Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

MASA PEMERINTAHAN ALKHULAFA; ALRASYIDIN


OLEH:

KELOMPOK 3

RAUDATUL MAZALI 2330403056

SRI RAHAYU 2330403063

KELAS: AKSYA C

DOSEN PENGAMPU:

PISDIONI MARDIANTO, M. Hum

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah tentang “MASA PEMERINTAHAN ALKHULAFA;
ALRASYIDIN” tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis temukan karena keterbatasan pengetahuan serta bahan
referensi yang dapat dijadikan sebagai acuan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bapak yang telah membimbing penulis dalam pembuatan
makalah ini hingga selesai.

Penulis mengharapkan makalah ini agar bermanfaat dan bisa dijadikan acuan
dan referensi bagi pembaca. Tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari
sepenuhnya bahwa ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada
pembaca sebagai bahan evaluasi penulis guna meningkatkan kinerja untuk ke
depannya.

Batusangkar, 13 september 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................1
DAFTAR ISI.................................................................................................................2
BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG MASALAH......................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................4
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. AL KHULAFA; AL RASYIDUN........................................................................3
B. KHALIFAH ABU BKR.................................................................... ..................9
C. KHALIFAH UMAR IBN AL KHATHTHAB...................................................26

BAB III........................................................................................................................37
PENUTUP...................................................................................................................37

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masa pemerintahan al-Khulafa' al-Rasyidin adalah masa yang sangat penting


dalam sejarah Islam. Mereka adalah empat khalifah pertama setelah wafatnya Nabi
Muhammad Saw. Latar belakang mereka terkait dengan penggantian kepemimpinan
setelah wafatnya Nabi. Setelah Nabi Muhammad wafat pada tahun 632 M,
kepemimpinan umat Muslim menjadi perdebatan. Ada sekelompok orang yang
mendukung penerus langsung dari keluarga Nabi, seperti Ali bin Abi Thalib. Namun,
mayoritas umat Muslim memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama.
Abu Bakar, khalifah pertama menghadapi tantangan berat seperti perang
Riddah (perang melawan suku-suku Arab yang memberontak), penyebaran agama
Islam ke wilayah-wilayah baru, dan meningkatnya konflik internal. Namun, di bawah
kepemimpinannya, Islam berhasil bertahan dan berkembang.
Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 634 M, Umar bin Khattab menjadi
khalifah kedua. Masa kepemimpinan Umar ditandai dengan ekspansi wilayah Islam
yang pesat, termasuk penaklukan Persia dan Bizantium. Umar juga dikenal karena
kebijakan adil dan tegasnya. Namun, ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 644
M
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan, yang memerintah dari tahun 644 M
hingga 656 M. Pada masa pemerintahannya, ekspansi wilayah Islam terus berlanjut,
tetapi juga muncul ketidakpuasan di kalangan beberapa kelompok. Utsman akhirnya
dibunuh dalam kerusuhan yang dipicu oleh para pemberontak pada tahun 656 M.
Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad, menjadi khalifah
keempat. Masa pemerintahan Ali ditandai dengan konflik internal yang hebat,

3
terutama perang saudara melawan Muawiyah bin Abu Sufyan. Pada akhirnya, Ali
dibunuh pada tahun 661 M.
Masa pemerintahan al-Khulafa' al-Rasyidin ini memberikan landasan kuat
bagi pengembangan agama Islam dan ekspansi wilayah ke luar Arab. Keempat
khalifah ini dihormati dan dianggap sebagai pemimpin yang adil dan baik oleh umat
Muslim.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanaka sistem pemerintahan pada masa awal Alkhulafa; Alrasyidun?


2. Bagaimanakah Sistem pergantian kepala Negara?
3. Bagaimanakah khalifah, Amir Almukmin dan Imam?
4. Bagaimakah biografi khalifah Abu Bakr?
5. Bagaimakah masalah yang muncul pada masa Abbu Bakr?
6. Bagaimanakah usaha-usaha Abu Bakr dalam Hak pemeliharan sumber ajaran
Agama, dalam Politik Sosial kemasyarakatan dan Politik Pemerintahan?
7. Bagaimakah Biografi Khalifah Umar ibn Al-khaththabab?
8. Bagaimakah proses pengakatan Umar ibn Al-khaththab?
9. Bagaimakah kebijakan khalifah Umar dalam hal pemeliharan sumber ajaran
agama, politik, masalah administrasi pemerintahan seperti pelimpahan
wewenang kepada hakim daerah?
10. Bagaimakah kebijakan khalifah Umar dalam hal perluasan wilayah (ekspansi)
Islam ke daerah Romawi dan Persia?
11. Bagaimanalah cara eneladani kebijaksanaan Umar dalam memberantas
kebhatilan?
12. Bagaimanakah meneladani sifat santun dan kesosialan khlifah Umar ibn Al-
khaththab?

4
C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mendeskripsikan sistem pemerintahan pada masa awal Alkhulafa;


Alrasyidun
2. Untuk mendeskripsikan Sistem pergantian kepala Negara
3. Untuk mendeskripsikan khalifah, Amir Almukmin dan Imam
4. Untuk mendeskripsikan biografi khalifah Abu Bakr
5. Untuk mendeskripsikan masalah yang muncul pada masa Abbu Bakr
6. Untuk mendeskripsikan usaha-usaha Abu Bakr dalam Hak pemeliharan
7. sumber ajaran Agama, dalam Politik Sosial kemasyarakatan dan Politik
Pemerintahan
8. Untuk mendeskripsikan Biografi Khalifah Umar ibn Al-khaththabab
9. Untuk mendeskripsikan proses pengakatan Umar ibn Al-khaththab
10. Untuk mendeskripsikan kebijakan khalifah Umar dalam hal pemeliharan
sumber ajaran agama, politik, masalah administrasi pemerintahan seperti
pelimpahan wewenang kepada hakim daerah
11. Untuk mendeskripsikan kebijakan khalifah Umar dalam hal perluasan wilayah
(ekspansi) Islam ke daerah Romawi dan Persia
12. Untuk mendeskripsikan cara eneladani kebijaksanaan Umar dalam
memberantas kebhatilan
13. Untuk mendeskripsikan meneladani sifat santun dan kesosialan khlifah Umar
ibn Al-khaththab

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. AL KHULAFA; AL RASYIDUN

1. Sistem Pemerintahan Pada Masa Awal Alkhulafa; Alrasyidun


Meninggalnya Nabi Muhammad SAW menimbulkan kevakuman
pemimpin yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan
hanya seorang pemimpin negara, tetapi juga seorang nabi, pembuat undang-
undang, guru spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.Sangat
sulit mengganntikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut. Nabi
Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliau
wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum
muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya
dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota
Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-
masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak
menjadi pemimpin umat Islam.

2. Sistem Pergantian Kepala Negara


Sistem pergantian Kepala Negara pada periode khulafaur-Rasyidin
berdasarkan beberapa pemikiran para ulama sebagai berikut :
a) Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash baik di dalam Al-
Qur’an maupun As-sunnah yang menentukan kepala negara, atau
menetapkan cara penen- tuannya. Kecuali nash-nash umum yang bertalian

3
dengan kekuasaan dan pengangkatan seorang penguasa daerah. Baik
adalah kekuasaan besar maupun keuasaan kecil. Jika ada sebuah prinsip
yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, niscaya
para sahabat mengumumkannya ketika Nabi saw wafat. Perselisihan di
antara para sahabat waktu itu adalah sekitar masalah siapa Masa
Khulafaur Rasyidin yang berhak diantara mereka menjabat kekhalifahan,
bukan sekitar masalah prinsip. Sehingga orang yang terlambat membaiat
Abu Bakar tidaklah mengumumkan suatu prinsip tandingan yang mereka
yakini disyari’atkannya kepada manusia banyak.
Jika mereka mengerti suatu kaidah atau prisip yang diumumkan
Rasulullah saw tentu mereka tak akan tinggal diam. Karena diamnya
mereka mereka merupakan suatu penghianatan kepada Allah dan
RasulNya. Begitu juga diam tidak memberi nasehat. Setiap perkara
pengutamaan si fulan atau pengangguhan si fulan adalah melalui ijtihad
pribadi di dalam memilih dan mengutamakan (seseorang). Begitu juga
ahlu sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash yang menentukan siapa
yang berhak mengganti Rasul saw. Sekalipun sebagian mereka bahwa ada
isyarat tersembunyi dan beberapa qarinah (pertalian) yang menunjukkan
penetapan atas diri Abu Bakar sebagai pengganti Nabi saw. Ini adalah
masalah yang tidak disepakati melalui kesimpulan yang dapat diterima
atau ditolak.
b) jika memang di dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah tidak ada suatu
penetapan cara penentuan (kepala negara), kita kembali saja kepada
aplikasi keilmuan yang selesai di masa mayoritas sahabat dan generasi
pertama diantara mereka di dalam memilih khalifah. Agar kesimpulan
aplikasi dianggap sebagai ijma’ para sahabat, suatu prinsip dapat dijadikan
pegangan dalam membahas tema ini. Disamping pegangan kita terhadap
nash-nash umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

