepsi hal-hal particular. Terkait dengan pancaindera (indera
lahiriah) yang ada diatas adalah lima indera batin yang secara batiniah
mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya, menyatukan atau
memisah-misahkannya, menyerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan
tentangnya, menyimpan hasil-hasil serapan itu dan melakukan inteleksi
terhadapnya. Kelima indera batin tersebut merupakan indera umum
(commonsense), reperesentasi, estimasi, ingatan dan pengingatan
kembali serta imajinasi. Pandangan tentang pembahasan indera lahir dan
batin ini pada dasarnya hanya merupakan reaktualisasi pandangan filsafat
Ibnu sina (980-1037M) tentang jiwa. Menurut Ibnu sina jiwa dibagi
menjadi tiga bagian, yakni jiwa tumbuh-tunbuhan (al-nafs al-nabatiyah),
jiwa binatang(al-nafs al-hayawaniyah) dan jiwa manusia (al-nafs al-
nathiqah).
Jiwa tumbuh-tumbuhan meliputi daya makan (al-
ghadziah/nutrition), daya tumbuh (al-munmiah/growth), dan daya
berkembang biak (al-muwallidah/reproduction). Sedangkan jiwa binatang
meliputi daya gerak (al-muharrikah/locomotion) dan daya menangkap (al-
midrikah/perception). Sementara itu, dia menangkap bahwasannya ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu menangkap dari luar dan menangkap
dari dalam. Daya menangkap dari luar inilah yang selanjutnya dikenal
dengan daya inderawi yang perangkat kerasnya adalah pancaindera yang
oleh Al-attas disebut indera lahir. Daya menangkap dari dalam
selanjutnya diperkenalkan al-attas dengan sebutan indera batin yang juga
terdiri dari lima perangkat. Indera batin yang terdiri dari lima perangkat
itu adalah indera bersama (al-hissy al-musytarak, fantasial
commonsense), yaitu indera batin yang berhubungan dan menagkap
segala yang ditangkapkelima indera lahir; representasi (al- quwwat al-
khayal/ representation), yaitu indera batin yang menyimpan hasil
abstraksi indera bersama; estimasi(al-quwwat al-wahmiyah/estimation),
yaitu undera batin yang mampu membentuk opini tetapi hanya
didasarkan pada panafsiran instinktif, sehingga amat mungkin salah;
rekoleksi (al-quwwat al-hafidhah al-dzakirah wa al-
mutadzakkirah/recollection), yaitu indera batin yang menyimpan hal-hal
abstrak yang telah diterima oleh estimasi; dan imajinasi (al-quwwat al-
mutakhayyilah, al-mufakkirah/imagination), yaitu indera batin yang
menjadi sarana penghubung antara jiwa binatang.
Sebagai upaya reaktualisasi pemikiran filsafsat islam klasik, maka
pemikiran Al-attas dalam masalah ini telah mampu mengelaborasi
dengan pandangan metafisika. Dalam pandangannya antara metafisika
dan epistemology merupakan sebuah system yang integral. Sebab,
metafisika merupakan landasan utama bagi epistemology. Sementara
pada asumsi dasar yang menjadi mainstream Al-attas adalah keyakinan
adanya integritas yang kuat antara dimensi metafisis, kosmologis,dan
psikologis. Jadi bisa dikatakan bahwa manusia adalah miniatur alam, dan
yang sering disebut mikrokosmos.
B. Akal dan intuisi
Integritas antara kal dan intuisi dalam epistemology islam
merupakan sebuah keharusan. Sebab, diantara dua unsure diatas
walaupun mempunyai karakteristik berneda, yaitu bila akal mengarah
pada hal-hal intelleqible yang diuapyakan sedangkan intuisi mengarah
pada hal-hal sensible yang dianugerahkan, akan tetapi merupakan unsure
yang sama. Maksudnya bila akal merupakan salah atu sarana aktifitas
jiwa yang tentunya berkaitan dengan ruh dan kalbu, maka intuisi juga
merupakan hal yang sama.
Mengenai akal sehat (sound reason), menurut Al-attas, bukan
semata-mata terbatas pada unsure-unsur inderawi atau pada fakultas
mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta
pengalaman inderawi atau mengubah data pengalaman inderawi menjadi
suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi;
atau yang melaksanakan kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi
serta keduanya serta mengaturnya dalam suatu aturan yang
menghasilkan hukum sehingga menjadikan alam tabi‟i dapaT dipahami,
akan tetapi lebih dari itu. Semua ini merupakan salah satu aspek akal
dimana Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ
ruhaniah pemahaman, yang disebut hati atau kalbu, yang menjadi tempat
terjadinya intuisi.
C. Otoritas

