Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ALI BIN ABI THALIB

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu: Rahmat Hasbi, S.Ag,M.Pd.I

Disusun Oleh :
Kelompok 9

1. Elsa Meidiana Amanda NPM ( 2251030177 )


2. Dila Nurkhasana NPM ( 2251030170 )
3. Faried Aryandhitio NPM ( 2251030183 )
4. Fatullah Maulana NPM ( 2251030184 )

KELAS D / SEMESTER 2 ANGKATAN 2022/2023


JURUSANAKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Ali Bin Abi Thalib,
ini tepat pada waktunya.Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dosen Dosen Pengampu Rahmat Hasbi, S.Ag,M.Pd.I pada mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Khalifah
Umar Bin Khattab bagi para pembaca dan juga bagi kami. Kami mengucapkan
terimakasih kepada bapak Dosen Pengampu : Rahmat Hasbi, S.Ag,M.Pd.I selaku
dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 12 Mei 2023

Penulis

ii
Daftar Isi

JUDUL ............................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ....................................................................................................ii

Daftar Isi ........................................................................................................................iii

BAB I ............................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN........................................................................................................... 1

A.Latar Belakang.......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2

C. Tujuan ...................................................................................................................... 2

BAB II ............................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3

A. Biografi Ali Bin Abi Thalib .................................................................................... 3

B. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a ............................................................ 5

C. Peristiwa - Peristiwa Yang Terjadi. ........................................................................ 7

BAB III .......................................................................................................................... 17

PENUTUP ..................................................................................................................... 17

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 17

B. Saran ............. ................................................................................................... ... 17


DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. ... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Mekkah, umat Islam mendapat tekanan dari siksaan dan kuffar Qurraisy, Ia
selalu bersama Rasulullah SAW dan menyiarkan Islam, demikian pula di Madinah,
setiap kali Rasulullah terjun memimpin peperangan, Ali berada di barisan paling
pertama. Atas keberaniannya, para ahli sejarah menjulukinya dengan “kuda pejuang
Islam, pahlawan yang tidak kenal rasa takut dan tidak pnya kesalahan” dan ia
“Bagaikan seekor singa” atas kecerdasaan nya dan keluasan pengetahuannya, ia
disebut Rasulullah SAW sebagai “gerbang ilmu”. Ia di bai’at atas keinginan kelompok
demonstran, kaum Muhajirin dan Anshor. Sebelumnya ia didatangi kelompok-
kelompok tersebut untuk meminta kesediaannya ,menjadi khalifah. Namun Ali tetap
menolak. Ia menolak karena ingin pengangkatan khalifah dilakukan dengan
musyawarah dan dapat persetujuan dari SahabatSahabat senior terkemuka. Namun
karena desakan massa untuk segera dibai’at menjadi Khalifah oleh mayoritas kaum
muslimin, termasuk Thalhah dan Zubair. Ali dibai’at di masjid Nabawi, Madinah, pada
23 Juni 656./ 13 Dzulhijah 35 H.1 Pengukuhan Ali menjadi Khalifah tidak semulus
pengukuhan tiga orang Khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana
berkabung atas peristiwa meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta
kebingungan umat Islam Madinah sedang terjadi.

Sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya


bersedia dibai’at menjadi Khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak
mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada di kota Madinah, seperti Thalhah,
Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar agar menjadi
khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum
Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi Khalifah. Dia didatangi
beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Namun Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan
melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka.
Akan tetapi, setelah massa rakyat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera
mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali
bersedia dibai’at menjadi khalifah.

1
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari muhajirin dan anshar serta para tokoh
sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior, seperti
Abdullah bin Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash,
Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau
ikut membai’at Ali. Ibn Umar dan Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh
rakyat sudah membai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka
membai’at secara terpaksa. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa mereka
bersama kaum Anshar dan Muhajirin lah yang meminta kepada Ali agar bersedia
dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain,
kecuali memilih Ali.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biograafi Ali Bin Abi Thalib?
2. Bagaimaana Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib?
3. Bagaimana Kebijakan-Kebijakan Politik dan Sosial Ali Bin Abi Thalib?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Biograafi Ali Bin Abi Thalib
2. Mengetahui Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib Sebagai Khalifah
3. Mengetahui Kebijakan-Kebijakan Politik dan Sosial Ali Bin Abi Thalib

