Anda di halaman 1dari 22

Selasa, 05 Desember 2017

MAKALAH DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN


SATIMTERUS
MAJU TERUS EKSPEDISI HUMANIORA
Selasa, 05 Desember 2017

MAKALAH
DAKWAH KHULAFAUR RASYIDIN

Dibuat untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu : FRANKY MUBAROK, M.Ud.
Disusun oleh :
                         S A T I M

FAKULTAS KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)


SEKOLAH TINGGI ILMU DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STIDKI NU) INDRAMAYU
TAHUN 2017

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahiim. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur penulis


panjatkan kepada ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah, sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Sejarah Dakwah yang berjudul
“Dakwah Khulafaur Rasyidin”
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman Dakwah Khlalafaur Rasyidin, biografi
singkatnya, serta gaya politiknya.
Merupakan suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya untuk penulis, kritik dan saran bersifat membangun  dari pembaca,
tentu saja sangat kami perlukan demi perbaikan penulisan atau penyusunan makalah
selanjutnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah kami ini.

   Indramayu, November 2017

                 Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................      i


DAFTAR ISI ................................................................................................      ii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................      1


.    Latar Belakang ..................................................................................      1
     Rumusan Masalah .............................................................................      2

    Tujuan ................................................................................................      2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................      3


.    Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin ..........      3
     Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin ..      5

    Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin .................................      11

BAB III PENUTUP .....................................................................................      27


1.      Kesimpulan ....................................................................................      27
2.      Saran ..............................................................................................      28

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................      29

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG


Khulafaur Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar ibn
Khattab, Utsman ibn Affan Radhiallahu Ta’ala anhum, dan Ali ibn Abi Thalib
Karamallahu Wajhahu dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah
pemerintahan yang Islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan menggantikan Beliau Shallallahu’Alaihi Wasallam sebagai
pemimpin politik umat Islam setelah Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat.
Nabi Muhammad SAW nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada
kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
  Karena itulah, tidak lama setelah Beliau wafat, jenazahnya belum segera
dimakamkan. Sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar malah disibukkan berkumpul di
balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka menggelar musyawarah siapa yang akan
dipilih menjadi pemimpin umat Islam pengganti Nabi Muhammad SAW.
Musyawarah itu berjalan cukup alot, karena masing-masing pihak, baik
Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat
Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu
Bakar Radhiallahu’anhu terpilih.
Tampaknya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu’anhu mendapat
penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima
dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu
disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan
selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah
Nabi Muhammad SAW wafat, untuk menggantikan Beliau dalam melanjutkan tugas-
tugas sebagai pemimpin agama, dan kepala pemerintahan.

B.      RUMUSAN MASALAH


1.      Siapa saja yang dimaksud dengan Khalifaur Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin
berikut biografi singkatnya ?
2.      Gerakan dakwah apa saja yang beliau lalukan demi terjaganya ajaran Islam
hingga sekarang ?
3.    Bagaimana sistem politik pada masa Khulafaur Rasyidin ?

C.      TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah “Dakwah Khulafaur Rasyidin” ini
adalah :
1.        Mengetahui sejarah pembentukan Khulafaur Rasyidin.
2.              Mengetahui siapa saja Khulafaur Rasyidin dan bagaimana sistem politik
pemerintahannya.
3.        Sebagai bahan pelajaran dan kajian ilmu pengetahuan dalam syi’ar Islam hingga
di zaman sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN

Yang termasuk Khulafaur Rasyidin  pasca wafatnya Nabi Muhammad SWA berikut
biografi singkatnya dalah sebagai berikut :

A.   Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin


v    Abu Bakar As-Shidiq
Nama asli Abu Bakar Ash-Shidiq ialah Abdullah ibn Abi Quhaafah ‘Utsman ibn
Umar, yang sanad keturunannya masih bersambung dengan Nabi SAW yaitu pada
Ka’ab. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Adapun pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dilakukan atas
kesepakatan orang Muhajirin dan Anshor lantaran terjadinya kevakuman dalam
kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar menjadi khalifah
ialah Umar ibn Khatthab kemudian diikuti oleh seluruh orang Muhajirin dan
Anshor.[1]

v    Umar ibn Khatthab


Umar ibn Khattab dilahirkan 13  tahun setelah tahun kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Nama asli Khalifah Umar ibn Khatab ibn Nufail ibn Abdil Uzza
ibn Rabbah. Beliau juga dijuluki Abu Hafshin yang didapatkan dari Nabi
Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad SWA melihat sifat tegas yang
dimilikinya. Abu Hafshin adalah julukan bagi singa. Beliau adalah orang pertama
yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat. Kekhalifahan Umar
ibn Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari. Semenjak
tanggal 23 Jumadil Akhir 13 Hijriyah hingga 26 Dzulhijjah Tahun 23 Hijriyah.[2]