Menurut al-Attas, berita yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu


ada dua; pertama, berita yang disampaikan secara berangkai dan tidak
terputus oleh sejumlah orang yang tidak dikhawatirkan merela akan
melakukan kebohongan. Kedua, laporan atau pesan yang dibawa oleh
rasulullah saw. Setiap orang yang berilmu dapat dipersoalkan oleh nalar
dan pengalaman, karena itu otoritas didasarkan pada pengalaman intuitif,
baik yang terkait dengan tataran indra dan realitas inderawi, maupun
yang terdapat dalam realitas transcendental, seperti intuisi pada tingkat-
tingkat yang lebih tinggi. Dalam Islam mengenai otoritas yang paling
tinggi adalah al-Qur‟an kemudian sunnah yang telah diakui
keabsahannya.

3) Proses Epistemologis Pencapaian Makna


Makna dipahami al-Attas sebagai pengenalan masing-masing tempat
yang tepat dari segala sesuatu dalam suatu system yang terjadi,ketika
hubungan antara sesuatu itu dengan yang lainnya dalam system tersebut
menjadi jelas danterpahami. Makna merupakan suatu bentuk citra aqliah
(intelligible) yang ditunjukkan oleh penggunaan suatu kata, ungkapan, atau
lambing. Ketika kata, ungkapan atau lambang itu menjadi suatu gagasan
dalam pikiran („aql; nuthq) maka ia disebuut “sesuatu yang telah dipahami”
(mafhum). Sebagai suatu bentuk citra aqliah yang terbentuk sebagai jawaban
atau pertanyaan “apa”, maka makna disebut “esensi”(mahiyyah. Sebagai
salah satu yang berada diluar pikiran atau berada secara objektif, makna
disebut “realitas” (haqiqah). Bila dipandang sebagai realitas khusus yang
dibedakan dari yang lain. Maka makna disebut “individualitas” atau
“eksistensi individual”(huwiyyah).
Sebagaimana yang ada pada sebuah pemikiran yang telah melakukan
analisis dan melakukan reaktualisasi, pada akhirnya Al-attas menemukan
teori baru, yaitu teori yang berkaitan dengan masalah makna dan sepertinya
belum pernah ada pakar atau pemikir Islam baik klasik maupun kontemporer
yang memberi penekanan pada terma makna. Al-attas sendiri merupakan
ilmuan muslim yang pertama kalinya mengungkap kembali terma ini. Bila
dilihat secara sekilas terma makna mempunyai pemahaman yang sama
dengan pengetaahuan. Bila itu yang dimaksud, maka teori tentang makna
bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebab, pengetahuan sebagai objek
kajian sudah ditelaah oleh fiosof muslim lainnya, seperti al-kindi, al-farabi,
ibnu sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Akan tetapi, Al-attas sendiri mempunyai
dan memberikan pemahaman yang lain terhadap terma tersebut.Makna bisa
