Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ali bin Abi Thalib adalah khalifah ke empat dari kekhalifahan islam. Ali bin Abi Thalib diangkat
menjadi khalifah setelah meninggalnya khalifah Usman bin Affan dalam peristiwa pembunuhan
yang terjadi dirumah khalifah Usman bin Affan.
Pertama kali yang dirasakan kaum muslimin ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib
adalah kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar. Pada waktu itu, terjadi berbagai
konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti Perang Jamal (terjadi antara golongan
Ali dan Aisyah) dan perang Shifin (terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat
yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang benar-benar
tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal itu menimbulkan banyak
pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim, terutama para pengkaji sejarah Islam.
Membahas khalifah Ali dalam sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan
memuaskan. Namun, belajar dari uraian buku-buku yang kami baca, kami berusaha untuk
memberikan beberapa analisa dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan
atau bahkan mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan
data-data sejarah yang ada. Kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa penting
yang terjadi. Di makalah ini juga, kami akan menghadirkan biografi Ali sebagai pengetahuan
sepintas, sebab tidak pantas rasanya kalau kita membahas seseorang tetapi tidak mengetahui
biografinya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib?
2. Bagaimana proses pembai’atan Ali bin Abi Thalib?
3. Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib?
4. Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib?
5. Peristiwa apa saja yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib?

1.3. Tujuan dan Manfa’at


1. Tujuan
a. Dapat memahami dan menjelaskan tentang biografi Ali bin Abi Thalib.
b. Dapat memahami dan menjelaskan tentang proses pembai’atan Ali bin Abi Thalib.
c. Dapat memahami dan menjelaskan tentang sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib.
d. Dapat memahami dan menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib.
e. Dapat memahami dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi pada masa Ali bin Abi
Thalib.
2. Manfa’at
a. Memberikan tambahan ilmu yang sebelumnya masih kurang atau bahkan belum tahu
sebelumnya.
b. Memberikan tambahan pengetahuan yang baru.
c. Memberikan bekal dalam pembuatan skripsi kelak.
d. Memberikan tambaham iman dan taqwa kepada Allah.

1|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Khalifah Ali bin Abi Thalib
A. Kelahiran & Kehidupan Keluarga
1. Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali
dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi
atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada
yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari
Muhammad . Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai
penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali yang
berartiTinggi (derajat di sisi Allah).
1. Nama dan Nasab Ali bin Abi Thalib
Ia adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib bin Hasyim bin Abdu Manaf, sepupu nabi
Muhammad SAW, dan suami dari pemimpin seleuruh perempuan, Fatimah binti Nabi Muhammad,
serta ayah dari dua cucu beliau, al-Hasan dan al-husain. Ibunya bernama Fatimah binti Asad bin hasyim
bin Abdu Manaf. Ia masuk islam ketika masih kecil, yaitu berumur delapan tahun.
2. Istri Ali bin Thalib
Semasa hidup Ali, Ia mempunya banyak istri. Wanita-wanita yang pernah menjadi istrinya adalah:
Fatimah binti Rasulullah SAW, Umamah binti Abul ‘Ash, Khaulah binti Ja’far bin Qais, Laila binti
Mas’ud, Ummul Banin bintu Hizam, Asma’ binti ‘Umais, ash-Shahba binti Rabi’ah, dan Ummu Sa’id
binti ‘Urwah.
3. Anak Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Thalib juga dikaruniai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-
laki: al-Hasain, al-Husain, Muhammad al-Akbar, ‘Ubaidillah, Abu Bakar, al-‘Abbas al-Akbar, Utsman,
Ja’far al-Akbar, Abdullah, Yahya, ‘Aun, Umar al-Akbar, Muhammad al-Ausath, dan Muhammad al-
Ashghar. Adapun yang perempuan: Zainab al-Kubra, Ummu Kultsum al-Kubra, Ruqayyah, Ummul
Hasan, Ramlah al-Kubra, Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ummu Kultsum asg-Shughra,
Fatimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Salamah, Ummu Ja’far, Jumanah, dan Nafisah.

2. Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim,
sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi nabi karena dia tidak punya anak laki-
laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi nabi bersama istri
dia Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas
jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil
Ali sudah bersama dengan Muhammad.

Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali bin Abi Thalib kepada Muhammad dilukiskan seperti
Yohanes Pembaptis kepada Yesus. Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni,
hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harunkepada Nabi Musa.

2|Page
3. Masa Remaja

Ketika Nabi Muhammad menerima wahyu, riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan
Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya
setelah Khadijah istri nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.

Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari nabi karena sebagai anak
asuh, berkesempatan selalu dekat dengan nabi hal ini berkelanjutan hingga dia menjadi menantu nabi.
Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah
ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah 'Ihsan') atau yang
kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus kepada dia tetapi tidak kepada
Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun
kemasyarakatan semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara
masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari nabi kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau
syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat
cerdas, berani dan bijak.

B. Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah


Ali bersedia tidur di kamar nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah
nabi. Dia tidur menampakkan kesan nabi yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka
mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh nabi yang telah meloloskan diri
ke Madinah bersama Abu Bakar.
C. Kehidupan di Madinah
1. Pernikahan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi
Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis
dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti
Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said
binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.
2. Julukan
Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya
tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu duduk dan
membersihkan punggung Ali sambil berkata, "Duduklah wahai Abu Turab, duduklah." Turab yang
berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh
Ali.

2.2 Pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah


Setelah Khalifah Usman syahid, Ali diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau menolak,
namun akhirnya beliau menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari
Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan
menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Usman) telah terbunuh,
sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu
kecuali anda (Ali)". Ali berkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, karena saya
lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab:
"Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada
engkau". Ali menjawab: "Jika kalian tak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat
tersebut hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud

3|Page
membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Ali kemudian keluar menuju masjid, dan kaum muslimin pun
membaiatnya sebagai khalifah mereka.
Pengangkatan Khalifah Ali terjadi pada bulan Zulhijjah tahun 35 H/656 M, dan memerintah selama
4 tahun 9 bulan, menjelang pembunuhan terhadap dirinya pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M.
Penetapannya sebagai Khalifah ditolak antara lain oleh Mu’awiyah bin Abu Shufyan, dengan
alasan Ali harus mempertanggung jawabkan tentang terbunuhnya Utsman, dan berhubung wilayah
Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru, maka hak untuk
menentukan pengisian jabatan khalifah tidak lagi merupakan hak mereka yang di Madinah saja.
Pada masa pemerintahan Khalifah Ali itu, perpecahan kongkrit di dalam kalangan al-Shahabi
menjadi suatu kenyataan, dengan pecah beberapa kali sengketa bersenjata yang menelan korban bukan
kecil. Juga pada masanya itu bermula lahir sekte-sekte di dalam sejarah dunia Islam, yakni sekte Syiah
dan sekte Khawarij. Bermula sebagai kelompok-kelompok politik yang berbedaan paham dan pendirian
tetapi lambat-laun berkembang menjadi sekte-sekte keagamaan, menpunyai ajaran-ajaran keagamaan
tertentu di dalam beberapa permasalahan Syariat dan Aqidah. Perkambangan tersebut berlangsung
beberapa puluh tahun sepeninggal Khalifah Ali ibn Abi Thalib.