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ali Bin Abi Thalib

Nama lengkapnya ialah Ali bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin
Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi
menjadi Rasul Ia lahir di Mekah pada tahun 603 M, dan wafat di Kufah pada 17
Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M. Beliau merupakan khalifah keempat (terakhir)
dari khulafa ar- rasyidin (empat khalifah besar); beliaulah yang pertama masuk Islam
dari kalangan anak- anak, disamping itu, ia adalah sepupu dari Nabi saw. yang
kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim
bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abd. Mutthalib.
Ibunya bernama Fatimah binti As’ad bin Hasyim bin Abd. Manaf. Sewaktu lahir ia
diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.1

Ketika beruasia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi saw.,
sebagaimana Nabi pernah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad saw. Diangkat
menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. Ia adalah orang kedua yang menerima
dakwah Islam setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi saw. Sejak itu ia selalu
bersama Rasulullah saw. Taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah saw.
menerima wahyu. Sebagai anak asuh Rasulullah saw, ia banyak menimba ilmu
mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoritis dan
praktis.2

Sewaktu Nabi saw. Hijrah ke Madinah bersama Abu Bakr as-Siddiq, Ali
diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah saw. Dan tidur di tempat
tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Quraisy, supaya mereka
menyangka bahwa Nabi saw masih berada di rumahnya. Ketika itu kaum Quraisy
merencanakan untuk mmebunuh Nabi saw. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan
sejumlah barang titipan kepada pemilik masing – masing. Ali mampu melaksanakan
tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik – baiknya tanpa sedikitpun merasa takut.3

1
Ibn Atsir, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965. Hal. 319.
2
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997. Hal. 45
3
Abu Hasan Ali al-Musawi, Najhul Balagah, Yapi, Lampung, 1990, hal. 34.

3
Dengan cara itu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota
Mekah tanpa diketahui oleh kaum Quraisy. Setelah mendengar Rasulullah saw. Dan
Abu Bakar telah sampai ke Madinah, ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia
dinikahkan dengan Fatimah az- Zahrah, putri Rasulullah saw. Yang ketika itu (2 H)
berusia 15 tahun.

Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra- putri. Fatimah
adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan
dan Husein, Zainab dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin
Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut- turut dengan: 1) Ummu
Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu
Abbas, Ja’far, Abdullah, dan Usman; 2) Laila binti Mas’ud at-Tamimiah, yang
melahirkan dua putera, yaitu Abdullah dan Abu Bakar; 3) Asma binti Umair al-
Kuimiah, yang melahirkan dua putera, yaitu Yahya dan Muhammad; 4) As- Sahba binti
Rabi’ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang melahirkan
dua anak, Umar dan Ruqayyah; 5) Umamah bin Abi Ass bin ar- Rabb, putri Zaenab
binti Rasulullah saw. Yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad; 6) Khanlah binti
Ja’far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah); 7)
Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-
Husain dan Ramlah; dan 8) Mahya binti Imri’ al-Qais al- Kalbiah, yang melahirkan
seorang anak bernama Jariah.4

Ali dikenal sangat sederhana dan Zahid dalam kehidupan sehari – hari. Tidak
tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah
diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada
dirinya, melainkan juga kepada putra- putrinya. Ali terkenal sebagai panglima perang
yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan- lawannya. Ia
mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi saw.) bernama “Zul Faqar”. Ia turut
serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi saw. Dan selalu
menjadi andalan pada barisan terdepan. Ia juga dikenal cerdas dan menguasai banyak
masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana tergambar dari sabda Nabi saw. “
Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya” karena itu, nasihat dan
fatwanya selalu di dengar para khalifah sebelumnya. Ia selalu ditempatkan pada jabatan
qadi atau muftih.
4
Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993. Hal. 111

4
Sepanjang masa kenabian Muhammad saw. Ali selalu terlibat dalam setiap
permasalahan pribadi dan sosial Rasulullah saw. Selama itu pula keselamatannya selalu
terancam. Tapi, imannya tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap mata.
Salah satu keistimewaanya, Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang luas dan
mendetail. Setelah Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm kecerdasan dan
kecemerlangan berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra al-Qur’an. Urusan
kemanusiaan, belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalagi dalam hal
kepahlawanan atau keberanian, niscaya tiada orang yang mampu menandinginya. Ali
adalah singa podium dan gelanggang. Ali adalah pembela umat manusia, tokoh
persatuan dan politik. Ali adalah musuh paling gigih bagi segala bentuk anti
kemanusiaan.

B. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a


Segera setelah terbunuhnya Usman, Kaum Muslimin meminta kesediaan Ali
untuk dibaiat menjadi kalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak adalagi
orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan
rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara
yang teramat penting, urusan tokoh – tokoh ahl asy- syura bersama para pejuang perang
Badar”. Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat, pembaiatan dilakukan
pada tanggal 25 Zulhijjah 33 H. Baiat berlangsung di Mesjid Nabawi. Zubair Ibn
Awwam dan Thalhah Ibn Ubaidillah mengangkat baiat denga terpaksa, dan justru
keduanya mengajukan syarat di dalam bai’at itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan
keadilan terhadap para pembunuh khalifah Utsman.
Meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa
kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin
Abi Thalib. Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera
setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan
pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung
setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam
dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut
melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah
bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.5

5
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Hal. 39

5
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terahadap Ali dan
menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi
Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan
Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya
kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan
Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’
Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin
Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap
Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji
pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan,
sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan
situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.6
Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan pidato
politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis
besar dari visi politiknya, ada lima visi politik Ali dari pidatonya itu. Pertama, sumber
hukum dan dasar keputusan politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci
al-Quran. Ini tidak berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran
hanya dapat dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali
tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan nilai-nilai
kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam masyarakat. Ketiga,
tulus ikhlas dalam memimpin dan mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat,
melindungi kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman
lidah dan tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang bertanggungjawab
terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada Allah swt.7
Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah- langkah politik, yaitu:
1. Memecat para pejabat yang diangkat Utsman, termasuk didalamnya beberapa
Gubernur, dan menunjuk penggantinya.
2. Mengambil tanah yang telah dibagikan Usman kepada keluarga dan kaum
kerabatnya tanpa alasan yang benar.

6
Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5,
Jilid IV, hal. 248.
7
Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar Konflik Umat
Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74.

6
3. Memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitul mal,
seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar; pemebrian dilakukan secara merata
tanpa membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang msuk
belakangan.
4. Mengatur tatalaksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, dan
5. Meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan

C. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi

Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang
Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.

1. Perang Jamal
Tahun 35 H/ 656 M telah bergantikan tahun 36 H/ 657 M. akan tetapi
khalifah Ali belum juga memperlihatkan sikap yang pasti yang menegakkan
hukum sepanjang syariat Islam terhadap para pembunuh khalifah Utsman.
Sehubungan dengan itu maka Aisyah binti Abi Bakar, Janda Nabi Besar
Muhammad saw., yang dipanggilkan Ummul Mukminin, segera berangkat
meninggalkan ibukota Madinah menuju kota Mekkah. Tindakkannya itu disusuli
oleh Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah. Menurut tilikan ketiga
tokoh itu, bahwa khalifah ali itu sudah terikat di dalam menetapkan
kebijaksanaannya karena didukung oleh pasukan- pasukan kaum pesuruh. Karena
sebab itu, mereka tidak merasakan terikat lagi kepada kewajiban bai’at, karena
pihak khalifah sendiri, sudah tidak memenuhi syarat baiat yang mereka ajukan
sebelumnya.
Untuk melawan khalifah Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari
Basra dan Kufah, di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Utsman. Ada
pendapat, pemberontakan itu dilatar belakangi oleh keinginan Thalhah dan
Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing- masing mengharapkan rakyat
memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. 8

8
Dikutip dari Ali Syariati, oleh Muhammad amin, The True Story of Muhammad and Khadijah’s
Beloved Daughter Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013. Hal. 117- 118

7
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah menyimpan dendam
kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya kepada Khadijah.
adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak berdasar. Pendek kata,
tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa perselisihan Aisyah dengan
Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan Utsman dilatarbelakangi
sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya berita-berita sejarah
telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal antara Ali dengan
Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang disebabkan
perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri Rasulullah
mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan mengenai
saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan orang
kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja kekurang harmonisan
hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah kepada kelompok
oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata sentimen
pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah menentang
Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan kedudukannya
sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan menempuh
cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau mendapat
dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada alasan logis
yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi dendam
kesumat pribadi yang tidak berdasar.
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali adalah murni dari
pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash bagi
para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap Ali. Di
sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak Aisyah,
termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan
tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen
itu, dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber
dan Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari
berbagai pidato Aisyah dalam rangka mendapat dukungan maupun menjawab
delegasi-delegasi Ali9.