v ‘Utsman ibn ‘Affan


‘Utsman ibn ‘Affan adalah seorang saudagar atau pedagang, ia termasuk
saudagar yang sukses dan berhasil, beliau terkenal lembut, sabar, tekun dan
pemurah. Dengan ketekunan yang dimilikinya serta kemurahan hatinya dalam
berdagang, pada usia yang masih muda, ia sudah berdagang di negeri Syam dan
Hirah. Pada waktu itu, negeri Syam masih dijajah kerajaan Romawi, sedangkan
Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan berbekal pengalaman berdagang, ia
memiliki kakayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau berasal dari suku
Umayyah ibn Abdu Syams ibn Abdu Manaf, dengan nama asli ‘Utsman ibn ‘Affan
ibn Abi al-Ash. Sebelum Beliau masuk Islam beliau tidak banyak mengetahui
tentang Nabi Muhammad SAW, Beliau hanya mengetahui tentang beberapa
kepribadian Nabi Muhammad SAW dari perang lain. Yang Beliau ketahui, bahwa
Nabi Muhammad SAW memiliki kejujuran. Selain itu, ia juga mengetahui sedikit
tentang kepemimipinan Nabi Muhammad SAW.
Adapun keinginan Beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW kemudian
disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar. Kebetulan, rumah Abu Bakar
tidak terlalu jauh dari rumahnya. Beliau masuk Islam sebelum Nabi Muhammad
SAW masuk ke Darul Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya raya. Beliau
menjabat sebagai khalifah sesudah ‘Umar ibn Al Khaththab r.a berdasarkan
kesepakatan ahlu syura. Beliau dilahirkan 5 tahun setelah tahun kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Beliau terus menjabat khalifah hingga terbunuh sebagai syahid
pada bulan Dzulhijah tahun 35 Hijriyah dalam usia 90 tahun. Menurut salah satu
pendapat ulama, Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun kurang tahun
35 Hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.[3]

v    Ali ibn Abi Thalib


Ali Ibn Abi Thalib lahir 32 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad
SAW.  Beliau merupakan putra dari paman Nabi Muhammad SAW yang
mempunyai nama asli Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Mutholib ibn Hasyim.
Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan
anak-anak. Rasulullah shallallahu‘Alaihi Wasallam menyerahkan kepadanya
bendera jihad pada saat perang Khaibar, yang dengan perantara perjuangannyalah
Allah memenangkan umat Islam dalam pertempuran.
Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh. Beliau
menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan
Ramadhan tahun 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung
selama 4 tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.[4]

B.   Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin


1)    Dakwah pada masa Abu Bakar As-Shidiq
Abu Bakar yang memerintah selama dua setengah tahun tepatnya dua tahun
tiga bulan dua puluh hari. Walau masa pemerintahannya sangat singkat, namun
sarat dengan amal dan jihad. Di saat Abu Bakar memerintah, tiba-tiba Madinah
dikejutkan oleh gerakan yang menggerogoti sistem Islam yang meluas hampir ke
semenanjung Arabia.
Bentuk gerakan tersebut ialah : murtad dari agama Islam karena mengikuti
nabi palsu yaitu Musailamah al-Kadzab, Thulaihah al-Asad dan al-Aswad al-Anasi
dari Yaman. Kemudian muncul gerakan keengganan (membangkang) untuk
membayar zakat karena mengikuti Malik ibn Nawiroh dari Bani Tamim.
Selain menghadapi rongrongan dari dalam Islam sendiri Abu Bakar juga
melakukan ekspansi wilayah keluar daerah diantara hingga mencapai Bashrah,
Qatar, Kuwait, Iraq, bahkan hingga daerah kekuasaan kekaisaran Romawi yang
meliputi Mesir, Syiria, dan Palestina.
Gerakan dakwah yang paling menonjol pada Khalifah Abu Bakar, ialah
pengumpulan Al-Qur’an. Alasan utama dikumpulkannya Al-Qur’an, ialah rasa
kekhawatiran seorang Umar ibn Khatthab terhadap masa depan Islam jika kadar
intinya yang menjaga Islam dengan Al- Qur’an (Qurra dan Huffadz) gugur satu per
satu di medan perang.[5]

2)    Dakwah pada masa Umar ibn Khatthab


a.    Penyempurnaan Fath Irak
Irak dijadikan pangkalan kekuatan kaum Muslimin untuk melakukan
perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya. Irak saat itu meliputi kawasan
Kuffah (ibu kota Islam pada masa Ali), kemudian Baghdad (ibu kota Islam pada
masa Abbasiyah), dan Samra yang didirika pada masa Mu’tasyim.
b.    Iran
Setelah Irak ditaklukkan, kemudian negeri-negeri lain pun di Persia juga
ditaklukkan, diantaranya negeri-negeri di seberang sungai. Dengan demikian
habislah riwayat Imperium Persia.
c.    Syam dan Palestina
Ketika khalifah pertama Abu bakar meninggal dunia sedang berlangsung
di Syam dibawah komando Khalid ibnn Walid, dibantu oleh Abu Ubaidah ibn
Jarrah, Amr ibn Ash, Yazid ibn Abi Sufyan Syurahbil ibn Hasanah. Ketika Umar
diangkat menjadi Khalifah, beliau mengangkat Abu Ubaidah sebagai panglima
teringgi untuk kawasan Syam. Khalid dikirimi surat pengunduran dirinya sa’at
perang sedang berlangsung. Pakar sejarah berpendapat, peristiwa ini terjadi
pada perang Yarmuk. Khalid menerima keputusan itu, beliau tetap aktif ikut
dalam peperangan dibawah komando Abu Ubaidah. Sebagian ahli sejarah
mengatakan, ditunjuknya Abu Ubaidah oleh Umar karena kondisi di lapangan
saat itu membutuhkan pemimpin yang kriterianya ada pada Abu Ubaidah,
beliau memiliki keahlian dalam hal lobby dan administrasi, sedangkan keahlian
Khalid adalah strategi perang.