2.3 Sistem Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib


Sudah diketahui bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki sikap yang kokoh, kuat pendirian dalam
membela yang hak. Setelah dibaiat sebagai khalifah, dia cepat mengambil tindakan. Dia segera
mengeluarkan perintah yang menunujukkan ketegasan sikapnya.
Langkah awal yang dilakukan khalifah Ali adalah menghidupkan kembali cita-cita Abu Bakar dan
Umar, ia menarik kembali semua tanah dan hibah yang telah dibagikan Utsman kepada kerabat
dekatnya menjadi milik negara. Ali juga melakukan pemecatan semua gubernur yang tidak disenangi
oleh rakyat. Ia juga membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan
dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah, serta mengkoordinir polisi dan menetapkan
tugas-tugas mereka.
Ali juga memindahkan pusat kekuasaan islam ke kota Kuffah. Sejak itu berakhirlah Madinah
sebagai ibukota kedaulatan islam dan tidak ada lagi khalifah yang berkuasa berdiam disana. Sekarang
Ali adalah pemimipin dari seluruh wilayah islam, kecuali Suriah. Pada saat itu, Ali tidak bermukim
secara tetap di Kuffah, dia pergi kesana hanya untuk menegakkan kekuasaannya, sebagaimana
ditunjukkan oleh jasa pemukimannya yang ada diluar kota itu. Pada saat yang sama dia melakukan
perpindahan-perpindahan untuk menegakkan kedudukannya dibeberapa propinsi didalam kerajannya.

2.4 Kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib


Selama Ali bin Abi Thalib memerintah , ia membuat kebijakan-kebijakan tertentu sesuai dengan
situasi yang mengiringinya atau situasi yang dihadapinya, sehingga kebijakan Ali sangat berbeda
dengan kebijakan sebelum-sebelumnya. Diantara kebijakan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah:
1. Penundaan Pengusutan Pembunuhan Utsman
Setelah terbunuhnya Utsman, tuntutan para sahabat terutama yang turunan Umayyah untuk segera
mengusut pembunuh Utsman juga sangat kuat. Namun menyadari kondisi pemerintahannya yang
masih labil, Ali memilih untuk menunda pengusutan tersebut.
2. Mengganti Pejabat dan Penataan Administrasi
Diantara pemicu terjadinya fitnah di zaman Utsman adalah kecenderungan pemerintahannya yang
dianggap nepotis, yang mengangkat kerabatnya untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Hal inilah
antara lain yang digugat oleh kaum pemberontak. Ali segera mengambil kebijaksanaan untuk
mengganti gubernur yang diangkat Utsman tersebut.
3. Memberi tunjangan kepada kaum muslimin yang diambil dari baitul mal, tanpa melihat apakah
masuk islam dahulu atau belakangan.
4. Mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat.
5. Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat Utsman.
6. Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.