9
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 462

8
Mendengar rencana Thalhah, Zubair dan Aisyah, Ali segera
mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basrah. Sesampai di sana
Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mereka.
Dia mengrim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding, tapi
ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak dapat
dielakkan. Peperangan antara kedua belah pihak itu pada akhirnya pecah, yang
di dalam literatur sejarah Islam dikenal peristiwa itu dengan Harb al-Jamal, dan
di dalam literatur Barat dikenal dengan Battle of Camel. Kedua- duanya sebutan
itu bermakna “perang unta”. Pertempuran itu dikenal dengan perang jamal
(unta) karena Ummul Mukmini Aisyah, semenjak berangkat dari Mekkah
sampai kepada saat pertempuran pecah, berada di dalam sekedup (al- Hawdaj)
yang dipikul unta. Sedangkan pasukan besar dipimpinnya mengendarai kuda
dan sebagiannya mengandarai unta.

2. Perang Shiffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya,
Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi
korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan
tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang
menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga
barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan
Nailah yang terpotong. Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar
Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman
terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan
dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala dating utusan khalifah
Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah
lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di
Syiria menangguhkan –bukan menolak- pembaiatan terhadap Ali sebelum para
pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa
Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah,
tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum.10

10
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 471

9
Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim. Saat itu
Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali
tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena
tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya. Harun Nasution mencatat
bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke
Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar,
anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras
terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar
diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang
dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk
Mesir, salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara
sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar
beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah
Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar
situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para
demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain
meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan
Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara
sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar.
Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan
kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir,
Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang –katanya- dibawa oleh
seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi
surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang
dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Para penentang pun kembali ke
Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman
terbunuh. Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan
dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka
dia menjadi salah satu tersangka.11

11
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal. 471

10
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman,
ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah
menjawab: “Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah
yang tidak saya kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Saat itu pula Ali
langsung bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan
kesaksian Nailah. Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah.
Kata Muhammad bin Abi Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia
[Utsman] mengingatkan saya kepada ayah [Abu Bakar], saya meninggalkan dia.
Saya sudah bertaubat kepada Allah. Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga
saya tidak mencegah mereka yang akan membunuhnya.
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa tuduhan
bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat.
Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi
Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang
diungkapkan Harun Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk
kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu
tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang
memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh
keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak
memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika
Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah
merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi
kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad)
inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak
Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu
menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat
kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel
“Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut
gelar Amirul Mukminin.12

12
Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin Basyir. Lihat Jeje
Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008), cetakan pertama, hal.
98.

11
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi
dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan
berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada
Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta
persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu. Sikap sahabat
pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu
Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan
menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang
bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi
Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar.
Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali
tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa
lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua
sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan
memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan
kuat karena pengaruh Muawiyah.
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu
yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36
H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan
sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu
sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan
pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu
personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di
lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria (atas dasar inilah
kemudian peperangan ini disebut perang Shiffin. Perang pun terjadi. Kedua
pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian
terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H.
Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya
kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang
sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban
meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka
korban fisik tidak terhitung13.

13
Joesef Soy’b, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986),, hal. 444-454

12
3. Gerakan Kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan berada di pihak
Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali
dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua
inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan
keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang
pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura.
Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena
menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka
hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi
antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase
manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij
meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali
mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan
kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu
memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan
mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu
secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas
ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali
bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan
bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka tetap
bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin
Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa
menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya
bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi.14

14
Joesef Soy’b, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986),, hal. 444-454

13
Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun
baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali,
sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang
sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada
perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak
mebuat mereka surut.
Kaum Khawarij melihat bahwa sumber kekacauan adalah Ali, Mu’awiyah
dan Amru bin Ash. Oleh Karena itu mereka bersepakat untuk menghabisi
nyawa ketiga pemimpin tersebut. Tiga orng pembunuh dikirim masing – masing
Abd. Al-Rahman bin Muljam ke Kufah untuk membunuh ali, Barak bin
Abdillah al-Tamimi pergi ke Syam untuk membunuh Muawiyah dan Amru bin
Bakar al-Tamimi pergi ke Mesir untuk membunuh Amru bin ‘Ash. Pada hari
yang telah ditentukan, 24 Januari 661 ( 15 Ramadhan 40 H). ketiga algojo itu
beraksi tetapi hanya Ibnu Muljam saja yang berhasil membunuh Ali ketika
beliau sedang menuju ke mesjid untuk memanggil dan mengimami shalat
subuh. Muawiyah berhasil ditikam oleh Ibn Abdillah tetapi tidak sampai
membawa ajalnya. Sementara itu di Mesir Amru bin Ash terganggu
kesehatannya sehingga tidak keluar mengimami shalat shubuh. Kharijah bin
Habib al-Suhami yang menggantikannya ditikam oleh Ibnu Bakar.
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan
Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka
menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum
Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah
menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al
Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian
damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak
Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis
telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab
ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan
Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak15.

15
Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka
Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70

14
Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia.
Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan
diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh
telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak
berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal.
Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta
rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh
Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah
tetapi mengharamkan harta bendanya. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali
dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai
Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa
mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan.
Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah
kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil
yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai
dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum
Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam
naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras
menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi
sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata
“Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”.
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum
karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan
mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah
kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus
ada orang yang menegakkannya16.

16
Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka
Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70

15
Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya
dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah dan mencari
keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang
dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali
beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang
bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran.[34] Jika dua orang suami istri
saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan
agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara
yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan
itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta
rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi
mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara
tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau
kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan
jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.17

17
Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka
Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ali Bin Abi Thalib,adalah khalifah yang keempat itu, nama lengkapnya ialah Ali
bin Abi Thalib bin Abd. Al-Mutthalib bin Hasyim bin Abd. Al-Mabaf al-Hasyimi al-
Quraisyiy. Dilahirkan sepuluh tahun sebelum Nabi menjadi Rasul. Ia lahir di Mekah
pada tahun 603 M, dan wafat di Kufah pada 17 Ramadahan 40 H/ 24 Januari 661 M.
Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra- putri. Sepanjang masa
kenabian Muhammad saw. Ali selalu terlibat dalam setiap permaslahan pribadi dan
sosial Rasulullah saw. Selama itu pula keselamatannya selalu terancam. Tapi, imannya
tidak pernah goyah, apalagi merosot meski sekejap mata. Salah satu keistimewaanya,
Ali memiliki pemahaman multi dimensional yang luas dan mendetail. Setelah
Rasulullah belum ada yang mengungguli Ali dalm kecerdasan dan kecemerlangan
berfikir. Demikian juga penguasaan terhadap sastra al-Qur’an. Urusan kemanusiaan,
belum ada orang yang sepadan dengan Ali, apalgi dalam hal kepahlawanan atau
keberanian, niscaya tiada orang yang mampu menandinginya. Ali adalah singa podium
dan gelanggang. Ali adalah pembela umat manusia, tokoh persatuan dan politik. Ali
adalah musuh paling gigih bagi segala bentuk anti kemanusiaan.

B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi
untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis yang
bermanfaat bagi banyak orang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ibn Atsir, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965. Hal. 319.

Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997. Hal. 45

Abu Hasan Ali al-Musawi, Najhul Balagah, Yapi, Lampung, 1990, hal. 34.

Hafidz Anshari,dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Hal.
39Hal. 111

Ali al-Musawi, Abu Hasan, Najhul Balagah, Lampung: Yapi, 1990.

Abu al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah:
1999), cet ke-5, Jilid IV, hal. 248.

Ibnu Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, hal. 166, sebagaimana dikutip dari buku “Akar
Konflik Umat Islam”, oleh Jeje Zainudin Abu Himam, hal. 74.

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal.
462

Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur-Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Hal.
471

Utusan yang membawa surat tersebut adalah Sahabat Nabi bernama Nukman bin

Joesef Soy’b, Sejarah Khulafatur Rasyidin, (Bulan Bintang, Jakarta: 1986),, hal. 444-
454

Basyir. Lihat Jeje Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis
Press, 2008), cetakan pertama, hal. 98.

Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah,
(Pustaka Azzam, Jakarta: 2002), cet. I, hal. 70

Amhazun, Muhammad, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis
dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud Rasyid
(LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994).

18
Amin, Muhammad, The True Story of Muhammad and Khadijah’s Beloved Daughter
Fathimah, Jakarta: Arifa Publishing, 2013.
Anshari, Hafidz, dkk. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1993
Atsir, Ibn, al-Kamil fi Tarikh II, Darus Sadir, Bairut. 1965.
Ismail bin Katsir, Abu al-Fida, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Dar al-Mariifah:
1999), cet ke-5, Jilid IV.
Mahmud al-Aqqad, Abbas, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah,
(Pustaka Azzam, Jakarta: 2002).
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-
Press, Jakarta: 2002).
Patuhena, M. Saleh, dkk. Sejarah Islam Klsik, Makassar: Alauddin Press. 2009.
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs.
M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000).

19

Anda mungkin juga menyukai