dianggap sebagai citra Aqliah , yaitu sesuatu yang dapat dipahami, esensial,
dan realitas atau individualitas.
Teori ini sebenarnya lebih mengacu pada perkembangan pemikiran
yang mutakhir sebab pemikiran yang berkembang memahami citra aqliah
berbeda dari esensi atau realitas, sesuatu yang dipahami berbeda dari
individualitas maupun esensi bahkan realitas itu sendiri. Karenanya
pemahaman makna yang demikian ini tampaknya merupakan teori makna
yang lebih komprehensif dan mendasar. Perkembangan dan analisis terhadap
teori makna yang demikian menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi
intelektual muda saat ini.
Selanjutnya yang berhubungan dengan pencapaian makna unsur
manusia adalah elemen yang menjadi titik sentral didalamnya. Karena itu
manusia oleh al-attas didefenisikan sebagai “hewan rasional” (hayawan al-
nathiq). Istilah rasional diambil dari kata nathiq, yang mengacu padas
fakultas mengetahui, bawaan yang mampu memahami makna hal-hal
universal dan yang merumuskan makna. Perumusan makna inilah yang
melibatkan penilaian, pmilah-milahan dan penjelasan yang membentuk
rasional manusia. Kata nathiq juga berarti “yang berbahasa” sehingga
manusia adalah”hewan yang berbahasa”atau “ hewan yang berbicara”.
Sedangklan upaya dalam mengungkapkan lambang-lambang bahasa kedalam
pola-pola yang bermakna tidak lain merupakan ekspresi lahiriah dari realitas
batin yang disebut akal (al-aql).
Terminologi al-aql pada dasarnya berarti semacam “pengikatan” atau
“penahanan”. Ia adalah suatu entitas yang aktif dan sadar yang mengikat
dan menahan objek ilmu dan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang lain,
dan ini menunjukkan pada realitas yang sama yang diacu oleh kata hati (al-
qalb), ruh dan diri(al-nafs). Nama-nama ini ,mengacu kepada modus
hubungan entitas.
Meskipun manusia mempunyai potensi yang sama akan tetapi
berdasarkan pemanfaatan al-nuthq-nya menjadikan berbeda. Wacana yang
demikian ini sebenarnya sangat klasik. Sebab, pada diskursus tentang definisi
manusia sebagai al-hayawan al-nathiq merupakan definisi yang diadopsi dari
pemikiran yunani klasik. Definisi yang demikian untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh Socrates (469-399). Pendiriannya yang terkenal adalah
keutamaan adalah pengetahuan. Sebab kebijakan atau keutamaan adalah
pengetahuan yang baik. Pandangan semacam ini kemudian dikembangkan
oleh murid-murid Socrates termasuk plato (427-347) serta cucu muridnya,
Aristoteles (348-322) dan selanjutnya diadopsi para filosof muslim.