4|Page
2.5 Peristiwa-peristiwa Penting pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
1. Perang Jamal
Perang Jamal adalah peperangan yang terjadi anatara Aisyah dengan Khalifah Ali. Aisyah telah
dihasut oleh anak angkatnya Abdullah bin Zubair yang sebenarnya menginginkan jabatan khalifah.
Alasan perang ini karena khalifah Ali dianggap tidak mengusut pembunuhan khallifah ustman dan
dianggap membiarkan kasus pembunuhan usman. Khalifah Ali berusaha supaya tidak teradi peperangan
dengan melakukan perundingan akan tetapi ternyata ada pasukan Aisyah yang mengajak berperang
maka perangpun tidak bisa dihindarkan.
Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H atau pada awal kekhalifahan Ali. Perang ini mulai
berkecamuk setelah dzuhur dan berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan
ini, Ali disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal berjumlah antara 5.000-6.000
prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, sementara bendera Pasukan
Jamal dipegang oleh Abdullah bin az-Zubair.
Perang Jamal ini dimenangkan Ali. Kedua saingan (Thalha-Zubair) gugur atau terbunuh dimalam
hari dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara Aisyah kalah perang dan ditangkap. Ali dengan
penuh hormat memulangkan Aisyah ke Madinah seperti biasa diperlakukan terhadap seorang “ibu
negara”.
2. Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan pasukan Ali melawan Mu’awiyah. Perang ini tidak berakhir
dengan kalah-menang antara keduanya, tetapi hanya dengan mengamati indikasi peperangan, akan
tampak kelemahan Ali kalau tidak mau kalah. Peperangan ini terjadi karena faktor politik. Dapat
dikemukakan dua hal yang mempengaruhi: Pertama, Ali diangkat menjadi khalifah pada tahun 656,
namun Mu’awiyah jauh lebih mapan karena dua puluh tahun lebih dulu telah menjadi Gubernur
Syiria; Kedua, Mu’awiyah cukup berpengalaman dan memiliki pengaruh yang mengakar, yang mampu
membangun kemakmuran bagi wilayah dan penduduknya, sedangkan Ali tidak memilik kemantapan
politik pada masa khilafah.
Perang Jamal terjadi diwilayah Shiffin, sebelah selatan Raqqah tepi barat sungai Efrat. Dalam
peperangan ini, Ali membawa pasukan sebanyak 50.000 orang, dan Mu’awiyah membawa tentara
Suriah. Di bawah pimpinan Malik al-Asytar, pasukan Ali hampir menang ketika Amr bin Ash
pemimpin pasukan Mu’awiyah yang cerdik dan licik melancarkan siasat. Salinan al-Qur’an yang
dilekatkan diujung tombak terlihat diacung-acungkan, sebuah tanda yang diartikan sebagai seruan untuk
mengakhiri bentrokan dan mengikuti keputusan al-Qur’an. Perang ini diakhiri dengan tahkim, tapi
tahkim tidak menyelesaikan masalah, bahkan telah menimbukan perpecahan dikalangan umat Islam
yang terbagi menjadi tiga kekuatan politik yaitu Mu’awiyah, Syi’ah dan Khawarij.[15]Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah,
sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M), Ali dibunuh oleh
salah satu anggota Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam dengan pedang beracun di dahinya
yang mengenai otak.
3. Perang Nahrawan
Perang ini terjadi pada tahun 38 H. Sepulangnya ke Kufah, kaum Khawarij memberontak
terhadapnya. Sebelumnya, mereka menolak adanya tahkim. Mereka mengatakan: “tidak boleh ada
hukum yang dipatuhi kecuali hukum Allah”. Mereka memprovokasi orang-orang untuk menentang Ali.
Setelah itu, kaum Khawarij membunuh seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Khabbabdan
istrinya yang ketika itu sedang hamil tua. Ketika ksaus ini sampai kepada Ali, ia mengirimkan surat
kepada mereka, isinya: “Siapa yang menbunuh Khabbab?” Mereka menjawab: “Kamilah semua yang
membunuhnya”. Maka Ali pun keluar menuju tempat mereka dengan pasukan berjumlah 10.000
prajurit, dan menyerang mereka di daerah Nahrawan.
4. Munculnya Sekte-sekte
Sebagai akibat perang Shiffin, sekte-sekte muncul secara serius pada masa Ali. Bahkan
persinggungan antara faktor teologi dan politik muncul pertama kali dalam suatu percekcokan yang
terjadi dikalangan pengikut Ali.

5|Page
Dalam sejarah umat Islam, sekte-sekte sebagai wujud perbedaan pemikiran dan ide pada pokoknya
disebabkan perbedaan aspirasi politik: kelompok setia Ali yang selanjutnya dinamakan Syi’ah dan
kelompok eksodus yang selanjutnya dikenal dengan Khawarij, benar-benar berbeda sangat jauh.
Syi’ah merupakan kelompok sayap kanan dan Khawarij adalah kelompok sayap kiri. Keduanya
sama radikal dan ekstrim. Adanya imam menurut Syi’ah adalah wajib. Keharusan agama dan dunia
akan hancur tanpa imam. Tetapi Khawarij mengatakan, adanya imam tidak diharuskan agama. Imam
tidak perlu bila manusia dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, bahkan karena imamlah manusia
membuat kehancuran dengan membunuh.
Kemelut yang semula menitikberatkan hal-hal politik, kini beralih pada persoalan teologi. Seperti
apa yang dilontarkan Syi’ah maupun Khawarij, mempunyai konotasi dengan pembicaraan yang
didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran Islam.

6|Page

Anda mungkin juga menyukai