d.    Yordania 
Dalam upaya perluasan daerah kewilayah ini, kaum muslimin harus
mengambil jalan terakhir, yaitu menghadapi pasukan Romawi yang  tidak mau
mempersilahkan kaum muslimin melakukan dakwah secara damai. Kaum
muslimin berhasil memenangkan pertempuran.
e.    Syiria 
Pasukan Islam melanjutan perjalanannya menuju Dimasyq (damaskus)
dibawah komando Ubaidillah ibn Jarrah. Setelah Syiria tunduk, pasukan
bergerak menuju ke utara. Yaitu Hims, Hamat, Halb, Shoid, dan Bairut.
f.     Palestina
Sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, negeri Palestina tidak bisa
dipisahkan dengan kaum muslimin. Aqhsa adalah negeri suci ketiga yang
diperintahkan kepada kaum muslimin untuk dikunjungi. Berdasarkan
kenyataan tersebut, kaum muslimin betul-betul serius untuk membebaskan
negeri ini dari kekuasaan Romawi. Namun akhirnya mereka memilih damai,
dan meminta kepada pasukan agar langsung menghadirkan Umar ibn Khatthab
perihal tersebut. Di pintu negeri Palestina, Umar disambut oleh Beartrick
Ciprunius dan sebagian pemimpin kaum muslimin.
Pada kesepakatan itu, Umar membuat kesepakatan untuk memberikan
rasa aman, yaitu keamanan harta benda dan jiwa, serta syiar keagamaan
kepada penduduk asli. Kesepakatan itu dikenal dengan perjanjian Umar.
Ketika waktu sholat ashar Umar menolak untuk sholat di gereja Qiamat,
tetapi beliau sholat di luarnya, khawatir dikemudian hari kaum muslimin
mengikuti sunnah Umar. Perbuatan Umar ini menegaskan bagaimana toleransi
kaum muslimin dengan orang yang tidak seagama. 

g.    Ekspedisi kawasan Maghribi


Ekspedisi penyiaran Islam keluar kawasan Arab, kemudian memecah diri
ke beberapa penjuru. Disamping gerakan kearah Timur mereka juga bergerak
kearah Barat. Pasukan sebesar 4.000 orang prajurit muslim bergerak ke Mesir
dibawah Panglima Amr ibn Ash.
Sepanjang perjalanan pasukannya makin bertambah, sampai mencapai
20.000 orang. Hal ini menimbulkan kesan bagi orang Islam telah
membangkitkan daya tarik untuk bergabung dalam pasukan dibawah panji-
panji Islam. Sukses kembali ada di prajurit berkuda kaum muslimin yang telah
terlatih pula. Seruan kalimat  Allahu akbar  disetiap medan perang tampaknya
menimbulkan efek ganda. Disatu sisi, berhasil membangkitkan semangat dan
ketegaran bagi umat Islam dalam melaksanakan misi suci mereka dalam
penyebaran Islam. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalid ibn Walid
adalah menjadikan kota Heliopolis sebagai ibu kota Islam di Mesir. Dalam
perkembangan selanjutnya kota ini dikenal dengan sebutan Cairo Lama yang
kelak mejadi ibu kota Mesir.
Setelah mendapatkan izin dan restu khalifah pasukan Amr ibn Ash
meneruskan ekspedisinya ke kawasan matahari tenggelam di jalur Afrika
Utara. Dalam ungkapan bahasa Arab, kawasan itu disebut kawasan Magribi,
yang berasal dari dari kata ghurubi syamsy yang berarti tenggelam matahari.
Tidak seorang prajurit dan orang Arab berhak atas kawasan baru itu.
Semua kawasan dan kekayaan baru langsung menjadi milik Islam. Penguasa
setempat tidak dipaksa untuk memeluk Islam, kecuali atas kemauan sendiri.
Mereka diberi hak untuk meneruskan kepemimpinan otonom di kawasan
mereka, namun tetap berkewajiban untuk membayar pajak perlindungan
(jizyah) kepada kekhalifahan di Madinah.[6]
3)    Dakwah pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan
Melalui proses yang panjang, maka terpilihlah ‘Utsman ibn ‘Affan sebagai
khalifah. Pada masa kekhalifahannya langkah yang diambil ialah sebagai berikut:
a.    Perluasan wilayah
Pada masa khalifah ‘Utsman inilah pertama kali dibentuk angkatan laut untuk
menyerang daerah kepulauan yang terletak di laut tengah. Masa ini juga
dibangun kapal perang sehingga dapat menaklukkan wilayah hingga mencapai
Asia dan Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, juga
Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan sisa dari wilayah Persia.
b.    Sosial budaya
Membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur
pembagian air ke kota. Membangun jalan, jembatan, masjid, rumah,
penginapan para tamu dalam berbagai bentuk serta memperluas Masjid
Nabawi di Madinah.
Namun pada pertengahan kedua pemerintah ‘Utsman retak ditimpa
perpecahan yang disebabkan karena kebijakan ‘Utsman dalam mengganti para
gubernur yang diangkat Umar yang didominasi dari keluarga Bani Umayyah.
Sebagai contohnya, khalifah ‘Utsman mengganti Sa’ad ibn Abi Waqash yang
merupakan gubernur Kufah dengan Walid ibn Uqbah yang merupakan saudara
se-ibu khalifah ‘Utsman.
c.    Penetapan Mushaf ‘Utsmani
            Umat Islam pada masa khalifah ‘Utsman tinggal dalam wilayah yang sangat
luas dan terpencar-pencar, sehingga penduduk masing-masing daerah tersebut
membaca ayat-ayat Al- Qur’an menurut bacaan yang mereka pelajari dari tokoh
sahabat yang terkenal dari wilayah mereka (di Syiria masyarakat mengacu
pada bacaan Ubay ibn Ka’ab, di Kufah masyarakat mengacu pada bacaan
Abdullah ibn Mas’ud). Persoalan tersebut menimbulkan perselisihan di
kalangan umat Islam.
Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah ‘Utsman membentuk sebuah tim yang
bertugas untuk menyalin dan mengkodifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam
satu mushaf resmi yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushaf tersebut dibuat
lima buah, empat buah dikirim ke wilayah Makkah, Syiria, Kufah, Bashrah dan
satu tinggal di Madinah. Mushaf hasil kerja dari tim kodifikasi Al Qur’an pada
masa khalifah ‘Utsman yang tinggal di Madinah disebut dengan Mushaf
‘Utsmani atau Mushaf Al-Imam yang sampai sekarang masih kita gunakan,
bahan digunakan di selruh penjuru dunia.[7]

4)    Dakwah pada masa Ali ibn Abi Thalib


Sejarah kepemimpinan khalifah Ali adalah sejarah terakhir masa kekhalifahan
umat Islam dalam sejarah setelah masa kenabian. Pada saat diangkat menjadi
khalifah, mewarisi kondisi yang sedang kacau. Ketegangan politik terjadi akibat
pembunuhan atas khalifah ‘Utsman. Seluruh jabatan gubernur saat itu hampir
seluruhnya diduduki oleh keluarga Umayyah. Para gubernur ini menuntut Ali
untuk mengadili pembunuh ‘Utsman.
Gerakan dakwah yang telah dilakukan oleh khalifah Ali secara garis besar
dapat diperinci sebagai berikut:
a)      Merombak para pejabat teras, terutama pejabat yang di dominasi oleh keluarga
Bani Umayyah.
b)      Menyamakan kedudukan seseorang dimata hukum. Seperti ketika khalifah Ali
menuduh seorang Yahudi mengambil baju besi kepada hakim. Dipihak Ali
memiliki keyakinan, bahwa si Yahudi tersebut mencuri baju besinya. Sedangkan
di pihak Yahudi bersikukuh, bahwa baju besi itu ia dapat dengan membelinya
dari orang lain. Hakim pun kemudian memutuskan bahwa yang berhak atas
baju besi itu adalah si Yahudi karena dari pihak Ali tidak dapat menghadirkan
saksi bahwa baju besi itu milik beliau. Hal inilah yang membuat si Yahudi
terkesima dan terkagum-kagum, betapa adilnya hukum Islam. Bahkan karena
kejadian ini sampai membuat si Yahudi bersyahadat dan menyatakan ke-
Islamannya.[8]

C.   Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin


1.       Awal Persoalan
Meninggalnya Nabi Muhammad SAW, menimbulkan kevakuman pemimpin
yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang
pemimpin negara (sebagai pemimpin negara mungkin ada orang yang bisa
menggantikannya), tetapi juga seorang nabi, pembuat undang-undang, guru
spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.
[1][1] Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut.
[2][2] Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan
menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat.
Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri
untuk menentukannya.  Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di
balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan
dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-
masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi
pemimpin umat Islam.   Hal ini sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal
pembahasan masalah Khulafaur Rasyidin.
2.    Pengertian Khalifah
Di dalam bukunya Fiqih Siyasah, Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa
Khilafah adalah pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga
kekhalifahan Islam meliputi berbagai suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah
merupakan kepemimpin umum yang mengurusi agama dan kenegaraan sebagai
wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi
seluruh kaum muslimun di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam
dan memikul dakwah Islam ke seluruh dunia.[3][3]
Dalam Al Qur’an terdapat dua bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al
Baqarah : 30 yang berarti : “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." dan dalam
surat shaad : 26 yang berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin
jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.
Menurut Watt, khalifah dalam pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu
Bakar serta  Khulafaur Rasyidin adalah bukanlah diambil dari ayat di atas,
melainkan pengertian yang diambil dari pemakaian sehari-hari. Dalam bahasa
arab, khalifah mempunyai makna dasar pengganti.[4][4]
Dalam bahasa Arab kuno, terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu
atau wakil pelaksana. Jadi makna ini menunjukkan kepada orang-orang yang diberi
kekuasaan untuk  melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar pengganti atau wakil atau
pembantu inilah Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, serta Ali akhirnya
menyandang gelar sebagai Kalifah al Rasyidin, yang berarti mendapat bimbingan
yang benar. Karena mereka melaksanakan tugas sebagai pengganti Nabi
Muhammad SAW menjadi kepala negara Madinah al-Munawwaroh dan sebagai
pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato penganugerahan sebagai Khalifah, mereka mengadakan kontrak
sosial dengan masyarakat Islam, bahwa mereka akan bekerja sama dengan
masyarakat yang dipimpinnya. [5][5] Dengan demikian para Khalifah
menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam menduduki jabatan
duniawi sebagai pemimpin politik kepala negara, dan jabatan ukhrawi sebagai
pemimpin agama. Bukan menggantikan nabi dalam jabatan kerasulan. Karena nabi
tidak akan tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu wahyu pun yang
diturunkan setelah berakhirnya kenabian Muhammad SAW.[6][6]
3.    Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1.     Abu Bakar Al Shidiq : Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at Tamimi. Pada zaman
sebelum Islam, ia bernama Abdul Ka’bah, kemudian oleh Nabi Muhammad
SAW diganti dengan Abdullah. Ia dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi
hari) sehingga nama ini yang banyak digunakan, karena ia menjadi pelopor
masuk Islam saat masyarakat Makkah masih dalam kegelapan Jahiliyyah. Gelar
Al Shidiq diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi Muhammad SAW
dalam berbagai peristiwa, terutama tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.[7][7]Abu
Bakar adalah pilihan yang paling ideal, lantaran dialah yang semenjak awal
telah mendampingi Nabi Muhammad SAW, dan paling paham tentang risalah
Nabi Muhammad SAW.[8][8]
Masa kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun,11-13 H
(632-634 M), diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya
diangkat menjadi pemimpin umat Islam sebagai khalifah rasulillah, yaitu
menggantikan Rasul melanjutkan tugas-tugas kepemimpinan agama dan
kepemimpinan pemerintahan. Penegasan ini membawa implikasi bahwa Abu
Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar Islam yang dibawa rasul sebagai
dasar dari kepemimpinannya.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, pada satu sisi memberikan
keuntungan tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah.
Namun pada sisi lain munculnya penolakan orang-orang Arab, terutama orang-
orang yang baru masuk Islam.
Penentangan terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suku
Arab merupakan sebuah realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima
kebenaran, sangat sulit untuk tunduk pada ajaran yang baru, yang tidak umum
berkembang pada lingkungan mereka.
Gerakan oposisi dan penetangan mereka yang disebut Riddah dibagi
menjadi :
(1). Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran Islam, kembali kepada
kepercayaan semula. Gerakan Riddah ini secara politik merupakan
pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan.[9][9]
(2).  Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan mereka membayar zakat
disebabkan pandangan salah mereka tentang zakat yang dikira pajak.
(3). Gerakkan yang mengangkat diri mereka menjadi nabi : seperti yang
dilakukan Musailamah al Khazzab (pendusta) yang menyatakan bahwa
nabi telah mengangkat dirinya sebagai mitra di dalam kenabian. Di Yaman
muncul orang-orang yang mengaku nabi, yaitu Aswad Ansi dan Sajjah ibn
Haris.[10][10]
(4). Gerakan dari suku-suku pembangkang yang mengklaim, bahwa Islam
adalah agama bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih kembali
kemerdekaan.[11][11]
Melihat kondisi bangsa Arab dalam wilayah kekuasaan Islam yang menolak
terhadap kekhalifahan Abu Bakar, bahkan penolakan terhadap Islam, maka
orientasi politik yang dijalankannya pertama kali adalah melakukan
konsolidasi, mempersatukan masyarakat Arab dalam kekuasaannya, dan dalam
keagamaan Islam, serta tetap dalam menjalankan ajaran agama.
Terhadap gerakan Riddah, kembali ke ajaran nenek moyang mereka, Abu
Bakar melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka dengan melakukan
tekanan dan ajakan kembali ke jalan Islam. Namun ketika mereka menolak,
baru dilakukan peperangan. Begitu juga ketika menghadapi orang yang tidak
mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu, tindakan Abu Bakar adalah
melakukan pembersihan, menumpas,  serta memerangi mereka. Perang Riddah
melawan kemurtadan yang berjalan alot berhasil dimenangkan oleh
pemerintah Abu Bakar di bawah pimpinan Khalid ibn Walid.
Namun, disamping itu semua, banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas
dalam perang tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan
mengusulkan kepada Abu Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar
pada awalnya tidak menyetujui usulan ini, karena tidak ada otoritas dari Nabi
Muhammad SAW untuk membukukan Al-Qur’an. Namun kemudian,   ia setuju
dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk menuliskannya.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi.
Ada dua ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar, yaitu :
(1). Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam
ekspansi ini (tahun 634 M). Pasukan Islam dapat menguasai dan
menaklukkan Hirah, sebuah kerajaan Arab yang loyal kepada Kisra di
Persia
(2)    Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr
ibn Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang dilakukan oleh
keempat panglima perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid
ibn Walid untuk menguasai wilayah tersebut. Karena kemenangan tersebut
akan sangat besar artinya bagi penguasaan daerah-daerah lain di barat dan
utara. Akhirnya pasukan Islam di bawah panglima Khalid dapat
mengalahkan pasukan Romawi dalam peperangan Ajnadain pada tahun
634 M.[12][12]
Ketika pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian
Damascus, Baalbek, Homs, Hama,Yerussalem, Mesir, dan Mesopotamia, Abu
Bakar meninggal dunia, Senin 23 Agustus 634 M, setelah menderita sakit selama
beberapa hari. Dalam menjalankan politik pemerintahannya selama 2 tahun 3
bulan dan 11 hari, Abu Bakar mengedepankan aspek musyawarah untuk
menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga secara internal kondisi
pemerintahnnya stabil.
2.     Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari
‘Adi, salah satu suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih
muda 4 tahun dari Rasulullah di Makkah. Umar dibesarkan dalam lingkungan
yang meskipun kecil dan tidak kaya, tapi menonjol di bidang ilmu. Karena itu,
kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dalam
suku Quraisy, seperti pernah dilakukan oleh kakenya Nufail ibn al uzza yang
sukses menyelesaikan persengketaan antara Abd al Muttahlib dengan Hazid ibn
Umayyah.[13][13]
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari tahun 13-23 H (634-
644 M).  Dalam masa pemerintahannya, Umar melakukan beberapa langkan
politik. Langkah politik ekspansi merupakan langkah yang paling populer
selama pemerintahan Umar. Langkah ini harus dilakukan, karena pasukan
Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim oleh pemerintahan
Abu Bakar. Mau tidak mau dia harus meneruskan langkah tersebut. Umar
sangat tahu sekali kondisi psikologi pasukan Islam, yang punya semangat
dakwah yang sangat tinggi untuk menyerukan ajaran-ajaran agama Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Selain karena bangsa Arab (kaum Badui) terbiasa dengan kehidupan
berpindah-pindah (nomad) dan suka berperang. Penyatuan antara kedua aspek
dakwah, nomad dan suka berperang dari pasukan Islam, akhirnya digunakan
untuk melakukan ekspansi dan dengan cepat dapat menundukkan wilayah
kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan
pasukan Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia
disebabkan pula oleh ; (1). Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara
militer telah lemah akibat peperangan di antara mereka, atau perang melawan
pasukan Islam sebelumnya. (2). Perilaku kedua kerajaan ini terhadap
rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan
Islam bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam
kekuasaan pemerintahan Umar ibn Khattab.
Langkah politik kedua sebagai akibat dari penyerbuan pasukan Islam ke
daerah bekas kekuasaan Romawi dan Sasania adalah mengkonsentrasikan
pasukan Islam hanya digunakan untuk menjalankan penaklukan dan untuk
membentengi wilayah yang telah ditundukkan.[14][14]
Langkah politik ketiga yang dilakukan Umar ibn Khattab, adalah pasukan
Islam tidak diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama
Islam. Prinsip ini sudah pernah dijalankan pada masa Rasulullah yang memberi
izin kepada pemeluk Yahudi dan Kristen tetap berpegang pada agamanya,
dengan catatan mereka harus membayar upeti.
Gubernur yang dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan
pajak dan upeti, mengawasi distribusi pajak sebagai gaji tentara, dan
memimpin peperangan serta pelaksanaan Shalat jama’ah. Namun dalam
perkembangannya, ada perubahan dalam pengaturan terkait dengan urusan
sosial dan administrasi kenegaraan. Meskipun dalam penerapan antara satu
propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh wilayah dikuasai dan diurusi
negara Khurasan, dikuasai oleh penguasa lokal, di Mesir menghapus otonomi
kekeyaan fiskal, dan kota mengatur afministrasi yang mandiri.[15][15]
Langkah politik keempat adalah didasari oleh keberhasilan meluaskan
jajahan yang membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta, baik
rampasan,upeti, pajak dan lainnya. Untuk memudahkan urusan administrasi
dan keuangan, maka dalam pemerintahannya dibentuk lembaga-lembaga dan
dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara), pengadilan, dan
pengangkatan hakim, jawatan pajak, penjara, jawatan kepolisian juga membuat
aturan pembagian gaji kepada tentara, dan tentara cadangan, pemberian gaji
kepada guru-guru, muadzin dan imam, pembebanan bea cukai, pemungutan
pajak atas kuda yang diperdagangkan, pungutan pajak atas orang-orang
Kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.[16][16] Umar juga menempa mata
uang dan tahun Hijrah yang dimulai dari Hijrah Rasul.[17][17]
Dalam keagamaan tokoh cerdas ini merupakan mujtahid yang handal pada
zamannya. Dia menghasilkan ijtihad dimana pandangan-pandangannya
berbeda dengan Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hal. Namun tidak
keluar dari komitmennya yang kuat terhadap Al- Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Seperti peniadaan hukum potong tangan pada tindak pidana
pencurian, jatuhnya talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu khairun
min al naum dalam shalat shubuh, shalat tarawih dengan jumlah rakaat
sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan khalifah Umar yang berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan
dan 40 hari. Dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis, selain
karena dia meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya
dengan jalan membangun jaringan pemerintahan sipil[18][18] juga bersifat
egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam bernegara, tidak
membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat. Ketika akan
menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia bernama
Feros atau Abu Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam dengan
pisau. Khalifah terluka yang sangat parah,d an setelah 3 hari dari peristiwa
penikaman tersebut, Umar wafat pada tanggal 1 Muharram 23 H.
3.     Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan Nepotisme
Ia bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah.dengan
demikian ia berasal dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan dalam
dinasti Umayyah yang berkuasa setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari
trah bangsawan Makkah yang sangat dihormat,dua tahun setelah kelahiran
Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman merupakan sahabat nabi yang
sangat kaya raya tetapi berlaku sederhana dengan lebih menggunakan
kekayaannya untuk kejayaan Islam.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-
655 M), merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al
Rasyidin. Masa pemerintahan Usman terbagi atas dua periode, yaitu : 6 tahun
pertama merupakan pemerintahan yang baik, dan 6 tahun kedua merupakan
masa pemerintahan yang buruk.[19][19]
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang
dilakukan Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam
ekspansi ini dimotivasi oleh dakwah sekaligus memperluas kekuasaan, dimana
hasil rampasan, serta pajak dapat digunakan untuk meningkatkan kemajuan
negara serta kesejahteraan umat Islam.
Langkah politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian
kekuasaan pemerintah dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat
(sentralisasi) dari seluruh pendapatan provinsi, dan menetapkan juru hitung
safawi.[20][20] Langkah ini merupakan langkah yang strategis untuk menata
administrasi kenegaraan, karena makin luasnya wilayah kekuasaan dan makin
banyak pegawai, dan pasukan yang mendapat gaji, bahkan pendapatan negara
ia bagi-bagikan untuk kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-
daerah pendudukan yang jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan yang
brilian inilah saling dimanfaatkan antara Usman yang memang berasal dari
aristokrat Makkah Bani Umayyah,   atau bani-bani yang lain yang ada  di
Makkah, sehingga dapat dikatakan ia terlalu terikat dengan kepentingan orang-
orang Makkah.
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati
posisi penting dalam pemerintahan Usman, dalam pandangan sahabat dan
masyarakat Madinah menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian
rakyat yang pada beberapa waktu kemudian meletuslah pembangkangan, dan
pemberontakan di beberapa negeri yang dilakukan oleh orang-orang yang
kecewa terhadap kebijakan khalifah.  
Ketidak senangan mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak
terpilihnya Usman menjadi Khalifah, terutama orang-orang yang menyokong
Ali ibn Abi Thalib, yaitu orang-orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini
akhirnya menimbulkan tuduhan terhadap Usman, bahwa ia telah membagikan
harta negara kepada kerabat Khalifah seperti Hakam mendapat tanah Fadah,
kemudian Abdullah diizinkan mengambil sendiri 1/5 dari harta rampasan
perang di Tripoli. Tuduhan yang lain adalah bahwa Usman tidak bertindak atas
perilaku Marwan yang mengambil dan menyalahgunakan harta Baitul Maal
dan Mu’awiyah mengambil alih tanah negara di Suriah.[21][21] Padahal
Utsman Radhiallahu‘anhu yang paling berjasa membangun bendungan untuk
menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota.Dia
juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan
memperluas masjid Nabi di Madinah.
Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha
memperkenalkan edisi Al-Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru
dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit
pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan pengkodifikasian ini karena
Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara penduduk yang
menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman
menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang
ada pada Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut,
maka pengkodifikasikan telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan
mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh menyalin empat naskah dengan
pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana nantinya akan dikirim ke
Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus dibakar
termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah.[22][22] Namun maksud baik ini
ditentang oleh sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling
berhak atasAl-Qur’an. Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk
menetapkan edisi Al-Qur’an tersebut.[23][23]
Kebencian terhadap Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah
kekuasaan Islam. Di Kufah dan Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali
pun muncul ketidaksenangan terhadap Khalifah. Mereka diprakarsai oleh
Thalhah dan Zubair menentang gubernur yang diangkat oleh khalifah.
Tepat pada saat khalifah sedang membaca Al-Qur’an tanggal 17 Juni 656 H 
(35 M) Usman meninggal dunia karena dibunuh pemberontak. Pemerintahan
khalifah Usman masih dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, karena
Khalifah tidak pernah menunjukkan sifat refresif, bahkan dia sangat baik dan
shaleh. Seluruh waktunya banyak digunakan untuk ibadah. Namun perilaku
bawahannya yang tidak dapat diawasi karena faktor usia yang telah tua dan
lemah pada Usman inilah yang menjadikan pemerintahannya berkurang
demokrasinya.[24][24]
4.     Ali bin Abi Thalib
Ia bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad
dan menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Ali
merupakan sahabat nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah
masuk Islam dan mengakui risalah. Sebagai anak Abu Thalib yang secara
materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan ayahnya yang
berakhlak mulia dan terhormat, telah membentuk Ali mempunyai watak yang
lebih mementingkan aspek spiritual, sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih
berkonsentrasi pada perjuangan menegakkan Islam, keagamaan, dan keilmuan
tanpa menoleh sedikitpun pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661
M), diwarnai oleh timbulnya banyak kekacauan, dan pemberontakan-
pemberontakan. Pengangkatannya sebagai khalifah tidak dilaksanakan
sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Hal ini
disebabkan, karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau membentuk
dewan formatur untuk memilih khalifah. Ali diangkat melalui proses
pembai’atan langsung yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Madinah,
secara terbuka di masjid termasuk dihadiri kaum Muhajirin dan Anshar.[25]
[25]
Menurut Munawir Syadzali, setelah pembunuhan Usman, kota Madinah
dalam kondisi yang sepi dan kosong, karena banyak ditinggal oleh para sahabat
ke wilayah yang baru ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya
kota, sehingga keamanan dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari.
Hanya sedikit para sahabat yang masih tinggal di kota Madinah dan tidak
semuanya mendukung Ali, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash dan Abdullah ibn
Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta Aisyah menganggap tidak sah dengan
pembai’atan Ali sebagai khalifah karena tidak semua  ahli al halli wa al aqdi
hadir saat pembai’atannya. Ia menggugat  kepemimpinan Ali dengan alasan :
(1). Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan
khalifah ada pada seluruh wilayah negara, bukan monopoli orang-orang
Madinah.
Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus terang, tegas
bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam
menjalankan kebenaran. Setelah dibai’atnya Ali sebagai khalifah,
dikeluarkannya 2 buah ketetapan : (1). Memecat kepala-kepala daerah angkatan
Usman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala
daerah angkatan Ali itu ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak dapat
memasuki daerah yang ditetapkannya.[26][26] (2). Mengambil kembali tanah-
tanah yang dibagi-bagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya
tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Usman kepada
siapapun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.
Terhadap para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang
menuntut supaya Ali segera menghukum pembunuh Usman, Ali mencoba
menjalankan politik secara damai. Hal ini dilakukannya untuk menghindari
pertikaian di antara masyarakat Islam. Namun ketika kompromi ini diajukan
kepada Aisyah, Thalhah serta Zubair, ditolak. Maka peperangan tidak bisa
dihindarkan lagi. Terjadilah perang Jamal (unta), karena Aisyah janda nabi
menaiki unta, pada tahun 36 H. Dalam peperangan ini, pasukan Ali yang
didukung masyarakat Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat
memenangkan peperangan. Aisyah tertawanvdan dikembalikan ke
Madinah,sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan
diri bersama 20.000 kaum muslim yang gugur.
Adapun terhadap Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui
kekhalifahannya dan menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur di
Suriah, Ali melakukan tindakan penyerangan terhadap penguasa Suriah itu.
Peperangan terjadi di Shiffin, dekat Sungai Euphrat pada tahun 37 H. Dalam
peperangan ini sebenarnya pasukan Mu’awiyah telah terdesak kalah, dengan
terbunuhnya 7.000 orang. Namun dalam kondisi yang terdesak ini, Mu’awiyah
yang mempunyai siasat lihai, dengan mengangkat Al-Qur’an sebagai tanda
meminta damai dengan cara tahkim (arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar
Ali dan Mu’awiyah meletakkan jabatan yang diklaim mereka. Karena Musa al
Asyar sebagai wakil dari Ali lebih tua daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah,
maka dia lebih dahulu menyampaikan pidato. Namun ketika Amr ibn Ash
menaiki mimbar, bukannya yang diucapkan tentang penurunan Mu’awiyah
sebagaimana kesepakatan semula, tetapi mengucapkan penerimaan turunnya
Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Peristiwa
tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan di antara kaum
Muslim, namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan
Mu’awiyah membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan Khalifah Ali, dan
menyulut pertikaian baru, dengan munculnya kelompok khawarij, orang-orang
yang keluar dari barisan Ali dan menegaskan ketidak setujuannya terhadap
tahkim, bahkan berusaha membunuh Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya
tidak berhukum pada hukum Allah.
Dengan demikian umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan, yaitu
Mu’awiyah, Syi’ah (Ali), Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam
pertikaian politik dan lebih concern pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan
keluarnya Khawarij dari mendukung Ali, maka menjadi lemahlah kekuatan Ali,
sehingga Mu’awiyah dapat memperluas pengaruh dan kekuasaannya bukan
saja di Suriah, tapi juga di Mesir.  Hal ini membuat Ali menyetujui perjanjian
dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika
berita itu didengar oleh khawarij, seorang anggota Khawarij yang sangat
fanatik bernama Ibnu Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan
40 H (661 M).[27][27]  Setelah Ali terbunuh, kedudukan khalifah dijabat oleh
Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya perjanjian damai yang pada
intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah. Perjanjian itu
dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu
kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan
disebut dengan ‘Am Jama’ah (tahun persatuan)[28][28].

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perlu dijelaskan bahwa khilafah yang timbul setelah wafatnya Rasulullah tidak
berbentuk kerajaan, dalam arti kepala negara dipilih, dan tidak didasarkan turun-
temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai khalifah (11 H/632 vM-13 H/634 M)
merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam yang
berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin al-Khattab mendapat kepercayaan
sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar sebagai khalifah kedua (13 H/634 M-23 H/644
M) tidak melalui pemilihan dalam satu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui
penunjukkan atau wasiat oleh pendahulunya.
Sementara itu, Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga (23 H/644M- 35H/656M)
dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari 6 orang yang ditentukan Umar sebelum
wafat. Pasca wafatnya Umar, keenam orang tersebut berkumpul untuk
bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman ibn Auf, terjadilah permusyawarahan
yang akhirnya sepakat memilih Usman bin Affan sebagai pengganti Umar bin Khattab
dengan pertimbangan lebih tua dan lebih lunak sifatnya. Pasca pembunuhan Usman
oleh para pemberontak, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah melalui
pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu menurut Munawir Syadzali jauh dari sempurna. 
Semasa kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35 H/656 M-40 H/660 M)
dan di akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para pemberontak.
Ciri yang menonjol dari sisitem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada
mekanisme musyawarah bukan dari turun temurun. Tidak ada satupun dari 4 khalifah
tersebut  yang menurunkan kekuasannya pada sanak kerabatnya. Musyawarah
menjadi cara yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang
diajarkan Rasulullah SAW.
B.     Saran
Penulis menyadari, bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan,
guna perbaikan makalah kami di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali. Asal-Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William montgemory. Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu Syarif Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran politik Islam.
Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya : Pustaka
Islamika.2003.
file:///E:/MAKALAH/SEJARAH DAKWAH/Fajrifasri DAKWAH PADA MASA KHULAFA'UR
RASYIDIN.htm

[1][1] adalah:
[2][2] Asghar Ali Engineer. Asal-usul dan Perkembangan Islam.(Yogyakarta:Pustaka Pelajar.1999).hlm.213.
[3][3] Mujar Ibnu Syarif,Khamami Zada. Fiqh Siyasah.(Jakarta: Erlangga.2008)hlm.205.
[4][4] Ayat yang menunjukkan makna pengganti sebagai kata dasar ada pada 7 tempat.
[5][5] Lihat Abdul Azizi Thaba,Islam dan Negara,(Jakarta :Gema Insani,1996),102.
[6][6] Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. (Surabaya:Pustaka Islamika.2003).hlm.60.
[7][7] Shaban, SejarahIslam, (Jakarta : Rajawali,1993),25.
[8][8] Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh Al Islam I, (Kairo : Maktabah Al Misriyyah 1979),205. Lihat juga padaSyalabi.Sejarah dan kebudayaan
Islam I, Jakarta,jaya Murni,226.
[9][9] Bernand Lewis,39.
[10][10] Amin Said,220.
[11][11] Ira M Lapidus, Sejarah Sarid Ummat Islam,( Jakarta : Rajawalim1999),57.
[12][12] Ibid, 168
[13][13] Lihat Abbas Mahmud Al Aqqod, Abqoriyatu Umar, (Kairo Darus Sya’b,1969),27-28.
[14][14] Ibid, 63.
[15][15] Ibid, 65-66.
[16][16] Disarikan dari Syibl, Nu’mani, Al Farouq, Lifeat Omar the Great Second Caliph of Islam, Terjemahan Kadiriyo Djojosuwarno,
(Baqndung, Pustaka 1981), 555-557.
[17][17] As Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, 263.
[18][18] Mahmudunnasir,184.
[19][19] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta Ui Press, 1991,25-24.
[20][20] Ira M.Lapidus, 83-84.
[21][21] Mamudunnasir, 188-189.
[22][22] M. Hasbi Al shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an,(Yogyakarta : Bulan Bintrang  1986), 87-89.
[23][23]  Ira M. Lapidus 84, lihat juga dalam Ahmad Al Beladzuri, Futuh Al Buldan V, (Kairo :Maktabah, Al Mishriyah    tt),62
[24][24] Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya : Pustaka Islamika 2003),81.
[25][25] Coba anda lihat dan  bandingkan  dengan Yusuf  Musa,121-131. Ada suatu Riwayat yang menyatakan bahwa pembaiatan Ali
diawali dengan pemberontakan Usman yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’. Datang ke rumah Ali memintanya untuk jadi kholifah.
Pada mulanya Ali menolak,namun mereka tetap memaksa dan akhirnya Ali menerima dengan syarat harus dilakukan di masjid.baca
Abdul Aziz Thaba, 105-106.
[26][26] Lihat At Thabari III:456 dan seterusnya.
[27][27] Lihat Mahmudunnasir, 197-202.
[28][28] Hasan Ibrahim Hasan,64.

Satim di 20.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

‹ Beranda ›
Lihat versi web

PROFIL DIRIKU : Satim

Indramayu, Jawa Barat, Indonesia


Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai