Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN POLITIK DAN TATA


NEGARA (dalam kaum Umayah) dan (kaum abbasyah)

Disusun Oleh:
1. Habiburrahman
2. Ramadhani
3. Robi ikhsan
4. Sahrul gunawan

Dosen Pengampu :Kaliandra Saputra Pulungan M.H


Mata Kuliah : FIQIH SIYASAH

PROGRAM STUDI (AKHWAL SYAHSIYYAH)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
TUANKU TAMBUSAI
PASIR PENGARAIAN
ROKAN HULU
RIAU
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah membantu kami menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya dan selawat serta salam tidak lupa kami haturkan pada Baginda Rasulallah
SAW yang telah memberikan kita kenikmatan Islam, Iman dan Ihsan. Makalah ini terstruktur
sehingga pembaca dapat mengetahui penjelasan tentang “MAKHARIJUL HURUF” yang
kami sediakan berdasarkan referensi dari beberapa sumber. Kami menyadari makalah ini
masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam usaha penyempurnaannya, dan
upaya-upaya pemahaman yang lebih luas. Dengan segala kekurangan dan kelebihan semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua, dan semoga kita semua selalu di ridhoi oleh Allah
SWT, makalah ini dapat terhitung sebagai bagian dari amal ibadah kita Tholibul ilmi.
Aamiin…
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan…………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
A. Perkembangan Politik Masa Dinasti Bani Umayyah...........................
B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Umayyah...........
C. Perkembangan Politik Pada masa Dinasti Abbasiyah...........................
D Perkembangan Ilmu Pengetahuan…………………..................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan kaum umayah......................................
B. Kesimpulan Kaum Abbasyah.....................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Secara garis besar, Nourouzzaman Shiddiqie membagi sejarah Islam ke dalam tiga
periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern.1Perinciannya dapat dibagi lima
periode, yaitu: Periode Nabi Muhammad saw. (571-632 M), periode Khulafa al-Rasyidin
(632-661 M), periode kekuasaan Daulah Umayyah (661-750 M), periode kekuasaan
Abbasiyah (750-1250 M) dan periode jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250-
sekarang). Di antara periodenisasi sejarah tersebut, salah satu babakan sejarah yang menarik
dan unik untuk diketahui adalah kekhalifahan pada masa dinasti Bani Ummayyah (661-750
M), yaitu dinasti yang berkuasa setelah berakhir masa Khulafau al-Rasyidin.
Hal tersebut disebabkan atas beberapa alasan, di antaranya; Pertama, pada masa ini
menjadi masa transisi dari sistem kekhalifahan yang dipilih berdasarkan musyawarah
(demokratis) menjadi sistem monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kedua, Sebelum
terbentuk dinasti ini terlebih dahulu diawali dengan peristiwa politik antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muawiyah bin Abi Sofyan, yang berujung pada persoalan teologi dan lahirnya sekte-
sekte dalam Islam (dari masalah politik ke masalah teologi), dan Ketiga, dikarenakan sosok
Muawiyah bin Abi Sofyan yang “kontroversial” dalam catatan sejarah.
Di satu sisi ia adalah sahabat Nabi yang berjasa dalam penyebaran Islam, ia dikenal juga
sebagai gubernur Damaskus yang berhasil pada masa Khulafau al-Rasyidin, tetapi di sisi lain,
tidak sedikit juga yang menilai negatif kepadanya, dikarenakan perseteruannya dengan Ali bin
Abi Thalib pada perang Siffin dan proses tahkim. Dalam berbagai literatur sejarah, banyak
ditemukan stigma negatif yang telah melekat dan terbagun terhadap dinasti ini, terutama
terhadap sosok Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai pendiri dan khalifah pertama, juga terhadap
proses berdirinya dinasti ini. Tetapi tidak sedikit juga, ahli sejarah yang telah berusaha
memaparkan dan menggambarkan secara adil dan proposional serta berimbang mengenai
masa kekahalifahan ini.
Oleh karena itu, suka atau tidak suka terhadapnya, dinasti Umayyah adalah dinasti yang
telah ditakdirkan menjadi pelanjut peradaban Islam setelah masa Khulafa al-Rasyidin. Banyak
prestasi yang diraih pada masa pemerintahan dinasti ini, di antaranya dalam bidang politik,
pendidikan dan ilmu pengetahuan. Itu sebabnya masa ini termasuk dalam era kejayaan Islam
setelah masa Khulafa al-Rasyidin. Dinasti Umayyah yang berkuasa selama kurang lebih 90

1
Nourouzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim (Yogjakarta : Nur Cahaya, 1983), h. 65
tahun, tentu tidak bisa dipaparkan secara mendetail terhadap segala hal yang berkaitan
dengannya dalam waktu dan catatan yang relatif singkat. Selain itu, tentu membutuhkan juga
referensi yang banyak serta kemampuan yang ekstra dari si peneliti. Berkaitan dengan hal itu,
maka penulis membatasi objek kajian terhadap masalah ini, yang diformulasikan dalam
bentuk rumusan masalah sebagai berikut;

B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana perkembangan politik masa Dinasti Bani Umayyah, dan,
2. Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan masa Dinasti Bani Umayyah?
3. Bagaimana Perkembangan Politik Pada masa Dinasti Abbasiyah ?
4. Bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah?

C. Tujuan dan Kegunaan


Adapun yang menjadi tujuan dan kegunaan yang diharapkan dari penulisan makalah ini
adalah:
1. Menjelaskan Perkembangan Politik Pada masa Dinasti Abbasiyah?
2. Menjelaskan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Perkembangan Politik Masa Dinasti Bani Umayyah


Perseteruan Muawiyah dengan Ali sudah bermula sejak Usman bin Affan terbunuh. Kala
itu, Muawiyah berkedudukan sebagai gubernur di Syam (Damaskus), sementara Ali sebagai
Khalifah. Motivasi Muawiyah ialah untuk menuntut atas kematian Khalifah Usman yang mati
terbunuh. Akhirnya, perseteruan ini mengalami titik klimaks pada peristiwa perang Siffin dan
di sinilah tonggak awal yang menjadi cikal bakal pembentukan kekhalifahan Dinasti
Umayyah kelak.
Menurut Ajid Thohir bahwa Dinasti Umayyah mulai terbentuk ketika terjadi peristiwa
tahkim (arbittrase) dalam perang Siffin, yakni suatu perang yang bermaksud untuk menuntut
balas atas kematian Khalifah Utsman bin Affan. Sebenarnya, peperangan tersebut akan
dimenangkan oleh pendukung Ali bin Abi Thalib tetapi melihat gelagat kekalahan, Amru bin
Ash yang merupakan tangan kanan Muawiyah segera mengajukan usul kepada pendukung Ali
untuk kembali kepada hukum Allah2dengan mengangkat al-Qur’an menggunakan ujung
tombak.
Dalam peristiwa ini Ali telah tertipu oleh taktik dan siasat Muawiyah. Dalam keterangan
lain dikatakan bahwa Ali sebenarnya mengetahui siasat Muawiyah tersebut. Namun karena
ada desakan oleh para Qurra dan ahli ibadah yang takut kalau tidak menerima al-Qur’an
sebagai hukum. Meski telah dinasehati oleh Ali bahwa itu adalah tipu daya Muawiyah, tetapi
mereka tidak puas denga jawaban Ali, sehingga mereka terus mendesak sehingga Ali
menerima dengan sangat terpaksa, lalu ia mengutus seseorang untuk menemui Muawiyah dan
menanyakan maksud tujuan pengangkatan mushaf.
Utusan berkata, “wahai Muawiyah, kenapa engkau mengangkat Mushaf?, Muawiyah
menjawab supaya engkau dan kami kembali terhadap apa yang diperintahkan Allah dalam
kitabNya”, hingga Muawiyah menawarkan agar masing-masing mengirim utusan untuk
berunding dan melakukan kesepakatan damai.3Di pihak Ali diutuslah Abu Musa al-Asyari,
orang tua yang dikenal sebagai hakim cakap, shaleh dan jujur. Sementara di pihak Muawiyah
diutus Amru bin Ash yang dikenal sebagai diplomat yang ahli siasah. Akhirnya, Ali kalah
secara politis saat itu. Oleh karena itu, peluang Muawiyah semakin besar dan berkesempatan

2
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosisal,
Politik, dan Budaya Umat Islam )Jakarta: PT.Rajawali Pers, 2009), h. 34.
3
Yusuf Al ‘Isy, Al-Daulah al-Umawiyah wa Ahdast Allati; Sabaqatha wa Mahahadat Laha, Ibtida’an Fitnah
‘Usman, terj. Imam Nurhidayat dan Muhammad Khalil dengan judul Dinasti Umawiyah (Cet.II ; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2009), h. 132.
untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja. Sesudah wafat Khalifah Ali bin
Abi Thalib, maka berarti habislah masa kepemimpinan khulafau al-Rasyidin. Oleh karena itu,
masyarakat Arab, Irak, dan Iran saat itu mengangkat Hasan bin Ali untuk menggantikan
kedudukan ayahnya sehinga terjadi pembaiatan oleh Qois ibn Saad dan diikuti oleh
masyarakat Irak. Tetapi permasalahan timbul karena pihak Muawiyah tidak setuju dengan
pembaiatan tersebut, maka Muawiyah mengirim tentara untuk menyerang kota Irak.
Berkat kebijaksanaan Hasan bin Ali maka peperangan tersebut tidak terjadi, hal ini
dilakukan oleh Hasan agar pertumpahan darah yang lebih besar dalam umat Islam bisa
dihindari, namun Hasan bin Ali mengajukan syarat-syarat kepada Muawiyah di antaranya
adalah :
a. Agar Muawiyah tidak menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk Irak.
b. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.
c. Muawiyah membayar kepada saudaranya Husein sebanyak 2 juta dirham
d. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan penduduk Irak
e. Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada bani Abdu Syam
f. Jabatan khalifah sesudah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyarwah di antara
kaum muslimin.4
Oleh karena itu, secara resmi penerimaan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah
setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri dari jabatan khalifah yang mendapat dukungan dari
kaum Syiah setelah dipegangnya beberapa bulan lamanya. Peristiwa kesepakatan antara
Hasan bin Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan lebih dikenal dengan peristiwa “Am al-
Jamaah” tahun persatuan dan sekaligus menjadikan batas pemisah antara masa Khulafau al-
Rasyidin (632-661 M) dan masa Dinasti Umayyah (661-750 M).

2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Dinasti Umayyah


Sesudah negara dalam keadaan aman, mulailah Dinasti Umayyah membangun. Beberapa
pembangunan yang dilakukan dalam bidang fisik, kemudian menata sistem pemerintahan,
memperkuat kedudukan bangsa Arab diantara bangsa-bangsa lain yang dikuasai,
memperlancar dan memajukan ekonomi perdagangan serta mengembangkan bidang
kebudayaan. Salah satu aspek dari kebudayaan adalah mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kalau pada masa Nabi dan Khulafau al-Rasyidin perhatian terpusat pada usaha memahami
alQur’an dan Hadist Nabi untuk memperdalam pengajaran aqidah, akhlak, ibadah, muamalah

4
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Cet.II; Jakarta: Amzah,2010), h. 122. Lihat pula, Ali Mufrodi,
Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Jakarta: Logos, 1997), h. 73.
dan kisah-kisah al-Quran,5maka pada masa dinasti Bani Umayyah perhatian sesudah itu
terhadap ilmu pengetahuan lebih luas lagi yakni pengembangan ilmu pengetahuan terhadap
ilmu-ilmu yang berkembang sebelum datangnya Islam.Salah satu faktor pendukung
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu ialah karena di berbagai daerah kekuasaan
daulah Umayyah terdapat kota-kota pusat kebudayaan seperti Yunani, Iskandariyah, Antiokia,
Harran dan Yunde Sahpur sehingga menjadi salah satu penunjang berkembang ilmu
pengetahuan masa itu.
Para ilmuan pun yang beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroarter setelah mereka masuk
Islam diberi perlindungan, bahkan ada diantara mereka yang mendapat jabatan tinggi di istana
khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan atau wasir. Sehingga kehadiran
mereka dinilai sedikit banyak telah mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.6Bahkan
ada ilmuan yang masih tetap bertahan pada agamanya, diantaranya Yahya al-Damasyqi. Ia
adalah pejabat pada khalifah Abdul Malik bin Marwan, ia adalah penganut Kristen fanatik
yang berusaha mempertahankan aqidahnya dengan konsep “Al-Masih sebagai oknum Tuhan
yang kedua”.
Hal ini mendorong umat Islam menyelidiki keyakinan dan mempelajari logika mereka
untuk mempertahankan Islam sekaligus mematahkan hujjah mereka.7Selain itu, Khalid bin
Yazid, cucu Muawiyah, sangat tertarik pada ilmu kimia dan ilmu kedokteran. Ia
menyediahkan sejumlah harta dan memerintahkan para sarjana Yunani yang bermukim di
Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Usaha ini
menjadi terjemahan pertama dalam sejarah. Sementara, Al-Walid bin Abdul Malik
memberikan perhatian kepada bimaristan.8
Begitupun pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz secara resmi
memerintahkan para ulama untuk membukukan hadisthadist Nabi. Kala itu, ia juga bersahabat
dengan Ibn Abjar seorang dokter dari Iskandariyah yang kemudian menjadi dokter
pribadinya, sehingga dinilai bahwa sedikit banyak pasti memengaruhi pemikiran khalifah
Umar bin Abdul Aziz tentang kedokteran.9Sikap terbuka khalifah dinasti Bani Umayyah
terhadap agama lain, terutama pada masa khalaifah Umar bin Abdul Aziz membawa
kontribusi positif dalam perkembangan ilmu pengetahuan, di antaranya; ilmu pengetahuan

5
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Cet. III; Jakarta;
Kencana, 2007), h. 38.
6
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h.39.
7
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h. 40.
8
Bimaristan adalah rumah sakit sebagai tempat berobat dan perawatan orang-orang sakit serta sebagai tempat
studi kedokteran.
9
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h. 40.
tersusun secara sistematis, berubahnya sistem hafalan kepada sistem tulisan menurut aturan-
aturan ilmu pengetahuan yang berlaku, pendukung ilmu pengetahuan tidak lagi berbangsa
Arab asli tetapi didukung pula golongan non Arab, bahkan dinilai justru golongan inilah yang
mengubah sistem ilmu pengetahuan.10
Menurut Musyrifah Sunanto, bahwa pada masa dinasti Bani Umayyah telah terjadi
pembidangan ilmu pengetahuan, yakni ;
a. Ilmu pengetahuan bidang agama yaitu segala ilmu yang bersumber dari al-Quran dan
Hadist.
b. Ilmu pengetahuan bidang sejarah yaitu, segala ilmu yang membahas tentang perjalanan
hidup, kisah dan riwayat.
c. Ilmu pengetahuan bahasa yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sharaf
dan lain-lain.
d. Ilmu pengetahuan bidang filsafat yaitu segala yang pada umumnya berasal dari bangsa
asing, seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu lainnya yang
berhubungan dengan ilmu itu.11Sementara, menurut Jurji Zaidan (George Zaidan)
sebagaimana yang dikutip Samsul Munir Amin menyebutkan beberapa kemajuan dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Umayyah12, di antaranya
: a. Pengembangan bahasa Arab Para penguasa Bani Umayyah telah menjadikan Islam
sebagai daulah, kemudian dikembangkanlah bahasa Arab dalam wilayah kerajaan Islam.
Upaya tersebut dilakukan dengan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata
usaha negara dan pemerintahan sehingga pembukuan dan surat-menyurat harus menggunakan
bahasa Arab.
b. Marbad kota pusat kegiatan ilmu Dinasti Umayyah juga mendirikan sebuah kota kecil
sebagai pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di kota inilah berkumpul para
pujangga, filsuf, ulama, penyair dan cendikiawan lainnya, sehingga kota ini diberi gelar
ukadz-nya Islam.
c. Ilmu Qiraat Ilmu Qiraat telah dibina sejak zaman Khulafau al-Rasyidin, kemudian
masa dinasti Umayyah dikembangluaskan sehingga menjadi cabang ilmu syariat yang sangat
penting. Pada masa ini lahir para ahli qiraat ternama seperti Abdullah bin Qusair (w.120 H)
dan Ashim bin Abi Nujud (w.127 H).

10
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h. 41.
11
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h. 41
12
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, h. 133.
d. Ilmu Tafsir Pada masa ini minat untuk menafsirkan al-Quran di kalangan umat Islam
bertambah. Pada masa perintisan ilmu tafsir, ulama yang membukukan ilmu tafsir yaitu
Mujahid bin Jabbar (w.104 H)
e. Ilmu Hadist Di antara para ahli hadist yang termahsyur pada masa dinasti Umayyah
adalah al-Auzai Abdurrahman bin Amru (w.159 H), Hasan Basri (w.110 H), Ibnu Abu
Malikah (w.119 H) dan Asya’bi Abu Amru Amir bin Syurahbil (w.104 H), juga al-Zuhry dan
Abu Zubair Muhammad bin Muslim bin Muhammad.13
f. Ilmu Fiqhi Di antara ahli fiqh yang terkenal pada masa Dinasti bani Umayyah ialah
Sa’ud bin Musib, Abu Bakar bin Abdurrahman, Qasim Ubaidillah, Urwah dan Kharijah.
g. Ilmu Nahwu Pada masa dinasti Bani Umayyah karena wilayahnya berkembang secara
luas, khsususnya ke wilayah luar Arab, maka ilmu Nahwu sangat diperlukan masa itu. Hal ini
mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya, Al-kitâb,
menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Sejalan dengan itu, pada syair Arab jahiliyah
muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan. Di zaman ini muncul
penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabiah (w.719), Jamil al-Uzri (w.701),Qayus bin
Mulawwah (w.669 H) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, al-Farazdaq (w.732 H), Jarir
(w.792 H) dan al-Akhta (w.710 H).14
h. Ilmu Jughrafi dan Tarikh Ilmu Jughrafi (ilmu bumi dan geografi) dan tarikh pada masa
dinasti Umayyah telah berkembang menjadi ilmu tersendiri.
i. Usaha Penerjemahan
Usaha kepentingan pembinaan dakwah Islamiyah, pada masa dinasti Umayyah dimulai
pula penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab.
Dinasti inilah yang pada awal dalam sejarah Islam yang melakukan penerjemahan, kemudian
baru berkembang secara pesat pada masa Dinasti Abbasiyah. Misalnya, Khalifah Khalid bin
Yazin bin Muawiyah (w.704/709) adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku
tentang astronomi, kedokteran dan kimia.15

3. Perkembangan Politik Pada masa Dinasti Abbasiyah


Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para
Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan
adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani

13
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ;Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, h. 44.
14
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam (Jil. V ; Jakarta: PT.Ictiar Baru van Hoeve, 2003),
h.133
15
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, h. 134.
Umayah. dan kedua, pengutamaan orang-orang turunan persia. Pembai‘atan Abu al-Abbas
sebagai khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama pada tahun 122 H./749 M. di Masjid Kuffah,
menandai berdirinya Dinasti Abbasiyah secara resmi.
Akan tetapi kekuasaan dan pengaruh Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus masih
tetap eksis dibawah pemerintahan khalifah-nya, Marwan II. Pada 18 masa awal berdirinya
Dinasti Abbasiyah ini, terjadi dualisme kekuasaan yaitu kekuasaan Dinasti Umayyah yang
sedang berada dalam keadaan lemah namun tetap dipandang sebagai ancaman serius bagi
kedaulatan Dinasti Abbasiyah yang baru muncul dan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang
sedang bangkit. Untuk menghadapi kekuatan Dinasti Umayyah tersebut, Abu al-Abbas
menyiapkan pasukan dibawah komando ‗Abdullah bin ‗Ali.
Akhirnya terjadilah pertempuran yang dahsyat antara pasukan Abbasiyah dengan pasukan
Umayyah di lembah sungai Az-Zab. Dalam pertempuran ini, pasukan Umayyah mengalami
kekalahan dan khalifah Marwan II berhasil melarikan diri. Peristiwa ini terjadi pada tahun 123
H. /750 M. Dengan demikian, berarti Dinasti Abbasiyah telah berhasil menguasai daerahdaerah
Syam termasuk pusat pemerintahan Dinasti Umayyah. Upaya pembersihan keturunan Dinasti
Umayyah serta pengejaran terhadap khalifah Marwan II terus dilakukan.
Akhirnya, pada tahun 123 H./750 M. pasukan Abbasiyah dibawah pimpinan Shaleh bin
Ali berhasil membunuh khalifah Marwan II. Dengan terbunuhnya khalifah Marwan II, maka
berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah dalam panggung sejarah peradaban ummat Islam.
Disisi lain, kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah masuknya
orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan peluang yang cukup
besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk menduduki jabatan-jabatan penting
dan strategis seperti jabatan Wazir.
Dengan demikian, pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik
pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun gaya hidup.
Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan tetapi juga terjadi di
kalangan elit pemerintahan. Masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran pemerintahan
Dinasti Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah memainkan peranan yang
sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti Abbasiyah pada periode awal berdirinya
Dinasti ini. Disamping ―politik balas budi‖, masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran
penting pemerintahan Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena Dinasti ini mengedepankan
―politik terbuka‖. Hal ini sangatlah berbeda dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti
Umayyah yang bersifat Arab-Sentris. Pada awalnya, ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah
terdapat di al-Hasyimiah dekat Kuffah. Akan tetapi untuk menjaga stabilitas Negara yang baru
berdiri tersebut, khalifah Al-Manshur (754-775M) memindahkan ibu kota atau pusat
pemerintahannya ke Baghdad yang berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kotanya yang
baru inilah, khalifah al-Manshur mengadakan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya.
Ia mengangkat sejumlah personil untuk menduduki jabatan-jabatan di lembaga eksekutif
dan yudikatif. Dalam menjalankan pemerintahannya, disamping membenahi angkatan
bersenjata, membentuk lembaga protokol negara dan mengangkat hakim di lembaga kehakiman
Negara, Khalifah al-Manshur pada waktu itu menciptakan tradisi baru dengan mengangkat
Wazir (perdana mentri) sebagai kordinator departemen, atau yang jabatannya disebut dengan
wizara>t. Wizara>t itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1) Wizara>t Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai
pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2) Wiza>ratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin
pemerintahan. Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi 19
Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah. Kemudian,
untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang
bernama diwanul kita>>bah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab
(sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa
raisul diwan (menteri departemen-departemen).
Pada zaman al-Manshur ini pula, konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem
politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat
dengan perkataan Khalifah Al-Mansur ―Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya ―. Di
samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai ―gelar
tahta‖, seperti al-Manshur adalah gelar tahta dari Abu Ja‘far. Dalam sejarah pemerintahan Bani
Abbasiyah tercatat ada 38 khalifah yang menjabat yaitu :
1. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
2. Abu Ja‘far al-mansyur (754 – 775 M)
3. Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
4. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
5. Abu Ja‘far Harun Ar-Rasyid (786- 809 M)
6. Abu Musa Muhammad bin Harun Al Amin (809-813 M)
7. Abu Ja‘far Abdullah Al Ma‘mun (813-833 M)
8. Abu Ishak M. Al Muta‘shim (833- 842 M)
9. Abu Ja‘far Harun Al Watsiq (842-847 M)
10. Abul Fadhl Ja‘far Al Mutawakkil (847-861)
11. Al muntashir bin mutawakkil (861- 862 M)
12. al-Musta'in (862-866 M)
13. Al-Mu'tazz (866-869)
14. Al Muhtadi bin Al Watsiq (869 hingga 870)
15. Abul 'Abbas Ahmad Al-Mu'tamid 'Alallah al-Mutawakkil (870-892)
16. Al-Mu'tadhid Billah (892-902)
17. Abu Muhammad Ali bin al-Mu'tadhid al-Muktafi Bin al-Mu'tadhid (902- 908)
18. Al-Muqtadir Bin al-Mu'tadhid (908– 932).
19. Al-Qahir Billah (932 - 934)
20. Abu al-Abbas Muhammad Ar-Radhi Billah bin al-Muqtadir bin alMu'tadhid bin
Thalhah bin alMutawakkil, ( 934 - 940)
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerimtahan Bani Abbas
mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus
berkembang. Selanjutnya kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama
kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil)
sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja.
Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau
membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh;
daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah. Setelah mengalami
masa kejayaan, Dinasti Abbasiyah akhirnya mengalami kemunduran dan kehancuran.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad menjadikan Khalifah Abbasiyah tidak
lagi berada dibawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam
berdiri. Adapun faktor penyebab kehancuran Abbasiyah, diantaranya, sebagai berikut:

1. Internal
Semasa Abbasiyah wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik,
disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai
keselatan, teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan
wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah.
Sementara itu jauhnya wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian
hari didorong oleh para Khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh
kelompokkelompok yang tidak terkendali bagi Khalifah. Selain agama juga faktor ekonomi
cukup dominan atas lemahnya sendisendi kekhalifahan Abbasiyah. Beban pajak yang
berlebihan dan pengaturan wilayah-wilayah (Provinsi) demi keuntungan kelas penguasa telah
menghancurkan bidang pertanian dan industri.
Saat para Wali, Amir, dan lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya, rakyat justru
makin lemah dan miskin. Dengan adanya independensi dinastidinasti tersebut perekonomian
pusat menurun karena mereka tidak lagi membayar upeti kepada pemerintahan pusat.
Sementara itu, disisi lain meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran. Disamping itu,
faktor yang penting yaitu merosotnya moral para Khalifah Abbasiyah pada zaman
kemunduran, serta melalaikan salah satu sendi Islam, yaitu jihad. Dalam buku yang ditulis
Abu Su‘ud, disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah lemah kekudian
hancur antara lain :
(1) adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah
Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki.
(2) terjadinya perselisihan pendapat diantara kelompok pemikiran agama yang ada, yang
berkembang menjadi pertumpahan darah.
(3) munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan social yang berkepanjangan.
(4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.

2. Eksternal
Disamping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang membawa nasib dinasti ini
terjun kejurang kehancuran total. Yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang
penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Baghdad, salahsatu faktor utama adalah
gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M) di pegunungan
Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi‘ah Isma‘iliyah ini sangat mengganggu di wilayah Persia
dan sekitarnya.
Baik di wilayah Islam maupun di wilayah Mongol tersebut. Setelah beberapakali
penyerangan terhadap Assasin akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil
melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut. Kemudian menuju ke Baghdad. Setelah
membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Baghdad selama dua bulan,
setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh
Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800.000 orang. Ketika bangsa
Mongol dapat menaklukkan Baghdad tahun 656/ 1258, ada seorang pangeran keturunan
Abbasiyah yang lolos dari pembunuhan dan meneruskan Khilafah dengan gelar Khalifah yang
berkuasa dibidang keagamaan saja dibawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa
kekuasaan duniawi yang bergelar sultan. Jabatan yang disandang oleh keturunan Abbasiyah di
Mesir itu akhirnya diambil oleh Sultan salami dan Turki Usmani ketika meguasai Mesir tahun
1517, dengan demikian, maka hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selamnya.Sedangkan
faktor ekstern yang terjadi adalah
(1) berlangsungnya Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah
(2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil
menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Periode Abbasiyah adalah era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan kultur pada
zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur
dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa dinasti Umayyah kegiatan dan
aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai puncakya pada era
Abbasiah. Sebelum Dinasti Abbasiyah, para lama memelihara dan mentransfer ilmu mereka
melalui hafalan atau lembaranlembaran yang tidak teratur, pusat kegiatan Dunia Islam selalu
bermuara pada masjid.
Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya
pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan kedalam ma‘had, menulis hadis, fikih,
tafsir, dan banyak buku dari berbagai bahasa arab dan menjadi buku-buku yang disusun
secara sistematis. Rasa cinta Khalifah terhadap ilmu pengetahuan disalurkan melalui kegiatan
penerjemahan secara besar-besaran yang peranannya sangat besar dalam mentransfer ilmu
pengetahuan.
Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau
Yunani kedalam bahasa arab yang telah dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn
Yazid, seorang penguasa, pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir
atau yang tinggal di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran,
bintang, dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa arab. Demikian juga Khalifah
Umar II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran kedalam bahsa arab. Pada 832 M,
Ma‘mun mendirikan Bait al-HIkmah di Baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan
teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi ini yang
pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian
diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua. Pada abad ke-10 M, abad
pembangunan daulah Islamiyah mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan,
mengalami kebangunan di segala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni.
Dunia Islam, pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya dan makmur, kegiatan kaum
muslim bukan hanya menerjemahkan bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan
melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas,
lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan,
analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Dengan kepekaan
mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil
renungan mereka sendiri.
Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi
dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri
secara sistematis. Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang telah tersusun rapi. Diantara
pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus, Alexandria,
Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain, Jundeshahpur, dan lainlain. Banyaknya cendekiawan
yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana para kahlifah Abbasiyah, misalnya
AlMansur yang banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari
cendekiawancendekiawan Persia seperti yang diberikan kepada keluarga Barmak dan
kemudian, jabatan wazir yang diberikan al- Mansur kepada Khalid ibn Barmak, kemudian ke
anak dan cucu-cucunya.
Mereka ini berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu
pengetahuan dan filsafat, yang condong kepada paham Mu‘tazilah. Mereka disamping sebagai
wazir, juga menjadi pendidik anak-anak Khalifah. Diakuinya Mu‘tazilah sebagai mazhab
resmi Negara pada masa Khalifah Ma‘mun (827 M). Mu‘tazilah adalah aliran yang
menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah
berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah, yang banyak
memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik dalam penerjemahan
ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam.
Para pemikir muslim tidak hanya menterjemahkan karya asing ke dalam bahasa Arab,
baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi mereka memberikan ulasan,
pemodifikasian, penyempurnaan dan penyesuaian dengan konteks dengan agama mereka
(dalam hal ini agama Islam). Akibatnya, lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan dalam
khazanah intelektual Isl
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan kaum umayah


Dinasti Umayyah mengalami kemajuan dan kemapanan peradaban Islam selama
dasawarsa pertama kekuasaannya, mulai dari Muawiyah bin Abi Sofyan sampai pemerintahan
Hisyam bin Abdul Malik, sedangkan dasawarsa berikutnya dinasti ini mengalami
kemunduran. Adapun kemajuan yang dicapai dalam bidang politik yakni di antaranya;
terbentuk institusi politik, misalnya; dibentuk undangundang pemerintahan, dewan menteri,
lembaga sekertariat Negara, jawatan pos dan giro serta penasihat-penasihat khusus bidang
politik, didirikan kantor cap (percetakan mata uang), dibangun armada perang, dan pembagian
gaji tentara secara teratur. Sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan yakni berkembang
beberapa ilmu pengetahuan di antaranya: pengembangan bahasa arab, ilmu qiraat, ilmu tafsir,
ilmu hadist, ilmu fiqh, ilmu nahwu, ilmu tarikh. Selain itu terbentuk juga Marbad kota sebagai
pusat ilmu pengetahuan, pada masa ini pula diadakan usaha penerjemahan pertama dalam
sejarah Islam.

B. Kesimpulan Kaum Abbasyah


Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan
Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi. Daulah
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlangsung dari tahun 750-1258
M. Pada zaman ini, daulah Abbasiyah memberi beberapa perkembangan di bidang politik dan
ilmu pengetahuan.
1. Pola pemerintahan yang diterapkan Dinasti Bani Abbasiyah berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh
Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
b. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan Wazir, yang
membawahi kepala-kepala departemen.
c. Pemakaian gelar tahta oleh para khalifah
d. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur
dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah.
2. Periode Abbasiyah adalah era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia. Adapun ilmu yang
berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu naqli (sumber dari
Al-Qur‘an dan Hadis) yaitu seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu
bahasa, ilmu fiqih, serta pembukuan kitab-kitab hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Sejarah Perdaban Islam. Cet.II ; Jakarta : Amzah, 2010.
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya, 1999.
Al-Isy, Yusuf, Al-Daulah Al-Umawiyah wa Ahdast Allati ; Sabaqatha wa Mahhdat laha,
Ibtida’an min Fitnah “Usman. Terj. Imam Nurhidayat dan Muhammad Khalil, Dinasti
Umawiyah. Cet. II ; Jakarta :Pustaka AlKautsar, 2009.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Jil.V, Cet.11 ; Jakarta : PT.Ichtiar Baru
van Hoeve, 2003.
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos, 1997.
Sewang, Ahmad, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai Abad XVII, Cet.II : Jakarta ;
Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Cet. III;
Jakarta :Kencana, 2007.
Soeyb, Yoesoef, Sejarah Daulat Umayah I, Jakarta : Bulan Bintang, 1999.
Shiddiqie, Nourouzzaman, Pengantar Sejarah Muslim, Yogjakarta : Nur Cahaya, 1983.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam ; Melacak Akar-Akar
Sejarah, Sosial, Pollitik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2007.
Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Hoeve, 1997
Fachruddin,Fuad Muh. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985
Hassan, Hassan Ibrahim. Tarikh Al-Islam. Kairo: Maktabah Al-Nahdhoh AlMisyriyah, 1979
Hitti, K, Philip. History of Arabs, Terj. R cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi.
Jakarta ; PT Serambi Ilmu Semesta, 2008
Karim, Abdul, M. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007
Kumoro, Bawono. Hamas, Ikon Perlawanan Islam Terhadap Zionisme Israel. Jakarta: Mizan
Media Utama, 2009
Mutrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet.I; Ciputat: Wacana Ilmu, 1997
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978 ---------
------------. Isla`m Ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jilid I. Cet. 5; Jakarta: UI Press, 1985
Sou‘yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiyah I, Jilid III. Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Su‘ud, Abu. Islamologi. Cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, Cet. I . Bogor: Prenada Media, 2003
Thohir, Adjid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: Rajawali Pers,
2009
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993

Anda mungkin juga menyukai