Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM

(Islam Pada Masa Ali Bin Abi Thalib)


Dosen Pengampu:Dr.H.Masykur Hakim ,MA

Disusun Oleh:
1.Nurhandayani
2.Oktavia Mashumah

PROGRAM S1 STUDI SEJARAH AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


ATTAQWA UJUNG HARAPAN BAHAGIA BABELAN BEKASI

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikanpenulis dan
kelancaran sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.Selawat serta salam
saya kirimkan kepada baginda nabi kita Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafaatnya di akhirat
nanti.

Penulis juga menggucapkan syukur kepada Allah SWTyang telah melimpahkan nikmatnya sehingga
penulis bisa mengerjakan makalah dalam keadaan yang sehat baik fisik maupun akal fikiran. Makalah
yang berjudul “Islam pada masa ali bin abi thalib”. Selain itu makalah ini juga berguna untuk menambah
wawasan tentang Nash, Mufassar dan Muhkam, bagi saya dan pembaca.Penulis menyadari bahwa
tulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih ada kesalahan dan kekurangan di
dalamnya. Oleh karena itu, penulis menghaturkan permohonan maaf apa bila terdapat kesalahan dalam
makalah.

Penulis pun berharap pembacamakalah ini dapat memberikan makalah yang lebih sempurna lagi.

Bekasi 14 Oktober 2022

Penulis
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………2


BAB I……………………………………………………………………………………..4
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II…………………………………………………………………………………….5
PEMBAHASAN …………………………………………………………………………5
1.Silsilah Dan Kepribadian Ali Bin Abi Thalib
2. Poses Pemilihan Khalifah Ali Bin Abi Thalib
3. Kebijakan khalifah ali bin abi thalib selama menjadi khalifah
4. Pembaiatan Ali Bin Abi Thalib
BAB III……………………………………………………………………………………6
KESIMPULAN ………………………………………………………………………6
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..7
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

   Perkembangan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat adalah
merupakan Agam Islam pada zaman keemasan, hal itu bisa terlihat bagaimana kemurnian
Islam itu sendiri dengan adanya pelaku dan faktor utamanya yaitu Rasulullah SAW.
Kemudian pada zaman selanjutnya yaitu zaman para sahabat, terkhusus pada zaman
Khalifah empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam
berkembang dengan pesat dimana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang
dan dikendalikan oleh Islam. Hal itu tentunya tidak terlepas dari para pejuang yang
sangat gigih dalam mempertahankan dan juga dalam menyebarkan islam sebagai agama
Tauhid yang diridhoi.
Perkembangan islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan peradaban
kearah yang lebih maju. Maka tidak heran para sejarawan mencatat bahwa islam pada
zaman Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin merupakan islam yang luar biasa
pengaruhnya. Namun yang terkadang menjadi pertanyaan adalah kenapa pada zaman
sekarang ini seolah kita melupakannya. Sekaitan dengan itu perlu kiranya kita melihat
kembali dan mengkaji kembali bagaimana sejarah islam yang sebenarnya.
            Sebenarnya, pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para
mu’arrikhin. Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang
dilakukan oleh dosen STID Mohammad Natsir, Jeje Zainudin Abu Himam, MA, dalam
buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam, Sebuah Pelajaran dari Konflik Politik
Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat kata “Zaman Sahabat”,
namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu secara spesifik membahas tentang
konflik politik yang terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

B. Rumusan Masalah

1.        Bagaimana biografi Ali bin Abi Thalib?


2.        Bagaimana proses pembai’atan Ali bin Abi Thalib?
3.        Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Ali bin Abi Thalib?
4.        Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa Ali bin Abi Thalib?
4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Silsilah Dan Kepribadian Ali Bin Abi Thalib