Kesimpulan

Naquib Al-Attas lahir pada 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat. Lahir dari orang
tua bernama Syarifah Raquan al-Aydarus dan Syed Ali Al-Attas, dari kedua orang tuanya
inilah beliau mendapatkan pendidikan ilmu-ilmu keislaman dan setelah beliau menyelesaikan
segala tahapan pendidikan, Naquib Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi
bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization. Setelah menyelesaikan
program doktornya di universitas London, Al-Attas memulai karirnya dengan menjadi dosen
di universitas Malaya Singapura, tahun 1968-1970 beliau menjabat sebagai ketua
departemen kesusasteraan dalam pengkajian melayu. Tahun 1970 Al-Attas merupakan salah
satu pendiri universitas kebangsaan di Malaysia, berselang 2 tahun kemudian beliau
diangkat menjadi guru besar dan kemudian menjadi dekan fakultas sastra dan kebudayaan
melayu di universitas tersebut. Al-Attas juga telah banyak menerbitkan buku karyanya
seperti pada tahun 1559 menerbitkan buku berjudul Rangkaian Ruba’iyat, 1963 menerbitkan
buku berjudul some Aspects Of Shifism as Understood and Practised Among The Malays,
tahun 1966 menerbitkan buku berjudul Raniri and the wujudiyah of the 17th century Acheh,
dan lain-lain. 
Dengan pandangan akan dampak negatif dari ilmu modern dari pemimit Barat,
beliau mengajukan  gagasan tentang islamisasi ilmu pengetahuan dengan formulasi yang
lebih sistematis. Dimana Pengaruh Islamisasi bahasa mampu menghasilkan pemikiran dan
penalaran, karena dalam setiap istilahnya mampu memberikan sebuah penalaran yang
mudah dipahami oleh akal pikir. Menurut Naquib perkembangan ilmu pengetahuan
merupakan salah satu faktor dari kebingungan skeptisme, di mana dalam epistemologi islam
tidak adanya keraguan karena islam percaya akan kebenaran kandungan Al Qur'an. Dengan
ini Naquib berupaya menghidupkan kembali tasawuf filsafi yang dianggap sebagai sebuah
keniscayaan, karena dianggap mampu memberikan kendali akan pikiran rasional dari sebuah
kekuasaan. Dengan menerapkan sistem kurikulum yang diadopsi dari ilmu-ilmu fardhu ain
dan fardhu kifayah, yang artinya membaca dan menginterpretasikan Al Qur'an sesuai
dengan syariat, sunnah, teologi, metafisika dan ilmu bahasan serta mempelajari ilmu sosial
dan pengetahuan. Dengan pandangan metode cerita dan tauhid dinilai lebih efektif
menyampaikan pesan moral dan kebaikan, karena metode tafsir dan ta'wil berguna untuk
mengkaji alam serta merupakan metode yang dianggap valid dalam ilmu pengetahuan.
Naquib Al-Attas menjelaskan westernisasi adalah proses yang mampu memisahkan
antara unsur-unsur sekular (substansi, roh, watak dan keperibadian kebudayaan dalam
peradaban Barat), dari pengetahuan akan berubah dasar bentuk, nilai dan tafsiran
konseptual pengetahuan. Naquib mengatakan bahwa ilmu datang dari tuhan dan diperoleh
melalui beberapa metode, yaitu laporan yang benar sesuai otoritas. Dimana terminologi al-
aql "pengikatan" atau "penahanan", yang artinya mengikat atau menahan. objek ilmu
dengan menunjukkan realitas sesuai kata hati (al-qalb), ruh dan diri (al-nafs). Dimana hal ini
merupakan suatu yang klasik, dimana manusia pada dasarnya memiliki potensi diri
sebagaimana pemanfaatannya.
 
Daftar Pustaka

Afida, I. (2016). Pemikiran Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan:(Syed Muhammad


Naquib Al-Attas). FALASIFA: Jurnal Studi Keislaman, 7(2), 253-268.

Aini, E.H. (2016). Islamisasi Ilmu Sebuah Gagasan Pendidikan Islam (Telaah
Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Sarjana Skripsi. Universitas Islam Negeri
Sunan KaliJaga Yogyakarta

Khairuddin. Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Hikmah: Jurnal


Pendidikan Islam. 1 (1), 29-41

Nuryanti, M., & Hakim, L. (2020). Pemikiran Islam Modern Syed Muhammad Naquib
Al-Attas. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 22(1), 73-84.

Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan


Praktis. 2002. Jakarta; Ciputat Pers. hlm. 119.

Silsilah resmi keluarga al-Attas yang terdapat dalam buku koleksi


pribadinya menunjukkan bahwa dia adalah keturunan ke-36 dari Saydina Ali ibn Abi Thalib
RA., keponakan sekaligus suami dari putri Nabi, Fatimah. Lihat pula dalam W.M.N.
Wan Daud. Filsafat dan Praktek Pendidikan Syed Naquib al-Attas(trjmh oleh Hamid Fahmy
dkk.). 2003. Bandung; Mizan. hlm 431.

Suriani.(2014). DĪN Menurut Syed Muhammad Naquib AL-Attas. Sarjana Skripsi.


Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Yusuf, S., & Ahyan, M. Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-attas Tentang
Pendidikan Islam. Tamaddun, 1-29.

Anda mungkin juga menyukai