Anda di halaman 1dari 18

Makalah tentang

“DAKWAH PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN”


Dibuat untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah “Sejarah Dakwah”
Dosen Pengampu : MUHAMMAD ZAINI FAJRI, M.Pd.

Disusun oleh :
 AHMAD HASAN AL MAKKI
 SANTRI WATI
 ZAENI IRAWAN

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NAHDLATUL WATHAN
(IAIH NW) LOMBOK TIMUR
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Bismillahi Wabihamdihi
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Segala puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH
SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Sejarah Dakwah yang berjudul “Dakwah Pada Masa Khulafaur
Rasyidin”
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman Dakwah Pada Masa Khlalafaur Rasyidin, biografi
singkatnya, serta gaya politiknya.
Merupakan suatu harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya untuk kami. Kritik dan saran bersifat membangun dari pembaca, tentu
saja sangat kami perlukan demi perbaikan penulisan atau penyusunan makalah kedepan nya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah kami ini.

Anjani, 1 Desember 2021

Pemakalah

Hasan, Santriwati, & Zaeni | ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1


A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3


A. Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin ..................................... 3
B. Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin …………………. 5
C. Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin ........................................................... 11

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 27


1. Kesimpulan ................................................................................................................ 27
2. Saran .......................................................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 29

Hasan, Santriwati, & Zaeni | iii


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Khulafaur Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan
Radhiallahu Ta’ala anhum, dan Ali ibn Abi Thalib Karamallahu Wajhahu dimana sistem
pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang Islami karena berundang-
undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa
yang akan menggantikan Beliau Shallallahu’Alaihi Wasallam sebagai pemimpin politik umat
Islam setelah Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat. Nabi Muhammad SAW nampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah Beliau wafat, jenazahnya belum segera dimakamkan.
Sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar malah disibukkan berkumpul di balai kota Bani
Sa'idah, Madinah. Mereka menggelar musyawarah siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin
umat Islam pengganti Nabi Muhammad SAW. Musyawarah itu berjalan cukup alot, karena
masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi
pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya,
Abu Bakar Radhiallahu’anhu terpilih. Tampaknya, semangat keagamaan Abu Bakar
Radhiallahu’anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-
masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut
Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut
khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Muhammad SAW
wafat, untuk menggantikan Beliau dalam melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama,
dan kepala pemerintahan.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja yang dimaksud dengan Khalifaur Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin
berikut biografi singkatnya ?
2. Gerakan dakwah apa saja yang beliau lalukan demi terjaganya ajaran Islam hingga
sekarang ?
3. Bagaimana sistem politik pada masa Khulafaur Rasyidin ?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah pembentukan Khulafaur Rasyidin.
2. Mengetahui siapa saja Khulafaur Rasyidin dan bagaimana sistem politik
pemerintahannya.
3. Sebagai bahan pelajaran dan kajian ilmu pengetahuan dalam syi’ar Islam hingga di
zaman sekarang.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | iv


BAB II
PEMBAHASAN

Yang termasuk Khulafaur Rasyidin pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. berikut
biografi singkatnya sebagai berikut :
A. Biografi singkat Khilafah Rasyidah atau Khulafaur Rasyidin
1) Abu Bakar As-Shidiq
Nama asli Abu Bakar Ash-Shidiq ialah Abdullah ibn Abi Quhaafah ‘Utsman ibn Umar,
yang sanad keturunannya masih bersambung dengan Nabi SAW yaitu pada Ka’ab. Beliau
dilahirkan 5 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Adapun pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah dilakukan atas kesepakatan orang
Muhajirin dan Anshor lantaran terjadinya kevakuman dalam kepemimpinan umat Islam pasca
wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan orang yang pertama kali membaiat Abu Bakar menjadi khalifah ialah Umar
ibn Khatthab kemudian diikuti oleh seluruh orang Muhajirin dan Anshor.
2) Umar ibn Khatthab
Umar ibn Khattab dilahirkan 13 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Nama asli Khalifah Umar ibn Khatab ibn Nufail ibn Abdil Uzza ibn Rabbah. Beliau juga
dijuluki Abu Hafshin yang didapatkan dari Nabi Muhammad SAW, karena Nabi Muhammad
SWA melihat sifat tegas yang dimilikinya. Abu Hafshin adalah julukan bagi singa. Beliau
adalah orang pertama yang dijuluki sebagai Amirul Mukminin secara luas oleh umat.
Kekhalifahan Umar ibn Al Khaththab berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan lebih 3 hari.
Semenjak tanggal 23 Jumadil Akhir 13 Hijriyah hingga 26 Dzulhijjah Tahun 23 Hijriyah.
3) Utsman ibn ‘Affan
Utsman ibn ‘Affan adalah seorang saudagar atau pedagang, ia termasuk saudagar yang
sukses dan berhasil, beliau terkenal lembut, sabar, tekun dan pemurah. Dengan ketekunan
yang dimilikinya serta kemurahan hatinya dalam berdagang, pada usia yang masih muda, ia
sudah berdagang di negeri Syam dan Hirah. Pada waktu itu, negeri Syam masih dijajah
kerajaan Romawi, sedangkan Hijrah merupakan jajahan Persia. Dengan berbekal pengalaman
berdagang, ia memiliki kakayaan yang banyak dan sahabat yang banyak. Beliau berasal dari
suku Umayyah ibn Abdu Syams ibn Abdu Manaf, dengan nama asli ‘Utsman ibn ‘Affan ibn
Abi al-Ash. Sebelum Beliau masuk Islam beliau tidak banyak mengetahui tentang Nabi
Muhammad SAW, Beliau hanya mengetahui tentang beberapa kepribadian Nabi Muhammad
SAW dari perang lain. Yang Beliau ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki
kejujuran. Selain itu, ia juga mengetahui sedikit tentang kepemimipinan Nabi Muhammad
SAW.
Adapun keinginan Beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW kemudian
disampaikan kepada sahabatnya, yaitu Abu Bakar. Kebetulan, rumah Abu Bakar tidak terlalu
jauh dari rumahnya. Beliau masuk Islam sebelum Nabi Muhammad SAW masuk ke Darul
Arqam. Beliau adalah seorang yang kaya raya. Beliau menjabat sebagai khalifah sesudah

Hasan, Santriwati, & Zaeni | v


‘Umar ibn Al Khaththab r.a berdasarkan kesepakatan ahlu syura. Beliau dilahirkan 5 tahun
setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beliau terus menjabat khalifah hingga
terbunuh sebagai syahid pada bulan Dzulhijah tahun 35 Hijriyah dalam usia 90 tahun.
Menurut salah satu pendapat ulama, Kekhalifahan beliau berlangsung selama 12 tahun
kurang tahun 35 Hijriyah hingga 19 Ramadhan tahun 40 hijriyah.
4) Ali ibn Abi Thalib
Ali Ibn Abi Thalib lahir 32 tahun setelah tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Beliau merupakan putra dari paman Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama asli Ali
ibn Abi Thalib ibn Abdul Mutholib ibn Hasyim.
Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak.
Rasulullah shallallahu‘Alaihi Wasallam menyerahkan kepadanya bendera jihad pada saat
perang Khaibar, yang dengan perantara perjuangannyalah Allah memenangkan umat Islam
dalam pertempuran. Beliau dibai’at sebagai khalifah setelah khalifah ‘Utsman terbunuh.
Beliau menjadi khalifah secara syar’i hingga wafat dalam keadaan mati syahid pada bulan
Ramadhan tahun 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Kehalifahan Ali berlangsung selama 4
tahun 9 bulan, sejak 19 Dzulhijah 12 hari.
B. Gerakan dakwah yang dilakukan pada masa Khulafa’ur Rasyidin
1. Dakwah pada masa Abu Bakar As-Shidiq
Abu Bakar yang memerintah selama dua setengah tahun tepatnya dua tahun tiga bulan
dua puluh hari. Walau masa pemerintahannya sangat singkat, namun sarat dengan amal dan
jihad. Di saat Abu Bakar memerintah, tiba-tiba Madinah dikejutkan oleh gerakan yang
menggerogoti sistem Islam yang meluas hampir ke semenanjung Arabia.
Bentuk gerakan tersebut ialah : murtad dari agama Islam karena mengikuti nabi palsu
yaitu Musailamah al-Kadzab, Thulaihah al-Asad dan al-Aswad al-Anasi dari Yaman.
Kemudian muncul gerakan keengganan (membangkang) untuk membayar zakat karena
mengikuti Malik ibn Nawiroh dari Bani Tamim.
Selain menghadapi rongrongan dari dalam Islam sendiri Abu Bakar juga melakukan
ekspansi wilayah keluar daerah diantara hingga mencapai Bashrah, Qatar, Kuwait, Iraq,
bahkan hingga daerah kekuasaan kekaisaran Romawi yang meliputi Mesir, Syiria, dan
Palestina. Gerakan dakwah yang paling menonjol pada Khalifah Abu Bakar, ialah
pengumpulan Al-Qur’an. Alasan utama dikumpulkannya Al-Qur’an, ialah rasa kekhawatiran
seorang Umar ibn Khatthab terhadap masa depan Islam jika kadar intinya yang menjaga
Islam dengan Al- Qur’an (Qurra dan Huffadz) gugur satu per satu di medan perang.
2. Dakwah pada masa Umar ibn Khatthab
a. Penyempurnaan Fath Irak
Irak dijadikan pangkalan kekuatan kaum Muslimin untuk melakukan perluasan ke
negeri-negeri Persia lainnya. Irak saat itu meliputi kawasan Kuffah (ibu kota Islam pada masa
Ali), kemudian Baghdad (ibu kota Islam pada masa Abbasiyah), dan Samra yang didirika
pada masa Mu’tasyim.
b. Iran

Hasan, Santriwati, & Zaeni | vi


Setelah Irak ditaklukkan, kemudian negeri-negeri lain pun di Persia juga ditaklukkan,
diantaranya negeri-negeri di seberang sungai. Dengan demikian habislah riwayat Imperium
Persia.
c. Syam dan Palestina
Ketika khalifah pertama Abu bakar meninggal dunia sedang berlangsung di Syam
dibawah komando Khalid ibnn Walid, dibantu oleh Abu Ubaidah ibn Jarrah, Amr ibn Ash,
Yazid ibn Abi Sufyan Syurahbil ibn Hasanah. Ketika Umar diangkat menjadi Khalifah,
beliau mengangkat Abu Ubaidah sebagai panglima teringgi untuk kawasan Syam. Khalid
dikirimi surat pengunduran dirinya sa’at perang sedang berlangsung. Pakar sejarah
berpendapat, peristiwa ini terjadi pada perang Yarmuk. Khalid menerima keputusan itu,
beliau tetap aktif ikut dalam peperangan dibawah komando Abu Ubaidah. Sebagian ahli
sejarah mengatakan, ditunjuknya Abu Ubaidah oleh Umar karena kondisi di lapangan saat itu
membutuhkan pemimpin yang kriterianya ada pada Abu Ubaidah, beliau memiliki keahlian
dalam hal lobby dan administrasi, sedangkan keahlian Khalid adalah strategi perang.
d. Yordania
Dalam upaya perluasan daerah kewilayah ini, kaum muslimin harus mengambil jalan
terakhir, yaitu menghadapi pasukan Romawi yang tidak mau mempersilahkan kaum
muslimin melakukan dakwah secara damai. Kaum muslimin berhasil memenangkan
pertempuran.
e. Syiria
Pasukan Islam melanjutan perjalanannya menuju Dimasyq (damaskus) dibawah
komando Ubaidillah ibn Jarrah. Setelah Syiria tunduk, pasukan bergerak menuju ke utara.
Yaitu Hims, Hamat, Halb, Shoid, dan Bairut.
f. Palestina
Sejak terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj, negeri Palestina tidak bisa dipisahkan dengan
kaum muslimin. Aqhsa adalah negeri suci ketiga yang diperintahkan kepada kaum muslimin
untuk dikunjungi. Berdasarkan kenyataan tersebut, kaum muslimin betul-betul serius untuk
membebaskan negeri ini dari kekuasaan Romawi. Namun akhirnya mereka memilih damai,
dan meminta kepada pasukan agar langsung menghadirkan Umar ibn Khatthab perihal
tersebut. Di pintu negeri Palestina, Umar disambut oleh Beartrick Ciprunius dan sebagian
pemimpin kaum muslimin.
Pada kesepakatan itu, Umar membuat kesepakatan untuk memberikan rasa aman,
yaitu keamanan harta benda dan jiwa, serta syiar keagamaan kepada penduduk asli.
Kesepakatan itu dikenal dengan perjanjian Umar. Ketika waktu sholat ashar Umar menolak
untuk sholat di gereja Qiamat, tetapi beliau sholat di luarnya, khawatir dikemudian hari kaum
muslimin mengikuti sunnah Umar. Perbuatan Umar ini menegaskan bagaimana toleransi
kaum muslimin dengan orang yang tidak seagama.
g. Ekspedisi kawasan Maghribi
Ekspedisi penyiaran Islam keluar kawasan Arab, kemudian memecah diri ke beberapa
penjuru. Disamping gerakan kearah Timur mereka juga bergerak kearah Barat. Pasukan
sebesar 4.000 orang prajurit muslim bergerak ke Mesir dibawah Panglima Amr ibn Ash.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | vii


Sepanjang perjalanan pasukannya makin bertambah, sampai mencapai 20.000 orang.
Hal ini menimbulkan kesan bagi orang Islam telah membangkitkan daya tarik untuk
bergabung dalam pasukan dibawah panji-panji Islam. Sukses kembali ada di prajurit berkuda
kaum muslimin yang telah terlatih pula. Seruan kalimat Allahu akbar disetiap medan perang
tampaknya menimbulkan efek ganda. Disatu sisi, berhasil membangkitkan semangat dan
ketegaran bagi umat Islam dalam melaksanakan misi suci mereka dalam penyebaran Islam.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Khalid ibn Walid adalah menjadikan kota
Heliopolis sebagai ibu kota Islam di Mesir. Dalam perkembangan selanjutnya kota ini dikenal
dengan sebutan Cairo Lama yang kelak mejadi ibu kota Mesir.
Setelah mendapatkan izin dan restu khalifah pasukan Amr ibn Ash meneruskan
ekspedisinya ke kawasan matahari tenggelam di jalur Afrika Utara. Dalam ungkapan bahasa
Arab, kawasan itu disebut kawasan Magribi, yang berasal dari dari kata ghurubi syamsy yang
berarti tenggelam matahari.
Tidak seorang prajurit dan orang Arab berhak atas kawasan baru itu. Semua kawasan
dan kekayaan baru langsung menjadi milik Islam. Penguasa setempat tidak dipaksa untuk
memeluk Islam, kecuali atas kemauan sendiri. Mereka diberi hak untuk meneruskan
kepemimpinan otonom di kawasan mereka, namun tetap berkewajiban untuk membayar
pajak perlindungan (jizyah) kepada kekhalifahan di Madinah.
3. Dakwah pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan
Melalui proses yang panjang, maka terpilihlah ‘Utsman ibn ‘Affan sebagai khalifah.
Pada masa kekhalifahannya langkah yang diambil ialah sebagai berikut:
Perluasan wilayah
Pada masa khalifah ‘Utsman inilah pertama kali dibentuk angkatan laut untuk
menyerang daerah kepulauan yang terletak di laut tengah. Masa ini juga dibangun kapal
perang sehingga dapat menaklukkan wilayah hingga mencapai Asia dan Afrika, seperti
daerah Herat, Kabul, Ghazni, dan Asia Tengah, juga Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes dan
sisa dari wilayah Persia.
b. Sosial budaya
Membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke
kota. Membangun jalan, jembatan, masjid, rumah, penginapan para tamu dalam berbagai
bentuk serta memperluas Masjid Nabawi di Madinah.
Namun pada pertengahan kedua pemerintah ‘Utsman retak ditimpa perpecahan yang
disebabkan karena kebijakan ‘Utsman dalam mengganti para gubernur yang diangkat Umar
yang didominasi dari keluarga Bani Umayyah. Sebagai contohnya, khalifah ‘Utsman
mengganti Sa’ad ibn Abi Waqash yang merupakan gubernur Kufah dengan Walid ibn Uqbah
yang merupakan saudara se-ibu khalifah ‘Utsman.
c. Penetapan Mushaf ‘Utsmani
Umat Islam pada masa khalifah ‘Utsman tinggal dalam wilayah yang sangat luas dan
terpencar-pencar, sehingga penduduk masing-masing daerah tersebut membaca ayat-ayat Al-
Qur’an menurut bacaan yang mereka pelajari dari tokoh sahabat yang terkenal dari wilayah
mereka (di Syiria masyarakat mengacu pada bacaan Ubay ibn Ka’ab, di Kufah masyarakat

Hasan, Santriwati, & Zaeni | viii


mengacu pada bacaan Abdullah ibn Mas’ud). Persoalan tersebut menimbulkan perselisihan di
kalangan umat Islam.
Untuk mengatasi hal tersebut, khalifah ‘Utsman membentuk sebuah tim yang bertugas
untuk menyalin dan mengkodifikasikan ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam satu mushaf resmi
yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Mushaf tersebut dibuat lima buah, empat buah dikirim ke
wilayah Makkah, Syiria, Kufah, Bashrah dan satu tinggal di Madinah. Mushaf hasil kerja dari
tim kodifikasi Al Qur’an pada masa khalifah ‘Utsman yang tinggal di Madinah disebut
dengan Mushaf ‘Utsmani atau Mushaf Al-Imam yang sampai sekarang masih kita gunakan,
bahan digunakan di selruh penjuru dunia.
4. Dakwah pada masa Ali ibn Abi Thalib
Sejarah kepemimpinan khalifah Ali adalah sejarah terakhir masa kekhalifahan umat
Islam dalam sejarah setelah masa kenabian. Pada saat diangkat menjadi khalifah, mewarisi
kondisi yang sedang kacau. Ketegangan politik terjadi akibat pembunuhan atas khalifah
‘Utsman. Seluruh jabatan gubernur saat itu hampir seluruhnya diduduki oleh keluarga
Umayyah. Para gubernur ini menuntut Ali untuk mengadili pembunuh ‘Utsman.
Gerakan dakwah yang telah dilakukan oleh khalifah Ali secara garis besar dapat
diperinci sebagai berikut:
a. Merombak para pejabat teras, terutama pejabat yang di dominasi oleh keluarga Bani
Umayyah.
b. Menyamakan kedudukan seseorang dimata hukum. Seperti ketika khalifah Ali
menuduh seorang Yahudi mengambil baju besi kepada hakim. Dipihak Ali memiliki
keyakinan, bahwa si Yahudi tersebut mencuri baju besinya. Sedangkan di pihak
Yahudi bersikukuh, bahwa baju besi itu ia dapat dengan membelinya dari orang lain.
Hakim pun kemudian memutuskan bahwa yang berhak atas baju besi itu adalah si
Yahudi karena dari pihak Ali tidak dapat menghadirkan saksi bahwa baju besi itu
milik beliau. Hal inilah yang membuat si Yahudi terkesima dan terkagum-kagum,
betapa adilnya hukum Islam. Bahkan karena kejadian ini sampai membuat si Yahudi
bersyahadat dan menyatakan ke-Islamannya.
C. Sistem Politik Pada Masa Khulafaur Rasyidin
1. Awal Persoalan
Meninggalnya Nabi Muhammad SAW, menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir
tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan hanya seorang pemimpin negara (sebagai
pemimpin negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang nabi,
pembuat undang-undang, guru spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi trasendental.
Sangat sulit menggantikan Muhammad dalam kualitas-kualitas tersebut. Nabi
Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau
sebagai pemimpin politik umat islam setelah beliu wafat. Beliau nampaknya menyerahkan
persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak
lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin
dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan
siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena
masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi

Hasan, Santriwati, & Zaeni | ix


pemimpin umat Islam. Hal ini sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal pembahasan
masalah Khulafaur Rasyidin.
2. Pengertian Khalifah
Di dalam bukunya Fiqih Siyasah, Mujar Ibnu Syarif memaparkan bahwa Khilafah adalah
pemerintahan Islam yang tidak dibatasi oleh teritorial,sehingga kekhalifahan Islam meliputi
berbagai suku dan bangsa.Pada intinya,khalifah merupakan kepemimpin umum yang
mengurusi agama dan kenegaraan sebagai wakil dari nabi SAW.
Dalam bahasa Ibn Khaldun,kekhalifahan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimun di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syari’at Islam dan memikul dakwah
Islam ke seluruh dunia.
Dalam Al Qur’an terdapat dua bentuk kata khalifah,yaitu dalam surat Al Baqarah : 30
yang berarti : “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui." dan dalam surat shaad : 26 yang berarti; “ Hai Daud, Sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Menurut Watt, khalifah dalam pengertian yang dipakai sebagai gelar Abu Bakar serta
Khulafaur Rasyidin adalah bukanlah diambil dari ayat di atas, melainkan pengertian yang
diambil dari pemakaian sehari-hari. Dalam bahasa arab, khalifah mempunyai makna dasar
pengganti.
Dalam bahasa Arab kuno, terjemahan lazim untuk khalifah adalah pembantu atau wakil
pelaksana. Jadi makna ini menunjukkan kepada orang-orang yang diberi kekuasaan untuk
melaksanakan sesuatu. Dari kata dasar pengganti atau wakil atau pembantu inilah Khalifah
Abu Bakar, Umar, Utsman, serta Ali akhirnya menyandang gelar sebagai Kalifah al Rasyidin,
yang berarti mendapat bimbingan yang benar. Karena mereka melaksanakan tugas sebagai
pengganti Nabi Muhammad SAW menjadi kepala negara Madinah al-Munawwaroh dan
sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam pidato penganugerahan sebagai Khalifah, mereka mengadakan kontrak sosial
dengan masyarakat Islam, bahwa mereka akan bekerja sama dengan masyarakat yang
dipimpinnya. Dengan demikian para Khalifah menggantikan kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW dalam menduduki jabatan duniawi sebagai pemimpin politik kepala
negara, dan jabatan ukhrawi sebagai pemimpin agama. Bukan menggantikan nabi dalam
jabatan kerasulan. Karena nabi tidak akan tergantikan oleh siapapun dan tidak ada satu wahyu
pun yang diturunkan setelah berakhirnya kenabian Muhammad SAW.
3. Sistem Politik Yang Dijalankan Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a) Abu Bakar Al Shidiq : Politik Konsolidasi
Nama lengkapnya Abdullah ibn Abi Quhafaty at Tamimi. Pada zaman sebelum Islam, ia
bernama Abdul Ka’bah, kemudian oleh Nabi Muhammad SAW diganti dengan Abdullah. Ia

Hasan, Santriwati, & Zaeni | x


dijuluki pula dengan Abu Bakar (pelopor pagi hari) sehingga nama ini yang banyak
digunakan, karena ia menjadi pelopor masuk Islam saat masyarakat Makkah masih dalam
kegelapan Jahiliyyah. Gelar Al Shidiq diperolehnya karena ia segera membenarkan Nabi
Muhammad SAW dalam berbagai peristiwa, terutama tentang peristiwa Isra’ Mi’raj. Abu
Bakar adalah pilihan yang paling ideal, lantaran dialah yang semenjak awal telah
mendampingi Nabi Muhammad SAW, dan paling paham tentang risalah Nabi Muhammad
SAW.
Masa kekhalifahan Abu Bakar yang berlangsung selama 2 tahun,11-13 H (632-634 M),
diawali dengan pidato yang memberi komitmen bahwa dirinya diangkat menjadi pemimpin
umat Islam sebagai khalifah rasulillah, yaitu menggantikan Rasul melanjutkan tugas-tugas
kepemimpinan agama dan kepemimpinan pemerintahan. Penegasan ini membawa implikasi
bahwa Abu Bakar akan selalu menjadikan nilai dasar Islam yang dibawa rasul sebagai dasar
dari kepemimpinannya.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah, pada satu sisi memberikan keuntungan
tersendiri bagi berlanjutnya pemerintahan negara Madinah. Namun pada sisi lain munculnya
penolakan orang-orang Arab, terutama orang-orang yang baru masuk Islam.
Penentangan terhadap negara Madinah yang dilakukan oleh suku-suku Arab merupakan
sebuah realitas bangsa Arab yang sangat sulit menerima kebenaran, sangat sulit untuk tunduk
pada ajaran yang baru, yang tidak umum berkembang pada lingkungan mereka.
Gerakan oposisi dan penetangan mereka yang disebut Riddah dibagi menjadi :
(1). Gerakan melepas kesetiaan kepada ajaran Islam, kembali kepada kepercayaan semula.
Gerakan Riddah ini secara politik merupakan pembangkangan terhadap lembaga
kekhalifahan.
(2). Gerakan menolak membayar zakat. Penolakan mereka membayar zakat disebabkan
pandangan salah mereka tentang zakat yang dikira pajak.
(3). Gerakkan yang mengangkat diri mereka menjadi nabi : seperti yang dilakukan
Musailamah al Khazzab (pendusta) yang menyatakan bahwa nabi telah mengangkat dirinya
sebagai mitra di dalam kenabian. Di Yaman muncul orang-orang yang mengaku nabi, yaitu
Aswad Ansi dan Sajjah ibn Haris.
(4). Gerakan dari suku-suku pembangkang yang mengklaim, bahwa Islam adalah agama
bangsa Arab semata. Mereka berusaha meraih kembali kemerdekaan.
Melihat kondisi bangsa Arab dalam wilayah kekuasaan Islam yang menolak terhadap
kekhalifahan Abu Bakar, bahkan penolakan terhadap Islam, maka orientasi politik yang
dijalankannya pertama kali adalah melakukan konsolidasi, mempersatukan masyarakat Arab
dalam kekuasaannya, dan dalam keagamaan Islam, serta tetap dalam menjalankan ajaran
agama.
Terhadap gerakan Riddah, kembali ke ajaran nenek moyang mereka, Abu Bakar
melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka dengan melakukan tekanan dan ajakan
kembali ke jalan Islam. Namun ketika mereka menolak, baru dilakukan peperangan. Begitu
juga ketika menghadapi orang yang tidak mau membayar zakat dan nabi-nabi palsu, tindakan
Abu Bakar adalah melakukan pembersihan, menumpas, serta memerangi mereka. Perang
Riddah melawan kemurtadan yang berjalan alot berhasil dimenangkan oleh pemerintah Abu
Bakar di bawah pimpinan Khalid ibn Walid.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xi


Namun, disamping itu semua, banyak dari penghafal Al Qur’an yang tewas dalam
perang tersebut. Melihat suasana ini Umar merasa cemas,dan mengusulkan kepada Abu
Bakar untuk membukukan Al Qur’an.Abu Bakar pada awalnya tidak menyetujui usulan ini,
karena tidak ada otoritas dari Nabi Muhammad SAW untuk membukukan Al-Qur’an. Namun
kemudian, ia setuju dan memberikan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit untuk
menuliskannya.
Perilaku politik lain yang dijalankan Abu Bakar adalah melakukan ekspansi. Ada dua
ekspansi yang dilakukan pemerintahan Abu Bakar, yaitu :
(1). Ekspansi ke wilayah Persia di bawah pimpinan Khalid ibn Walid. Dalam ekspansi ini
(tahun 634 M). Pasukan Islam dapat menguasai dan menaklukkan Hirah, sebuah kerajaan
Arab yang loyal kepada Kisra di Persia
(2). Ekspansi ke Romawi di bawah empat panglima perang,yaitu Ubaidah,Amr ibn
Ash,Yazid ibn Sofyan,dan Syurahbil. Ekspansi yang dilakukan oleh keempat panglima
perangnya ini dikuatkan lagi dengan kehadiran Khalid ibn Walid untuk menguasai wilayah
tersebut. Karena kemenangan tersebut akan sangat besar artinya bagi penguasaan daerah-
daerah lain di barat dan utara. Akhirnya pasukan Islam di bawah panglima Khalid dapat
mengalahkan pasukan Romawi dalam peperangan Ajnadain pada tahun 634 M.
Ketika pasukan Islam sedang menghadapi peperangan di Front Sirian Damascus,
Baalbek, Homs, Hama,Yerussalem, Mesir, dan Mesopotamia, Abu Bakar meninggal dunia,
Senin 23 Agustus 634 M, setelah menderita sakit selama beberapa hari. Dalam menjalankan
politik pemerintahannya selama 2 tahun 3 bulan dan 11 hari, Abu Bakar mengedepankan
aspek musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga secara internal kondisi
pemerintahnnya stabil.
b) Umar ibn Al Khattab Al faruq : Politik Ekspansi
Umar ibn Khattab ibn Nufail ibn Abd.Al Uzza merupakan keturunan dari ‘Adi, salah satu
suku bangsa Quraisy yang terpandang mulia. Ia lahir lebih muda 4 tahun dari Rasulullah di
Makkah. Umar dibesarkan dalam lingkungan yang meskipun kecil dan tidak kaya, tapi
menonjol di bidang ilmu. Karena itu, kabilah ini sering dipercaya untuk menyelesaikan
berbagai perselisihan dalam suku Quraisy, seperti pernah dilakukan oleh kakenya Nufail ibn
al uzza yang sukses menyelesaikan persengketaan antara Abd al Muttahlib dengan Hazid ibn
Umayyah.
Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari tahun 13-23 H (634-644 M).
Dalam masa pemerintahannya, Umar melakukan beberapa langkan politik. Langkah politik
ekspansi merupakan langkah yang paling populer selama pemerintahan Umar. Langkah ini
harus dilakukan, karena pasukan Islam sudah menyebar ke beberapa wilayah yang dikirim
oleh pemerintahan Abu Bakar. Mau tidak mau dia harus meneruskan langkah tersebut. Umar
sangat tahu sekali kondisi psikologi pasukan Islam, yang punya semangat dakwah yang
sangat tinggi untuk menyerukan ajaran-ajaran agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
Selain karena bangsa Arab (kaum Badui) terbiasa dengan kehidupan berpindah-pindah
(nomad) dan suka berperang. Penyatuan antara kedua aspek dakwah, nomad dan suka
berperang dari pasukan Islam, akhirnya digunakan untuk melakukan ekspansi dan dengan
cepat dapat menundukkan wilayah kekuasaan Romawi dan Persia satu peratu.
Kemenangan besar yang didapat pasukan Islam dalam peperangan dengan pasukan
Romawi di Suriah dan Mesir serta pasukan Sasania di Persia disebabkan pula oleh ; (1).

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xii


Kondisi internal kedua kerajaan tersebut yang secara militer telah lemah akibat peperangan di
antara mereka, atau perang melawan pasukan Islam sebelumnya. (2). Perilaku kedua kerajaan
ini terhadap rakyatnya. Kondisi ini mengakibatkan mereka bergabung dengan pasukan Islam
bahkan mereka lebih memilih untuk menerima penguasa baru dalam kekuasaan pemerintahan
Umar ibn Khattab.
Langkah politik kedua sebagai akibat dari penyerbuan pasukan Islam ke daerah bekas
kekuasaan Romawi dan Sasania adalah mengkonsentrasikan pasukan Islam hanya digunakan
untuk menjalankan penaklukan dan untuk membentengi wilayah yang telah ditundukkan.
Langkah politik ketiga yang dilakukan Umar ibn Khattab, adalah pasukan Islam tidak
diperbolehkan memaksakan warga taklukan untuk memeluk agama Islam. Prinsip ini sudah
pernah dijalankan pada masa Rasulullah yang memberi izin kepada pemeluk Yahudi dan
Kristen tetap berpegang pada agamanya, dengan catatan mereka harus membayar upeti.
Gubernur yang dikirim hanya ditugasi untuk menangani pengumpulan pajak dan upeti,
mengawasi distribusi pajak sebagai gaji tentara, dan memimpin peperangan serta pelaksanaan
Shalat jama’ah. Namun dalam perkembangannya, ada perubahan dalam pengaturan terkait
dengan urusan sosial dan administrasi kenegaraan. Meskipun dalam penerapan antara satu
propinsi dan lainnya berbeda. Di Iraq seluruh wilayah dikuasai dan diurusi negara Khurasan,
dikuasai oleh penguasa lokal, di Mesir menghapus otonomi kekeyaan fiskal, dan kota
mengatur afministrasi yang mandiri.
Langkah politik keempat adalah didasari oleh keberhasilan meluaskan jajahan yang
membawa implikasi pada membanjirnya harta-harta, baik rampasan,upeti, pajak dan lainnya.
Untuk memudahkan urusan administrasi dan keuangan, maka dalam pemerintahannya
dibentuk lembaga-lembaga dan dewan-dewan, seperti Bait al Maal (perbendaharaan negara),
pengadilan, dan pengangkatan hakim, jawatan pajak, penjara, jawatan kepolisian juga
membuat aturan pembagian gaji kepada tentara, dan tentara cadangan, pemberian gaji kepada
guru-guru, muadzin dan imam, pembebanan bea cukai, pemungutan pajak atas kuda yang
diperdagangkan, pungutan pajak atas orang-orang Kristenbani Tighlab sebagai ganti jizyah.
Umar juga menempa mata uang dan tahun Hijrah yang dimulai dari Hijrah Rasul.
Dalam keagamaan tokoh cerdas ini merupakan mujtahid yang handal pada zamannya. Dia
menghasilkan ijtihad dimana pandangan-pandangannya berbeda dengan Nabi Muhammad
SAW dalam beberapa hal. Namun tidak keluar dari komitmennya yang kuat terhadap Al-
Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Seperti peniadaan hukum potong tangan pada tindak pidana
pencurian, jatuhnya talak tiga sekaligus memasukkan lafal asshalatu khairun min al naum
dalam shalat shubuh, shalat tarawih dengan jumlah rakaat sebanyak 20 dan lain-lain.
Pemerintahan khalifah Umar yang berlangsung selama 10 tahun, 6 bulan dan 40 hari.
Dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis, selain karena dia meletakkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam pemerintahannya dengan jalan membangun jaringan
pemerintahan sipil juga bersifat egaliter dengan menjamin persamaan hak dalam bernegara,
tidak membedakan antara atasan dan bawahan, penguasa dan rakyat. Ketika akan
menjalankan shalat shubuh, seorang budak berkebangsaan Persia bernama Feros atau Abu
Lu’lu’ah secara tiba-tiba menyerang Umar dan menikam dengan pisau. Khalifah terluka yang
sangat parah,d an setelah 3 hari dari peristiwa penikaman tersebut, Umar wafat pada tanggal
1 Muharram 23 H.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xiii


c) Usman ibn Affan : Politik Sentralistik dan Nepotisme
Ia bernama Usman bin Affan ibn Abdul al Ash ibn Umayyah.dengan demikian ia berasal
dari bani Umayyah,walaupun tidak dimasukkan dalam dinasti Umayyah yang berkuasa
setelah Khalifah Ali. Ia lahir di Makkah dari trah bangsawan Makkah yang sangat
dihormat,dua tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad atau seusia Abu Bakar. Usman
merupakan sahabat nabi yang sangat kaya raya tetapi berlaku sederhana dengan lebih
menggunakan kekayaannya untuk kejayaan Islam.
Usman menjabat sebagai khalifah selama 12 tahun,dari tahun 23-35 H (644-655 M),
merupakan masa pemerintahan yang terpanjang di antara khulafa al Rasyidin. Masa
pemerintahan Usman terbagi atas dua periode, yaitu : 6 tahun pertama merupakan
pemerintahan yang baik, dan 6 tahun kedua merupakan masa pemerintahan yang buruk.
Kebijakan politik yang dilakukan Usman adalah melanjutkan ekspansi yang dilakukan
Umar ke berbnagai wilayah di front barat,timur dan utara. Dalam ekspansi ini dimotivasi oleh
dakwah sekaligus memperluas kekuasaan, dimana hasil rampasan, serta pajak dapat
digunakan untuk meningkatkan kemajuan negara serta kesejahteraan umat Islam.
Langkah politik Usman yang lain adalah menyempurnakan pembagian kekuasaan
pemerintah dengan menekankan sistem pemerintahan terpusat (sentralisasi) dari seluruh
pendapatan provinsi, dan menetapkan juru hitung safawi. Langkah ini merupakan langkah
yang strategis untuk menata administrasi kenegaraan, karena makin luasnya wilayah
kekuasaan dan makin banyak pegawai, dan pasukan yang mendapat gaji, bahkan pendapatan
negara ia bagi-bagikan untuk kepentingan kalangan migran orang Arab di daerah-daerah
pendudukan yang jumlahnya semakin meningkat. Kebijakan yang brilian inilah saling
dimanfaatkan antara Usman yang memang berasal dari aristokrat Makkah Bani Umayyah,
atau bani-bani yang lain yang ada di Makkah, sehingga dapat dikatakan ia terlalu terikat
dengan kepentingan orang-orang Makkah.
Perilaku politik nepotisme dengan menempatkan Bani Umayyah menempati posisi
penting dalam pemerintahan Usman, dalam pandangan sahabat dan masyarakat Madinah
menjadi titik kelemahan. Maka muncullah kebencian rakyat yang pada beberapa waktu
kemudian meletuslah pembangkangan, dan pemberontakan di beberapa negeri yang
dilakukan oleh orang-orang yang kecewa terhadap kebijakan khalifah.
Ketidak senangan mereka terhadap Usman sebetulnya sudah sejak terpilihnya Usman
menjadi Khalifah, terutama orang-orang yang menyokong Ali ibn Abi Thalib, yaitu orang-
orang Badui dan penduduk Mesir. Kebencian ini akhirnya menimbulkan tuduhan terhadap
Usman, bahwa ia telah membagikan harta negara kepada kerabat Khalifah seperti Hakam
mendapat tanah Fadah, kemudian Abdullah diizinkan mengambil sendiri 1/5 dari harta
rampasan perang di Tripoli. Tuduhan yang lain adalah bahwa Usman tidak bertindak atas
perilaku Marwan yang mengambil dan menyalahgunakan harta Baitul Maal dan Mu’awiyah
mengambil alih tanah negara di Suriah. Padahal Utsman Radhiallahu‘anhu yang paling
berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur
pembagian air ke kota-kota.Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-
masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Sebagai seorang kepala agama, Khalifah Usman melakukan usaha memperkenalkan edisi
Al-Qur’an standar dengan membuat kodifikasi baru dengan meninjau ulang shuhuf-shuhuf
yang telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit pada masa pemerintahan Abu Bakar. Alasan
pengkodifikasian ini karena Usman mendengar perbedaan soal qiro’ah Al qur’an di antara

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xiv


penduduk yang menimbulkan perselisihan. Atas usul Hudzaifah ibn al Yaman,maka Usman
menyuruh Zaid ibn Tsabit dan Zaid ibn Ash dengan menjadikan shuhuf yang ada pada
Hafsah menjadi pedoman penulisan.Setelah ditulis naskah tersebut, maka pengkodifikasikan
telah selesai dan naskah tersebut disebut dengan mushaf imam (Usmani). Kemudian disuruh
menyalin empat naskah dengan pedoman naskah asli (yang di tangan Usman) dimana
nantinya akan dikirim ke Makkah, Madinah, Basrah dan Suriah. Dan naskah yang lain harus
dibakar termasuk shuhuf yang ada pada Hafsah. Namun maksud baik ini ditentang oleh
sebagian kelompok muslim yang merasa merekalah yang paling berhak atasAl-Qur’an.
Usman tidak mempunyai otoritas sama sekali untuk menetapkan edisi Al-Qur’an tersebut.
Kebencian terhadap Khalifah Usman makin membara di seluruh wilayah kekuasaan
Islam. Di Kufah dan Basrah sebagai basis pendukung kekuatan Ali pun muncul
ketidaksenangan terhadap Khalifah. Mereka diprakarsai oleh Thalhah dan Zubair menentang
gubernur yang diangkat oleh khalifah.
Tepat pada saat khalifah sedang membaca Al-Qur’an tanggal 17 Juni 656 H (35 M)
Usman meninggal dunia karena dibunuh pemberontak. Pemerintahan khalifah Usman masih
dapat disebut sebagai pemerintahan demokratis, karena Khalifah tidak pernah menunjukkan
sifat refresif, bahkan dia sangat baik dan shaleh. Seluruh waktunya banyak digunakan untuk
ibadah. Namun perilaku bawahannya yang tidak dapat diawasi karena faktor usia yang telah
tua dan lemah pada Usman inilah yang menjadikan pemerintahannya berkurang
demokrasinya.
d) Ali bin Abi Thalib
Ia bernama Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, sepupu Nabi Muhammad dan
menantunya karena ia menikah dengan Fatimah binti Muhammad. Ali merupakan sahabat
nabi semenjak anak-anak. Ketika berumur 12 tahun telah masuk Islam dan mengakui risalah.
Sebagai anak Abu Thalib yang secara materi sangat kekurangan dan ditempa dengan tauladan
ayahnya yang berakhlak mulia dan terhormat, telah membentuk Ali mempunyai watak yang
lebih mementingkan aspek spiritual, sehingga sepanjang sejarahnya Ali lebih berkonsentrasi
pada perjuangan menegakkan Islam, keagamaan, dan keilmuan tanpa menoleh sedikitpun
pada aspek duniawi.
Masa pemerintahannya berlangsung selama 5 tahun,dari 36-41 H (656-661 M), diwarnai
oleh timbulnya banyak kekacauan, dan pemberontakan-pemberontakan. Pengangkatannya
sebagai khalifah tidak dilaksanakan sebagaimana yang telah dialami oleh khalifah-khalifah
sebelumnya. Hal ini disebabkan, karena Usman tidak sempat menunjuk pengganti atau
membentuk dewan formatur untuk memilih khalifah. Ali diangkat melalui proses
pembai’atan langsung yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Madinah, secara terbuka di
masjid termasuk dihadiri kaum Muhajirin dan Anshar.
Menurut Munawir Syadzali, setelah pembunuhan Usman, kota Madinah dalam kondisi
yang sepi dan kosong, karena banyak ditinggal oleh para sahabat ke wilayah yang baru
ditaklukkan. Kondisi ini diperparah oleh tidak amannya kota, sehingga keamanan
dikendalikan oleh Ghafiqy ibn Harb selama 5 hari. Hanya sedikit para sahabat yang masih
tinggal di kota Madinah dan tidak semuanya mendukung Ali, seperti Sa’ad ibn Abi Waqqash
dan Abdullah ibn Umar. Mu’awiyah Amr ibn ‘Ash serta Aisyah menganggap tidak sah
dengan pembai’atan Ali sebagai khalifah karena tidak semua ahli al halli wa al aqdi hadir
saat pembai’atannya. Ia menggugat kepemimpinan Ali dengan alasan : (1). Ali harus
bertanggung jawab atas terbunuhnya Usman (2). Hak pemilihan khalifah ada pada seluruh
wilayah negara, bukan monopoli orang-orang Madinah.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xv


Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tak
suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Setelah
dibai’atnya Ali sebagai khalifah, dikeluarkannya 2 buah ketetapan : 1). Memecat kepala-
kepala daerah angkatan Usman. Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan.
Semua kepala daerah angkatan Ali itu ter[paksa kembali dsaja ke Madinah,karena tak dapat
memasuki daerah yang ditetapkannya. 2). Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-
bagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian
juga hibah atau pemberian Usman kepada siapapun yang tiada beralasan, diambil Ali
kembali.
Terhadap para penentangnya seperti Aisyah, Talhah serta Zubair yang menuntut supaya
Ali segera menghukum pembunuh Usman, Ali mencoba menjalankan politik secara damai.
Hal ini dilakukannya untuk menghindari pertikaian di antara masyarakat Islam. Namun ketika
kompromi ini diajukan kepada Aisyah, Thalhah serta Zubair, ditolak. Maka peperangan tidak
bisa dihindarkan lagi. Terjadilah perang Jamal (unta), karena Aisyah janda nabi menaiki unta,
pada tahun 36 H. Dalam peperangan ini, pasukan Ali yang didukung masyarakat
Anshar,masyarakat Kufah dan Mesir,dapat memenangkan peperangan. Aisyah tertawan dan
dikembalikan ke Madinah,sedangkan Thalhah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan
diri bersama 20.000 kaum muslim yang gugur.
Adapun terhadap Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang tidak mengakui kekhalifahannya dan
menolak meletakkan jabatannya sebagai gubernur di Suriah, Ali melakukan tindakan
penyerangan terhadap penguasa Suriah itu. Peperangan terjadi di Shiffin, dekat Sungai
Euphrat pada tahun 37 H. Dalam peperangan ini sebenarnya pasukan Mu’awiyah telah
terdesak kalah, dengan terbunuhnya 7.000 orang. Namun dalam kondisi yang terdesak ini,
Mu’awiyah yang mempunyai siasat lihai, dengan mengangkat Al-Qur’an sebagai tanda
meminta damai dengan cara tahkim (arbitrase). Dalam tahkim diusulkan agar Ali dan
Mu’awiyah meletakkan jabatan yang diklaim mereka. Karena Musa al Asyar sebagai wakil
dari Ali lebih tua daripada Amr ibn Ash wakil Mu’awiyah, maka dia lebih dahulu
menyampaikan pidato. Namun ketika Amr ibn Ash menaiki mimbar, bukannya yang
diucapkan tentang penurunan Mu’awiyah sebagaimana kesepakatan semula, tetapi
mengucapkan penerimaan turunnya Ali sebagai khalifah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai
khalifah. Peristiwa tahkim yang semula diharapkan dapat mengakhiri peperangan di antara
kaum Muslim, namun kenyataanyya dengan penurunan Ali dan menaikkan Mu’awiyah
membuat kedudukan Mu’awiyah sejajar dengan Khalifah Ali, dan menyulut pertikaian baru,
dengan munculnya kelompok khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali dan
menegaskan ketidak setujuannya terhadap tahkim, bahkan berusaha membunuh Ali dan
Mu’awiyah, karena keduanya tidak berhukum pada hukum Allah.
Dengan demikian umat Islam terpecah lagi ke dalam 4 golongan, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah
(Ali), Khawarij serta kelompok yang tidak ikut dalam pertikaian politik dan lebih concern
pada kesalehan dan ilmu. Dan dengan keluarnya Khawarij dari mendukung Ali, maka
menjadi lemahlah kekuatan Ali, sehingga Mu’awiyah dapat memperluas pengaruh dan
kekuasaannya bukan saja di Suriah, tapi juga di Mesir. Hal ini membuat Ali menyetujui
perjanjian dengan Mu’awiyah yang mengakui kekuasaan atas Suriah dan Mesir. Ketika berita
itu didengar oleh khawarij, seorang anggota Khawarij yang sangat fanatik bernama Ibnu
Muljam dapat membunuh Ali pada tanggal 17 Ramadhan 40 H (661 M). Setelah Ali
terbunuh, kedudukan khalifah dijabat oleh Hasan selama beberapa bulan sampai terjadinya
perjanjian damai yang pada intinya menyerahkan kekuasaan khilafah pada Mu’awiyah.
Perjanjian itu dibuat dengan harapan dapat mempersatukan kembali umat Islam dalam satu

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xvi


kepemimpinan politik. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 41 H (661 M) dan disebut dengan
‘Am Jama’ah (tahun persatuan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlu dijelaskan bahwa khilafah yang timbul setelah wafatnya Rasulullah tidak
berbentuk kerajaan, dalam arti kepala negara dipilih, dan tidak didasarkan turun-temurun.
Tampilnya Abu Bakar al-Shidiq sebagai khalifah (11 H/632 M - 13 H/634 M)
merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam yang
berpusat di Madinah.
Sepeninggal Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin al-Khattab mendapat kepercayaan
sebagai khalifah kedua. Tampilnya Umar sebagai khalifah kedua (13 H/634 M-23 H/644 M)
tidak melalui pemilihan dalam satu forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukkan
atau wasiat oleh pendahulunya.
Sementara itu, Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga (23 H/644M- 35H/656M)
dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari 6 orang yang ditentukan Umar sebelum
wafat. Pasca wafatnya Umar, keenam orang tersebut berkumpul untuk bermusyawarah. Atas
inisiatif Abdurrahman ibn Auf, terjadilah permusyawarahan yang akhirnya sepakat memilih
Usman bin Affan sebagai pengganti Umar bin Khattab dengan pertimbangan lebih tua dan
lebih lunak sifatnya. Pasca pembunuhan Usman oleh para pemberontak, Ali bin Abi Thalib
diangkat menjadi khalifah melalui pemilihan. Tetapi proses pemilihan itu menurut Munawir
Syadzali jauh dari sempurna. Semasa kepemimpinannya Ali memerintah selama 5 tahun (35
H/656 M-40 H/660 M) dan di akhir kepemimpinannya ia pun terbunuh oleh para
pemberontak.
Ciri yang menonjol dari sisitem pemerintahan yang mereka jalankan terletak pada
mekanisme musyawarah bukan dari turun temurun. Tidak ada satupun dari 4 khalifah
tersebut yang menurunkan kekuasannya pada sanak kerabatnya. Musyawarah menjadi cara
yang ditempuh dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah
SAW.
B. Saran
Penulis menyadari, bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, Kritik dan saran bersifat membangun dari pembaca, tentu saja sangat kami
perlukan demi perbaikan penulisan atau penyusunan makalah kedepan nya.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xvii


DAFTAR PUSTAKA

Engineer, Asghar Ali. Asal-Usul dan Perkembangan Islam. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.1999.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Al Husna.1992.
Watt, William montgemory. Butir-butir Hikmah Sejarah Islam. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.2002.
Engineer, Asghar Ali. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2003.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada.2003.
Zada, Mujar ibnu Syarif Khamami. Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran politik Islam.
Jakarta : Erlangga. 2008.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam. Surabaya : Pustaka Islamika.2003.

Hasan, Santriwati, & Zaeni | xviii

Anda mungkin juga menyukai