            Ali bin Abi Tholib lahir pada tahun 603 M disamping ka’bah kota Mekkah, lebih muda
32 tahun dari Nabi Muhammad SAW. Ali termasuk keturunan Bani Hasyim. Abu Tholib
memberi nama Ali dengan Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad. Haidarah dan
Asad dalam Bahasa Arab artinya singa. Sedang Nabi Muhammad memberi nama “ALI” yang
menakutkan musuh-musuhnya. Pada usia 6 tahun, Ali bin Abi Tholib diasuh oleh Nabi
Muhammad sebagaimana Nabi diasuh oleh ayahnya, Abu Tholib. Karena mendapat didikan dan
asuhan langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka Ali tumbuh sebagai anak yang berbudi
luhur, cerdik, pemberani, pintar dalam berbicara dan berpengetahuan luas. Gelar-gelar yang
disandang oleh Ali antara lain:
        Babul Ilmu gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak
meriwayatkan hadist.
        Zulfikar karena pedangnya yang bermata, juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan
setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan
memperoleh kemenangan.
        Karramallahu Wajhahu  gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan oleh
Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya . 
      Imamul masakin  (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada
orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan
yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan.
            Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin kepribadian
Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar As- Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ali bin Abi
Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki
“Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.
5

B.     Proses pemilihan Khalifah Ali bin Abi Thalib


            Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan peristiwa yang lain, hal itu
biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga dengan peristiwa yang menyangkut dengan
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
pada pemerintahan Utsman bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman
bin Affan dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah sebagai
rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bin Affan.
            Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang mendera
pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang
dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Basharah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan.
Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena
itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang
mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah
untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.
            Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan
mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah
dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada
rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula
mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
            Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu kembali lagi ke Madinah
dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang
dirampas dari seorang budak  Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang
berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap
dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah
bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua
orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum
para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan
penjaga

gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang
membaca al-Qur’an.
            Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu
menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Terutama
mengenai misteri surat rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji
sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan
surat itu.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa kekhalifahan selanjutnya.
Setelah Utsman wafat pada hari selasa 18 zulhijah 35 H (17 Juni 656 M), masyarakat beramai-
ramai membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah melalui sebuah majelis. Terhadap baiat itu
Ali berkata :
“Aku ingin sidang pemilihan khalifah didasarkan atas kebenaran, tidak mengikuti emosional,
tidak mengkualitaskan individu tertentu dan tidak mencela umat lain”.
            Walau pada awalnya Ali bin Abi Thalib menolak, akan tetapi karena diminta harus,
akhirnya Ali menerima kepercayaan tersebut dan berkata :

”Kalau begitu baiat ini harus berlangsung di mesjid, sebab baiat kepadaku boleh secara
sembunyi dan tidak boleh berlangsung kecuali atas dasa kerelaan kaum muslimin”.
            Pembai’atan Ali berjalan dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima
kekhalifah Ali dengan antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib
menyampaikan pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum
menggambarkan garis besar dari visi politiknya.
            Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Yaitu :

 Sumber hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah
kitab suci al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-
Quran hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw,
dan Ali tentulah orang yang paling memahami persoalan ini.
 Mewujudkan nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam
masyarakat.
 Tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin.
 Melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman
lidah dan tangan.
 Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab terhadap bangsa
dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.

meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari
kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Diantaranya Kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah
terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di
antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah :
 Marwan bin al-Hakam
 al-Walid bin Uqbah
 Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah
 Qudamah bin Madh’un
 Abdullah bin Sallam
 Mughirah bin Syu’bah
 Nu’man bin Basyir
 Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan menyatakan menunggu
perkembangan situasi. Diantaranya adalah :
 Sa’ad bin Abi Waqqas
 Abdullah bin Tsabit
 Muhammad bin Salamah
 Usamah bin Zaid
 Salamah bin Salamah bin Raqis.
 Kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi
Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya
adalah
 Hasan bin Tsabit
 Ka’ab bin Malik
 Zaid bin Tsabit
 Rafi’ Khadij
 Abu Sa’id al-Khudry
 Muhammad bin Maslamah
 Maslamah bin Mukhallad
  Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan khalifah Ali di
kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti diungkapkan diatas cukup menjadi
isyarat tentang rumitnya situasi politik menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini
menjadi preseden tidak baik bagi situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah
adalah ibukota Negara dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad Saw hingga
tiga Khalifah sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah
menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu, dapatlah
dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah berkumpulnya  para
sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja
sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah
akan lebih sulit lagi untuk bersatu menerimanya

C. Kebijakan khalifah ali bin abi thalib selama menjadi khalifah


  Sebagai Khalifah keempat, tampaknya Ali bin Abi Thalib meneruskan kebijakan yang pernah
ditempuh oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Ia menerapkan prinsip-prinsip Baitul-
mal dengan tepat, dan memutuskan untuk mengembalikan semua tanah yang di ambil alih oleh
Bani Umayah ke dalam perbendaharaan negara. Begitu juga ia menarik semua pemberian atau
hibah yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas yang diberikan Khalifah Usman kepada sanak
keluarga Bani Umayah.
            Di samping itu, Khalifah Ali menggantikan semua gubernur yang diangkat pada masa
Usman dan tidak disukai masyarakat. Karena ia berasumsi, bahwa selain karena para gubernur
tersebut tidak disenangi, juga mereka adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
kerusuhan yang terjadi yang menyebabkan terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan pada 12
Dzulhijjah tahun 35 H. Untuk itu, Khalifah Ali meminta agar gubernur Kufah, al-Walid bin
Uqbah mengundurkan diri. Begitu juga kepada Muawiyah agar meletakkan jabatan Gubernur
Syiria.
            Permintaan tersebut ditolak, sehingga ditimbul kerusuhan dan konflik berkepanjangan
antara Khalifah Ali dengan para pejabat Gubenur tersebut. Penolakan ini berjuang pada sebuah
pertempuran di shiffin pada 38 H/ 657 M. Pertempuran ini memperlemah kekuatan Khalifah Ali
memperkuat posisi Muawiyah. Karena pasukan Ali terpecah menjadi dua kelompok besar, yaitu
para pengikut setia Ali dan mereka yang menyatakan desersi atau keluar dari barisan Ali. Mereka
yang masih setia kepada khalifah Ali disebut kelompok Syi’ah atau Syiatu Ali. Sedang mereka
yang menyebutkan desersi disebut kelompok Khawarij. Kelompok terakhir inilah yang paling
kencur melakukan gerakan untuk membunuh Khalifah Ali dan Muawiyah serta mereka yang
terlimbat dalam fakta perdamaian (tabrim) di Daumatul Jandal.
            Penolakan juga datang dari kubu sahabat nabi lainnya seperti Thallhah, Zubair dan
Aisyah. Keributan antara Khalifah Ali dengan Aisyah berujung pada pertempuran kecil yang
dikenal dalam sejarah islam dengan Waq’ah al-jamalatau perang unta.

D.Sistem Pemerintahan ali bin abi thalib


Meskipun masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun tidak sunyi dari pergolakan politik,
Ali berusaha menciptakan sistem pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan egaliter. Ali
mengambil kembali harta yang dibagi-bagikan Usman kepada pejabat-pejabatnya, Ali juga
mengirim surat kepada para gubernur dan pejabat daerah lainnya untuk bijaksana dan
menjalankan tugasnya dan tidak mengecewakan rakyat. Ali pun menyusun undang-undang
perpajakan. Dalam sebuah suratnya, Ali menegaskan bahwa pajak tidak boleh diambil tanpa
memperhatikan pembangunan rakyat. Kepada pejabat daerah, Ali juga memerintahkan agar aib
orang ditutupi dari pengetahuan orang lain. Untuk keamanan daerah, Ali juga menyebar mata-
mata (intel).
Dalam sikap Egalitarian (persamaan derajat pada setiap manusia), Ali bahkan mencontohkan
sosok seorang kepala negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Dalam sebuah
kasus, Ali berperkara dengan seorang Yahudi mengenai baju besi. Yahudi tersebut, dengan
berbagai argumen dan saksinya, mengklaim bahwa baju tersebut miliknya. Karena Ali tidak
dapat menunjukan bukti-bukti dalam pembelaannya, maka hakim memutuskan memenangkan
dan mengabulkan tuntutan Yahudi tersebut.
Ali ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa Umar dan Abu
Bakar sebelumnya, namun kondisi masyarakat yang kacau balau dan tidak terkendali lagi
menjadikan usaha Ali tidak banyak berhasil. Umat lebih memperhatikan kelompoknya daripada
kesatuan dan persatuan. .Adapun lebih jelasnya sistem pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib sangat
mementingkan kemaslahatan umatnya dan mencegah kemudharatan. Seperti yang ada dalam pembahasan
Fiqih Siyasah yaitu suatu konsep yang berguna untuk mengatur hukum ketatanegaraan dalam bangsa dan
Negara yang bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah kemudharatan.

T. M.Hasbi, membagi ruang lingkup fiqih siyasah membagi menjadi delapan bagian yaitu:
1. Siyasah Tasyri’iyyah (kebijakan tentang penetapan hukum)
2. Siyasah Dusturiyyah (kebijakan tentang peraturan perundang-undangan)
3. Siyasah Qadha’iyyah (kebijaksanaan peradilan)
4. Siyasah Maliyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter)
5. Siyasah Idariyyah (kebijaksanaan administrasi Negara)
7. Siyasah Tanfidziyyah (politik pelaksanaan undang-undang)
8. Siyasah Harbiyyah (politik peperangan)
Bila dilihat dari beberapa uraian di atas, bahwasannya sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib dalam menjalankan pemerintahannya menggunakan sistem pemerintahan yang ada dalam
ruang lingkup fiqih siyasah, yaitu salah satunya tentang kebijakan penetapan hukum, dimana
Khalifah Ali tetap mengambil jizyah atas kaum non muslim yang berada di wilayah muslim akan
tetapi jizyah tersebut tetap ada batasannya, dimana kaum nonmuslim yang kalangannya
menengah ke atas, jizyahnya di ambil lebih besar, tetapi bagi kaum non muslim yang menengah
kebawah jizyahnya di ambil sesuai dengan kemampuannya saja.Khalifah Ali tetap saja selalu
mementingkan kemaslahatan umatnya walau dalam keadaan yang sangat hiruk-pkuk.Namun
kebijakan-kebijakan nya tersebut di tentang oleh pendukung dan kerabatnya, bahwasannya
kebijakan-kebujakannya tersebut terlalu radikal, walau demikian Khalifah Ali tetap dalam
keputusan dan pendiriannya yang ingin mencapai cita-cita yang ada pada masa kekhalifahan
Usman. Begitupun dengan kebijakan-kebijakan lain yang di jalankan oleh Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwasannya
1. Sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalim termasuk sistem pemerintahan
yang terkenal tegas, bijaksana dan sangat mementingkan kemaslahatan umatnya.
Sistem pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib juga sangat berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan as-Sunah. Kebijakan-kebijakan Khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu:
Memecat kepala-kepala daerah yang di angkat usman dan di
gantikan oleh kepala daerah pada masa Ali, mengambil kembali tanah-tanah
yang dibagikan Ustman kepada family-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan
yang sah, demikin juga hibah atau pemberian kepada siapapun yang tiada
beralasan, memindahkan ibukota Madinah ke Kuffah dan mempungsikan kembali
baitul mal atau zakat.
 Ali menjadi Khalifah ditunjuk oleh para sahabat.
 Masa kekhalifahannya 35-40 H / 656-661 M
 Memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah.
 Memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman dan mengirim kepala daerah yang
baru yang menggantikan
 Menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabat
Utsman dengan jalan yang tidak sah.
 Melaksanakan kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.
 Perang Jamal => Pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah =>
menuntut balas atas terbunuhnya Utsman dan Ali tidak mau menghukum pembunuh
Utsman. Perang dimenangkan Ali.
 Perang Shiffin => Pemberontakan oleh Mu’awiyah. Diakhiri dengan Tahkim.
 Perang Nahrawan => Pemberontakan oleh Khawarij.
 20 Ramadhan 40 H (24 Januari 661 M), Ali dibunuh Abdurrahman bin Muljam.

DAFTAR PUSTAKA

al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2012. Hiqbah Minat Tarikh (Inilah Faktanya, Meluruskan
Sejarah Umat Islam Sejak Wafat Nabi Muhammad SAW Hingga Terbunuhnya al-
Husain) diterjemahkan: Syafarudin. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Fu’adi, Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam.  Yogyakarta: Teras.
http://cipcipmuuach.blogspot.co.id/2013/04/sistem-politik-masa-khalifah-ali-bin.html, diakses 4 April
2013

Anda mungkin juga menyukai