Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH KEMUNCULAN ILMU KALAM DAN

PERMASALAHANNYA

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


ILMU KALAM
DISUSUN OLEH KELOMPOK I:
1. MUH. FAHRIZAL MUTTAQIN
2. ERIKA PUTRI DANIATUS ZAKIYAH

DOSEN PENGAMPU:
Bpk. IMAM BAIHAQI SE.,MH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AHMAD SIBAWAYHIE
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.


Makalah ini bersumber pada pedoman “Sejarah Pemikiran Islam” tentang Ilmu Kalam.
Makalah ini disusun dengan harapan dapat monolong para mahasiswa dalam mengikuti
perkuliahan Ilmu Kalam yang merupakan bagian dari mata kuliah dasar dari seluruh fakultas
keguruan tinggi agama.
Makalah kami ini berjudul “Sejarah Kemunculan Ilmu Kalam
danPermasalahannya.”Karena iu kita bisa tau bagaimana sejarah Ilmu Kalam, ini merupakan
salah satu wacana dalam mengisi kegiatan agama, utamanya di kalangan dunia Perguruan tinggi
Agama. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Sri
Hidayati, M.Pd karena memberi kesempatan untuk kami penyajian makalah ini tersebut.
Tentu banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah kami ini, karna itu kami mintah
saran dan kritikannya dari saudara/i sekalian. Dan semoga makalah ini menjadi hal yang
bermanfaat bisa menambah ilmu serta amal saleh.

Wassalamu’alaikum wr. Wb.

                                                                                    Situbondo, 14 September 2023

Penulis

 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.......................................................................................................................

BAB I
PENDAHUlUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah.....................................................................................................
C. Batasan Masalah.......................................................................................................

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah kemunculan Ilmu kalam dan Permasalahannya..........................................
B. Sejarah Kemunculan Ilmu Kalam............................................................................
C. Timbulnya Persoalan Kalam...................................................................................

BAB III.................................................................................................................................
PENUTUP
A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Mempelajari mata kuliah ilmu kalam merupakan salah satu dari tiga komponen rukun
iman. Ketiga komponen itu, yaitu nuthqun bi allisani (mengucapkan dengan lisan), ‘amalun bi al-
arkani (melaksakan dengan rukun-rukun), dan tash iqun bi al-qalbi (membenarkan dengan hati).
Agar keyakinan itu dapat tumbuh dengan kukunya, para ulama dahulu telah melakukan kajian
secara mendalam.  
Ketiga komponen itu, dalam kajian ilmu-ilmu keislaman secara ilmiah, menjadi kajian
utamanya. Hanya terkadang berbeda-beda antara satu wilayah lain atau negara  lain. Memang
diakui orang-orang ilmuwan tertentu yang kurang memahami ilmu kalam.
Semoga makalah kami ini dapat memenuhi tuntunan sahabat-sahabat untuk mengenal
lebih dekat sejarah kemunculan ilmu kalam dan permasalahannya, yang selalu menjadi acuan
perkembangannya tersebut. kami ucapkan terimah kasih.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana sejarah kemunculan ilmu Kalam ?
2. Bagaimana timbulnya persoalan-persoalan Kalam ?
C. Batasan masalah
1. Hanya membahas sejarah kemunculan ilmu Kalam
2. Hanya membahas timbulnya persoalan-persoalan Kalam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah kemunculan Ilmu kalam dan Permasalahannya


1. Sejarah kemuculan ilmu kalam
Sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam mencatat bahwa munculnya persoalan
kalam justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik. Mungkin sebagian
orang merasa aneh kenapa di dalam Islam, sebagai agama, masalah pertama justru muncul
persoalan politik bukan persoalan keagamaan, seperti persoalan kalam atau persoalam fiqh.
Namun, memang demikianlah kenyataan sejarah masa lampau.
Sebagaimana diketahui, begitu pindah kemadinah pada tahun 622 M. Nabi Muhammad
tidak hanya sebagai pemimpin Agama, melainkan sekaligus sebagai pemimpin negara. Beliaulah
orang pertama mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini, sebelumnya di madinah
belum pernah ada kekuasaan politik, karena kenyataan Nabi Muhammad sebagai kepala perintah
atau negara, inilah maka jadi perhatiaan ketika beliau wafat terpusat pada masalah pengganti
beliau sebagai kepala pemerintah, demi tetap tegak dan berlanjutnya negara Madinah yang baru
berdiri itu. Pemakaman jenazah nabi terlaksana justru setelah persoalan politik ini, pengganti
kepala negara, rampung dimusyawarahkan. Dari sinilah awal timbulnya persoalan
khalifah(pemimpin), penggantian Nabi sebagai kepala negara atau pemerintah, yang dalam
perkembangannya dari masa ke masa juga melahirkan bermacam-macam pandangan dikalangan
toko pemikir politik di dunia islam.
Kenyataan Nabi tidak menunjuk sahabat tertentu yang kelak akan menjadi pemimpin
pemerintahan sepeninggalan beliau, memaksa para tokoh umat terlibat dalam pembicaraan serius
tentang siapa dan golongan mana yang harus melanjutkan kepemimpinan Nabi.[1]
Pada pertemuan Saqifah Bani Sa’dah, pada hari kedua setelah Nabi wafat, dan melalui
proses musyawarah yang diliputi suasana tegang, akhirnya para wakil muhajarin dan Anshar
sepakat memilih, Abu Bakar sebagai pengganti atau khalifah Nabi untuk meminpin negara
Madinah. Selanjutnya, Abu Bakar digantikan oleh Umar bin al-khahthap, Umar digantikan oleh
Ustman  bin Affan, dan Ustman digantikan oleh li bin Thalip. Mereka berempat inilah yang
kemudian terkenal dengan sebutan al-khulafa ar-Rasyidun.

2. Timbulnya Persoalan Kalam


Pada masa pemerintahan dua khalifah pertama, Abu Bakar dan Umar, roda pemerintah
berjalan dengan baik dan kehidupan politik dapat dikatakan cukup tenang. Namun, pada masa
khalifah Ustman keadaan mulai beruba terutama tahun kedua dari 12 tahun masa
pemerintahannya.
Secara pribadi, khalifah Ustman bin Affan tidak berbeda dengan dua khalifah pendahulu
nya. Namun sayang, keluarganya Bani Umayah terus mengagalkan dan Ustman sendiri melemah
menghadapi pengagalan serta ambisi keluarga tersebut sehingga ia terpaksa memberikan
berbagai kedudukan dan fasilitas kepada mereka.
Ustman megangkat mereka sebagai gubernur di berbagai daerah kekuasaan Islam.
Gubernur-gubernur yang sebelumnya diangkat oleh umar bin al-Khathtab. khalifah yang tidak
pernah memikirkan kepentingan keluarganya diberhentikan oleh Ustman untuk digantikan oleh
orang-orang dari pihak keluarganya.[2]
Kebijakan politik Ustman yang merangkul sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak
simpatik terhadap dirinya. Para sahabat yang mulanya menyongkong Ustman, setelah melihat
dan tindakan yang kurang tepat itu, kini mulai menjauh dirinya. Sementara itu, perasaan tidak
senang muncul pula di daerah-daerah. Terutama Mesir, sebagai reaksi tidak senang terhadap
dijatuhkannya Umar bin al-Ash dari jabatan gubernur untuk digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad
bin Abi Sarah, salah seorang keluarga Ustman, disekitar lima ratus orang berkumpul dan
kemudian bergerak menuju Madinah untuk melakukan aksi protes. Kehadiran para pelaku aksi
proses ini akhirnya bersifat fatal bagi diri khalifah Ustman, ia terbunuh oleh para pemuka aksi
protes tersebut.
Sepeninggalan Ustman bin Affan, Ali Abi Thalib terpilih sebagai khalifah keempat.
Namun situasi politik yang dihadapainya terlanjur sudah terganggu bahkan lebih buruk dari
keadaan sebelumnya. Naiknya Ali sebagai khalifah ternyata tidak disetujui oleh semua pihak.
Khalifah Ali menghadapi tantangan dari dua kubuh sekaligus, dari pihak Muawiyah, gubernur
Damasakus dan keluarga dekat Ustman bin Affan.
Tantangan Thalhah dan Zubair berakibat terjadi kontak senjata dengan pihak khalifah Ali
di Irak pada tahun 656 M, dalam sejarah Islam terkenal dengan sebutan perang jamal. Pada
peristiwa berdarah tersebut, Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sementara Aisyah selamat dan di
kirim kembali ke Mekkah.
Sebagaimana halnya Thalhah dan Zubair, Muawiyah tidak mengakui Ali sebagai
khalifah. Ia menuntut agar Ali segera mengadili dan menghukum oknum yang terlibat dalam
pembunuhan Ustman. Karena tuntutan ini dapat tanggapan serius, akhirnya Muawiyah menuduh
Ali terlibat antara paling tidak, melindungi para pelaku pembunuhan khalifah Ustman tersebut.
Pembangkangan Muawiyah ini rupanya juga berakhir pada bentrokan senjata. Peperangan
yang terjadi antara pasukan khalifah Ali dan pasukan Muawiyah, dalam sejarah Islam dikenal
dengan perang Shiffin.
Di tengah-tengah berkecamuk nya peperangan, bala tentara khalifah Ali terus bergerak
maju dan berhasil mendesak pasukan Muawiyah sehingga yang disebut terakhir dapat dipastikan
akan kalah dan bersiap-siap meniggalkan medan pertempuran. Namun, Amr bin al-Ash, orang
kepercayaan dan tangan kanan Muawiyah yang terkenal politikus licik, menggunakan siasat
berdamai dengan mengangkat kitab suci Al-quran di ujung tombak, pihak Ali kini dihadapkan
kepada salah satu dari dua pilihan, yaitu apakah harus menerima tawaran damai atau harus
menolak. Karena tahu bahwa itu hanya siasat atau tipu muslihat ketika mendesak dan akan kalah,
dan tetap melanjutkan serbuan yang akan menghasilkan kemenangan. Setelah melalui
pertimbangan akhirnya khalifah Ali walau diselimuti semacam perasaan, terpaksa menerima
tawaran damai dan selanjutnya diadakan tahkim atau arbitase. Untuk melaksanakan tahkim
tersebut, ditunjuk satu orang wakil dari masing-masing pihak, Amr bin al-Ash mewakilli pihak
Muawiyah dan Abu Musa mewakili pihak Ali. Menurut sejarah, kedua wakil pelaksana tahkim
tersebut sebenarnya telah bersepakat menjatuhkan kedua pemuka yang sedang bertikai, Ali dan
Muawiyah. Ketika hasil tahkim di umumkan, Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa bin al-
asy’ari, sebagai orang yang lebih tua, tampil lebih dulu untuk mengumumkan kepada khalayak
apa yang telah mereka sepakati, yaitu menjatuhkan Ali dan Muawiyah. Namun, ketika giliran
berbicara tiba kepada Amr al-Ash, teryata tokoh yang licik ini berkhianat dan membelok dari
sepakat, ia hanya mengulangi keputusan menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Muawiyah
bahkan langsung mengangkatnya sebagai khalifah pengganti Ustman.[3]
Hasil tahkim yang dinodai kelicikan dan daya tipu Amr bin al-Ash ini tentu sangat
mengecewakan dan merugikana Ali, dan sebaliknya menguntungkan Muawiyah. khalifah yang
sah jelas Ali, dan Muawiyah tak lebih dari gubernur yang membangkang kepada otoritas
khalifah. Namun dengan adanya tahkim ini, kedudukan Muawiyah berubah menjadi khalifah
tidak resmi. Kiranya sangatlah wajar bila khalifah Ali menolak tunduk kepada tahkim dan tidak
mau meletakkan jabatan kekhalifahan pada akhir hayatnya, ditahun 166 M.
Sementara itu, dibarisan Ali sendiri terdapat sekelompok orang yang tidak setuju terhadap
sikap dan kebijaksaan Ali menerima  tawaran Muawiyah, yang jelas merupakan tipu muslihat
belaka, lebih-lebih setelah mengetahui hasil tahkim seperti dikemukakan di atas. Mereka
memandang Ali dengan sikapnya yang demikian, telah bersalah. Akhirnya dengan  tegas mereka
menolak hasil tahkim dan menyatakan keluar dari barisan Ali. Kaum al-Khwarij menentang Ali
sekaligus Muawiyah. Dengan demikian, kini khalifah Ali kembali menghadapi dua kubuh lawan,
kaum al-Khawarij dan Muawiyah.
Dalam menghadapi dua lawan di atas, semula Ali bersiap-siap untuk mengahapi
Muawiyah terlebih dahulu. Ketika khalifah Ali dan bala tentaranya siap menyerang Muawiyah,
tiba-tiba terdengar berita bahwa al-Khawarij sedang menuju Madinah untuk melakukan
penyerangan. Dengan demikian, khalifah Ali otomatis mengalikan perhatiaan dan mengarahkan
kekuatkan militernya untuk menghadapi kaum al-Khawarij. Namun setelah yang disebut terakhir
berhasil dikalahkan, kekuatan militer khalifah Ali yang tersisa sudah sulit melanjutkan usaha
untuk menjatuhkan Muawiyah seperti yang direncanakan semula. Sementara itu Muawiyah terus
seluasa berkuasa di Damakus, dan setelah khalifah Ali meninggal, ia dengan mudah memperoleh
pengakuan khalifah dari umat Islam.
Kaum al-Khawiyah yang semula tidak setuju dengan sikap Ali yang mau berdamai
dengan Muawiyah, dan menolak tahkim yang merassa tidak Islam, lebih lanjut menyangkut
persoalan Kalam, mereka memperbincangkan persoalan iman dan kufur. Tema pembicaraan
yang pertama mereka angkat adalah siapa yang tetap dalam iman dan siapa yang telah kafir,
terutama mereka yang telah terlibat dalam tahkim atau arbitase tersebut.
Kaum al-Khawarij menganggap Ali, Muawiyah, Abu Musa, dan Amr al-Ash telah kafir,
keluar dari Islam karena dipandang tidak menetapkan hukum berdasarkan Al-quran, inilah awal
sejarah muncul nya persoalan kalam atau teologi dalam diskusi umat Islam. Demikianlah, kaum
al-Khawarij yang semula lahir ditengah-tengah perkembangan politik mulai berbicara soal
kalam.

Persoalan di atas telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu sebagai berikut:
1. Aliran Khawarij yang menyatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam
arti keluar dari islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat besar tetap mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya.
3. Aliran Mu’tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat diatas.bagi mereka, orang
yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini
mengambil posisi antara kedua posisi mukmin dan kafir.[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, pembicaraan al-Khawarij tentang iman  dan kufur ini
tidak  hanya dihubungkan dengan tindakan menerapkan suatu hukum tidak berdasar Al-quran,
seperti proses tahkim yang ditempuh oleh Ali dan Maawiyah, melainkan dihubungkan dengan
pelaku dosa besar inilah yang kemudian berpengaruh dalam pertumbuhan berbagai aliran kalam.
Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang iman dan kufur, yang dihubungkan dengan
pelaku tahkim dan pelaku dosa besar, berbagai persoalan kalam lain terus bermunculan dan
berkembang sehingga lahir disiplin ilmu yang terkenal ilmu kalam.
Disiplin ilmu ini diberi nama Ilmu Kalam karena antara lain, masalah yang sangat
dibicarakan oleh para mutakallim pada masa-masa pertama adalah masalah Kalam Allah, Al-
quran, atau karena dalam rangka memperkuat pendapat para mutakallin (ahli ilmu kalam) sangat
mengandalkan kelincahan berbicara atau karena para mutakallin tersebut membericarakan apa
yang tidak dibicarakan oleh para salaf atau karena cara pembuktian atas kepercayaan agama
menyerupai logika didalam filsafat. Untuk membedakan dengan logika yang digunakan dalam
filsafat, cara pembuktian para mutakallin itu di namai kalam[5]
Ilmu Kalam ini pula  disebut Ilmu Tuhid, Ilmu Ushuluddin, dan Ilmu Aqaid. Disebut Ilmu
Tauhid karena tujuan pokok dari ilmu ini adalah “meng-Esa-kan Tuhan,” baik dzat, sifat,
maupun perbuatannya. Diberi nama Ilmu Ushuliddin karena objek kajiannya adalah masalah
sendi-sendi atau dasar dari ajaran Islam. Ilmu kalam sama dengan tauhid, tetapi argumentasinya
lebih di konsentrasikan pada penguasahaan logika. Oleh karena itu, sebagian teologi
menganggap bahwa ilmu kalam berbeda dengan tauhid. Adapun Ilmu Aqaid adalah masalah
akidah atau kepercayaan dalam agama Islam.[6]
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
       Adapun kesimpulan dari makalah tentang Sejarah Kemunculan Kalam dan Permasalahannya
ialah sebagai berikut:
1.      Dari pembicaraan kaum al-Khawarij tentang iman dan kufur, sehingga berbagai Kalam
bermunculan dan berkembang hingga Dinasti Bani Abbas, disinilah mulai muncul disiplin Ilmu
ini yang diberi nama Ilmu Kalam.
2.       Persoalan-persoalan kalam dipicu kemunculannya oleh persoalan-persoalan politik tentang
kekhalifahan(pemimpin). Yang dipimpin Oleh Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintah
ketika beliau wafat dan dari sinilah muncul persoalan-persoalan Kalam.

                                                                                       

DAFTAR PUSTAKA

Nasution,Harun. 1972.Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI press


Nurdin,Amin. 2012.Teologi Ilmu Kalam:  Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah
Rozak,Abdul. 2012.Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai