Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

ILMU KALAM
ALIRAN & PAHAM-PAHAM ILMU KALAM
Diajukan Sebagai Tugas Pada Pelajaran Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Supian Hadi, S.Pd.,M.Pd.I


Kelompok :
1. Muhammad Ikhwan Maulana
2. Selly Angelina
3. Tiara Yunita
4. Eka Utami

RUANG ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
KOTA PAGAR ALAM
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas segala


limpahan rahmat dan karunianya sehingga makalah ini tersusun
sampai dengan selesai. Tidak lupa kami berterima kasih kepada pihak-
pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini, secara
pikiran dan maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.

Kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah karena keterbatasan pengalaman dan
pengetahuan kami. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.

Pagar Alam, 17 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................

A. Latar Belakang.................................................................................

B. Rumusan Masalah............................................................................

C. Tujuan...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................

PAHAM DAN ALIRAN DALAM AKIDAH ISLAM.....................


1. Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam...............................................
A. Khawarij........................................................................................
B. Al-Murji’ah...................................................................................
C. Jabariyah.......................................................................................
D. Qadariyah......................................................................................
E. Mu’tazilah......................................................................................
F. Syi’ah..............................................................................................
G. Ahlussunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi)...............................

BAB III PENUTUP......................................................................................

1. Kesimpulan.....................................................................................
2. Saran................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin sudah mulai
menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya
Abu Bakar menjadi khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki
jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh
orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan
dirinya menjadi nabi, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Thulaihah, Sajah dan
Al-Aswad Al-Ansy. Disamping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak
mau membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dulunya mereka semua taat
dan disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu
segera dapat diatasi dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah
Abu Bakar. Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda itu dari ancaman
fitnah dari musuh-musuh Islam yang hendak menghancur leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar Ibnu
Khatab, dan Ustman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan
terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah,
dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga
kaum muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam keseluruh
pelosok penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, asia Timur,
bahkan asia tenggara tiba-tiba diakhiri Khalifah Ustman, terjadi suatu persoalan
yang ditimbulkan oleh tindakan Ustman yang oleh sebagian orang Islam
dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Ustman bin Affan yang dianggap tidak sesuai dengan
kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan dan
pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga
para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) dilapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.
Ustman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat islam. Dan sebenarnya
hal ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga Ustman Bin Affan
adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun inilah bermulanya fitnah yang
membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan
pemerintahan Ustman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya
Sayyidina Ustman bin Affan. Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan
diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara
yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu.
Bahkan ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan tersebut
sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya
membiarkan komplotan pembunuhan terhadap Ustman. Semenjak itulah,
berpangkalnya perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau
golongan, diantaranya sebagai berikut:
1. Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
2. Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah
terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka
berpendidikan, tidak mau mengikuti taat kepada Ali, tidak pula
memusuhinya Ali. Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan
kepada salah satu dari dua golongan tersebut tidak berakibat baik.
3. Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka, yaitu Thalhah
bin Abdullah, Zubair bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini
bersatu, dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk
mengganti khalifah Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki
Basrah. Pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh, perbendaharaan
dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang
dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran
hebat. Thalhah dan Zubair terbunuh. Aisyah tertangkap dan dipulangkan
ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab
Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah
banyak yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara
Mu’awiyah di Syam, yang sama-sama menentang Ali. Terjadinya
peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu
perang terakhir antara Mu’awiyah dan Ali.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab munculnya paham dan aliran dalam akidah Islam?
2. Bagaimana menyikapi perbedaan paham dan aliran dalam akidah
Islam?
3. Apa perbedaan antara paham dan aliran dalam akidah Islam?
4. Siapa saja tokoh didalam paham dan aliran dalam akidah Islam?
C. TUJUAN
1. Memahami dan mempelajari penyebab munculnya paham dan aliran
dalam akidah Islam.
2. Mengetahui cara menyikapi perbedaan paham dan aliran dalam akidah
Islam.
3. Mengetahui perbedaan antara paham dan aliran dalam akidah Islam.
4. Mengetahui tokoh didalam paham dan aliran dalam akidah Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

PAHAM DAN ALIRAN DALAM AKIDAH ISLAM

1. Aliran-aliran dalam Ilmu Kalam


Allah Swt. Berfirman yang artinya, “dan janganlah kamu menaati perintah
orang-orang yang melampaui batas, yang berbuat kerusakan di bumi dan tidak
mengadakan perbaikan.”(Q.S. Asy-Syu’ara/26: 51-52)
Pada masa Rasulullah SAW, umat Islam dapat bersatu karena segala
permasalahan yang muncul dikembalikan kepada beliau. Setelah beliau wafat,
para sahabat mulai berijtihad, namun tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan
Hadits. Salah satu dampak dari ijtihad tersebut adalah perbedaan paham yang
kemudian melahirkan berbagai aliran kalam.
Persoalan-persoalan yang muncul dalam ilmu kalam pada dasarnya dipicu
oleh kepentingan politik. Sejarah menyebutkan bahwa aliran kalam dipicu
persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan,
yang berbuntut pada penolakan Muawiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib. Akibat dari persoalan-persoalan tersebut, lahirlah aliran-aliran ilmu
kalam. Seluruh aliran ilmu kalam yang ada, apabila dicermati, pada dasarnya
dilandasi oleh persoalan-persoalan politik yang terjadi di dalam masyarakat.1

1
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai, 2013),
hlm.137.
Oleh karena tafsiran mengenai hal-hal yang furuq (cabang-cabang) dalam
Islam itu, maka akhirnya timbullah perbedaan pendapat dan keyakinan. Dalam
sejarahnya Firqah menjadi tujuh golongan.
Akibat perselisihan Ali dan Muawiyah maka umat Islam terpecah menjadi
beberapa golongan.
a. Bani Umaiyah, menghendaki supaya Mu’awiyah menjadi khalifah.
Sebenarnya anatara Bani Umaiyah dan Bani Hasyim sejak masa
jahiliyah sudah timbul perebutan pengaruh di tanah Arab.
b. Syi’ah, artinya golongan Ali. Orang-orang yang mutlak menghendaki
Ali jadi Khalifah, karena Ali keluarga Nabi. Golongan ini akhirnya
menimbulkan madzhab besar dalam hukum.
c. Ahlussunnah waljama’ah, orang-orang pengikut Nabi dan terbesar.
Pendapat mereka Ali dan Muawiyah sama-sama tidak salah, keduanya
sahabat Nabi, ini terjadi karena salah paham. Paham inilah yang
terbesar diikuti umat Islam. Penganutnya disebut Sunni. Paham ini
menimbulakan Madzhab Sunnah.
d. Khawarij, golongan ini menyalahkan Ali da Muawiyah. Paham mereka
perang saudara terjadi karena kedua pemimpin Ali dan Muawiyah,
masing-masing ingin pangkat Khalifah. Setelah Ali wafat pada 661 M
penduduk Kuffah, mengangkat anak Ali, Hasan bin Ali menjadi
Khalifah. Mula-mula Hasan bin Ali bermaksud menyerang Muawiyah,
akhirnya diadakan perdamaian pada tahun 622 M atau 41 H, tahun ini
disebut tahun perdamaian atau persatuan (Amu’l jannah).2

A. Khawarij
Khawarij merupakan aliran teologi pertama yang muncul di dunia Islam.
Kemunculannya dilatarbelakangi oleh pertikaian politik antara Muawiyah bin
Abi Sufyan dan Ali bin Abi Tholib. Sebelumnya, kelompok khawarij adalah
pendukung Ali bin Abi Thalib. Karena kekecewaan terhadap keputusan Ali yang

2
Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 168.
menerima tahkim, mereka keluar dari kelompok dan mengafirkan kelompok
yang lain.
1. Pengertian Khawarij
Secara etimologi, kata “khawarij” berasal dari bahasa Arab, yaitu “kharaja”
yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian
etimologi ini, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan
umat Islam.
Adapun yang dimaksud Khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah
suatu sekte atau aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena tidak sepakat terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase
(tahkim) dalam sebuah perundingan, setelah Perang Siffin pada tahun 37 H/648
M dengan kelompok bugot (pemberontak), Muawiyah bin Abi Sufyan.
2. Sejarah Lahirnya Aliran Khawarij
Ketika Rasulullah SAW. akan wafat, beliau tidak menentukan siapa yang
akan menggantikan beliau sebagai pemimpin dan tidak juga menjelaskan
bagaimana cara memilihnya. Oleh karena itu, kaum muslimin menghadapi
persoalan yang sangat berat dan benar-benar akan menentukan sukses atau
tidaknya kehidupan politik mereka di kemudian hari. Setelah Rasulullah SAW
wafat, kaum muslimin merasa perlu untuk segera memikirkan penggantinya. Di
dalam pertemuan di Majlis Bani Sa’idah (Muktamar Saqifah Bani Sa’idah),
segolongan kaum muslimin berpendapat bahwa khalifah yang dipilih harus
berasal dari kaum ansor, sedangkan golongan lain berpendapat khalifah harus
berasal dari kaum ansor, sedangkan golongan lain berpendapat khalifah harus
berasal dari kaum Muhajirin.
Didalam pertemuan majelis Bani Sa’idah, Ali bin Abi Thalib tidak hadir
sebab beliau dan keluarganya sedang sibuk mempersiapkan pemakaman
Rasulullah SAW, Muktamar Saqifah Bani Sa’idah memutuskan Abu bakar
sebagai khalifah yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. keputusan
itu banyak memunculkan perbedaan pendapat. Sahabat yang tidak setuju dengan
keputusan itu memunculkan pendapat ketiga, yaitu khalifah pengganti
Rasulullah SAW harus berasal dari keluarga Nabi Muhammad SAW. menurut
mereka yang pantas adalah Ali bin Abi Thalib. Alasannya dialah orang yang
pertama kali masuk Islam, anak dari paman Nabi SAW, dan suami dari Fatimah,
putri Rasulullah SAW. akan tetapi, pendapat ketiga ini tidak memperoleh
tanggapan dari Ali sendiri sehingga mereka akhirnya mengakui kekhalifahan
Abu Bakar.
Ketika Usman bin Affan menjadi khalifah, pendukung Ali bin Abi Thalib
mulai kurang senang dengan sistem pemerintahannya. Ustman mengangkat
pembantu dalam pemerintahannya berasal dari keluarga Umayyah. Menurut
pandangan mereka, Ustman bin Affan tidak menjalankan pemerintahan bangsa
Arab, tetapi pemerintahan bangsa Umawiyah.
Pada akhir pemerintahan Ustman bin Affan, ada golongan yang bergerak
di bawah tanah, yang menuntut agar Ustman turun dari kekhalifahannya dan
menyerahkan kepemimpinannya kepada yang lain. Di dalam kelompok
pergerakan ini terdapat pendukung Ali bin Abi Thalib. Ketika Ustman wafat
karena terbunuh maka mayoritas umat Islam melantik Ali. Akan tetapi,
pengangkatan Ali mendapat perlawanan dari para sahabat, seperti Talhah,
Zubair, dan Muawiyah. Mereka menuduh Ali ikut terlibat dalam pembunuhan
Usman, atau setidaknya membiarkan Usman terbunuh. Di dalam situasi yang
gawat ini, ada sebagian sahabat yang tidak mau membaiat Ali.
Perlawanan Talhah, Zubair, dan Muawiyyah dilanjutkan dalam Perang
Jamal yang didukung oleh Aisyah, istri Nabi SAW, Talhah dan Zubair terbunuh
dalam Perang Jamal, sedangkan Muawiyyah sulit dipatahkan karena memiliki
tentara yang kuat. Akhirnya, pemerintahan Ali bertemu dengan pasukan
Muawiyyah dalam perang siffin. Ketika pasukan Muawiyyah sudah tersudut,
Muawiyyah merasa kekalahan hampir menimpanya, ia memerintahkan
pasukannya untuk mengangkat Al-Quran dengan tombak sebagai tanda
permintaan damai dengan pedoman Al-Quran. Ali menerima ajakan Muawiyyah
untuk berdamai, inilah yang mengawali munculnya aliran Khawarij.
Khawarij mulai muncul pada abad ke-1 H (abad ke-8 M) pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Khawarij merupakan aliran atau kelompok
pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak
sepakat terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim) dalam Perang
Siffin dengan kelompok bugat (pemberontak). Golongan ini disebut juga dengan
“asy-syurah” (penjual), yaitu golongan yang mudah menjual diri untuk Tuhan
semata.
Pada awalnya, kaum Khawarij memandang Ali dan pasukannya berada di
pihak yang benar karena merupakan khalifah yang sah dan telah di baiat oleh
mayoritas umat Islam. Sementara, Muawiyyah mereka anggap berada di pihak
yang salah karena memberontak khalifah yang sah. Menurut estimasi Khawarij,
pihak Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Muawiyyah sehingga
kemenangan yang hampir diraih hilang.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai
Muawiyyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena
desakan sebagian pengikutnya, terutama ahli qurra, seperti Al-Asy’as bin Qais,
Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I, terpaksa Ali
memerintahkan al-Asytar (komandan pasukan) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai, Ali berencana mengirimkan Abdullah bin
Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang Khawarij
menolaknya. Mereka beralasan Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali
sendiri. Kemudian mereka mengusulkan Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan
dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.
Di dalam sejarah Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan majelis
tahkim pada Perang Siffin, bertempat di Daumatul Jandal, tepi Sungai Eufrat.3
Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari merasa tertipu dan sangat malu serta tidak
mau ke Kufah berjumpa dengan Khalifah Ali, dan pergi ke Mekkah. Segolongan
dari rombongan delegasi Ali mengasingkan diri ke suatu kampung yang
bernama Harura. Sejak itu golongan ini diberi nama Khawarij atau golongan Al-
Harurayah, yang berarti golongan yang keluar dari jamhur Muslimin. Golongan
ini berpendapat, bahwa perpecahan ini disebabkan Ali dan Muawiyyah, masing-
masing menginginkan pangkat khalifah, dari itu kedua pemimpin Islam itu tidak

3
Ibid, hlm. 137-139.
diakui mereka, lantas memisahkan diri ke kampung Harura, jumlah mereka ada
kira-kira 12.000 orang.
Golongan ini makin lama makin jauh dari jamhur umat Islam dan
terpengaruh anasir-anasir yang sengaja menangguk di air keruh, misalnya anasir-
anasir Yahudi, daerah-daerah yang takluk kepada Islam mempengaruhi hal ini.
Kemudian golongan ini memutuskan:
a. Membenci khalifah Usman bin Affan dan Khalifah Ali bin Abi
Thalib r.a.;
b. Membenci bahkan mengkufurkan, juga menegeluarkan dari
golongan umat Islam semua sahabat yang turut dalam perang siffin;
c. Tidak menuruti madzhab Imam-Imam yang besar;
d. Meninggalkan Ijma’ golongan Muslimin yang lain.
Golongan Khawarij ini terpecah menjadi 12 Golongan, ada yang mengatakan
sampai 20 golongan. Yang 12 golongan itu ialah:
1. Golongan Al Azraqiyah;
2. Golongan Al Abdhiyah;
3. Golongan Al Tsa’labiyah;
4. Golongan Al Hazimiyah;
5. Golongan Al Khalafiah;
6. Golongan Al Mukramiyah;
7. Golongan Al Kauziyah;
8. Golongan Al Syamrahiyah;
9. Golongan Al Akhmasiyah;
10. Golongan Al Mahkamiyah;
11. Golongan Al Mu’tazilah minal Haruriyah;
12. Golongan Al Maimuniyah.4

Kaum Khawarij berpendapat bahwa pembuat dosa besar sudah bukan orang
Islam lagi, tetapi telah menjadi kafir dan murtad, dan karena itu harus dibunuh.
Lambat laun bukan hanya pembuat dosa besar saja, tetapi juga pembuat dosa

4
Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 172-173.
kecil mereka anggap telah menjadi kafir dan darahnya halal. Akhirnya yang
mereka anggapa Islam hanya kaum Khawarij saja. Umat Islam lainnya yang
tidak sepaham dan tidak sealiran dengan mereka adalah kafir dan boleh, bahkan
wajib, dibunuh. Pemerintah yang sah, yaitu pemerintah Bani Umayyah dan Bani
Abbas mereka anggap pemerintahan kafir dan wajib ditentang dan dijatuhkan.
Oleh karena itu, mereka memilih imam sendiri dan membentuk pemerintahan
kaum Khawarij. Untuk mencapai tujuannya, mereka tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tidak
mengherankan kalau mereka dimusuhi dan diperangi umat Islam lainnya,
sehingga mereka akhirnya hilang dan hanya tinggal dalam buku-buku sejarah,
kecuali golongan ibadiah yang moderat pahamnya.
Ciri-ciri kaum Khawarij adalah:
1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka,
walaupun orang tersebut adalah penganut agama Islam.
2. Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan.
Islam sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan Islam
lain tidak benar.
3. Orang-orang Islam yang tersesat dan telah menjadi kafir itu perlu
dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang
mereka pahami dan amalkan.
4. Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sepaham dengan mereka
adalah dalam sesat, maka mereka memilih imam dari golongan
mereka sendiri. Imam dalam arti pemuka agama dan pemuka
pemerintahan.
5. Mereka bersikap fanatic dalam paham dan tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan pembunuhan untuk mencapai tujuan
mereka.5

5
Harun Nasution, “Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran”, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 124-
125.
Tokoh-tokoh Khawarij, antara lain: Nafi’ bin Azraq al-Hanafi, Abdullah bin
Ibad at-Tamimi, Abdullah bin Shaffar as-Sa’id, Abu Thalut al-Bakri, Abu
Fudaik Abdullah bin Tsaur al-Qaisi, dan Athiyah bin al-Aswad al-Yanuri.
Mereka selalu memerangi pemimpin yang mereka anggap berbuat maksiat.
Sesudah khalifah Ali bin Abi Thalib wafat, golongan Khawarij di bagi menjadi
dua, sebagian pergi ke Basrah dan sebagian yang lain pergi ke Yamamah.
Golongan Khawarij yang berada di Basrah dipimpin oleh Nafi’ bin al-Azraq
al-Hanafi. Golongan ini terhitung golongan yang paling banyak memiliki
pengikut.
Diantara doktrin-doktrin pokok Khawarij adalah sebagai berikut.
a. Doktrin Politik
1) Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat
Islam.
2) Khalifah tidak harus dari keturunan Arab.
3) Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan
bersikap adil dan menjalankan syariat Islam.
4) Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib adalah sah, tetapi setelah
tahun ketujuh dari kekhalifahannya, Usman bin Affan telah
dianggap menyimpang.
5) Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sah, tetapi setelah terjadi
arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyimpang.
6) Muawiyyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa al-Asy’ari
dianggap menyimpang dan telah kafir.
7) Pasukan Perang Jamal yang menyerang Ali bin Abi Thalib adalah
kafir.
b. Doktrin Teologi
1) Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga
harus dibunuh.
2) Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan
mereka.
3) Seseorang harus menghindari pemimpin yang menyimpang.
4) Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik masuk surge,
sedangkan orang yang jahat masuk neraka).
5) Menerima Al-Qur’an sebagai salah satu sumber di antara sumber-
sumber hukum Islam lainnya.
c. Doktrin Sosial
1) Amar makruf nahi munkar.
2) Memalingkan ayat-ayat Al-Quran yang mutasyabihat.
3) Al-Qur’an adalah makhluk.
4) Menerima Al-Qur’an sebagai salah satu sumber di antara sumber-
sumber hukum Islam lainnya.6

B. Murji’ah
Murji’ah berasal dari kalimat Irja’ artinya menangguhkan atau
mengembalikan. Pelopornya ialah Hasan bin Bilal al-Muzny, Dhirar bin Umar
Tsaban dan lain-lain.7 Kata “murji’ah” berasal dari bahasa Arab “arja’a” yang
artinya menunda atau mengembalikan.8
Sebagian sahabat tidak turut dalam pertentangan antara khalifah Ali dan
Mu’awiyah. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari semua pergolakan politik
waktu itu. Diantara mereka itu ialah:
1. Abdullah bin Umar;
2. Abi Bakrah;
3. Sa’ad bin Abi Waqash;
4. Muhammad bin Shalah;
5. Imran bin Hushein;
6. Usman bin Zaid;
7. Abdullah bin Salam;

6
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai, 2013), hlm.
139-140.
7
Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 177.
8
Ibid, hlm. 142.
8. Hasan bin Tshabit dan lain-lain.

Di samping itu ada segolongan umat Islam yang membenci soal-soal politik
pemerintahan lalu membentuk suatu madzhab dalam ilmu fiqh dan ushuluddin,
membicarakan tauhid, keimanan dan lain-lain. Akhirnya ada yang menjadi
golongan Shufiyah.
Semua soal politik dan pemerintahan harus dikembalikan kepada Allah
SWT, dan putusannya tunggu saja nanti di Hadhratullah.9
Maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang
bersalah. Menurut mereka, biarlah Allah saja nanti di akhirat yang memutuskan
siapa yang bersalah diantara mereka yang tengah berselisih ini.10
Setelah Khalifah Ustman bin Affan terbunuh, umat Islam terpecah dalam dua
kelompok besar, yaitu kelompok Ali bin Abi Thalib dan kelompok Mu’awiyyah
bin Abi Sofyan. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua, yaitu kelompok yang
setia kepada Ali (Syiah) dan kelompok yang meninggalkan Ali bin Abi Thalib
(khawarij).
Aliran ini muncul di Damaskus pada akhir abad pertama Hijriah. Golongan
ini di sebut Murjiah Karena kalimat itu berarti menunda atau mengembalikan.
Murjiah adalah kelompok atau aliran yang tetap berada dalam barisan Ali bin
Abi Thalib. Ada beberapa pendapat teologi yang berkembang mengenai
kemunculan Murjiah ini, antara lain, gagasan irja’ atau arja’a dikembangkan
oleh sebagian sahabat sebagai, penjamin persatuan dan kesatuan umat Islam
ketika terjadi perselisihan politik dan bertujuan untuk menghindari
sektarianisme. Gagasan irja’ yang merupakan doktrin murji’ah muncul pertama
kali sebagai gerakan politik diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, yaitu al-
Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah.
Sekte murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat
dalam upaya “kafir mengkafirkan” terhadap orang yang melakukan dosa besar,
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Khawarij. Sekte ini menangguhkan

9
Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 178.
10
M. Khamzah, “Akidah & Akhlak”, Madrasah Aliyah, kelas II, (Sragen: Akik Pusaka), hlm. 19.
penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim di hadapan
Tuhan karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang.
Demikian pula dengan orang mukmin. Sekte ini beranggapan bahwa berbuat
atau melakukan dosa, tidak berbahaya apabila disertai iman, seperti halnya
mengerjakan shalat tidak berguna apabila disertai dengan kekafiran.
Di dalam perkemabangannya, aliran ini ternyata tidak dapat melepaskan diri
dari persoalan teologi yang muncul pada waktu itu. Ketika terjadi perdebatan
mengenai hukum orang yang berdosa besar, kaum Murji’ah berpendapat bahwa
orang yang melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir selama ia
mengakui Allah SWT, sebagai Tuhannya dan Nabi Muhammad SAW, sebagai
rasul-Nya.

Tokoh Murji’ah

Orang yang pertama kali memperkenalkan sekte Murji’ah adalah Gailan ad-
Dimasyqi. Dia adalah pendudukan ysng berasal dari kota Damaskus. Ayahnya
pernah bekerja pada Khalifah Ustman bin Affan. Dia datang pada masa
pemerintahan Khalifah Hasyim bin Abdul Malik (105-125 H).

Doktrin Aliran Murji’ah

Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin
irja’ atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan
politik maupun teologi. Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W.
Montgomery Watt merincinya sebagai berikut.
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya kelak di akhirat.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dari peringkat
Khulafaur Rasyidin.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Abul A’la al-
Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murjiah, yaitu:
1) Iman adalah percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Sedangkan
perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman;
2) Dasar keselamatan adalah iman semata.

Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa orang mukmin yang


melakukan maksiat, imannya masih tetap sempurna.

Berdasarkan hal ini, maka inti dari paham Murji’ah adalah iman bagi
mereka berarti mengenal Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang mengenal
bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul-
Nya”, ia tetap mukmin meskipun melakukan dosa besar.

Amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman sebab keberadaan


iman hanya di dalam hati. Meskipun seseorang melakukan dosa besar, tidak akan
terhapus imannya. Semua terserah Allah untuk menentukan hukumannya.

Sekte-Sekte Murjiah

Kaum Murji’ah terbagi ke dalam dua golongan besar, yaitu golongan


moderat dan golongan ekstrem.

Golongan murji’ah moderat berpendapat bahwa “orang yang berdosa tidak


kafir dan tidak kekal di neraka, tapi mereka dihukum sesuai dengan besar kecilnya
dosa yang dilakukannya”. Adapun Murji’ah ekstrem, yaitu pengikut Jahm bin
Sufyan, berpendapat bahwa “orang Islam yang percaya kepada Tuhan, kemudian
menyatakan kekufuran secara lisan, tidak menjadi kafir karena iman dan kufur
tempatnya di dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan
agama Nasrani atau Yahudi sampai ia mati, tidak disebut kafir. Orang yang
demikian menurut pandangan Allah tetap seorang mukmin yang sempurna
imannya.11

C. Jabariyah

11
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai, 2013),
hlm. 142-144.
Nama Jabariyah berasal dari kata “jabara” yang berarti memaksa.
Menurut asy-Syahrastani, jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dari
hamba secara hakikat dan menyandarkan kepada Allah Swt, di dalam kamus
al-munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata “jabara” yang
berarti memaksa dan mengharuskan sesuatu.12

Golongan ini dipelopori oleh Jahm bin Sufyan berasal dari Khurasan,
Iran, pada paruh pertama abad ke-2 H/ke-8 M. nama lengkapnya Abu Mahrus
Jahm bin Sufyan. Oleh karena itu, sekte ini disebut juga jahmiyah. Beliau
bertempat tinggal di Kufah.

Mulanya Jahm bin Sufyan , seorang yang rajin bertabligh mengajak


manusia beribadah kepada Allah Swt. Mula-mula cara bertablighnya tidak
berbeda dengan Ahlussunnah, tetapi lama-lama makin keliru. Ia ber I’tikad
bahwa manusia itu sama sekali tidak berdaya upaya, sama sekali tidak
mempunyai ikhtisar dan tidak pula mempunyai kasab. Setiap amal perbuatan
manusia manusia itu adalah majbur (terpaksa) di luar kehendaknya, laksana
sehelai bulu ayam dapat ditiup angina kesana kemari, atau sepotong kayu yang
diombang-ambingkan gelombang di tengah lautan. Jelasnya setiap perbuatan
dan semua gerak-geriknya digerakkan oleh Allah Swt. Berbuat baik (ma’ruf)
atau jahat (munkar), misalnya tidak shalat, tidak puasa, semuanya itu tidak
dikenakan sanksi, karena itu dijadikan dan ditakdirkan dari Allah Swt.

Golongan ini dalam ilmu ushul bersamaan dengan golongan Mu’tazilah


misalnya sifat Allah Swt, itu tidak ada, kitab suci Al-Qur’an adalah makhluk,
surga dan neraka tidak kekal dan lain-lain. Jadi golongan Jabariyah ini adalah
kebalikan dari golongan Qadariyah.

Dalam pertempuran dengan tentara Khalifah dari bani Umaiyah, yang


dipimpin oleh Salim al Mazing di Marwa, Jahm bin Sufyan mati terbunuh.13

12
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai, 2013),
hlm. 152.
13
Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 175.
Pemikiran-pemikiran sekte Jabariyah ini kemudian disebarkan lagi oleh
Ja’ad bin Dirham. Beliau adalah seorang maulana Bani Hakim yang tinggal di
Damaskus, dibesarkan dalam lingkungan orang Nasrani yang senang
membicarakan teologi. Setelah pemikirannya yang kontroversial, Ja’ad
dilarang mengajar di lingkungan Bani Umayyah.

Tokoh lainnya adalah al-Husain bin Muhammad an-Najjar.


Pengikutnya disebut an-Najjariyah atau al-Husainiyah. Ada juga tokoh yang
lain, yaitu ad-Dirar. Nama lengkapnya, ad-Dirar bin Amr.

Doktrin-doktrin Jabariyah, menurut Asy-Syahrastani, sekte Jabariyah dapat


dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat.
a. Ekstrem
Jabariyah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan
merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, melainkan
perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri,
perbuatan curi itu terjadi bukan karena kehendak sendiri, tetapi karena qada dan
qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Jabariyah ekstrem mengikuti Jahm
bin Sufyan dan Ja’ad bin Dirham.
1) Pendapat Jahm bin Sufyan
a) Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak memiliki daya, tidak
memiliki kehendak sendiri, dan tidak memiliki pilihan.
b) Surge dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
c) Iman adalah makrifat atau membenarkan dengan hati. Dalam hal ini,
konsepnya sama dengan konsep iman yang dimiliki kaum Murji’ah.
d) Kalam tuhan adalah makhluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan
kemiripan dengan manusia, seperti bicara, mendengar, dan melihat.
Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata manusia kelak di akhirat.
2) Pendapat Ja’ad bin Dirham
a) Al-qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru (hadis). Sesuatu
yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b) Allah tidak memiliki sifat sama dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat, dan mendengar.
c) Manusia dipaksa Allah dalam segala-galanya.

b. Moderat
Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan
perbuatan manusia. Akan tetapi, manusia mempunyai bagian di dalamnya.
Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah an-Najjar dan ad-
Dirar.
1) Pendapat an-Najjar
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut
kasab. Manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan).
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, an-Najjar
menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati
(makrifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2) Pendapat ad-Dirar
a) Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan,
artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi
juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
oleh Tuhan.
b) Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak melalui indra keenam.
c) Hujjah yang dapat diterima setelah Nabi SAW, adalah ijtihad.
d) Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.14

D. Qodariyah

14
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai, 2013),
hlm. 153-154.
Golongan ini dipelopori oleh Ma’bad al Juhaini, Khilan di misqy dan al
Jadu bin Dirham. Pelopor Qadariyah ini hidup di zaman kerajaan Umaiyah yang
akhirnya mati terbunuh. Golongan ini berpendapat bahwa segala usaha dan gerak
manusia adalah usaha dan geraknya sendiri bukan dari Allah swt tidak memberi
kodrat atau tidak ikut campur dengan semua gerak manusia. Firqoh ini terpecah
menjadi 12 golongan yaitu:

1. Golongan al Ahmariyah
2. Golongan ats Tsanawiyah
3. Golongan al Mu'tazilah
4. Golongan al Kisaaniyah
5. Golongan asy Syaithoniyah
6. Golongan asy Syarikiyah
7. Golongan al Wahmiyah
8. Golongan ar Ramandiyah
9. Golongan al Batriyah
10. Golongan an Naakisiya
11. Golongan al Qositiyah
12. Golongan an Nidzomiyah

Di antara golongan itu, yang masyhur ialah al Mu’tazilah. 15Menurut paham


qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act. 16

Sedangkan menurut terminologi, qodariah adalah aliran yang percaya bahwa


segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian

15
Ibrahim lubis, Agama Islam suatu pengantar, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1984) hlm. 175.
16
Harun nasution, Teologi Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 2013) hlm. 33.
tersebut, dapat dipahami bahwa qadariah digunakan untuk nama aliran yang
memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution turut menegaskan bahwa
kaum qodariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendakannya, dan bukan berasal dari pengertian
bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan qodariah
diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala
tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah
melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan
berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum Sunni pada umumnya.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin
(1886-1954 M), memberikan informasi lain bahwa yang pertama kali
memunculkan paham qadariah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen
kemudian masuk Islam dan kembali keagama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad
dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana yang
dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai
adalah Susan.

Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui


tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jermanyang dipublikasikan melalui majalah
Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan paham qodariah yang terdapat
dalam kitab Risalah dan tulis Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar
Tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang yang berstatus
tahanan di Irak; lahir di Madinah, tetapi pada tahun 657 pergi ke Basrah dan
tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri orang qadariah atau
bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi, yang jelas-berdasarkan
catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini-ia percaya bahwa manusia dapat
memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas
memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.
Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut
qadariah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Apabila dihubungkan dengan
keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal, seperti dikutip Ahamd amin yan
menyatakan bahwa Ma’bad al-Jauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Basri.
Jadi, sangat mungkin paham qadariah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-
Basri dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam syariah
Al-Uyun yang mengatakan bahwa qadariah berasal dari orang Irak Kristen yang
masuk Islam kemudian kembali ke Kristen, ada kemungkinan direkayasa oleh
orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik
dengan pikiran qadariah. 17

E. Mu'tazilah

Kata Mu’tazilah berasal dari kata T’tiqat artinya menyendiri


(menyisihkan) maksudnya ialah satu aliran mazhab yang menyingkir dari
golongan Ahlusunnah Waljama’ah. Golongan ini pengikut Washil bin Atha‘ ialah
satu golongan yang mengutamakan akal dan pikiran. Perbedaan yang besar antara
ahli Sunnah dengan Mu‘tazilah dalam soal Ketuhanan. Ialah Ahli sunnah
mendahulukan Naqly (ayat-ayat Quran dan Hadis) dari pada aqly (kekuatan akal).
Mu'tazilah sebaliknya dari Ahli Sunnah, yaitu lebih mementingkan dalil-dalil
yang aqly dari pada dalil-dalil yang naqly. Golongan ini terpengaruh oleh filsafat-
filsafat Yunani yang berdasarkan ratio semata-mata.18

Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan


teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan
yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan mereka, banyak
memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.”
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada

17
Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012) hlm. 87-89.
18
Ibrahim lubis, Agama Islam suatu pengantar, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1984) hlm. 164.
mereka. Uraian yang biasa disebut buku-buku ‘Ilm al-Kalam berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta temannya ‘Amr Ibn’ Ubaiddan
Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran yang
diberikan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang
bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana
diketahui kaum Khawarij memandang mereka kafir sedang kaum Murji’ah
memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir, Wasil
mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “ Saya berpendapat
bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi
mengambil posisi diantara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian ia
berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ketempat lain di Masjid,
disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri
mengatakan: “Wasil menjauhkan diri dari kita (I’tazala’ anna).” Dengan demikian
ia serta teman-temannya, kata al-Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.

Menurut al-Baghdadi, Wasil dan teman-temannya ‘Amr Ibn’ Ubaid Ibn


Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara
mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam
tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak
mukmin dan pula tidak kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang
pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini.

Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dengan


Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua
posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatic terhadap golongan orang-orang yang
tidak mau turut campur dalam pertikain-pertikain politik yang terjadi di zaman
Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abu Thalib. Mereka menjauhkan diri dari
golongan-golongan yang saling pertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini
memang di jumpai di dalam buku-buku sejarah Al-Tabari umpamanya menyebut
bahwa sewaktu Qois Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur Ali Ibn Abu
Thalib ia menjumpai pertikaian disana. Satu golongan turut padanya dan satu
golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalad ila Kharbita).19

F. Syiah

Aliran syiah adalah suatu aliran daam islam yang meyakini bahwa Ali bin
Abi Tholib danketrurunanya adalah imam-imam para pemimpin agama dan umat
setelah nabi muhammad saw. Masalah khilafah adalah permulaan permasalahn
yang diperselisihkan umat islam, yang menimbulkan perpecahan, dan melahirkan
kelompok-kelompok atau sekte-sekte dalm masyarakat islam. Begitu pulan
dengan kelahiran sekte syiah. 20

1. Pengertian dan Latar Belakang

Secara bahasa kata ”syiah”berarti pengikut, kelompok, pendukung, partai,


atau golongan. Adapun secara terminologi adalah sebagian kaum muslimin yang
dalam bidang spiritual dan keagamaanya selalu merujuk pada keturunan Nabi
Muhammad saw, atau yang dikenal dengan ahlul bait. Kata syiah dipakai untuk
satu orang, dua orang, atau banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa syiah adalah kaum yang mengangkat Ali dan
keluarganya menjadi khalifah karena merekalah yang berhak menjadi pengganti
rasullah.

Menurut Ath-Thabathaba’i (1903-1981 M), Istilah “syiah” untuk pertama


kalinya ditujukan pada para pengikut Ali (syiah Ali), pemimpin pertama ahl al-
bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengkit Ali yang disebut Syi’ah di
antaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin AL-Aswad, dan Ammar bin
Yasir.21

Megenai kemunculan syiah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat di


kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, syi’ah mulai muncul ke permukaan
sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya aliran ini
tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. 22 Watt
mengataan bahwa syi’ah muncul ketika berlangusng peperangan antara Ali dan
Muawiyah yang dikenal dengan perang siffin. Dalam peperangan ini sebagai
19
Harun nasution, Teologi Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 2013) hlm. 40-41.

20
Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, Paham Ilmu Kalam, (Solo:Tiga Serangkai, 2013), hlm.
144.
21
Thabathaba’i, Islam Syi’ah ,Asal-Usul Perkembanganya, (Jakarta:Grafiti Press, 1989), hlm. 37.
22
Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj. Abd. Rahman Dahlan
dan Ahmad Qarib, (Jakarta:Logos, 1996), hlm. 34.
respon atas ppenerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Mua’wiyah,
pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung
sikapAli disebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.

Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan syi’ah berpendapat bahwa


kemunculan syi’ah berkaitan dengan masalah penganti (khilafah) Nabi
Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab,
dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib
yang berhak menggantikan nabi. Ketokohan Ali dalam pandangan syi’ahh sejalan
dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW pada masa
hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi
Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama-tama
memenuhi ajakanya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang
kenabian Muhammad Ali merupakan orang yang menunjukan perjuangan dan
pengabdian yang luar biasa besar.23

Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus nabi adalah peristiwa
Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam
perjakanan dari mekah ke madinah, di padang pasir yang bernama Ghadir
Khumm, nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapa massa yang penuh
sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagi
pemimpin umum umat (walyat-i ammali) tetapi juga menjadikan Ali sebagai nabi,
sebagai pelindung (wali) mereka.

Berlawana dengan harapan mereka ketika nabi wafat dan jasadnya masih
terbaring belum dikuburkan, anggota kekuarganya dan beberapa orang sahabat
sibuk dengan persiapan penguburan dan upacara pemakamanya. Teman-teman
dan pengiku-pengikut Ali mendengar kabar adanya kegiatan elompok lain telah
pergi ke masjid tempat umat berkumpul mengahadapi hilangnya pemimpin yng
tiba-tiba.

Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum Syi’ah kemudian


muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan
dan menolak kaum mayoritas dalam masalah keprcayaan-kepercayaan tertentu.
Merka tetap berpendapat bahwa pengganti nabi dan penguasa keagamaan yangs
ah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan
keagamaan harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat untuk
mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagaia syi’ah. Akan tetapi lebih
dari itu seperti dikataka nasr sebab utama munculnya syi’ah terletak pada

23
Harun Nasution, (Ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 1992), hlm. 904.
kenytaan bahwa kemungkinan ini ada dalam wahyu islam sehingga harus
diwujudkan.

Syi’ah mendapat gamabaran pengikut yang besar, terutama pada masa


Dinasti Amawiyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan
kasr dan kejam dinasti ini terhadap ahl al-bait. Di antara bentuk kekerasan itu
adalah yang dilakukan penguasa bani Umayah. Yazid bin Muawiyah, mislnya
pernah memerintahkan pasukanya yang dipimpin oleh Ibn Ziyad untuk
memenggal kepala Husein bin Ali di Kerbala.

A. Syi’ah Itsna’ Asyariah (Syi’ah dua belas/Syi’sh Imamah)

1. Asal-Usul Penyebutan Imamah dan Syi’ah Itsna Asyariah

Dinamakan syi’ah imamah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah


persoalan iman dalam arti pemimpin religio-politik.24 Yaitu bahwa Ali berhak
menjadi khalifah bukan hanya kecakapannya atau kemuliaa akhlaknya, tetapi ia
telah ditunjukkan dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW. Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini megandung pesan
penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongn ini terbentuk setelah lahirnya
semua imam yang berjumlah dua belas. Kira-kira pada tahun 260H/878M. 25
Imam kedua belas Muhammad Al-Mahdi dinyatakan Gaibah oleh para pengikut
sekte ini. Muhammad Al- Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah
ayahnya di Samarra dan setelah itu tidak kembali. Kembalinya Imam Al- Mahdi
ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte syi’ah Itsna Asyariah dan ciri khas
kehadiranya adalah sebagi ratu adil yang akan turun pada akhir zaman. Oleh
karena itu Muhammad Al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi Al-Muntazhar
( yang ditunggu).

2. Doktrin-doktrin Syiah Itsna Asyariah

a. Tauhid (Tuhan adalah esa, baik esensi maupun eksistensinya. Keesaan Tuhan
adalah mutlak. Tuhan adalah Qadim).

b. Keadilan (Tuhan menciptakah kebaikan di alam semsta merupakan keadilan. Ia


tidak pernah menghiasi ciptaanya dengan ketidakadilan).

c. Nubuwwah (Setiap makhluk di smaping telah diberi insting, secara alami juga
masih membutuhkan petunjuk baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia).

d. Ma’ad (Hari akhir kiamat untuk menghadap pengadilan tuhan di akhirat kelak).

24
Rasyidi, Apa itu Syi’ah, (Jakarta:Pelita, 1984), hlm. 11.
25
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung;Pustaka Setia, 2012), hlm. 116.
e. Imamah (Institusi yang diinagurasikan tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang diilih dari keturunana nabi Ibrahim fan didelegasikan kepadda
keturunan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir).

B. S’yi’ah Sab’iah (S’yiah Tujuh)

1. Asal-usul penyebutan S’yi’ah Sab’iah

Istilah S’yi’ah Sab’iah (S’yiah Tujuh) dianalogikan dengan syi’ah Itsna


Asyariah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte syi’ah yang ini hanya
meengakui tujuh imam. Berbeda dengan syi’ah Sab’iyah, syi’ah Itsna Asyariyah
membatalkan Ismail bin Jafar sebagai imam ketujuh karena disamping Ismail
berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia wafat.

2. Doktrin-doktrin dalam pandangan Syi’ah Sab’iyah

Para pengikut syi’ah Sab’iyah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh
pilar yaitu: Iman, taharah, shalat, zakat, saum, menunaikan haji, dan jihat. Dalam
pandangan kelompok syi’ah sab’iyah keimanan hanya bisa diterima apabila sesuai
dengan keyakinan mereka. Imam adalah sesorang yang menuntun pada
pengetahuan (ma’rifat) dan dengan pengetahuan tersebut seorang muslim akan
menjadi seorang mukmin yang sebenar-benarnya.

Syi’ah sab’iyah berendapat bahwa seorang mam harus mempunyai


pengetahuan (ilmu) dan pengetahuan walayah. Doktrin tentang imam menempati
posisi sentral dalam syi’ah syab’iyah. Kepatuhan dan pengabdian kepada imam
dipandnag sebagai prinsip dalam menerima ajaran suci imam.

C. Syi’ah Zaidah

1. Asal-usul penamaan Syi’ah Zaidah

Sekte ini menegakui Zid bin Ali sebagai Imam V, Putra Imam IV, Ali
Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte syi’ah lain yang mengakui Muhammad
Al-Baqir, anak Zainal Abidin yang lain, sebagai imam V. Dari nam Zaid bin Ali
inilah nama Zaidiah diambil. Syiah Zidiah merupakan sekte syi’ah yang
moderat.26 Bahkan Abu Zahrah menyatalan bahwa syi’ah Zaidah merupakan sekte
yang paling dekat denagn sunni.

2. Doktrin-doktrin menurut Syi’ah Zaidah

26
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.
45.
Imamah sebagaimana telah disebutkan merupaka doktrin fundamental
dalam syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin iamamh yang dikembangkan
syi’ah lain, syi’ah Zaidah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum
zaidah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang iamam yang
mewarisi kepemimpinanya nabi muhammad saw. Selanjutnya menurut syi’ah
zaidah seorang imam harus memiliki ciri-ciri yaitu: keturuan ahl al-bait,
kemampuan mengankat senjata , kecenderungan intelektualisme yang dibuktikan
dengan ide dan karya, dan menolak kemaksumam imam.

Dalam doktrin seperti ini tidak hern jika syi’ah zaidah sering megalami
krisi dalam keimanan. Hal ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap
keturunan ahl al-bait untuk memproklamasikan dirinya sebagai imam. Dalam
sejarahnya krisis dalam syi’ah zaidah disebabkn oleh 2 hal yaitu: terdapat
beberapa pemimpin yang memperoklamasikan diri sebagai iamam dan yang kedua
tidk seorang pun yang memproklmasikan diri atau pantas diangkat sebagai imam.
Dalam menghadapi krisis ini Zaidah telah mengembangkan mekanisme
pemecahanya, diantaranya dengan membagi tugad imam pada dua individu, yaitu
dalam bidang politik dan dalam bidang ilmu serta keagamaan.

D. Syi’ah Ghulat

1. Asal-usul penamaan syi’ah ghulat

Istilah ghulat berasal dar kata ghala –yaghlu-ghuluw artinya bertambah


dan naik. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi estem sehingga
melampaui batas. Syi’ah ghulat berartika kelompok pendukung Ali yang memiliki
sikap berlebihan atau ekstrem. Gelar ekstrem yang diberikan kepada kelompok ini
berkaitan dengan pendapatnya yang janggal yaitu ada beberapa orang yang
diangap rasul setelah nabi Saw. Mengenai sekte-sekte syi’ah ghulat para
mutakalimin berbeda dalam menetapkan jumlahnya. Syahrastani membagi sekte
ghulat menjadi 11 sekte.

2. Doktrin-doktrin Syi’ah Gulat

Menurut Syahrastani ada 4 doktrin yang mmebuat mereka ektrem yaitu


tanasukh, bada, raj’ah, dan tasbih. Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu
jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini diambil dari falsafah
hindu. Penganut agama hindu berkeyainan bahwa roh disiksa dengan cara
berpindah ke tubu hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara
berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi. Bada’ yaitu
keyakinan bahwa allah mengubah kehendaknya sejalan dengan perubahan
ilmunya, serta dapat memrintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya.

Raj’ah ada hubunganya dengan mahdiyah. Syiah Ghulat mempercayai


bahwa imam mahdi al-muntazhar akan datang ke bumi. Paham raj’ah dan
mahdiyah merupakan ajaran seluruh syi’ah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat
tentang siapa yang akan kembali. Tasbih artinya menyerupakan,
mempersamakan. Syi’ah Ghulat merupakan salahs seorang imam mereka dengan
tuhan atau menyerupakan tuhan dengan makhluk.

G. Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Al-Asyari dan Al-Maturidi)

Kelompok ini disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena pandapat mereka
berpijak pada pendapat-pendapat para sahabat yang mereka terima dari
Rasulullah.
Kelompok ini disebut juga kelompok ahli hadits dan ahli fiqih karena merekalah
pendukung-pendukung dari aliran ini. Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai
dikenal pada saat pemerintahan bani Abbasy dimana kelompok Mu'tazilah
berkembang pesat, sehingga nama Ahlus Sunnah dirasa harus dipakai untuk setiap
manusia yang berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Dan nama Mu'tazilah
dipakai untuk siapa yang berpegang pada ilmu kalam.
Ibnu Hajar al-Haitamiy menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah
wal Jama'ah adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh
Imam Asy'ariy dan Imam Maturidi.
Term Ahli sunnah dan jama’ah ini kelihatanya timbul sebagai reaksi
terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah yang telah dijelaskan sebelumnya
dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan ajaran-ajaran itu. Mulai dari wasil,
usaha-usaha telah dijalankan untuk menyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping
usaha-usaha yang dijalankan dalam menentang serangan musuh-musuh islam.
Bertentangan dengan paham qodariah yang dianu kaum Mu’tazilah dan yang
menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berfikir, kemauan, dan
perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha
menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa
Al-Qur’an tidak bersifat qodim, tetapi diciptakan. Paham adanya yang qadim di
samping tuhan bagi kaum Mu;tazilah seperti dijelaskan sebelumnya, berarti
menduakan tuhan. Menduakan Tuhan ialah syirik dan syirik adalah dosa yang
besar dan tak dapat diampuni oleh Tuhan. 27

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari(260-


324H) Pada Tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasa al-Asy’ari sendiri pada awalnya
adalah seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda
keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’tazilah, terutama karena
keberanian mu’tazilahdalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk
mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaanya berbeda dengan
lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-
sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya. 28

Karena keraguan itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang


menyatakan keuar dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri,
dengan memperbanyak penggunaan al-sunnah dan membatasi penggunaan logika
filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi pengunaan logika
filsafat dam memperbanyak penggunaan al-sunnah, maka pemikiran-pemikiran
kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan pemperoleh pengikut
serta pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini
disebut dengan ahlus sunah wal jama’ah artiinya aliran kalam yang banyak
menggunakan al-sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran kalamnya, dan
pemperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah) dari kalangan masyarakat,
khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional
yang diperkenlkan aliran mu’tazilah dan aliran juga sering disebut asy’ariyah
karena dinisbatkan pada tokohmya.

Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis.


Seperti tentang sifat. Dia katakan tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-
sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan
terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentan “ilmu” kalau ilmu
(pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, mak tuhan itu adalah
ilmu atau pengetahuan. Padahal tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu
atau pengetahuan itu sendiri.

Demikian pula dengan Al-qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena
Al-quran itu kalam allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau allah
qadim, maka kalamnya pun qadim. Disamping itu keyakinan bahwa Al-quran itu
makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancan logika berpikir, karena allah
menciptakan makhluknya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau kata “kun”
27
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perabandingan,
(Jakarta:Universitas Indonesia(UI-Press), 1986), hlm 62.
28
M. Khamzah, Akidah dan Akhlak, (Sragen: Akik Pusaka), hlm. 25.
sendiri sudah makhluk maka perlu “kun” yang yang lain untuk menciptakanya,
dan begitulah seterusnya tanpaada akhir, sehingga terjadi lingkaran logika yang
tidak berujung.

Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan mu’tazilah, dia bahwa


pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata
Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan allah, Abu Hasan
menafsirkanya dengan tangan allah. Hanya saja da tidak bisa mengidentifikasikan
bentuk tangannya itu, sehingga dia mengatakan bahwa allah itu bertangan namun
tanganya itu tidak bisa diidentifikasikan (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat-
ayat mutajasimah lainya.

Sebagimana telah dikemukakan diatas, aliran teologi ini, mulai


berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan
Abbasiyah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, walaupun sebagian kalangan
intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah dan
memasuki aliran kalam rasional.

Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat


disimpulkan dsb:

a. Sifat Tuhan

Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat tuhan terletak ditengah-tengah antara aliran
Mu’tazilah di satu piha dan aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihK. Aliran
Mu;tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah (ke-Esa-
an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar, dan lain-lain tidak lain hanya zt
tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat
tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat allah yang
tersebut sesuai dengan zat allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sifat-
sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar.
Allah dapat melihat tetapi tida seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.

b. Kekuasaan tuhan dan perbuatan manusia

Pendapat Al-asy’aridalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran jabariah dan
aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah manusia itulaah yang mengerjakan
perbuatanya dengan suatu kekuasaan yang diberikan allah kepadanya. Menurut
aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,
tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya.

c. Melihat tuhan pada hari kiamat


Menurut aliran Mu’tazilah tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan
dengan demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat,
disamping menolak hadits-hdits nabi yang menetapkan ru’yat. Karena tingkatan
hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut
golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat denagn cara tertentu dan pada arah
tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-
asy’ari mengatakan bahwa tuhan dapat dilihat di akherat kelak.

d. Dosa Besar

Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembuat dosa besar tidak bertobat dari
dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan, tida akan keluar dari
neraka. Aliran Mur’jiah mengatakan, sipa yang iman kepada Tuhan dan
Mengiklaskan diri kepadanya maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakanya
namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap dipandang sebagai orang
mukmin. 29

A. Al-Asy’ari (875-935)

1. Riwayat Hidup Singkat AL-Asy’ari

Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin
Salim bin Isma’il bin 'Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari.30 Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun
260 H/875 M. Setelah berusaha lebih dari 40 tahn, ia hijrah ke kota Baghdad dan
wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.

Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun.


Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapn jamaah masjid Bashrah
bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukan
keburukan-keburukanya.31 Menurut Ibn’ Asakir, yang melatarbelakangi Al-
Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah
bermimpi bertemu dengan rasullullah SAW. Sebanyak 3 kali, yaitu pada malam
ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan ramadan. Dalam 3 kali mimpinya, Rasulullah SAW
memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera
membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.

2. Doktrin-Doktrin Teology AL-Asy’ari

29
Ibid, hlm, 26.
30
Muhammad Imarah, Tayayarat Al-Fikri Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hlm. 163.
31
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, , (Jakarta:Al-husna, 1992), hlm. 104.
Formulasi pemikiran Al-ASY’ARI, Secara Esensial Menampilkan Sebuah
Upaya Sintesisantara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi da Mu’tazilah
pada sisi lain. Dari segi etosnya pergerkan tersebut memiliki semangat ortodoks.
Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap
Mu’tazilah, sebuah reaksu yang tidak bisa 100% menghindarinya. Corak
pemikiran yang sintesis ini, menurut watt dipengaruhi teologi kullabiah (teologi
sunni yang dipelopori Ibn Kullab).

3. Pemikiran-pemikiran AL-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:

a. Tuhan dan sifat-sifatnya (AL-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki


sifat-sifat yang bertentangan dengan Mu’tazilah dan sifat-sifat itu seperti
mempunyai tangn dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara
simbolis.Selanjutnya berpendapat tentang sifat-sifat allah unik dan tidk dpat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.

b. Kebebasan dalam berkehendak

AL-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutya, allah adalah


pencipta perbutan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakanya.
Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan
manusia).

c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk

Meskipun AL-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya


akal dan wahy, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. AL-Asy’ari mengutamakan wahyu
sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik
dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkanya pada
akal.

d. Melihat Al-Qur’an

AL-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem,


terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa allah dapat dilihat di akhirat dan
memepercayai bahwa allah bersemayam di Arsy. Selain itu AL-Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di
akhirat. AL-Asy’ari yakin bahwa allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat
digambarkan.

B. AL-Maturidi (w.944)

1. Riwayat Hidup singkat AL-Maturidi


Abu Manshur AL-Maturidi dilahirkan di Maturiddi, sebuah kota kecil di
daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang
disebut Uzbekistan. Tahun kelahiranya tidak diketahui secara pasti, hanya
diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun
333H/944M. Karier pendidkan AL-Maturidi lebih di konsentrasikan untuk
menekuni bidng teology daripadda fiqh, sebagai usaha memperkuat
pengetahuanya untuk menghadapi paham-paham teology yang banyak
berkembang dalam masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan
kaidah yang benar menurut akal dan syara’. 32

2. Doktrin-doktrin Teology AL-Maturidi

a. Akal dan wahyu

Menurut AL-Maturidi mengetahui tuhan dann kewajiban mengetahui


tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengatahui 2 hal tersebut
sesuai dengan ayat-ayat AL-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap
allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaanya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai allah berarti meninggalka kewajiban yang diperintahkan
ayat-ayat tersebut. Menurut AL-Maturidi akal tidak mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban lainya kecuali dengan bimbingan dari wahyu.33

Dalam masalah baik dan buruk, AL-Maturidi berpendapat bahwa penentu


baik dan buruknya sesuatu terdapat pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah
atau larangan syariah hanya mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan
buruknya sesuatu. Begitu juga mengakui bahwa akal tidak selalu mampu
membedakan antara yg baik dan yang buruk dan terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruk.

AL-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada 3 macam yaitu:

1. Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu

2. Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu

3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan


petunjuk ajaran wahyu.

32
Abdul rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), hlm. 151.
33
Harun Nasution, Teology Islam:Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1986),
hlm. 87-88.
b. Perbuatan manusia

Menurutnya perbuatan manusia adalah ciptaan tuhan karena segala sesuatu


dalam wujud ini adalah ciptaanya. AL-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dengan qudrat tuhan sebagai pencipta perbuatan
manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas
menggunakanya. Dalam masalah daya, AL-Maturidi membawa paham Abu
Hanifah, yaitu adanya Masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan).

c. Sifat Tuhan

Pengertian AL-Maturidi tentang sifat tuhan berbeda dengan AL-Asy’ari.


AL-Asy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan
melekat pada dzat. Menurut AL-Maturidi sifat tiak dikatakan sebagai esensinya
dan bukan pula lain dari esensinya. Tampanya paham AL-Maturidi tentang makna
sifat tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak
pada pengakuan AL-Maturidi tentang adanya sifat-sifat tuhan sedangkan
Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat tuhan.

d. Melihat Tuhan

AL-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat tuhan. Tentang


melihat tuhan ini diberitakan oleh AL-Qur’an, antara lain firman allah dalam surat
AL-Qiyamah ayat 22dan 23. Lebih lanjut mengatakan bahwa Allah kelak di
akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena tuhan mempunyai wujud,
walaupun ian immaterial. Melihat tuhan kelak di akhirat tidak memperkenalkan
bentuknya (bila kaifa) karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di
dunia.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Pada masa Rasulullah SAW, umat Islam dapat bersatu karena
segala permasalahan yang muncul dikembalikan kepada beliau. Setelah
beliau wafat, para sahabat mulai berijtihad, namun tetap berpedoman pada
Al-Qur’an dan Hadits. Salah satu dampak dari ijtihad tersebut adalah
perbedaan paham yang kemudian melahirkan berbagai aliran kalam.
Persoalan-persoalan yang muncul dalam ilmu kalam pada dasarnya
dipicu oleh kepentingan politik. Sejarah menyebutkan bahwa aliran kalam
dipicu persoalan politik yang menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman
bin Affan, yang berbuntut pada penolakan Muawiyah terhadap
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akibat dari persoalan-persoalan tersebut,
lahirlah aliran-aliran ilmu kalam. Seluruh aliran ilmu kalam yang ada,
apabila dicermati, pada dasarnya dilandasi oleh persoalan-persoalan politik
yang terjadi di dalam masyarakat.
Oleh karena tafsiran mengenai hal-hal yang furuq (cabang-cabang)
dalam Islam itu, maka akhirnya timbullah perbedaan pendapat dan
keyakinan. Dalam sejarahnya Firqah menjadi tujuh golongan.
Akibat perselisihan Ali dan Muawiyah maka umat Islam terpecah
menjadi beberapa golongan.
Khawarij, Al-Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Syi’ah,
dan Ahlussunnah (Al-Asy’ari dan Al-Maturidi)
2. Saran
Jika setelah membaca dan mempelajari makalah ini, terdapat kesalahan
mohon dimaafkan karena kami juga manusia biasa yang tidak luput dari
salah dan dosa. Dan jika ada saran maupun kritikan dari pembaca silahkan
sampaikan kepada kami, karena kritik dan saran anda sangat menunjang
kesempurnaan makalah ini. Semoga setelah mempelajari dan memahami
pembahasan ini kita dapat mengambil hikmah dari ajaran Akidah Akhlak
tentang beberapa paham dan aliran dalam lapangan Akidah Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Nok Aenul Latifah dan Abdul Mutolib, “Paham Ilmu Kalam”, (Solo:Tiga Serangkai,
2013), hlm.137.

Ibrahim Lubis, “Agama Islam Suatu Pengantar”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.
168.

Ibid, hlm. 137-139.

Harun Nasution, “Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran”, (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
124-125.

M. Khamzah, “Akidah & Akhlak”, Madrasah Aliyah, kelas II, (Sragen: Akik Pusaka), hlm.
19.

Harun nasution, Teologi Islam aliran aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2013) hlm. 33.

Thabathaba’i, Islam Syi’ah ,Asal-Usul Perkembanganya, (Jakarta:Grafiti Press, 1989), hlm. 37.
Muhammad Abu Zarah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Terj. Abd. Rahman Dahlan dan
Ahmad Qarib, (Jakarta:Logos, 1996), hlm. 34.

Harun Nasution, (Ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 1992), hlm.


904.

Rasyidi, Apa itu Syi’ah, (Jakarta:Pelita, 1984), hlm. 11.

Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung;Pustaka Setia, 2012), hlm. 116.
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta:Logos, 1996),
hlm. 45.

M. Khamzah, Akidah dan Akhlak, (Sragen: Akik Pusaka), hlm. 25.

Ibid, hlm, 26.


Muhammad Imarah, Tayayarat Al-Fikri Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hlm. 163.
Ahmad Hanafi, Pengantar Theology Islam, , (Jakarta:Al-husna, 1992), hlm. 104.

Anda mungkin juga menyukai