4
c) Dari cara terpilihnya Abu Bakar dan ketiga khalifah sesudahnya dapatlah
diuraikan beberapa prinsip sebagai berikut :
i. Prinsip pertama , Pemilihan mayoritas ahlu halli wa ‘aqd dan kaum
cerdik pandai di masyarakat terhadap orang yang mereka pandang
cakap menduduki jabatan khalifah dan memerintah orang-orang
mukmin. Dan pembai’atan mereka kepadanya. Serta pencalonnya
sebelum menjadi seorang khalifah yang melaksanakan pemerintahan
untuk mengurus wasiat (khalifah sebelumnya). Akan tetapi tidaklah
terlaksana dengan wasiat ini, tetapi dengan wasiat (pesan) kaum
muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang menga- manatkan
kepada orang sesudahnya.
ii. bai’at mayoritas umat Islam kepada khalifah yang dicalonkan. Mereka
rela kepadanya dan menerima kekhalifahannya dan persetujuan
mayoritas mereka atasnya. (M. al-Mubarak, 1995: 82-83)
Peraturan tentang pemilihan kepala negara pada masa sahabat atau
khulafaur-Rasyidin tidak dibahas di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun al-
Hadits. Oleh karena itu pemilihan kepala negara pada masa sahabat
berdasarkan suara yang terbanyak, melalui lembaga ahlu halli wa ‘aqd yang
terdiri dari sahabat yang terpandang, baik ditinjau dari ke- sholehannya
maupun dari intelektualitasnya. Sedangkan kepala negara yang akan dipilih
harus memiliki dan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan dan menjadi
standar pada masa itu. Setelah mereka sepakat siapa yang dipilih, maka
selanjutnya diadakan Piagam bai’at yang harus dilaksanakan oleh kepala
negara yang terpilih. Di bawah ini secara umum dipapar bagaimana proses
pemilihan Kepala Negara :
a) Ahlu al-Halli wa-al’Aqd Sekelompok orang yang memilih imam atau
kepala negara disebut ahlul halli wal-agdi atau ahlul ikhiyar. Al- Masa
Khulafaur Rasyidin Qadhi Abu Ya’la telah menetapkan beberapa syarat
kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd. Pertama, syarat moral (akhlaq), yaitu

5
keadilan, merupakan derajat keistiqamahan (dapat dipercaya dalam hal
amanah dan kejujuran). Kedua, ilmu yang dapat mengantarkannya
mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah.
Seakan-akan antara dua syarat terakhir ada kekaburan dan kesamaran,
sekalipun nampak bahwa yang dimaksud dengan syarat kedua adalah ilmu
teoritis. Seolah-olah merupakan suatu persyaratan penguasaan terhadap
derajat tertentu daripada kebudayan (wawasan). Khususnya wawasan
kefiqihan perundang-undangan. Ketiga, lebih dekat kepada persyaratan
pengetahuan politik dan kemasyarakatan.
Para fuqaha tidak menyebutkan cara untuk menen- tukan atau
menetapkan mereka itu. Sekalipun mereka menyebutkan beberapa
masalah yang berkaitan dengan tema itu. Ahlul halli wal ‘aqd tidak
memberikan persyaratan, berasal dari penduduk satu negeri dengan sang
Imam, yaitu penduduk ibu kota Sekalipun pada prakteknya mereka lebih
dahulu dari yang lain dan pada umumnya orang yang layak menduduki
kekhalifahan ada di ibukota. (Al-Ahkam as- Sulthaniyyah oleh Abu Ya’la,
hal 4). Pendapat al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa tidaklah
diperkenankan bagi khalifah menentukan (me- ngangkat) orang-orang
yang akan memilih khalifah sesudahnya adalah pendapat yang benar.
Sesuai dengan maksud pembuat syari’at. Maka secara ringkas dapat
dikatakan bahwa cara menetapkan adalah suatu perkara yang diserahkan
kepada kebijaksanaan setiap masa dan negeri. (Baca pendapat Abu Ya’la
dalam M. al-Mubarak. 1995: 94- 85)
Pemilihan anggota dalam lembaga ahlu al-Halli wa al- ‘Aqd telah
disepakati berdasarkan kebijaksanaan sesuai dengan zaman dan pada tiap
negara masing-masing wilayahnya.
b) Mayoritas dan Minoritas Inti dari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la adalah
bahwa imamah, tidaklah terlaksana, kecuali bersama mayoritas ahlul halli
wal’aqh. Diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanibal “bahwa imam itu

6
baru eksis kalau seluruh ahlu halli wa-al ’aqd mendukungnya” Kemudian
ia berkata: Ini pada lahirnya terlaksana dengan persetujuan mereka.”
Menurut Abu Ya’la, kepala negara yang dipilih harus berdasarkan
dukungan dan persetujuan pendapat mayoritas dari anggota lembaga Ahlu
al-Halli wa al-’Aqd.
c) Bai’ah Bentuk Pemilihan Sisi penting politik yang terkait dengan ummah
dalam teologi dan sejarah Islam barangkali tercermin dalam gaya
pemimpin negara Islam yang terpilih. Idealnya, pemimpin negara Islam
yang juga pemimpin masyarakat adalah seorang yang terpilih diantara
beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan
konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan pada orang tertentu,
maka Masa Khulafaur Rasyidin permasalahannya dikembalikan kepada
seluruh jajaran ummah yang hendak meberikan konfirmasi atau ratifikasi
terakhir. Proses yang kedua ini disebut bai’ah.
Pembai’atan yang dilakukan terhadap Abu Bakar maupun Umar pada
dasamya adalah pemilihan dan musyawarah. Mekanismenya adalah
memilih salah seorang diantara 6 orang anggota panitia pemilihan khalifah
yang diangkat oieh Umar. Begitu pula pemilihan Abdurrahman bin ‘Auf
terhadap Utsman pada dasarnya adalah sama. Namun pengangkatan
Utsman sebagai khalifah selanjutnya sebenarnya hanyalah berdasarkan
bai’at umat. Ketika Abbas bin Abdul Muthalib berkata kepada Ali bin
Thalib. Sekiranya benar riwayat yang diketengahkan oleh pengarang buku
“Al-Ahkamus Sul- thaniyyah” : Ulurkan tanganmu, aku akan
membai’atmu.” Kemudian orang banyak mengatakan: “Paman Rasul saw
telah membai’at keponakan laki-lakinya. Sehingga tidak akan ada dua
orang sekalipun yang memperselisihkanmu.” Hal semacam ini tidak lain
merupakan pencalonan oleh Abbas terhadap Ali. Kemudian untuk
selanjutnya terserah kepada umat dan para tokohnya.

7
3. Khalifah Amir Al-Mukmin dan Imam
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada hari Senin 12 Rabi' al
Awwal 11 H (07 Juni 632 M), pemerintahan Islam dipegang oleh para
khalifah. Empat orang khalifah pertama, biasanya disebut dengan al Khulafa;
al Rasyidun, yakni para khalifah yang besar dan cerdas. Empat orang khalifah
tersebut adalah Khalifah Abu Bakr 'Abdullah ibn 'Ustman al Shiddiq al
Taymiy (11-13 H / 632-634 M), Abu Hafash 'Umar ibn al Khaththab al Faruq
al 'Adawiy (13-23 H/634-644 M), Abu 'Abdillah 'Ustman ibn 'Affan al
Amawiy (23-35 H/644-656 M) dan Abu al Hasan 'Aliy ibn Abi Thalib al
Hasyimiy (35-40 H 656-661 M).
Kata khalifah (l) secara etimologi berarti pengganti atau wakil,
sedangkan secara terminologi berarti pimpinan tertinggi umat Islam yang
melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW dalam urusan agama dan dunia, dan
sistim pemerintahannya disebut dengan khilafah (). Karena itulah Abu Bakr
disebut dengan Khalifah Rasulillah, yang kemudian disingkat saja menjadi
khalifah.
Istilah Amir al Mukminin (Pemimpin Orang-Orang Beriman) yang
setara kedudukannya dengan khalifah, pertama kali dipergunakan pada masa
'Umar ibn al Khathab. Sebabnya sebagaimana diceritakan Ibn 'Abd al Barr
(1398, III: 528), sewaktu seorang shahabat, al Mughirah ibn Syu'bah, datang
menghadap dan memanggilnya dengan sebutan Khalifatullah, 'Umar langsung
menjawab :"Itu adalah sebutan untuk Nabi Dawud". Al Mughirah
berkata :"Kalau begitu, kami memanggil dengan sebutan Khalifah Rasulillah".
Umar menjawab :"Itu adalah sebutan untuk shahabat kita yang terdahulu". Al
Mughirah berkata lagi :"Jika demikian, Kami memanggil dengan sebutan
Khalifatu Khalifati Rasulillah Umar menjawab :"Itu sebutan yang sangat
panjang. Aku ini amir (pemimpin) kalian, sedangkan kalian adalah kaum
mukminin (orang-orang yang beriman). Karena itu, aku adalah Amir al
Mukminin.

8
Istilah lain yang setara juga adalah al Imam. Namun kata al Imam
untuk sebutan bagi pemimpin tertinggi dalam pemerintahan ini hanya dipakai
di kalangan Syi'ah, sedangkan yag selain Syi'ah tidak memakai istilah ini.

B. KHALIFAH ABU BAKR


1. Biografi Abu Bakr al Shiddiq
Abu Bakr al Shiddiq ( nama lengkapnya ‘Abdullah ibn ’Utsman ibn
’Amir ibn ‘ Amr ibn Ka’ab ibn Sa’ad ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu-
ay ibn Ghalib ibn Fihr al Taimiy (Ibn ‘Abd al-Bar, 1398:2430), sehingga
nasabnya bertemu dengan nasab Nabi SAW. pada kakek-moyang mereka
Murrah ib Ka’ab. Dia lahir sekitar 2 tahun setelah kelahiran Muhammad ibn
‘Abdillah. Sejak kecil Abu Bakr ini telah menjadi seorang pedagang dan
sanggat akrab dengan Muhammad yang ketika itu juga menjadi seorang
pedagang terkenal.
Sewaktu nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwahnya, Abu
Bakr adalah orang pertama yang beriman kepadanya, dan namanya yang pada
mulanya ‘Abd al Ka’bah ditukar Nabi SAW menjadi Adullah. Abu Bakr
bukan hanya sekedar beriman saja, tapi dia sangat aktif pula mengembangkan
Islam sejak masa awal itu, sehingga banyaklah orang yang beriman karena
usahanya, di antaranya Abu ‘Abdillah ‘Utsman ibn ‘Affan al Amawiy, Abu
Muhammad Thal-hah ibn ‘Ubaydillah al Taymiy, Abu ‘Abdillah al Zubayr
ibn al ‘Awwan al Fihriy, Abu Is-haq Sa’ad ibn Abi Waqqash al Zuhriy, Abu
‘Ubaydah ‘Amir ibn ‘Abdillah ibn al Jarrah al Fihriy, Abu Muhammad ‘Abd
al Rahman ibn ‘Awf al Zuhriy, dan lain-lainnya. Abu Bakr juga banyak
memerdekakan budak-budak yang di siksa tuannya karena memeluk Islam,
seperti Bilal ibn Rabbah al Habsyiy, ‘Amir ibn Fuhayrah dan lain-lainya. Abu
Bakr pula orang pertama mempercayai terjadinya isra;Mi’raj, walaupun dia
tidak mendengar secara langsung dari Nabi SAW sendiri,sehingga dia digelari

9
dengan al Shiddiq, orang yang benar dan membenarkan semua yang
disampaikan Nabi SAW.
Ketika Nabi SAW hijrah dari Makkah ke Yastrib, Abu Bakr yang
menyiapkan perbekalan dan mendampinginyadalam perjalanan. Kisah mereka
ketikabersembunyi dalam gua untuk menghindari kejaran orang-orang kafir
Makkah,diabadikan dalam al Qur-an al Karim pada surat At-Taubah ayat 40.
Setelah hijrah ke Madinah,Abu Bakr tetap mendampingi Nabi SAW
dala setiap kesempatan. Dia bahkan mendermaka seluruh kekayaannya untuk
membiayai persiapan perang tabuk tahun 9 H. Ketika tiba musim haji tahun 9
H,yang merupkan pelaksanaan haji pertama dalam sejarah islam,Abu Bakr lah
yang disuruh Nabi SAW untuk memimpin pelaksanaan hajji tersebut. Sewatu
Nabi SAW sakit dan tidak sangguplagi mengimani shalat,Abu Bakr pulalah
yang dipercayai untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Abu Bakr wafat pada
sore hari Senin tanggal 22 Jumadil Akhir 13 H (14 Agustus 634 M) dalam
usia 63 tahun.
Abu Bakr dikarunai beberapa orang anak, laki-laki dan wanita.
Puteranya yang terkenal adalah ‘Abdullah yang syahid sewaktu mengepung
Tha-if bersama Nabi SAW, Muhammad yang menjadi Gubernur Mesir pada
masa ‘Ali, dan al Qasim yang lahir beberapa bulan setelah beliau wafat.
Puterinya yang terkenal adalah Asma; yang menjadi isteri al Zubayr ibn al
‘Awwam dan ‘Aisyah yang menjadi Umm al Mukmin.
Abu Bakr terpilih menjadi khalifah di saqifah Bani Sa’idah, yakni
tempat pertemuan Bani Sa’idah di Madinah’ pada saat jenazah Nabi SAW
belum dikuburkan. Sebab, begitu tersiar kabar bahwa Nabi SAW wafat,
orang-orang Anshar yang terdiri dari suku Aws dan Khazraj, segera
berkumpul di tempat pertemuan Bani Sa’idah, salah satu bani yang bergabung
ke dalam suku al Khazraj. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan siapa
yang akan memegang kendali pemerintahan setelah Nabi SAW wafat. Bahkan

10
mereka sudah hampir sepakat untuk mengangkat Sa’ad ibn ‘Ubadah, seorang
tokoh al Khazraj, untuk memimpin umat.
Pada waktu itu datanglah tiga orang tokoh Muhajirin, Abu Bakr,
‘Umar dan Abu ‘Ubaydah ibn al Jarrah. Setelah terjadi perdepatan yang
panjang, akhirnya disepakati bahwa yang akan melanjutkan kepemimpinan ata
umat Islam adalah dari kalangan Muhajirin,bukan dari Anshar. Abu Bakr
mengusulkan agar sidang memilih saah satu antara ‘Umar atau Abu
‘Ubaydah, namun ‘Umar menolak dan dia langsung membai’at Abu Bakr,
yang segera diikuti oleh Abu ‘Ubaydah dan orang-orang Anshar, sehingga
Abu Bakr resmi terpilih menjadi khalifah.
Beliau resmi menjadi khalifah setelah terlaksananya pembai’atan di
Saqifah Bani Sa’idah, yang kemudian dilanjutkan dengan pembai’atan di
Masjid Madinah. Menurut Imam Ibn Katsir (V: 214), pembai’atan di Saqifah
terlaksana pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ al Awwal 11 H ( 7 Juni 632 M),
sedangkan pembai’atan di Masjid Madinah pada hari selasa. Pembai’atan di
Saqifah itu dinamakan oleh Hasan Ibrahim Hasan (1964:432) sebagai al
Bay’at al Khashshah, sedangkan pembai’atan di Masjid Madinah disebut
sebagai al Bay’at al ‘Ammah.

2. Masalah Yang Muncul Pada Masa Abu Bakr


Setelah dibai’at menjadi khalifah pada hari Senin 12 Rabi’al Awwal
11 H (7 Juni 632 M ), Abu Bakr ini tidak lama memegang jabatan
kekhalifahan, karena di wafat pada hari Senin tanggal 22 Jumad al Akhir 13
H (14 Agustus 634 M). Dengan demikian masa pemerintahan Abu Bakr hanya
sekitar 2 tahun lebih kurang. Setelah menjadi khalifah Abu bakar segera
berhadapan dengan berbagai masalah yang timbul di kalangan Muslimin
setelah wafatnya Rasulullah Saw. baik masalah yang datang dari dalam
maupun dari luar sebagai berikut :

11
a. Pengiriman Pasukan Usamah ibn Zayd
Masalah pertama yang harus segera ditangani oleh Abu Bakr adalah
pengiriman pasukan Usamah, yang telah direncanakan oleh Nabi SAW
sebelum beliau wafat. Sebab menjelang hari-hari terakhirnya
kehidupannya, Rasulullah SAW mendengar berita dari perbatasan Syiria
tentang persiapan Romawi untuk melawan kaum muslimin. Beliau
memerintahkan agar segera dipersiapkan satu batalion pasukan islam,
untuk menghadapi ancaman tersebut. Setelah pasukan tersebut terbentuk,
beliau mengangkat Usamah ibn Zayd, anak dari Zayd ibn Haritsah yang
gugur dalam perang muktah dahulu, menjadi komandannya (Majid Ali
Khan, 1985: 256). Usamah sendiri waktu itu masih berusia 18 tahun,
sedangkan anggota pasukannya terdiri dari para sahabat senior, di
antaranya ‘Umar dan sahabat-sahabat besar lainnya1. Nabi SAW tidak
menerima saran para sahabat, yang meminta supaya panglima pasukan itu
dipercayakan kepada orang yang lebih tua dari Usamah.
Pasukan ini sudah bergerak meninggalkan Madinah, sewaktu mereka
mendengar berita bahwa nabi SAW telah wafat. Mereka lalu berhenti di
Jurf, sebuah tempat yang tidak jauh dari madinah dan mendirikan kemah
di sana, sedangkan Umar kembali ke Madinah (Ibn Katsir, VI : 308).
Setelah Nabi SAW wafat dan Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah,
muncullah berbagai persoalan besar yang sangat membahayakan keutuhan
dan kelangsungan kekuasaan islam, seperti murtadnya orang-orang arab di
luar Madinah, muculnya orang-orang yang mendakwahkan dirinya
menjadi nabi, dan timbulnya golongan yang tidak mau membayar zakat.
Melihat situasi yang seperti ini, para sahabat mengusulkan kepada Abu
Bakar supaya pengiriman pasukan yang dipimpin Usamah ini ditunda
dahulu untuk sementara waktu, guna untuk menjaga keamanan Madinah.
Bahkan adapula yang kembali mengusulkan, supaya pimpinan pasukan

12
diganti dengan orang yang lebih tua dari Usamah ( Ibn Katsir, VI : 308-
309).
Dalam hal ini, Khalifah abu Bakar telah menunjukkan ketegasan
sikapnya sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Dia menegaskan,
bahwa kalaupun hanya dia sendirian saja yang akan tinggal di Madinah
untuk menghadapi bahaya yang mengancam, maka pasukan Usamah itu
tetap akan diberangkatkannya juga sesuai dengan amanat Nabi SAW. Dan
dia tidak akan pernah mengganti pemimpinnya, karena Rasulullah SAW
sendirilah yang telah mengangkat Usamah menjadi pimpinannya. (Ibn
Katsir, VI : 308-309).
Ternyata pengiriman pasukan ini mendatangkan manfaat ganda.
Sebab, selain kemenangan yang didapat Usamah di dalam Ekspedisinya
itu, berita pengiriman pasukan ini sendiri sudah menimbulkan ketakutan di
kalangan musuh-musuh islam yang berniat akan memerangi Madinah.
Mereka mengatakan: “Kalau sekiranya kaum muslimin tidak mempunyai
kekuatan besar, sudah barang tentu mereka tidak akan mengirimkan
pasukan untuk menghadapi musuh yang tinggal sangat jauh dari mereka”
(al Najjar, 1348: 39). Pasukan Usamah ini berangkat paa akhir Rabi’ul
Awal, dan 40 hari kemudian, mereka tiba kembali di kota Madinah dengan
selamat (Ibn Katsir, VI : 309).
b. Murtadnya Orang-Orang Arab Sekeliling Madinah
Sebelum Rasulullah SAW wafat, dapat dikatakan bahwa Islam telah
dianut oleh seluruh penduduk Arab, baik yang berada di kota-kota
maupun yang tinggal di pedalaman. Namun tidak seluruhnya mereka itu
yang betul-betul mengerti dan ikhlas memeluk Islam. Syalabi (1990: 228)
mengatakan, bahwa di waktu Nabi wafat, agama Islam belum mendalam
meresapi sanubari penduduk Jazirah Arab. Di antara mereka ada yang
telah menyatakan masuk Islam, tetapi belum mempelajari agama Islam itu,
sehingga mereka menyatakan Islam tanpa keimanan. Ada pula yang

13
masuk Islam hanya untuk menghindari peperangan melawan kaum
Muslimin. Bahkan ada pula di antara mereka yang masuk Islam hanya
karena ingin mendapat barang rampasan atau ingin mendapat nama dan
kedudukan.
Syed Mahmudunnasir (1993: 162) menjelaskan, bahwa bertambahnya
jumlah orang-orang yang masuk Islam itu dalam waktu yang begitu cepat
dengan jumlah yang sangat banyak, menyebabkan Nabi SAW tidak
mampu berbuat banyak untuk mengajari mereka tentang prinsip-prinsip
dan ajaran Islam. Nabi hanya bisa menghimpun tenaga-tenaga inti yang
telah berpengalaman yang benar-benar telah mengerti dengan prinsip-
prinsip revolusi, tetapi tempat-tempat yang jauh di Arabia itu tidak bisa
segera dididik, karena Nabi tidaklah hidup cukup lama untuk melakukan
persiapan yang diperlukan.
Demikianlah keadaan keislaman penduduk Jazirah Arab pada
umumnya, sehingga begitu Rasulullah SAW wafat, mereka ada yang
murtad dan ada juga yang hanya tidak mau membayar zakat. Imam Ibn
Katsir (VI: 316) menyebutkan, bahwa sewaktu Rasulullah SAW wafat,
murtadlah seluruh penduduk suku-suku Arab itu, selain dari penduduk dua
kota, yakni Madinah dan Makkah saja. Suku Asad dan Ghafthfan murtad
di bawah pimpinan Thulayhah ibn Khuwaylid al Asadiy, sedangkan Suku
Kindah dan sekitarnya di bawah pimpinan Asy'ats ibn Qays al Kindiy,
Suku Mudz-haj dipimpin oleh al Aswad al Insiy, Bani Hanifah yang
menggabungkan diri dengan Musaylamah al Kadzdzab, serta Bani Tamim
yang bergabung dengan Sajjah al Kahinah.
Selain dari mereka yang menyatakan murtad secara terang- terangan
tersebut, banyak pula suku-suku yang hanya tidak mau membayar zakat,
namun mereka tetap mengaku sebagai orang Islam. Mereka ini tidak mau
lagi membayar zakat karena berbagai sebab; ada di antaranya karena
kekikirannya semata. Juga ada di antara mereka yang berpendapat, bahwa

14
hanya Nabi Muhammad SAW saja yang berhak memungut zakat itu, dan
dengan wafatnya beliau, maka zakat itu tidak lagi diwajibkan (Syalabi,
1990: 231). Bahkan ada pula di antara mereka yang menganggap, bahwa
kewajiban membayar zakat ke perbendaharaan pusat Madinah itu sebagai
suatu hal yang menurunkan kekuasaan mereka, sehingga mereka tidak
menyukainya. Jelasnya, mereka tidak berkeberatan terhadap Agama Islam,
tetapi mereka berkeberatan membayar zakat tersebut (Mahmudunnasir,
1993: 162). Mereka bahkan sampai mengirim utusan ke Madinah
menghadap Khalifah Abu Bakr untuk menegaskan, bahwa mereka tetap
akan mendirikan shalat namun tidak akan membayar zakat (Ibn Katsir, VI:
316).
Setelah mengirim pasukan Usamah, Abu Bakr segera menghimpun
sahabat yang lainnya untuk memerangi orang-orang yang murtad dan
orang-orang yang enggan membayar zakat yang ada di sekeliling
Madinah. Para sahabat setuju untuk memerangi orang-orang murtad, tapi
mereka berbeda pendapat mengenai orang-orang yang enggan berzakat
(mani' al zakat). Mereka mengusulkan, supaya mani' al zakat ini dibiarkan
saja terlebih dahulu, sampai keimanan mereka itu menjadi mantap dan
mereka bisa menerima kewajiban zakat tersebut, atau sekurang-kurangnya
sampai kembalinya pasukan Usamah ke Madinah.
Dalam situasi yang seperti itu, Abu Bakr kembali memperlihatkan
keteguhan hati dan kebesaran jiwanya. Dengan tegas beliau bersumpah,
bahwa dia akan memerangi semua golongan yang menyeleweng, baik
yang murtad, yang enggan membayar zakat maupun yang mengaku
menjadi Nabi, sehingga semuanya kembali kepada jalan kebenaran, atau
beliau akan gugur dalam menegakkan kemuliaan Agama Allah itu.
Melihat ketegasan Abu Bakr ini, para sahabat sepakat mendukungnya.
Abu Bakr lalu menugaskan 'Ali, al Zubayr, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Thal-
hah, 'Abd al Rahman dan 'Abdullah ibn Mas'ud untuk memimpin

15
pengamanan Madinah. Kemudian, pada bulan Jumad al Akhir, Abu Bakr
langsung memimpin pasukan Islam menggempur kaum murtad di
sekeliling Madinah, yang terdiri dari Bani Abs, Bani Murrah, Bani
Dzibyan dan Bani Kinanah yang dibantu Thulaihah. Setelah mengalahkan
mereka, Abu Bakr terus ke Dzi Has-yi dan Dzi al Qashshah, sampai
akhirnya tiba di al Abraq yang didiami oleh Ahl al Rubdzah (Ibn Katsir,
VI: 317-318).
Setelah selesai mengamankan sekeliling Madinah, Abu Bakr masih
bermaksud untuk langsung memimpin tentara Islam menghadapi musuh-
musuh di berbagai wilayah. Namun para shahabat mengusulkan, supaya
tugas itu diserahkan saja kepada para panglima yang dipercayainya,
sedangkan Khalifah Abu Bakr tetap memimpin pemerintahan di Madinah.
Usulan itu diterima oleh Khalifah Abu Bakr, sehingga dibentuknyalah
sebelas (11) pasukan tempur dengan sebelas orang panglimanya.
Kesebelas pasukan itu seperti disebutkan oleh Ibn Katsir (VI: 319-320),
mempunyai tugas sebagai berikut:
1) Khalid ibn al Walid, memimpin pasukan untuk menggempur
Thulayhah, lalu terus memerangi Malik ibn Nuwayrah yang tinggal di
al Buthtah.
2) 'Ikrimah ibn Abi Jahl, memimpin pasukan untuk menggempur
Musaylamah al Kadzdzab di Yamamah.
3) Syurahbil ibn Hasanah, memimpin pasukan untuk membantu
'Ikrimah, dan setelah itu terus menghadapi Bani Qudha'ah.
4) Al Muhajir ibn Abi Umaiyah, memimpin pasukan untuk menggempur
al Aswad al 'Insiy di Yaman.
5) 'Amr ibn al 'Ash, memimpin pasukan untuk menghadapi Bani
Qudha'ah'.
6) Khalid ibn Sa'id ibn al' Ash, memimpin pasukan ke perbatasan
wilayah Syiria.

16
7) Hudzayfah ibn Muhshan, memimpin pasukan untuk menghadapi Ahl
Dabba dan sekitarnya di 'Amman.
8) 'Urfijah ibn Hartsamah, memimpin pasukan ke Mahrah, dan kemudian
bergabung dengan Hudzayfah.
9) Suwayd ibn Muqarrin, memimpin pasukan ke Tuhamah Yaman.
10) Tharifah ibn Hajib, memimpin pasukan untuk melawan Bani Salim
dan sekutu-sekutunya di Hawazin.
11) Al 'Alak ibn al Hadramiy, memimpin pasukan ke Bahrayn.
c. Masalah Nabi-Nabi Palsu
Selain dari murtad dan enggan membayar zakat, di antara mereka itu
ada yang bahkan sampai menyatakan diri mereka sebagai nabi pula.
Mereka ini menganggap bahwa jabatan kenabian sangat menguntungkan,
sehingga menyatakan diri sebagai nab nabi, dan mulai menarik hati orang
banyak dengan membebaskan prinsip-prinsip moral dan upacara agama,
seperti menghalalkan berjudi dan minuman keras, mengurangi kewajiban
shalat dari lima kali menjadi tiga kali, menghapuskan kewajiban puasa
Ramadhan, meniadakan pembatasan-pembatasan dalam perkawinan, dan
menjadikan zakat sebagai pungutan sukarela. Dilihat dari urutan
kronologisnya, ternyata sebahagian dari nabi-nabi palsu itu telah muncul
juga sewaktu Nabi SAW masih hidup dahulu.
Orang yang mula-mula mendakwakan kenabiannya adalah a Aswad al
"Insiy, yang nama aslinya adalah 'Abhalah ibn Ka'ab ih Ghawts, berasal
dari suatu daerah yang disebut Kahf Hinan (ha Katsir, VI: 311). Pada
tahun 10 Hijriyah, dia menaklukkan wilayah Najran, lalu merebut Shan'a
ibu kota Yaman.
Orang kedua yang mengaku menjadi Nabi pula adalah Musaylamah
ibn Habib al Yamamiy dari Yamamah. Dia bahkan mengirimkan surat
kepada Rasulullah SAW untuk menegaskan bahwa dia juga seorang Nabi
dan juga berhak menguasai separoh bumi ini(Ibnu Katsir, VI: 346)

17
Musaylamah ini kemudian menila dengan Sajjah bint al Harist ibn Suwaid
al Taghlibiyah, seorang wanita Nashara dari Jazirah yang juga
mendakwakan dirinya menjadi Nabi. Sajjah ini mendapat dukungan dari
Bani Tamim (Ibn Katsir, VI: 324)
Nabi palsu lainnya adalah Thulayhah ibn Khuwaylid al Asadiy dari
Bani Asad. Dia mendakwakan kenabiannya setelah mengetahui bahwa
Rasulllah SAW menderita sakit selesai melaksanakan hajji wada'.
Persoalan nabi-nabi palsu ini ditanggapi Khalifah Abu Bakr dengan
tegas. Dari 11 satuan pasukan yang dibentuknya, empat satuan pasukan
bertugas menggempur para nabi palsu itu, yakni pasukan Khalid untuk
menggempur Thulayhah, pasukan 'Ikrimah dan Syurahbil untuk
menggempur Musaylamah, serta pasukan al Muhajir untuk menggempur
al Aswad.
Pasukan Khalid dengan mudah dapat mengalahkan tentara Thulayhah,
sehingga Thulayhah melarikan diri, namun kemudian dia bertaubat dan
kembali memeluk Islam². Al Aswad terbunuh karena kelakuannya sendiri.
Setelah merebut Yaman dan membunuh penguasa Yaman Ibn Badzan, dia
memperisteri janda Ibn Badzan itu, namun wanita itu kemudian
membunuh al Aswad.
Lain halnya dengan Musaylamah. Dia dapat mengalahkan gabungan
pasukan 'Ikrimah dan Syurahbil. Karena itu. Abu Bakr memerintahkan
Khalid (yang ketika itu telah mengalahkan Thulayhah) untuk
menyelesaikan persoalan tersebut. Kembali terjadi pertempuran sengit
pada bulan Dzu al Hijjah 11 H, yang dikenal dengan nama Hadiqat al
Mawt (Pertempuran di Taman Kematian). Musaylamah tewas dan
pasukannya dihancurkan, namun Tentara Islam juga menderita kerugian
besar. Tidak kurang dari 600 orang sahabat syahid di sini, dan sebahagian
besarnya adalah Huffazh al Qur'an. (Ibn Katsir, VI: 328-330).
d. Menghadapi Ancaman Dari Kerajaan Byzantium dan Persia

18
Selain menghadapi berbagai ancaman dari dalam negeri sendiri,
Khalifah Abu Bakar juga harus menangani ancaman dari luar, yakni dari
dua kerajaan besar masa itu Kerajaan Byzantium dan Kerajaan Persia.
Benturan dengan kedua kerajaan besar ini sebenarnya telah dimulai dari
zaman Nabi SAW dahulu, ketika beliau mengirimkan surat dakwah
kepada para pemimpin dunia yang dikenalnya, di antaranya Kisra Persia
dan Kaisar Byzantium Kisra Persia yang sangat marah, langsung
merobek-robek sura Nabi SAW itu tanpa membacanya terlebih dahulu.
Dia bahkan memerintahkan Gubernur Yaman utuk menangkap Nabi
SAW, Namun demikian, sampai Nabi SAW wafat dan Abu Bakr dibala
jadi khalifah, belum pernah terjadi pertempuran antara pasukan Islam
dengan tentara Persia. Lain halnya dengan Kerajaan Romawi, telah terjadi
pertempuran pada bulan Jumadil Awwal & H yang dikenal dengan nama
Perang Muktah, bahkan Nabi SAW pernah memimpin langsung pasukan
Islam untuk menghadang tentara Romawi dan berkemah di Tabuk selama
20 hari pada bulan Rajab 8 H, walaupun pertempuran tidak terjadi sama
sekali.
Sewaktu tanah Arab bergolak sepeninggal Nabi SAW. Byzantium dan
Persia kembali berusaha untuk menghancurkan Agama Islam dan
menumpas kaum muslimin. Mereka menyokong pergolakan ini, serta
melindungi orang-orang yang memberoma tersebut (A. Syalabi, 1990:
234). Oleh sebab itu, sejak awal pemerintahannya. Abu Bakr telah berniat
untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu. Namun karena
terjadiny gerakan kemurtadan, rencana itu belum dapat dilaksanakan
sepenuhnya. Walaupun demikian, Abu Bakr masih bisa menin satu
pasukan di bawah komando al Mutsanna ibn Haritsah untuk melindungi
Kaum Muslimin di wilayah perbatasan dari kezaliman orang-orang Persia.

19
Selesai Perang Yamamah, pada tahun 12 H. Abu Bakr menugaskan
Khalid ibn al Walid dan pasukannya untuk mement front Irak, yang ketika
itu merupakan wilayah Parsia. Terjadi berbagai perang sengit, yang
dimulai di Madzar yang lebih terkenal dengan perang Dzat al Salasil
(Perang Berantai), lalu disusul oleh perang Walaya, Ulis, Yawm al Maqar,
Ain al Tamar, Dawmat al Jandal, Anbar, sampai ke Hira dan Firdak.
Namun sewaktu Khalid sedang meraih kemenangan di Parsia itu, tentara
Islam yang dikirim Abu Bakr untuk menghadapi Romawi sedang
mendapat kesulitan. Karena itu Abu Bakr memerintahkan Khalid untuk
segera berangkat ke Romawi. Dengan berangkatnya Khalid, maka
Mutsanna tidak kuat lagi untuk menghadapi Parsia, sehingga dia
mengambil langkah surut ke perbatasan Jazirah Arab.
Untuk menghadapi Byzantium, sebenarnya pada awal tahun 13 H, Abu
Bakr telah menyiapkan empat pasukan tempur, yakni pasukan Khalid ibn
Sa'id ibn al 'Ash, pasukan Yazid ibn Abil Sufyan, pasukan Abu 'Ubaydah
ibn al Jarrah, dan pasukan 'Amr ibn al 'Ash (Ibn Katsir, VII: 3).
Kemudian, sewaktu Syurahbil ibn Hasanah dan pasukannya kembali ke
Madinah, Abu Bakr segera pula menugaskan mereka untuk berangkat ke
Romawi. Masih ada lagi sekelompok pasukan pimpinan Mu'awiyah, yang
diperintahkan untuk bergabung dengan pasukan Yazid (Ibn Katsir, VII: 4).
Pertempuran pertama terjadi antara pasukan Khalid ibn Sa'id dengan
tentara Romawi di Muruj al Shafrak, yang berakhir dengan kekalahan
Khalid. Khalid sendiri syahid dan pasukannya cerai berai (Ibn Katsir, VII
3). Sisa pasukannya ini kemudian bergabung dengan pasukan Syurahbil
Ibn Hasanah.
Di lain pihak, Kaisar Byzantium yang mendengar berita gerakan
tentara Islam, segera pula menyiapkan pasukan besar yang berjumlah
240.000 orang, di bawah komando Mahan, seorang panglima perang
terkenal dari Armenia. Pasukan gabungan kaum Muslimin ketika itu

20
hanyalah 24.000 orang, di bawah komando Abu 'Ubaydah ibn al Jarrah,
sedangkan pasukan 'Ikrimah dengan kekuatan 6.000 orang masih berada di
perbatasan. Karena itu, para panglima pasukan mengirim surat kepada
Abu Bakr meminta bantuan, sehingga Abu Bakr menyuruh Khalid untk
segera berangkat dari Irak menuju ke Syiria. Dengan tibanya 'Ikrimah dan
kemudian Khalid, pasukan Islam berjumlah antara 36.000 sampai 40.000
orang. Dalam pasukan itu terdapat 1.000 orang sahabat, dan 100 orang di
antaranya adalah Veteran Perang Badrar; bahkan 2 orang dari mereka
adalah Ashshab al Asyrah (Sahabat Yang Sepuluh), yakni al Zubayr ibn al
'Awwam dan Abu 'Ubaydah ibn al Jarrah sendiri. Sahabat terkenal lainnya
yang ikut dalam perang ini adalah 'Abdullah ibn Mas'ud, al Miqdad ibn al
Aswad, Mu'adz ibn Jabal, Abu al Dardak, Abu Jandal, Abu Hurairah dan
Abu Sufyan. Pimpinan umum pasukan adalah Khalid ibn al Walid, sesuai
dengan perintah Khalifah Abu Bakr. Kedua pasukan besar itu bertemu
dekat sungai Yarmuk, dan pertempuran sengitpun tidak dapat dielakkan
lagi. Pertempuran mulai terjadi pada awal Jumad al Akhir 13 H, dan
sewaktu pertempuran sedang berkecamuk dahsyat itu, datanglah surat dari
Madinah yang menyampaikan kabar wafatnya Abu Bakr dan 'Umar
diangkat menjadi penggantinya. Surat itu sengaja disimpan oleh Khalid,
sampai perang berakhir dengan kemenangan Tentara Islam (Ibnu Katsir,
VII: 4-16).
e. Membukukan al Qur-an al Karim
Seperti tersebut dalam kitab-kitab Ilmu Tafsir, al Qur'an al Karim pada
masa Nabi SAW selain dihafal oleh para sahabat, juga telah dituliskan
pada berbagai wadah oleh sahabat yang pandai menulis. Keadaan ini tetap
demikian, sampai awal masa pemerintahan Abu Bakr. Kemudian,
terjadilah Perang Yamamah untuk menumpas Musaylamah, yang
mengaku menjadi Nabi itu Dalam perang ini banyak sahabat yang gugur,
70 orang di antaranya adalah para Huffazh al Qur-an. Hal ini

21
menimbulkan kekhawatiran pada 'Umar ibn al Khahthab, kalau-kalau
banyak lagi huffazh yang syahid di medan perang, sedangkan al Qur'an
belum dibukukan menjadi satu buku.
Oleh karena itu, 'Umar mengusulkan kepada Abu Bakr supaya al
Qur'an ini dibukukan, bukan hanya bertebaran pada berbagai lembaran
tulisan itu saja. Usul 'Umar ini pada mulanya ditolak oleh Abu Bakr,
karena hal itu sama sekali tidak pernah dibuat oleh RasulullahSAW dan
juga tidak pernah diamanatkannya. Namun 'Umar berulang kali
mendesaknya, sehingga Abu Bakr akhirnya menerima usulan tersebut.
Abu Bakr kemudian memanggil Zayd ibn Tsabit, salah seorang
penulis wahyu di masa Nabi SAW, dan memintanya untuk membukukan
al Qur-an. Zayd pun pada mulanya berkeberatan. Namun setelah
dijelaskan oleh Abu Bakr dan 'Umar, dia akhirnya menerima tugas itu.
Mulailah Zayd mengumpulkan al Qur-an dari hafalan para sahabat, dan
dari tulisan-tulisan yang ada pada daun, pelepah korma, batu, tanah
keras,tulang unta dan tulang kambing. yang memang telah ditulis
sebelumnya oleh para sahabat di masa Nabi SAW.
Dalam mengumpulkan ayat-ayat al Qur'an ini Zayd bekerja dengan
sangat teliti. Walaupun dia hafal seluruh ayat, namun dia tetap meminta
kesaksian dua orang shahabat untuk setiap ayat yang dituliskannya. Ayat-
ayat al Qur-an itu ditulis oleh Zayd pada lembaran-lembaran yang sama,
menurut urutan ayat-ayat seperti yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
SAW dahulu, lalu diikatnya dengan benang, sehingga menjadi sebuah
buku. Buku ini terkenal. dengan nama Mushshaf, dan disimpan oleh Abu
Bakar. Setelah beliau wafat, musshaf itu lalu disimpan 'Umar, dan
kemudian disimpan oleh Hafshah binti 'Umar. Mushaf inilah yang
kemudian disalin ulang kembali di masa 'Utsman ibn 'Affan, sewaktu
beliau memerintahkan pembukuan al Qur-an ini secara resmi (Departemen
Agama RI 1974: 22-24)

22
Demikianlah beberapa usaha penting yang telah dilaksanakan Khalifah
Abu Bakr dalam masa pemerintahannya yang sangat singkat itu. Usaha-
usahanya ini sangat besar pengaruhnya terhadap kelangsungan Islam dan
ketentraman Kaum Muslimin, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa Abu Bakr telah menyelamatkan Agama Islam sepeninggal Nabi
SAW. Karena itulah, Abu Hurairah RA, salah seorang shahabat yang
sangat terkenal, mengatakan :"Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain
Dia. Kalau tidaklah karena keberhasilan pemerintahan Abu Bakr, maka
tidak akan ada lagi orang yang menyembah Allah di muka bumi ini".( Ibn
Katsir, VI: 309). Mahmuddunnasir (1993: 165) menyebut Abu Bakr
sebagai penyelamat Islam. Dia tidak hanya berhasil menyelamatkan Islam
dari kekacauan dan kehancuran, tetapi juga telah membuat Islam menjadi
agama dunia.

3. Usaha-Usaha Abu Bakar dalam Hal Pemeliharaan Sumber Ajaran Agama,


dalam Politik, Sosial Kemasyarakatan dan Politik Pemerintahan
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi)
sebagaimanadijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan
bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri,
tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Dengan terpilihnyaAbu
Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya,
baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan.
Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”,
jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan Khalifah,
meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu
mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. kebijaksanaan politik yang
dilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
a. Mengirim pasukan di bawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk
memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah,

23
ketika beliau masih hidup. Sebenarnya di kalangan sahabat termasuk
Umar bin Khatab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Khalifah
ini. Alasan mereka karena dalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala
kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan
Islam dari dalam. Tetapi Abu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah
untuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah
Nabi SAW. Pengiriman pasukan Usamah ke Romawi dibumi Syam pada
saat itu merupakan langkah politik yang sangat strategis dan membawa
dampak positif bagi pemerintahan Islam, yaitu meskipun negara Islam
dalam keadaan tegang akan tetapi muncul interprestasi di pihak lawan,
bahwa kekuatan Islam cukup tangguh. Sehingga para pemberontak
menjadi gentar, disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat
Islam dari perselisihan yang bersifat intern.
b. Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya
anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala
perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada
waktu itu ada dua yaitu :
1) Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya
orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan
kebiasaan jahiliyah.
2) Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui
kewajiban zakat dan mengeluarkannya. Dalam menghadapi
kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya
yaitu memerangi mereka sampai tuntas.
c. Mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan
Persia.
Untuk perluasan Islam ke Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar
Heraklius), Abu Bakar menugaskan 4 panglima perang yaitu Yazid bin
Abu Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu Ubaidah di Homs, Amir bin

24
Ash di Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan. Usaha tersebut
diperkuat oleh kedatangan Khalid bin Walid dan pasukannyanserta
Mutsannah bin Haritsah, yang sebelumnya Khalid telah berhasil
mengadakan perluasan ke beberapa daerah di Irak dan Persia.Dalam
peperangan melawan Persia disebut sebagai “pertempuran berantai”. Hal
ini karena perlawanan dari Persia yang beruntun dan banyak membawa
korban.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu
Bakar adalah:
a. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya
dalam kitab Allah. Jika beliau tidak memperolehnya maka beliau
mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara, dan jika
tidak ditemukannya apa yang dicari, beliaupun mengumpulkan tokoh-
tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang
diputuskan mereka setelah pembahasan, diskusi,dan penelitian, beliaupun
menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.
b. Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah
dan masyarakat kaum muslimin, karena itu mereka tidak mengizinkan
pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang
berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka
mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadi.
c. Konsep Pemerintahan
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah beliau jelaskan sendiri
kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya: “Wahai manusia! Aku
telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah
orang yang terbaik di antara kamu. Maka jikalau aku dapat menunaikan

25
tugasku dengan baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku
salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang
lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang
yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat
mengembalikan hak kepadanya.Maka hendaklah kamu taat kepadaku
selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada
mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu mentaatiku.
d. Kekuasaan Undang-undang
Abu Bakar tidak pernah menempatkan diri beliau di atas undang-
undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu
kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu di
hadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum
Muslim maupun non Muslim.

C. KHALIFAH UMAR IBN AL KHATHTHAB


1. Biografi khalifah Umar ibn Al khathtab
Umar bin Khattab lahir pada tahun 581 M pada satu keluarga suku
Quraisy. Ayahnya bernama Nufail bin Abdul "Uzza al Quraisyi dan berasal
dan suku Bani Adi Sedang ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin al-
Mughirah bin Abdillah. Silsdahnya berhubungan dengan Nabi Muhammad
saw pada generasi kedelapan yaitu Fin Umar lahir dan keluarga bangsawan, ia
bisa membaca dan menulis, yang pada itu merupakan sesuatu yang langka.
Beliau memiliki fisik yang tinggi besar dan memiliki karakter keras dan tegas,
sehingga disegani dan dihormati oleh penduduk Makkah. Beliau seorang
pemberani dan sering menyelesaikan peperangan yang terjadi di zaman
Jahiliyah Sebelum masuk Islam, Umar melakukan adat istiadat Jahiliyah,
antara lain pernah mengubur putrinya hidup-hidup dan seorang peminum
berat. Beliau sangat memusuhi dan membenci Islam Rasulullah saw kemudian

26
memohon kepada Allah agar mengislamkan salah satu Umar Permohonan
Rasulullah saw dikabulkan dengan Islamnya Umar bin Khattab. Sejak itu,
Rasulullah saw. dan kaum muslimin tidak perlu beribadah dan berdakwah
secara sembunyi-sembunyi lagi. Bahkan, di saat kaum muslim melakukan
hijrah secara diam-diam, Umar bin Khattab melakukannya secara terbuka, ia
mengucapkan kata-kata yang sangat terkenal, "Ketahuilah besok saya akan
hijrah meninggalkan kota Mekah. Barang siapa yang anaknya ingin menjadi
yatım atau istrinya ingin menjadi janda, silahkan menghalangi saya Peristiwa
Islannya Umar bin Khattab sangat istimewa.
Suatu hari Umar mencari Nabi Muhammad saw untuk membunuhnya,
Tengah perjalanan beliau mendapat berita bahwa adiknya yang bernama
Fatimah telah masuk islam. Umar marah dan pergi ke rumah adiknya untuk
membuktikan kabar tersebut. Ketika dia tiba di rumah adiknya ia mendengar
adiknya sedang melantunkan beberapa ayat suci al-Qur'an Mendengar bacaan
tersebut, Umar minta adiknya untuk memberikan lembaran tersebut, namun
adiknya tidak memberikan bacaan tersebut sebelum Umar mandi. Selesai
mandi Umar menenma lembaran yang dibaca oleh adiknya, maka bergetariah
hatinya ketika membaca ayat-ayat pada surat Thaha. Kemudian Umar bin
Khattab pergi ke rumah Nabi Muhammad saw dan menyatakan kelslamannya,
maka bergemalah takbir keluar dari mulut para sahabat yang hadir pada saat
itu Menurut riwayat Umar masuk Islam setelah masuk Islamnya 40 laki-laki
dan 11 perempuan atau orang ke-52 yang masuk Islam: namun ada juga yang
berpendapat Umar adalah orang yang ke. 40 masuk Islam. Setelah masuk
Islam, sikap keras dan kebencian terhadap Nabi Muhammad dan umat
Islam mulai berubah menjadi lemah lembut dan tumbuh kecintaan
kepada Nabi saw Sebaliknya, sikap tegas dan keras tetap ditunjukkan jika
berhadapan dengan kafir Quraisy. Dengan watak yang tegas dan keras, Umar
bin Khattab menjadi pembela utama Nabi Muhammad saw. dari gangguan
kafir Quraisy Hal ini menjadikan umat Islam semakin kuat dan disegani Nabi

27
Muhammad memberi gelar dengan sebutan Al-Faruq yang berarti Sang
Pembeda.
Umar bin Khattab memiliki pemikiran kritis Dia sering memprotes
kebijakan Nabi Muhammad saw yang dianggap tidak rasional. Misalnya
tentang perjanjian Hudaibiyah yang menurut dia merugikan umat Islam. Juga
ketika Abdullah bin Ubay, tokoh munafik Madinah yang meninggal Umar bin
Khattab menyarankan untuk tidak dishalatkan. Menurut pendapatnya, dia
dikubur langsung karena dia tokoh munafik yang selalu mengganggu dan
merugikan umat Islam.
Di samping memiliki daya kritis, tegas, dan keras, Umar bin Khattab
memiliki sikap yang sangat mulia yaitu seseorang yang amat mudah menangis
bila mendengarkan lantunan ayat- ayat suci al-Qur'an. Dia akan luluh hatinya
jika dibacakan ayat al-Qur'an. Seperti saat meninggalnya Nabi Muhammad
saw, beliau merasa tergoncang dan melarang siapapun yang mau memandikan
jasad Nabi Muhammad saw Beliau menganggap bahwa Nabi Muhammad saw
tidak meninggal, melainkan hanya terpisah saja dengan ruhnya dan suatu saat
akan kembali lagi Kemudian Abu Bakar datang dan menyatakan bahwa
Barangsiapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah mati. Tetapi
barangsiapa mau menyembah Allah, Allah selalu hidup dan tak pernah mati.
Umar bin Khattab meninggal setelah dibunuh oleh Abu Lu'luah pada
hari Rabu, 4 Dzulhijjah 23 H. Beliau ditusuk dengan sebilah pisau ketika
beliau sedang melaksanakan shalat Beliau wafat pada hari Rabu, 25
Dzulhijjah 23 H/644 M. Setelah wafat, jabatan Khalifah dipegang oleh
Utsman bin Affan.

2. Proses Pengakatan Umar Ibn Al-Khaththab


Ketika Abu Bakar jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M dan
selama 14 hari tidak kunjung sembuh, ia memanggil para sahabat besar dan
mengumumkan keinginannya. Beliau menginginkan sebelum meninggal,

28
kekuasaan sudah berada di tangan pengganti yang benar la melihat bahwa saat
ini orang yang paling tepat untuk menggantikan kedudukannya sebagai ah,
khalifah adalah Umar bin Khattab. Untuk itu, ia berusaha mengumpulkan
massa di depan rumahnya dan berpidato mengenai calon penggantinya kelak,
beliau berkata, "Apakah kalian ah akan menerima orang yang saya calonkan
sebagai pengganti saya kelak? Saya bersumpah mor untuk melakukan yang
terbaik dalam menentukan masalah ini. Karena itu saya melihat bahwa Umar
bin al-Khattab adalah orang yang paling tepat untuk menggantikan saya.
Dengarkan saya dan ikuti keinginan saya. "Massa yang berkumpul di depan
rumahnya menjawab, "Kami telah mendengar khalifah dan kami semua akan
menaati tuan."
Setelah itu, Abu Bakar memanggil Usman bin Affan ke rumahnya
untuk mendengarkan pendapatnya mengenai usulan khalifah yang akan
menunjuk Umar bin al-Khattab menjadi penggantinya. Setelah mendengar
penjelasan khalifah, Usman sangat setuju dengan pendapat in khalifah sebagai
penggantinya kelak. Menurut Usman bin Affan, Umar adalah orang yang
sangat tegas dan bijaksana. Tidak lama kemudian setelah proses penyaringan
pendapat tersebut, Khalifah Abu Bakar meninggal dalam usia 63 tahun.
Kemudian jenazahnya disalatkan bersama-sama dipimpin oleh Umar bin al-
Khattab. Jenazah Abu Bakar al-Shiddiq kemudian dimakamkan di rumah Siti
Aisyah berdampingan dengan makam Nabi Muhammad saw.
Dengan meninggalnya Khalifah Abu Bakar, maka pemerintah
dipegang oleh khalifah baru, yaitu Umar bin al-Khattab. Perpindahan
kekuasaan ini terjadi karena Umar bin al-Khattab secara aklamasi telah
mendapat persetujuan dari para sahabat besar dan umat Islam lainnya,
sehingga ketika Abu Bakar wafat, maka secara otomatis kepemimpinan itu
jatuh di tangan Khalifah Umar bin Al-Khattab.
Keputusan Abu Bakar tersebut diterima oleh umat Islam, sehingga
mereka secara beramai- ramai membaiat Umar sebagai Khalifah. Dengan

29
demikian keputusan tersebut bukan keputusan Abu Bakar sendiri namun
persetujuan umat muslim semua. Umar mengumumkan dirinya bukan sebagai
Khalifaturrasul atau pengganti Rasul tapi sebagai amirulmukmin atau
pengurus urusan orang-orang mukmin. Umar menjabat sebagai Khalifah
selama 12 tahun.

3. Kebijakan Khalifah Umar Dalam Hal Pemeliharan Sumber Ajaran Agama,


Politik, Masalah Administrasi Pemerintahan Seperti Pelimpahan Wewenang
Kepada Hakim Daerah
Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab dalam hal pemeliharaan sumber
ajaran agama, politik, dan administrasi pemerintahan memiliki beberapa poin
penting, termasuk pelimpahan wewenang kepada hakim daerah. Berikut
adalah beberapa kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Umar:
a) Pemeliharaan Sumber Ajaran Agama
Khalifah Umar sangat memperhatikan pemeliharaan dan
penyebaran ajaran agama Islam. Salah satu kebijakannya adalah
memperluas pendidikan agama dengan mendirikan madrasah atau
sekolah agama di berbagai wilayah. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman
yang kuat tentang ajaran Islam.
b) Politik Adil dan Merata:
Khalifah Umar dikenal sebagai pemimpin yang adil dan merata
dalam memerintah. Ia melakukan kebijakan yang berpihak pada
rakyat, seperti menghapus pajak yang memberatkan mereka yang
lemah dan miskin. Ini bertujuan untuk menjaga kesejahteraan
masyarakat dan membangun fondasi sosial yang stabil.
c) Pelimpahan Wewenang kepada Hakim Daerah
Salah satu kebijakan administratif yang penting adalah
pelimpahan wewenang kepada hakim daerah. Khalifah Umar membagi

30
wilayah kekuasaannya menjadi beberapa provinsi atau daerah, dan dia
menunjuk seorang qadi (hakim) sebagai pemimpin hukum setempat.
Hal ini memberikan otonomi bagi daerah dalam menyelesaikan
masalah hukum dan administrasi setempat sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi mereka.
d) Birokrasi Efisien
Khalifah Umar juga memperkenalkan berbagai kebijakan
untuk meningkatkan efisiensi birokrasi pemerintahan. Ia membangun
sistem administrasi yang baik, termasuk pengenalan surat izin (permit)
untuk memonitor aktivitas ekonomi, memperkuat sistem perpajakan,
dan mengembangkan infrastruktur seperti jaringan jalan dan pasar.
Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan prinsip-prinsip pemerintahan
yang adil, berbasis agama, dan efisien yang diterapkan oleh Khalifah Umar
bin Khattab. Dengan pemeliharaan sumber ajaran agama, politik yang merata,
pelimpahan wewenang kepada hakim daerah, dan peningkatan efisiensi
administrasi, Khalifah Umar berusaha untuk membangun fondasi yang kuat
dalam menerapkan prinsip-prinsip Islam dan memberikan pelayanan yang
baik kepada masyarakat.

4. kebijakan khalifah Umar dalam hal perluasan wilayah (ekspansi) Islam ke


daerah Romawi dan Persia?kebijakan khalifah Umar dalam hal perluasan
wilayah (ekspansi) Islam ke daerah Romawi dan Persia
Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab dalam hal perluasan wilayah
(ekspansi) Islam ke daerah Romawi dan Persia adalah sebagai berikut.
a) Strategi Militer yang Efektif
Khalifah Umar mengadopsi strategi militer yang efektif dalam
menaklukkan wilayah Romawi dan Persia. Ia membentuk pasukan yang
terorganisir dengan baik, memilih jenderal yang kompeten, dan
mengembangkan taktik yang berhasil. Melalui serangkaian pertempuran dan

31
pengepungan yang terencana, pasukan Muslim berhasil merebut banyak
wilayah Romawi dan Persia.
b) Perlindungan bagi Non-Muslim
Khalifah Umar memberikan perlindungan kepada non-Muslim yang
tinggal di wilayah yang ditaklukkan. Ia memberlakukan kebijakan amanah
(amanah treaty), dimana penduduk non-Muslim diberikan hak-hak dan
kebebasan beragama mereka. Dengan cara ini, Khalifah Umar memastikan
bahwa penduduk setempat tidak dirugikan oleh perubahan kekuasaan.
c) Pembangunan Infrastruktur dan Administrasi
Setelah merebut wilayah baru, Khalifah Umar fokus pada
pembangunan infrastruktur dan administrasi. Ia memperbaiki jaringan jalan,
mendirikan pasar, dan membangun sistem administrasi yang efisien. Hal ini
bertujuan untuk memperkuat perekonomian dan memastikan pemerintahan
yang baik di wilayah-wilayah yang baru dikuasai.
d) Pendekatan Diplomatik
Khalifah Umar juga menggunakan pendekatan diplomatik dalam
menghadapi wilayah Romawi dan Persia. Ia menjalin hubungan dengan
negara-negara tetangga dan membangun aliansi yang strategis. Dalam
beberapa kasus, ia juga melakukan perjanjian damai dengan musuh-musuhnya
untuk mencapai stabilitas dan perdamaian.

e) Kesatuan Umat Muslim


Khalifah Umar sangat memperhatikan kesatuan umat Muslim dalam
konteks ekspansi wilayah. Ia menekankan pentingnya persatuan dan
solidaritas antar-Muslim, serta mendorong kolaborasi di antara mereka untuk
mencapai tujuan bersama. Hal ini membantu membangun fondasi yang kuat
dalam menghadapi tantangan ekspansi wilayah.
Kebijakan-kebijakan ini mencerminkan kepemimpinan yang strategis dan
progresif dari Khalifah Umar dalam hal perluasan wilayah Islam ke daerah

32
Romawi dan Persia. Dengan strategi militer yang efektif, perlindungan terhadap
non-Muslim, pembangunan infrastruktur dan administrasi, pendekatan
diplomatik, serta penekanan pada kesatuan umat Muslim, Khalifah Umar berhasil
memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan cara yang efisien dan
berkelanjutan.

5. Meneladani Kebijaksanaan Umar Dalam Memberantas Kebhatilan


Untuk meneladani kebijaksanaan Khalifah Umar dalam memberantas
kebathilan, berikut adalah beberapa cara yang bisa Anda terapkan:
a) Keadilan dan Kesetaraan
Teladani prinsip keadilan dan kesetaraan yang diterapkan oleh
Khalifah Umar. Perlakukan semua orang dengan adil dan tanpa diskriminasi.
Jangan membedakan orang berdasarkan agama, suku, ras, atau latar belakang
mereka.
b) Penegakan Hukum yang Adil
Terapkan hukum dengan adil dan konsisten. Pastikan bahwa
pelanggaran hukum dan kebathilan diberikan sanksi yang setimpal. Dukung
lembaga penegak hukum yang independen dan bekerja sama dengan mereka
untuk memastikan keadilan bagi semua.
c) Mendukung Hak Asasi Manusia
Hargai dan promosikan hak asasi manusia dalam setiap tindakan
Anda. Lindungi hak-hak individu, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan
beragama, dan perlindungan dari penindasan. Lawan kebathilan dan
pelecehan hak-hak tersebut dengan memberikan dukungan bagi organisasi
atau lembaga yang berperan dalam melindungi hak asasi manusia.
d) Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat
Edukasi diri sendiri dan masyarakat tentang pentingnya menghormati
hak-hak dan kebebasan individu. Sosialisasikan nilai-nilai keadilan, toleransi,
dan penghargaan terhadap perbedaan. Melalui pendidikan dan kesadaran, kita

33
dapat mencegah terjadinya kebathilan dan membangun masyarakat yang
inklusif.
e) Partisipasi Aktif
Ajak diri sendiri dan orang lain untuk menjadi agen perubahan dalam
memberantas kebathilan. Bekerja sama dengan organisasi atau lembaga yang
berfokus pada penegakan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Dukung
kampanye atau gerakan yang memperjuangkan keberagaman, kesetaraan, dan
keadilan.
f) Kesatuan dan Solidaritas
Bangun kesatuan dan solidaritas di antara masyarakat dalam melawan
kebathilan. Jalin hubungan yang baik dengan sesama dan hindari perpecahan
atau konflik yang dapat memperburuk situasi. Bersatu untuk mencapai tujuan
bersama dalam menciptakan masyarakat yang bebas dari kebathilan.
Dengan meneladani kebijaksanaan Khalifah Umar, kita dapat
berkontribusi dalam memberantas kebathilan dan menciptakan masyarakat
yang adil dan harmonis. Ingatlah bahwa setiap individu memiliki peran
penting dalam memperjuangkan keadilan dan melawan kebathilan, dan
bersama-sama kita dapat mencapainya.

6. Meneladani Sifat Santun Dan Kesosialan Khalifah Umar Ibn Alkhaththab


Sifat santun Khalifah Umar Ibn Al-Khattab adalah salah satu ciri penting yang
membuatnya dihormati dan dijadikan contoh teladan oleh banyak orang. Meneladani
sifat santun Khalifah Umar dapat membantu kita menciptakan hubungan yang
harmonis, membangun rasa saling menghormati, dan menciptakan lingkungan yang
penuh dengan nilai-nilai positif. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diikuti
dalam menekadani sifat santun umar sebagai berikut;

34
a) Rendah Hati
Khalifah Umar selalu menjaga sikap rendah hati dalam pergaulan
dengan semua orang, baik itu kalangan atas maupun bawah. Beliau tidak
pernah menyombongkan diri atau merasa lebih unggul dari orang lain.
b) Sopan Santun dalam Berbicara
Dalam berkomunikasi, Khalifah Umar selalu menggunakan kata-kata
yang sopan dan menghormati lawan bicaranya. Beliau menjauhi penggunaan
kata-kata kasar, menyakitkan, atau merendahkan orang lain.
c) Mendengarkan dengan Penuh Perhatian:
Beliau memiliki kebiasaan mendengarkan dengan penuh perhatian
ketika ada orang yang ingin berbicara atau melaporkan masalah. Beliau tidak
terburu-buru memotong pembicaraan orang lain dan memberikan ruang untuk
pendapat mereka.
d) Menghormati Orang Tua
Khalifah Umar sangat menghormati orang tua dan mengedepankan
nilai-nilai kesantunan terhadap mereka. Beliau memberikan tempat yang
istimewa bagi orang tua dalam kehidupannya dan senantiasa memberikan
perhatian dan bantuan kepada mereka.
e) Perlakuan Adil
Salah satu sifat utama Khalifah Umar adalah keadilan. Beliau tidak
memihak kepada siapapun berdasarkan status sosial, suku, atau agama.
Perlakuan beliau kepada semua orang didasarkan pada keadilan dan
kesetaraan.
f) Menghargai Pendapat Orang Lain
Khalifah Umar memahami pentingnya mendengar pendapat dari orang
lain sebelum mengambil keputusan. Beliau selalu terbuka untuk menerima
masukan dan saran dari mereka yang memiliki pandangan berbeda.
g) Kesopanan dalam Bertindak

35
Khalifah Umar menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dalam
bertindak. Beliau tidak pernah melibatkan diri dalam tindakan yang kasar atau
merendahkan orang lain. Sebaliknya, beliau selalu menunjukkan sikap santun
dan hormat kepada siapa pun yang berinteraksi dengannya.
Meneladani sifat santun Khalifah Umar dapat membantu kita menciptakan
hubungan yang harmonis, membangun rasa saling menghormati, dan menciptakan
lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai positif.Dengan meneladani sifat santun dan
kesosialan Khalifah Umar Ibn Al-Khattab, kita dapat menciptakan lingkungan yang
penuh dengan rasa hormat, empati, dan kebaikan. Ingatlah bahwa setiap tindakan
kecil yang dilakukan dengan niat baik dapat memiliki dampak besar dalam
masyarakat.

36
BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Periode pemerintahan khulafaur rasyidin merupakan masa penting dalam


sejarah peradaban islam mereka berhasil memperluas wilayah islam,menerapkan
hukum syariah,membangun infrastruktur ,perkembangan ilmu pengetahuan Dengan
wafatnya Nabi maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni
kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spritual dan temporal
(duniawi) dan berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi
tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi
Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak
meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus
menggantikan beliau sebagai pemimpin umat.
Akan tetapi dari sinilah lahir kesepakatan atau konsep yang amat penting yaitu
sistim pemilihan kepala negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain
pemilihan. Dan secara faktual tidak menerima pemilihan melalui metode pewarisan.
Khulafaurasyidin adalah kekhalifahan pertama yang berdiri setelah wafatnya Nabi
Muhammad pada 632 masehi.
Khulafaur Rasyidin berjumlah empat khalifah, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq,
Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa
kepemimpinannya, Khulafaur Rasyidin memberi kontribusi besar dalam peradaban
Islam. Para khalifah yang berkuasa selalu menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam
kepemimpinannya dan mereka dikenal mempunyai perilaku terpuji yang patut
diteladani umatnya.

37
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik Nazhim Abdullah, PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2019: Jakarta Timur

Barah,sayidah, 2017.sejarah kebudayaan islam madrasah tsanawiyah, cv gema nusa;

Chamdillah, muh 2020. Sejarah kebudayaan islam mts kelas VII, Jakarta; direktorat

KSKK madrasah

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru

Von Hoeve

Fatmawati, 2010, sejarah peradaban islam jilid 1, Batusangkar; Stain Batusangkar

Press

PulunganSuyuti, 2018. sejarah peradaban islam, jakarta:Bumi aksara

38
LAMPIRAN

39
40
41

Anda mungkin juga menyukai