Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

SEJARAH PEREKONOMIAN ISLAM PADA ZAMAN


KHULAFAURASYIDIN
Dosen Pengampuh : Khairia Elwardah, M.Ag

Disusun oleh :
Kelompok 6 : 1. Amanda Putri Rahmadani (2323130171)
2. Arora Yuliani (2323130163)

UINIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO


BENGKULU
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah swt yang telah memberikan limpahan rahmat serta nikmatnya kepada
kita semua dan karena-Nya penulis diberikan kemudahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Sholawat beserta salam selalu kita
kirimkan kepada nabi besar kita muhammad Saw yang mana telah membawah kita dari zaman
jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah pemikiran
ekonomi islam. Dengan makalah yang berjudul “Sejarah Perekonomian Islam Pada Zaman
Khulafaurasyidin” tentunya penulis menyadari bahwasannya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak kekurangan didalamnya. Untuk itu mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sekalian supaya makalah ini bisa menjadi makalah yang
jauh lebih baik lagi.penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta pengetahuan
yang baru kepada para pembaca, demikian penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Bengkulu, 28 Februari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 4
C. Tujuan ..................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 5
A. Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. (632-634 M) ................................................. 5
B. Khalifah Umar bin Khattab ra. (634-644 M) .......................................................... 15
C. Khalifah Utsman bin Affan ra. (644-656 M) .......................................................... 34
D. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. (656-661 M) ......................................................... 36
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 40
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 40
B. Saran ....................................................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 43

iii
BAB I
PENDHULUAN

A. Latar Belakang
Membahas sebuah masyarakat dan peradabaan muslim yang ideal pascawapatnya
Nabi Muhammad Saw. Tidaklah mungkin tanpa membahas Khulafaurasyidin,
kekhalifaan yang mendapat petunjuk yang benar. Kekhalifaan ini disebut demikian
karena para khalifahnya benar-benar menerapkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah secara
ketat selama masa pemerintahannya, berbeda-beda dengan yang terjadi dengan
khalifah-khalifah setelahnya. Generasi awal ini sesungguhnya adalah generasi yang
terbaik umat Islam dan yang pantas dijadikan panutan. Rasulullah Saw. Bersabda :
“Sebaik-baiknya manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya,
kemudian generasi berikutnya.” Dalam riwayat yang lain “Berpegang teguhlah pada
sunnahku dan sunnah Khulafaurasyidin yang mendapat pentunjuk (dalam ilmu dan
amal).Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Kedua riwayat
tersebut setidaknya dapat menjelaskan dan dapat menjadi landasan mengapa seorang
muslim pada masa ini masih mengambil pelajaran dari generasi-generasi pada masa ini
masih mengambil pelajaran dari generasi-generasi muslim terdahulu dan menjadikan
mereka sebagai landasan hukum dan refleksi diri atas tindakan-tindakan yang mereka
ambil dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam bidang ibadah maupun
muamalah. Kekhalifaan Khulafaurasyidin berlangsung selama kurang lebih dua puluh
sembilan tahun, dari 632-661 M, dengan perincihan sebagai berikut : masa Abu Bakar
ra. (632-634 M), masa Umar bin Khatab (634-644 M), masa Utsman bin Affan ra. (644-
656 M), masa Ali bin Abi Thalib ra. (656-661 M). Dalam periode yang panjang tersebut
ada banyak pencapaian yang diraih umat muslim, baik dari segi keagamaan, sosial,
politik, militer, maupun ekonomi.

B. Rumusan Masalah
1. Masa kekhalifaan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. (632-634 M) ?
2. Masa kekhalifaan Umar bin Khattab ra. (634-644 M) ?
3. Masa kekhalifaan Utsman bin Affan ra. (644-656 M) ?
4. Masa kekhalifaan Ali bin Abi Thalib ra. (656-661 M) ?

C. Tujuan
1. Memberikan pemahaman tentang sejarah perekonomian islam pada masa
kekhalifaan Abu Bakar ash-Siddiq ra. (632-634 M)
2. Memberikan pemahaman tentang sejarah perekonomian islam pada masa
kekhalifaan Umar bin Khattab ra. (634-644 M)
3. Memberikan pemahaman tentang sejarah perekonomian islam pada masam
kekhalifaan Utsman bin Affan ra. (644-656 M)
4. Memberikan pemahaman tentang sejarah perekonomian islam pada masa
kekhalifaan Ali bin Abi Thalib ra. (656-661 M)

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekhalifaan Abu Bakar ash-Siddiq ra. (632-634 M)

1. Pengangkatan menjadi khlifah


Abu Bakar ra. Diangkat menjadi khalifah pada tahun 11 H (632 M) sesaat setelah
Nabi Muhammad Saw wafat. Proses pengangkatan Abu Bakar ra. Menjadi khalifah
dilakukan di Balairung Saqifah milik Bani Sa’idah dan sempat diwarnai adu
argumentasi antara pihak Muhajirin dan pihak Anshar mengenai siapa yang lebih
berhak menerima posisi sebagai penerus (khalifah) Nabi Muhammad Saw. Sebagai
pemimpin umat kedua pihak ini sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin. Pada
akhirnya, adu argumentasi antara pihak Muhajirin dan Anshar ini kemudian usai
setelah Umar bin khattab ra. Turun tangan membaiat1Abu Bakar ra. Di hadapan
seluruh sahabat yang hadir guna mencegah terjadinya perselisihan antara dua kubu.
Tindakan Umar ra. tersebut kemudian diikuti sahabat-sahabat lain sehingga
meyakinkan seluruh yang hadir bahwa keputusan mebaiat Abu Bakar ra. adalah
keputusan yang tepat. Pembaiatan yang dilakukan secara khusus dan terbatas di
Balairung Saqifah itu lalu disusul dengan pembaitan secara umum oleh seluruh
umat muslimin pada keesokan harinya, setelah tersebarnya berita bahwa Abu Bakar
ra. sudah diangkat menjadi khalifah.2

Keputusan membaiat Abu Bakar ra. oleh para sahabat itu dibenarkan para ulama
dengan alasan bahwa Nabi Muhammad Saw. Sudah mengisyaratkan secara tidak
langsung bahwa Abu Bakar ra. lah yang berhak menjadi penggantinya memimpin
umat. Hal ini dijelaskan dalam banyak riwayat. Saat membaiat Abu Bakar ra. di
Saqifah Bani Sa’idah misalnya, Umar ra. berkata: “Abu bakar, bukankah Nabi
sudah menyuruhmu memimpin muslimin sholat? Andalah penggantinya (khalifah).
Kami akan memberikan ikrar kepada orang yang paling disukai oleh Rasulullah di
antara kita semua ini.” Ucapan Umar ra. ini ternyata sangat menyentuh hati umat
muslimin yang hadir, karena benar-benar telah dapat melukiskan kehendak Nabi
pada hari terakhir orang melihatnya. Dengan demikian, para sahabat banyak yang
sudah menyadari bahwa tidak ada seorang pun diantara mereka yang posisi dan
peluangnya untuk menggantikan Rasulullah Saw. Lebih besar dibandingkan Abu
Bakar ra.3

Abu Bakar ra. memang memiliki syarat-syarat sebagai seorang pemimpin


karismatik. Hal-hal berikut ini, di antaranya membuat Abu Bakar dapat diterima
secara umum oleh umat Muslim sebagai Khalifah sepeningal Nabi Saw:

1
Baiat adalah ikrar, sumpah, atau janji setia. Membaiat seseorang melakukan sumpah dan janji pada orang itu
2
Untuk lebih dalam memahami biografi Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat-sahabat yang lain
radhiyallahu 'anhum, lihat juga Imam adz-Dzahabi, Siyar A'lam an-Nubala, Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa',
Imam al-Tabari, Ta'rikh ar-Rusul wa al-Mulk
3
Muhammad Husein Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terjemahan Ali Audah (Bogor: Litera Antarnusa, hlm.
592. Imam as-Suyuthi, Op. Cit., hlm. 68-74.

5
kedekatanya dengan Nabi selama hidupnya (Abu Bakar ra. bahkan sudah menjadi
sahabat Nabi Muhammad Saw. Sebelum masa kenabian, lalu dikemudian hari
menjadi mertua Nabi); lelaki pertama yang memeluk islam; pengapdian totalnya
sejak awal dakwah islam; ditunjuk Nabi sebagai imam salat berjamaah saat Nabi
sakit di akhir hayatnya; dan sosoknya dirujuk lebih dari satu kali dalam Al-Qur’an.4

2. Masa Kekhalifahan Abu Bakar ra.


Kekahalifahan Abu Bakar ra. hanya berlangsung 2 tahun.Tahun awal priode
kekahalifahannya banyak difokuskan untuk mengukuhkan stabilitas dan kedaulatan
negara dari sejumlah pemberontakan suku-suku Arab yang setelah Nabi wafat,
memutuskan untuk murtad,berhenti membayar zakat,atau bahkan berdiri
mengangkat senjata di bawah pimpinan nabi-nabi palsu untuk melawan
kekhalifahan. Suku-suku itu menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan
Nabi Muhammad Saw. Dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itulah
mereka menentang Abu Bakar ra.5 Kondisi awal masa pemerintahan Abu Bakar ra.
yang banyak diwarnai pemberontakan ini sama sekali tidak melemahkan kedaulatan
kekhalifahan beliau di Jazirah Arab. Bahkan, kekhalifahan Abu Bakar ra.dicatat
para sejarawan sebagai era yang mencetuskan ekspansi umat islam kewilayah
romawi Timur dan Persia, yang pada akhirnya mengubah alur sejarah untuk
selamanya. Berikut adalah beberapa pristiwa penting semasa Abu Bakar ra.
menjabat sebagai khalifah sebagaimana yang dicatat para sejarawan islam

a. Mengirim Pasukan Ekspedisi Usamah bin Zaid ra


Riwayat pengiriman pasukan ekspedisi yang dipimpin Usama bin Zaid ra.
dituturkan Urwah kepada anaknya, Hisyam, yang meriwayatkan bahwa ketika
Rasulullah Saw. Sedang sakit keras menjelang ajalnya, beliau memerintahkan
Usamah bin Zaid ra. untuk bergerak menyerang daerah romawi. Ini adalah
pasukan umat islam ketiga yang diurus Rasulullah Saw. Sebagai kelanjutan dari
konflik dengan kekaisaran Romawi Timur.6 Keberangkatan pasukan ini
kemudian terhenti saat pasukan baru tiba di daerah Jurf. Sebab istri Usamah bin
Zaid ra. mengirim seorang utursan untuk meminta pasukan Usamh ini kembali
ke Madinah karena sakit yang diderita Rasulullah Saw semakin parah.

Rasulullah Saw wafat menjelang malam, tepat di hari Usamah ra sudah


kembali ke Madinah. Usamah ra khawatir banyak yang akan berpaling murtad
setelah berita mengenal wafatnya Rasulullah Saw sudah tersebar luas. Apabila

4
Al-Tabari, dalam Ahmed A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economics-A Short History (Leiden: Brill
NV, 2006), hlm. 95-96.
5
"Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 36.
6
onflik pertama dengan pasukan Romawi Timur (Bizantium) terjadi pada Perang Mu'tah yang berlangsung
pada bulan Jumadil Awal, tahun 8 H (Agustus, 629 M) atas perintah Rasulullah Saw. Pasukan Muslim saat itu
berjumlah tiga ribu orang dan terpukul mundur setelah berhadapan dengan pasukan Romawi yang berjumlah
besar. Pada 9 H (630 M), Rasulullah Saw. kemudian melancarkan ekspedisi ke daerah Tabuk dengan membawa
tiga puluh ribu orang untuk menghadapi serangan Romawi di utara Arab. Ekspedisi ini kemudian berakhir
setelah tidak ada sarna sekali pergerakan dari pasukan Romawi untuk mencoba menyerang. Rasulullah Saw.
kemudian menjadikan kesempatan ini untuk membangun relasi dengan suku- suku Arab yang tinggal
berbatasan dengan daerah Romawi. Lihat Imam al-Tabari, Ta'rikh ar-Rusul wa al-Mulk, 8: 139-188

6
kondisi tersebut memang terjadi, orang-orang yang murtad itu pun harus
diperangi. Padahal, saat itu banyak pasukan-pasukan senior dan veteran dari
kalangan sahabat yang ikut tergabung dalam pasukan ekspedisi yang akan
dibawa Usamah ra. ke daerah Romawi. Abu Bakar ra. kemudian mengambil
keputusan untuk tetap melanjutkan pengiriman pasukan ekspedisi tersebut
dengan alasan bahwa misi itu adalah perintah langsung Rasulullah Saw. dan
Abu Bakar ra. tidak berani membatalkan wasiat tersebut.

Usamah ra. pun berangkat menuju Balqa dan berhasil kembali pulang dengan
membawa harta rampasan perang. Ini adalah ekspedisi pertama umat Muslim
ke daerah Romawi Timur yang berhasil dan menjadi pembuka kampanye militer
di daerah Syam pada masa-masa setelahnya.7

b. Perang Riddah dan Restorasi Zakat


Riddah adalah serangkaian pemberontakan yang didasari motif politik dan
agama di berbagai daerah di semenanjung Arab yang terjadi selama
kekhalifahan Abu bakar ra. Pemberontakan-pemberontakan ini terjadi setelah
banyak suku di jazirah Arab tidak mau membayar zakat, murtad, dan bahkan
bergabung dengan nabi-nabi palsu untuk melepaskan diri dari pemerintahan
Madinah setelah Rasulullah Saw wafat. Dalam sebuah riwayat (as-Suyuthi),
Umar bin Khattab Ra menuturkan bagaimana pandangan dan sikap tegas Abu
bakar ra terhadap pembangkangan pembangkangan sepeninggal nabi itu.

Al-Ismail meriwayatkan dari Umar, ia berkata: "sepeninggal Rasulullah,


banyak orang yang murtad. Mereka berkata: 'kami tetap melakukan salat tetapi
tidak lagi membayar zakat.' karena itu, aku mendatangi Abu bakar dan
mengatakan kepadanya : 'persatukanlah orang-orang itu dan bersikaplah
penuh kasih sayang kepada mereka karena mereka itu bagaikan orang-orang
yang buas.' Abu bakar berkata: 'aku mengharapkan bantuanmu, tetapi yang
kutemukan ternyata penghianatanmu. Apakah engkau yang begitu garang
kepada masa jahiliyah berubah menjadi pengecut di dalam Islam, wahai
Umar? Dengan syair dan sihir yang dibuat-buat? Tidak! tidak! Rasulullah telah
berpulang dan Wahyu sudah putus. Demi Allah, akan kuperangi mereka selama
aku masih sanggup menggenggam pedang, kendati Mereka menolak
memberikan sekedar seutas tali seperti yang pernah diberikan kepada
Rasulullah."

Riwayat lain (adz-Dzahabi) juga mencatat reaksi yang sama saat berita
mengenai orang-orang murtad telah sampai kepada Abu bakar ra.

....Umar kemudian berkata: "mengapa kamu memerangi mereka padahal


Rasulullah Saw. Bersabda: 'aku diutus untuk memerangi manusia hingga

7
Ekspedisi ini dikatakan sukses karena serangan ini bertujuan tidak untuk menaklukkan, namun untuk
mendapatkan intelijen dan harta rampasan perang. Kejadian seperti yang terjadi pada saat Perang Mu'tah,
ketika banyak para sahabat terbunuh, pun tidak terjadi. Lihat Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa', hlm. 81-82.

7
mereka berkata: 'tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah.'8 barang siapa yang telah mengucapkan
kalimat itu maka harta dan darahnya dilindungi olehku, kecuali dengan haknya,
sedangkan hisabnya diserahkan kepada Allah.' Abu bakar lalu berkata: 'demi
Allah, aku tetap akan memerangi orang yang memisahkan antara salat dan
zakat karena zakat adalah kewajiban harta dan beliau bersabda : 'kecuali
dengan haknya." Umar berkata: 'Demi Allah, hal itu tidak lain karena Allah
telah melapangkan dada Abu bakar untuk memerangi mereka, dan aku tahu hal
itu memang benar.’”9

Peristiwa Riddah yang pertama terjadi dalam Islam tercatat sesaat setelah
Rasulullah SAW selesai menunaikan haji Wada' pada tahun 10 H (632 M). Ini
merupakan pemberontakan bersenjata yang terjadi di seluruh penjuru Yaman di
bawah pimpinan seorang nabi palsu bernama Abhalah bin Ka'ab atau lebih
dikenal dengan julukannya yaitu Al- Aswad al-Ansi. Tindakan untuk
memadamkan pemberontakan hal ini sebenarnya sudah diambil Rasulullah
Saw, namun baru dapat dipadamkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra.
Pemberontakan di Daerah Utara Madinah terjadi di bawah pimpinan seorang
nabi palsu bernama Thulaihah yang mendapat dukungan dari Suku Asad, Suku
Ghathafan, Suku Hawazin, dan lain-lain. Pemberontakan ini dapat dikalahkan
setelah Khalid bin Walid ra dapat menumpasnya dan Thulaihah beserta
simpatisan dari sukunya dapat ditawan titik mereka akhirnya kembali bertobat.

Fokus Khalid bin Walid ra kemudian adalah untuk membantu pasukan


Ikrimah bin Abi Jahal ra meredam pemberontakan Bani Hunaifah di Yammah,
yang saat itu mengangkat senjata di bawah pimpinan Musaylamah bin
Tsumamah, seorang yang mengklaim kenabian setelah kenabian Rasulullah
Saw setelah pasukan Ikrimah bin Abi Jahal ra dan Khalid bin Walid ra akhirnya
berkumpul, serangan terhadap musaylamah pun bisa dilancarkan. Akibatnya,
pada peperangan itu Musaylamah terbunuh di kampung halamannya sendiri.

Penduduk Bahrain juga sempat melancarkan pemberontakan setelah kabar


wafatnya Rasulullah Saw sampai kepada mereka. Sebagai repons, Abu Bakar
ra mengirim al-A’la bin al-Hadrami ra untuk meredam pemberontakan mereka.
Abu Bakar ra disaat yang bersamaan juga kembali menggerakan pasukan
dibawah pimpinan Ikrimah bin Abi Jahal ra ke Oman untuk meredam
pemberontakan di daerah itu. Pemberontakan berikutnya juga terjadi di Nujair
(sebuah daerah di Yaman yang dekat dengan Hadramaut) tempat Ziyad bin
Lubaid ra diutus untuk menumpas pemberontakan ini dan pemberontakan-
pemberontakan lian yang terjadi disekitar semenanjung Arab.

8
hadis sahih Bukhari, Muslim, dan berbagai kitab Sunan. hadis ini akan tampak bertentangan dengan ayat,
"Tidak ada paksaan dalam agama" (QS Al-Baqarah [2]: 256). Menurut Ibn Hajar dalam kitabnya, Fathul Bari
(yang berisi penjelasan terhadap Sahih Bukhari), hadis ini berkaitan dengan QS At-Taubah (9): 5 yang berisi
perintah memerangi kaum musyrikin yang memerangi Islam.
9
Imam adz-Dzhabi, Siyar A’lam an-Nubala’, hlm. 33

8
Penolakan suku-suku Arab ini untuk membayar zakat tidk serta merta berarti
mereka semua berbalik menjadi musyrik lagi, namun jelas merupakan tindakan
memisahkan diri dari kontrol pemerintahan Madinah. Dan ini adalah ancaman
bagi Islam, yakni ancaman terhadap kesatuan umat muslim dan ancaman
terhadap kesatuan umat muslim dan ancaman terhadap ajaran Islam. Sebab
zakat adalah bagian yang tidak terpisahkan daari rukun Islam yang lima.
Menolak membayar zakat sama saja dengan merusak nilai-nilai dasar dan
melanggar kesepakan mereka sebelumnya dengan Nabi.

Ahmed El-Ashker dan Rodney Wilson (2006), menyimpulkan bahwa


keputusan Abu Bakar ra memerangi para pemberontak yang menolak
membayar zakat itu, walau mereka masih mengaku muslim, mesti dilihat dari
setidaknya empat perspektif :
1) Faktor keagamaan, Abu Bakar ra. memandang bahwa para pemberontak
berusaha memecah-belah nilai-nilai dasar Islam sebagai sebuah agama,
yakni dengan menerima kewajiban salat dan menolak membayar zakat.
2) Kebutuhan untuk mempersatukan seluruh Jazirah Arab dan orang-orang
Arab di bawah satu pemerintahan pusat dan satu kesatuan politik.
3) Pentingnya zakat sebagai
4) \ alat untuk mendistribusikan kekayaan dan sebagai wujud kepedulian sosial
kemanusian mesti ditekankan kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah
memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan agar pembayaran
dan penyaluran zakat itu bisa berjalan.
5) Sumber keuangan negara diawal masa kekhalifaan sangat terbatas, padhal
ada banyak rakyat yang memerlukan bantuan keuangan negara. Maka,
diperlukan sebuah kebijakan keuangan publik untuk mengatur penerimaan
dan pengeluaran negara demi kepentingan seluruh masyarakat yang berada
dibawah kekuasaan kekhalifaan. Selain itu, agenda kekhalifaan untuk
melaksanakan jihad guna mengukukuhkan otoritas Islam di Jazirah Arab
dan seterusnya juga membutuhkan kebijakan keuangan yang dikelola
dengan baik.
Pemberantokan-pemberontakan ini akhirnya dapat dapat dipadamkan pada
633 M. Dengan demikian Abu Bakar ra. berhasil mengkukuhkan kedaulatan
politik kekhalifaannya yang berpusat di Madinah, mempersatukan keutuhan
agama dengan memulihkan kembali zakat sebagai rukun Islam, dan sebagai
salah satu alat pemerintah untuk mengurangi kesenjangan dalam masyarakat.
Dengan memaksa para pemberontak itu membayar zakat, sang khalifah telah
menegakkan sebuah prinsip penting dalam perpajakan Islam: zakat adalah salah
satu hak negara, tanpa tawar-menawar rakyat. Unsur kewajiban dalam pajak
tersebut dengan demikian terpenuhi, namun dengan cara yang bijaksana, sebab
zakat ini ditarik pemerintah saat panen dan/atau setelah harta dimiliki selama
satu tahun. Prinsip kepastiannya sudah diperkenalkan dalam Al-Qur'an dan
Sunnah, sebab persentase zakat sudah diketahui dari awal, dan macam-macam
besarannya untuk setiap jenis harta pun sudah ditetapkan. Karena itu, sejak

9
masa-masa awal ini pun zakat telah memiliki sifat-sifat seperti pajak, walau
tidak persis sama.10
c. Perluasan ke Daerah Irak dan Kenaikkan Pendapatan Negara
Perintah Abu Bakar ra. untuk membebaskan Irak-yang saat itu berada di
bawah cengkeraman Kekaisaran Sassania Persia-datang kepada Khalid bin
Walid ra. dalam bentuk sebuah surat, sesaat setelah pemberontakan
Musaylamah berhasil diredam di Yamamah. Dalam surat tersebut, Khalid bin
Walid ra. diperintahkan untuk masuk ke daerah selatan Irak dan kemudian
bergerak ke arah utara hingga Kota al-Hirah dapat dibebaskan. Khalid bin Walid
ra. kemudian melaksanakan perintah ini dengan bergegas berangkat bersama
dua ribu orang pasukannya dari Yamamah menuju ke Irak pada tahun 12 H.

Khalid bin Walid terus bergerak menuju Irak melintasi padang pasir dari
Yamamah, hingga beliau dan pasukannya sampai di daerah as- Sawad.11 Di
sepanjang perjalanannya menuju Irak, Khalid bin Walid ra. menyebarkan surat
kepada empat pemimpin suku Arab (Harmalah bin Muraytah, Sulma bin Qayn,
al-Muthanna bin Haritha, dan al-Madh'ur) yang tinggal berbatasan dengan
Kekaisaran Persia, untuk bergabung dengan pasukannya. Beliau juga langsung
merekrut pasukan dari Suku Rabi'ah dan Suku Mudhor, hingga pasukan yang
dipimpin langsung oleh beliau mencapai sepuluh ribu orang. Jumlah ini
kemudian diperkuat keempat amir yang beliau perintahkan untuk bergabung,
sehingga pada waktu Khalid bin Walid ra, tiba di Irak, pasukan yang ada di
bawah pimpinan beliau mencapai delapan belas ribu orang.

Ekspedisi pembebasan Irak ini merupakan salah satu kesuksesan besar yang
terjadi pada era kekhalifahan Abu Bakar ra. Pasukan Khalid bin Walid ra. selalu
meraih kemenangan atas kontingen-kontingen pasukan Persia dan suku-suku
Arab lokal yang mencoba menghentikan pergerakan pasukan kekhalifahan, baik
itu pada peperangan Dzatus Salasil, peperangan di al-Madhar, peperangan di
Walajah, peperangan di Ullais, pembebasan Benteng Amghishiyah, peperangan
di Furat Badaqla, dan lain-lain, hingga akhirnya misi utama Khalid bin Walid
ra. untuk menaklukkan Kota al-Hirah dapat tercapai.

Harta-harta rampasan perang yang didapat dari kemenangan- kemenangan di


Irak Selatan selama bulan Muharam hingga Safar tahun 12 H (Maret-Juni, 633
M) menjadi salah satu sumber pemasukan yang besar bagi kekhalifahan. Pada
setiap akhir peperangan, Khalid bin Walid ra. biasa membagi-bagi harta
rampasan perang kepada prajurit-prajuritnya sesuai dengan peranannya di
medan perang, dan jumlah harta rampasan perang yang diberikan untuk pasukan
kavaleri (berkuda) biasanya lebih banyak daripada yang diberikan kepada
pasukan infanteri. 29 Khalid bin Walid ra. juga biasanya langsung menyisihkan
seperlima (khums) harta rampasan perang yang didapat dan mendistribusikan

10
Ahmed A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economics-A Short History (Leiden: Brill NV, 2006), hlm.
97-99.
11
As-Sawad adalah nama yang digunakan orang-orang Arab zaman dahulu untuk menyebut daerah Irak
Selatan.

10
sebagiannya untuk orang-orang yang membutuhkan karena terdampak langsung
oleh perang, dan sebagiannya lagi dikirimkan langsung ke Madinah sebagai
pemasukan negara.

Khalid bin Walid ra. juga mendapat arahan khusus dari Abu Bakar ra dalam
menangani masalah tawanan. Abu Bakar ra. berpesan kepada seluruh panglima
perangnya untuk hanya mengambil tawanan perang dari prajurit-prajurit musuh
yang tertangkap, orang-orang yang secara langsung membantu dan
berkolaborasi dengan prajurit-prajurit musuh, dan keluarga-keluarga dari
prajurit musuh maupun orang-orang yang secara langsung membantu dan
berkolaborasi dengan prajurit musuh. Abu Bakar ra. melarang prajurit-
prajuritnya untuk mengambil tawanan dari rakyat biasa yang sama sekali tidak
terlibat dalam peperangan; dan beliau juga melarang prajurit-prajuritnya
mengambil lahan/properti milik rakyat biasa yang masih tinggal di dalam
properti mereka. Pelarangan ini juga ditekankan terutama setelah persetujuan
untuk tunduk kepada kekhalifahan dan persetujuan untuk membayar jizyah dan
kharaj (bukankah di masa Abu Bakar belum ada kharaj?) telah disepakati antara
penduduk daerah taklukan dengan pihak otoritas kekhalifahan.

Setelah jatuhnya Kota al-Hirah, hegemoni Kekaisaran Persia di daerah tepi


barat Sungai Efrat benar-benar hancur. Kekalahan bertubi-tubi yang dialami
tentara Persia benar-benar melumpuhkan kekuatan militernya di tepi barat
Sungai Efrat, dan membuat banyak pejabat Kekaisaran Persia memilih
meninggalkan harta bendanya dan pergi meninggalkan Irak. Rumah-rumah,
tanah perkebunan dan harta benda lainnya yang mereka tinggalkan kemudian
diklaim sebagai harta rampasan perang (fali) oleh kekhalifahan di samping harta
rampasan perang yang didapat langsung dari peperangan.

Menyerahnya Kota al-Hirah juga membuat kota-kota dan permukiman-


permukiman lain yang ada Irak Selatan yang mayoritasnya banyak dihuni
orang-orang Arab yang beragama Nasrani-lebih memilih membayar jizyah dan
kharaj kepada kekhalifahan dibandingkan berperang melawan pasukan Khalid
bin Walid ra. Pendapatan jizyah dari Kota al-Hirah yang telah disetujui para
penduduknya untuk dibayarkan setiap tahunnya kepada kekhalifahan tercatat
sebesar seratus sembilan puluh ribu dirham.12 Tidak lama setelah itu, penduduk
Kota Baniqya dan Barusma menyerahkan diri kepada Khalid bin Walid ra. dan
setuju untuk membayar jizyah setiap tahunnya sebesar sepuluh ribu dinar,
ditambah dengan kewajiban setiap orang untuk membayar pajak kapitasi (per
kepala) sebesar empat dirhan setiap tahunnya. Para dehqan13 dari daerah
Bihqubadh juga menyerah kepada Khalid bin Walid ra. tidak lama setelah
jatuhnya Kota al-Hirah. Mereka setuju menyerahkan daerah Bihqubadh kepada
kekhalifahan dan setuju membayar jizyah sebesar dua juta dirham setiap

12
Angka ini kemudian berubah hingga mencapai empat ratus ribu dirham per tahunnya pada masa
kekhalifahan Umar ra. dikarenakan penduduk daerah as-Sawad sempat melakukan pemberontakan yang
dipromotori Kekaisaran Persia hingga dua kali. Lihat Imam al-Tabari, Ta'rikh ar-Rusul wa al-Mulk, hlm. 35.
13
Sebutan untuk tuan tanah di Kekaisaran Persia.

11
tahunnya, ditambah dengan semua properti keluarga bangsawan Sasania yang
telah ditinggalkan pemiliknya yang ada di daerah itu. Properti-properti tersebut
diserahkan kepada otoritas kekhalifahan dan dianggap sebagai harta rampasan
perang (fa'i).

Khalid bin Walid ra. juga selalu mengutus orang-orang untuk menjadi
representasinya dalam mengumpulkan jizyah dan kharaj di setiap kota dan
permukiman yang sudah memiliki perjanjian dengannya. Kewajiban membayar
jizyah dan kharaj ini tidak dikenakan terhadap wanita, anak-anak, dan orang-
orang yang tidak mampu. Namun, Khalid bin Walid ra, telah memerintahkan
utusan-utusannya untuk membuat sebuah dokumen bagi setiap orang yang
dinilai mampu untuk menunaikan kewajiban membayar jizyah dan kharaj.
Dokumen ini adalah jaminan atas keamanan mereka dan kebebasan mereka
menjalankan syariat agamanya masing-masing di bawah kekuasaan
kekhalifahan.

Setelah Khalid bin Walid ra. selesai menaklukkan Kota al-Hirah, serangan
terhadap Kekaisaran Persia yang saat ini kekuatannya hanya terkonsentrasi di
pesisir timur Sungai Tigris-dihentikan sementara. Khalid bin Walid ra.
memutuskan menetap sementara selama setahun di Kota al-Hirah guna menata
tatanan daerah taklukannya dan menunjuk bawahan-bawahannya untuk menjadi
administrator di daerah as-Sawad, setelah daerah itu sudah dipetakan dan
diintegrasikan ke dalam daerah kekhalifahan.

Setelah Khalid bin Walid ra. selesai menata administrasi dan pemerintahan
daerah as-Sawad, beliau kemudian bergerak menuju daerah Irak Tengah guna
menaklukkan daerah Anbar, 'Ayn at-Tamr, dan daerah Dumat al-Jandal. Ketiga
daerah ini menyerah setelah garnisun- garnisunnya mengalami kekalahan dalam
peperangan melawan Khalid bin Walid ra.

Selesai dengan urusan di Daumat al-Jandal, Khalid bin Walid ra. kemudian
kembali ke al-Hirah, namun dengan mendapat kabar bahwa beberapa kontingen
pasukan koalisi yang terdiri dari orang- orang Arab Irak dan orang-orang Persia
telah terbentuk di seberang Sungai Tigris. Tujuan mereka adalah mengklaim
kembali daerah- daerah mereka di as-Sawad yang telah ditaklukkan oleh
kekhalifahan. Pasukan koalisi Arab-Persia ini kemudian dapat dikalahkan di
daerah Husayd dan al-Musayyakh, tempat banyak dari pemimpin mereka
terbunuh pada kedua peperangan tersebut. Setelah kampanye militer menumpas
serangan balik Arab-Persia ini selesai, Khalid bin Walid ra. kemudian
mengumpulkan seluruh harta rampasan yang didapat dan mendistribusikannya
kepada prajurit-prajuritnya. Beliau juga langsung mengirim khums ke Madinah
dari hasil peperangan-peperangan tersebut.

Perang terakhir pada kampanye militer Irak yang dipimpin Khalid bin Walid
ra. adalah perang di daerah al-Firad. Daerah ini berbatasan antara Irak dan

12
Suriah. Dan garnisun Persia yang ada di daerah ini berkoalisi dengan pasukan
Romawi Timur untuk mengalahkan Khalid bin Walid ra Koalisi antara pasukan
Persia dengan Romawi ini tidaklah lazim, mengingat sejarah hubungan antara
kedua kekaisaran ini tidak pernah akur sejak pertama kali perbatasan mereka
bertemu. Namun, saat ini adalah masa yang berbeda pasukan Persia dan
Romawi harus melawan musuh yang sama, yaitu pasukan Muslim yang diutus
kekhalifahan. Pasukan koalisi ini pun dapat dikalahkan Khalid bin Walid ra.
Setelah peperangan ini selesai, Khalid bin Walid ra. memutuskan kembai ke
Kota al-Hirah dan memutuskan menunaikan ibadah haji secara diam-diam.
Pembebasan Irak sejak peperangan Dzatus Salasil hingga peperangan al-Firad
semuanya terjadi pada tahun 12 H (633 M). Di tahun-tahun berikutnya, Khalid
bin Walid ra. akan melanjutkan karier militernya di bawah pimpinan Umar ra,
dalam menaklukkan daerah Syam.

d. Menginisiasi Pembebasan Daerah Syam


Pembebasan ke daerah Syam dimulai pada tahun 13 H (634 M) setelah Abu
Bakar ra. selesai menunaikan ibadah haji. Beliau mengutus 'Amr bin al-Ash ra.
untuk menyerang Palestina, Yazid bin Abi Sufyan ra. untuk menyerang
Damaskus, Abu Ubaidah bin Jarrah ra. untuk menyerang Homs, dan Syurahbil
bin Hasanah ra. untuk menyerang Jordania. Di samping keempat sahabat
tersebut, pasukan penyerangan ke Syam ini nantinya juga akan diperkuat
dengan pasukan yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal ra. dan Khalid bin Walid
ra."

Total keempat pasukan utama yang diberangkatkan ke Syam mencapai dua


puluh satu ribu orang. Jumlah tersebut kemudian diperkuat dengan bantuan
enam ribu pasukan Ikrimah bin Abi Jahal ra. dan sembilan ribu orang pasukan
dari Irak di bawah komando Khalid bin Walid ra.

Abu Bakar ra. kemudian meninggal beberapa saat setelah pasukan- pasukan
ini berangkat ke Syan. Kurir yang datang dari Madinah, yang membawa kabar
wafatnya Abu Bakar ra., sampai kepada Khalid bin Walid ra. dan Abu Ubaidah
ra. di tengah-tengah proses kampanye militer. Kurir tersebut juga datang
membawa pesan dari khalifah yang baru untuk Abu Ubaidah ra., agar beliaulah
yang menjadi pemegang komando utama seluruh pasukan yang ada di Syam
dan melanjutkan proses pembebasan.

e. Mengusung Pendirian Baitulmal


Istilah baitulmal (bait: rumah, mal: harta) digunakan untuk merujuk sebuah
tempat atau bangunan yang digunakan pemerintah Islam untuk menyimpan
harta-harta bergerak milik publik, sampai disalurkannya harta-harta tersebut
sebagai harta rampasan perang, khums, atau lainnya, sesuai dengan tujuannya.
Dalam Mawsu'ah Fiqhiyyah (dikutip dalam Rahman, 2015) penggunaan kata
baitulmal berevolusi seiring berjalannya waktu hingga dapat diartikan sebagai
sebuah kata yang digunakan untuk merujuk ke sebuah badan/institusi negara
Islam yang memiliki dan mengatur properti-properti publik milik umat Islam.

13
Cikal bakal baitulmal sudah dapat dilacak sejak zaman Rasulullah Saw. ketika
harta hasil pengumpulan zakat, jizyah, dan rampasan perang dikumpulkan,
dicatat, dan didistribusikan. Zallum (1988) mengemukakan bahwasanya
"baitulmal" pada masa Rasulullah Saw. tidak merujuk ke suatu tempat khusus,
sebab pada saat itu jumlah pemasukan masih terbatas dan Rasulullah Saw.
selalu mendistribusikan semua pemasukan yang didapatnya langsung ke pihak-
pihak yang berhak menerimanya di daerah yang sama, maksimal tiga hari
setelah dikumpulkan.

Di tahun pertamanya sebagai khalifah, Abu Bakar ra. menunjuk sahabat Abu
Ubaidah bin Jarrah ra.14 untuk tetap meneruskan tradisi Rasulullah Saw.
tersebut, yakni yang mengharuskan semua harta jizyah yang sampai ke Madinah
untuk langsung disalurkan secepatnya ke pihak-pihak yang berhak dan
membutuhkan. Bahkan setelah wafatnya beliau, yang ditemukan Umar ra. pada
baitulmal tersebut hanya uang satu dinar yang jatuh dari kantung.

Baru di tahun kedua masa pemerintahannya Abu Bakar ra. menyediakan suatu
tempat khusus di rumahnya, yang diperuntukkan untuk menyimpan dan
mendistribusikan segala pemasukan kekhalifahan. Abu Bakar ra juga menunjuk
sahabat Mu'aiqib bin Abi Fathimah ad-Dausi ra. sebagai salah satu yang
dipekerjakan untuk mengurus tempat tersebut. Tempat khusus yang disediakan
Abu Bakar ra. di rumahnya inilah yang disepakati para ahli sebagai tempat
pertama berdirinya baitulmal secara resmi.

3. Akhir Masa Kekhalifahan


Berdasarkan riwayat yang disampaikan anaknya, Aisyah radhiyallahu 'anha, Abu
Bakar ra. mengalami deman tinggi sejak Senin, 7 Jumadil Akhir 13 H. Demamnya
cukup parah sehingga beliau tidak mampu menghadiri salat berjemaah dan
kemudian menunjuk Umar ra. untuk menggantikannya menjadi imam.

Merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Abu Bakar ra. akhirnya memanggil beberapa
orang sahabat ra. di antaranya Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin
Zaid, Usaid bin Hudhair, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa sahabat dari Anshar-
untuk menyampaikan pesan terakhirnya sebagai khalifah. Wasiat yang beliau
sampaikan adalah memilih Umar ra. sebagai penggantinya menjadi khalifah, dan
wasiat tersebut beliau perintahkan untuk dituliskan Utsman bin Affan ra. dan
kemudian dibacakan di depan khalayak ramai.

Bismillaahirrahmaanirrahiim. Inilah wasiat Abu Bakar bin Abi Quhafah pada


akhir hayatnya, saat akan keluar dari dunia ini dan mengawali hidupnya di akhirat.
Itulah tempat ketika orang-orang kafir akan beriman, orang-orang yang durhaka
akan yakin, dan orang yang mendustakan akan membenarkan. Sesungguhnya, aku
menunjuk Umar sebagai khalifah bagi kalian semua sepeninggalku. Karena itu,

14
Secara spesifik, tugas utama beliau adalah untuk mengadministrasikan semua pemasukan jizyah yang datang
ke madinah.

14
dengarkan dan taatilah ia. Aku tidak pernah mengabaikan kebajikan, baik yang
berupa ketaatan kepada Allah, Rasulullah, dan agama-Nya, maupun kebaikan bagi
kalian semua dan bagi diriku sendiri. Apabila Umar berlaku adil, berarti tepat
seperti yang kuharapkan dan kuketahui tentang dirinya. Namun, jika ternyata ia
berubah, tentunya setiap orang akan menanggung buah perbuatannya. Aku hanya
menginginkan hal yang baik, tetapi aku tidak mengetahui segala yang gaib; dan
orang-orang yang zalim akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.
Wassalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Surat tersebut lalu dicap, dibacakan Utsman ra. kepada semua orang yang hadir
saat itu, dan mereka semua kemudian membaiat Umar ra. di kediaman Abu Bakar
ra. Selanjutnya, Abu Bakar ra. meminta waktu sendirian bersama Umar ra. untuk
menyampaikan pesan-pesan dan nasihat terakhirnya

Abu Bakar ra. kemudian wafat pada sore hari menjelang salat Isya pada 22
Jumadil Akhir 13 H (634 M), setelah demam yang dideritanya selama lima belas
hari bertambah parah. Beliau wafat pada umur 63 tahun, setelah menjabat menjadi
khalifah selama dua tahun seratus hari.

B. Khalifah Umar bin Khattab ra. (634-644 M)


1. Pengangkatan Menjadi Khalifah
Umar bin Khattab ra, diangkat menjadi khalifah pada Jumadil Akhir 13 H (634
M) oleh Abu Bakar ra. di hari-hari terakhirnya menjadi khalifah. Pengangkatan
Umar menjadi khalifah adalah keputusan Abu Bakar ra. yang telah bulat beliau
ambil setelah bermusyawarah dengan sahabat- sahabat yang lain, seperti
Abdurrahman bin Auf ra., Utsman bin Affan ra., Thalhah bin Ubaydillah ra., dan
lain-lain.

Pada keesokan hari setelah Abu Bakar ra. dimakamkan Umar ra. kemudian
berkata kepada khalayak ramai, "Aku akan mengatakan beberapa kalimat yang
harus kalian aminkan. Perumpamaan orang-orang Arab adalah seperti unta yang
dituntun hidungnya mengikuti penggembalanya; maka dari itu, biarkanlah
penggembalanya memperhatikan ke mana dia menuntun untanya. Adapun aku,
demi Tuhan yang memiliki Ka'bah, aku akan menuntun mereka ke jalan yang
lurus." Perkataan Umar ra. ini adalah pidato pertama beliau setelah dilantik menjadi
khalifah. Umar ra. juga menulis surat pertama beliau sebagai khalifah yang
ditujukan kepada Khalid bin Walid ra.. yang berisi berita mengenai wafatnya Abu
Bakar ra. dan pesan bahwa Abu Ubaidillah ra. yang akan mengambil alih pasukan
Syam yang saat itu sedang dipimpin Khalid bin Walid ra.

2. Masa Kekhalifahan dan Kebijakan Ekonomi Umar ra.


a. Menaklukan Daerah Syam, Irak, Iran, Azerbajian, dan Mesir
Masa pemerintahan Umar ra. merupakan periode ekspansi teritorial
maksimum yang dilakukan oleh kekhalifaan Rasyidin. Ekpansi teritorial besar-

15
besaran ini memiliki konsekuensi terhadap ekonomi, situasi populasi dan
kemakmuran masyarakat yang hidup di bawah kekhalifaan. Berikut ini adalah
serangkaian pembebasan strategis yang penting selama masa pemerintahan
Umar ra :

Pada tahun 13-14 M, tentara muslim memenangkan pertempuran al-Waqusa,


dan beberapa pertempuran, termasuk pertempuran Busra,Pertempuran Marj al-
Safar, pertempuran Ajnadyn, pertempuran Baalbek, Pertempuran Fars,
pertempuran Damaskus, pertempuran Tiberias, dan akhirnya pertempuran
Homs di mana Syam ditaklukan. Pertempuran lain terjadi di Irak, kali ini dengan
pasukan Persia melakukan serangan balik di daerah As-Sawad, yang memicu
pemberontakan Deccan.15

Tahun 15 H, wilayah Yordania menyerah dan berhasil ditaklukkan. Pada


tahun ini juga terjadi Perang Yarmuk dan Qadisiyah dalam jarak waktu yang
berdekatan. Kedua perang ini adalah salah satu momen krusial untuk
kekhalifahan karena tampuk pasukan utama Kekaisaran Romawi dan Persia
yang dikerahkan untuk menghentikan pergerakan kaum muslimin benar-benar
hancur dan butuh waktu bagi kedua kekaisaran tersebut untuk pulih dari
kekalahan mereka di Yarmuk dan Qadisiyah. Pada tahun ini, Kota Kufah dan
Basrah juga didirikan di Irak atas perintah Umar ra.

Tahun 16 H, Kota Jalula, Tikrit, Ahvaz, dan akhirnya ibu kota Kekaisaran
Persia, Mada'in, ditaklukkan. Kaisar Persia dan keluarganya melarikan diri ke
Kota Rey, jauh di pedalaman Iran Utara. Pada tahun ini pula di Syam, Kota al-
Quds berhasil dikuasai. Peristiwa ini amat terkenal karena kota ini menyerah
secara langsung kepada Umar ra. Kota Qaysariyya, Gaza, Sarraj, Aleppo,
Antiokia, Manbij, dan Qarqaisya' menyerah dan memilih untuk membayar
jizyah kepada kekhalifahan.

Tahun 18-20 H, pembebasan Irak dan Iran kembali dimulai: Kota


Gundesaphur, Halwan, Raha, Simsath, Haran Nashibin, dan Mosul dapat
ditaklukkan. Sebagian besar dari kota-kota tersebut bahkan menyerah tanpa
perlawanan. Pada 20 H, Mesir ditaklukkan, walau awalnya Umar ra. enggan
melakukan serangan ke sana. Ditaklukkannya Mesir adalah salah satu pukulan
dahsyat terhadap Kekaisaran Romawi, karena sejak zaman dahulu Mesir sudah
dikenal sebagai lumbung gandum terbesar bagi Romawi. Di Syam, Kota Tustar
juga dicatat menyerah kepada kaum muslimin. Pada tahun ini, Umar ra.
mengusir orang-orang Yahudi dari Khaibar dan Najran, dan properti-properti
yang mereka tinggalkan kemudian dibagi-bagikan kepada kaum muslimin.

Tahun 21 H, Iskandaria di Mesir berhasil dibebaskan. Di Iran, terjadi perang


besar antara pasukan muslimin dan pasukan Persia di Nahawand. Pasukan

15
Pemberontakan yang terjadi ini merebak hampir ke seluruh daerah yang sudah ditaklukkan pada masa
kekhalifahan sebelumnya. Maka dari itu, Umar ra mengutus kembali pasukan ekspedisi untuk menenangkan
keadaan di Irak dan melanjutkan peperangan dengan Kekaisaran Persia

16
Persia dapat dikalahkan pada peperangan ini walau saat itu pasukan Muslim
kalah jumlah. Pasukan Persia yang dikalahkan di Nahawand ini adalah pasukan
besar terakhir yang dapat dikumpulkan Kekaisaran Persia. Dengan kekalahan
ini, hegemoni Kekaisaran Persia di Iran mencapai titik kritisnya.

Tahun 22 H, dengan kalahnya pasukan Persia di Nahawand, pasukan Muslim


lalu bergerak ke utara dan menaklukkan daerah Azerbaijan. Riwayat tentang
pembebasan di daerah ini berkontradiksi: sebagian berpendapat bahwa
Azerbaijan menyerah tanpa perlawanan dan yang lain berkata sebaliknya. Di
Iran sendiri, kota-kota seperti Daynawar, Masibdzan, Hamdzan, dan Rey
menyerah setelah mengalami pengepungan oleh tentara kekhalifahan. Di
Afrika, Kota Askar dan Tripoli berhasil dibebaskan dari pasukan Romawi.

Dan di tahun terakhir masa pemerintahan Umar ra., yaitu 23 H, dengan


semakin lemahnya Kekaisaran Persia, sisa kota-kota yang masih berada di
bawah kontrol mereka di daerah pegunungan Iran dapat ditaklukkan. Kota-kota
tersebut antara lain Karman, Sijistan, Makran, dan akhirnya Isfahan dan daerah-
daerah di sekitarnya.16

b. Kebijakan mengenai Harta Rampasan Perang


Selain berupa zakat, pembebasan daerah-daerah yang telah disebutkan di
atas tentu mendatangkan pendapatan (revenue) tambahan untuk kekhalifahan,
baik itu berupa jizyah, kharaj, fa'i, khums, dan nantinya akan ditambah dengan
'usyur. Sebelum dibentuknya diwan baitulmal, seorang prajurit kekhalifahan
dibayar dengan apa yang bisa mereka dapatkan dari pasukan musuh. Dengan
kata lain, mereka hanya dibayar dengan harta al-anfal (rampasan perang). Harta
al-anfal ini pun tidak semuanya boleh dibagikan kepada para prajurit: seperlima
dari harta tersebut harus disisihkan sebagai khums yang pembagiannya sudah
ditetapkan dalam Al-Qur'an (QS Al-Anfal [8]: 41). Sebagai contoh, setiap harta
ghanimah yang diperoleh pada setiap pertempuran, baik itu yang terjadi di Irak,
Syam, Mesir, dan Iran, seperlimanya pasti selalu dikirimkan ke Madinah
sebagai khums.

Untuk di Irak sendiri, umumnya tarif jizyah dan kharaj yang berlaku masih
sama seperti syarat-syarat yang telah ditentukan pada masa Abu Bakar ra.,
kecuali setelah terjadinya pemberontakan pada 13-15 H di Sawad. Di daerah
ini, beberapa kota dan individu mengalami kenaikan tarif jizyah karena
perbuatan mereka berkolaborasi dengan musuh dan melanggar perjanjian-
perjanjian yang dulu telah ada antara mereka dan otoritas kekhalifahan pada
masa Abu Bakar ra.

16
Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa, hlm. 143-144. Untuk mengetahui lebih detail tentang proses penaklukan
tersebut, lihat Imam al-Tabari, Tarikh ar-Rusul wa al-Mulk, vol. 11-14.

17
Untuk di Syam, pada masa awal pembebasan, banyak kota dan daerah yang
perjanjian damainya sama seperti syarat-syarat perjanjian damai yang
ditetapkan untuk penduduk Kota Damaskus.17 Perjanjian yang ada di Damaskus
mewajibkan penduduk Kota Damaskus (yang terkena wajib jizyah) untuk
membayar satu dinar kepada pihak kekhalifahan dan setiap kepala keluarga
diwajibkan membayarkan satu jarib18 gandum untuk setiap jarib lahan pertanian
yang mereka miliki. Properti-properti milik aristokrat dan bangsawan Romawi
yang ditinggalkan pemiliknya juga disepakati untuk diambil alih kekhalifahan
dan dijadikan sebagai harta fa'i.

Di waktu lain, jumlah harta benda, persenjataan, hewan tunggangan, hingga


budak-budak yang ditinggalkan pasukan Persia setelah Perang Qadisiyah sangat
melimpah, bahkan dikabarkan setiap pasukan yang berpartisipasi bisa mendapat
ghanimah sebesar dua ribu dirham. Setiap orang yang berjasa besar dalam
perang tersebut juga kemudian diberi bonus penghargaan atas perintah langsung
Umar ra. sebesar lima ratus dirham.

Kalahnya pasukan Persia di Al-Qadisiyah ini juga memiliki dampak terhadap


demografi penduduk di Irak. Para penduduk Arab asli Irak yang berkolaborasi
dan yang direkrut secara paksa oleh Kekaisaran Persia untuk bertempur banyak
yang meninggalkan tanah, rumah, dan harta benda mereka setelah kekalahan
Persia di Al-Qadisiyah. Dengan demikian, selain benda-benda bergerak, harta
rampasan perang kali ini juga mencakup lahan dan tanah, yakni benda tak
bergerak. Kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya ini akhirnya melahirkan
ijtihad baru mengenai harta rampasan perang, yang akan dibahas lebih rinci
pada bagian selanjutnya.

Jatuhnya Kota Mada'in ke tangan kaum muslimin juga menghasilkan harta


rampasan perang yang jumlahnya belum pernah diperoleh umat Muslim dari
perang-perang sebelumya. Setiap pasukan kavaleri bisa mendapat dua belas ribu
dirham, dan kemungkinan setiap pasukan infanteri mendapat sepertiganya.
Jumlah tersebut belum termasuk perhiasan, perabotan, perlengkapan perang,
hewan tunggangan, dan bahkan budak-budak milik keluarga Kerajaan Persia
yang melarikan diri dari Mada'in. Pada pembebasan Kota Jalulla, setiap pasukan
kavaleri mendapat sembilan ribu dirham dan pasukan infanteri juga
kemungkinan mendapat sepertiganya.

17
Syarat-syarat perjanjian yang digunakan di Damaskus juga digunakan untuk penduduk kota-kota lain, seperti
Baysan, Busra, Homs, Tiberias, Jordania, bahkan untuk al-Quds dan lain-lain.
18
Jarib atau jerib merupakan istilah unit pengukuran yang digunakan di Timur Tengah. Istilah ini bisa
digunakan untuk mengukur berat maupun luas yang satuan nilainya bisa berbeda-beda antara satu daerah dan
daerah yang lain. Pada konteks di buku ini, apabila satu jarib digunakan untuk mengukur berat, maka satu jarib
bisa sama dengan empat qafiz (di mana satu qafiz jumlahnya antara 496 hingga 640 liter). Dengan demikian,
satu jarib di sini bisa berarti 1.984 liter atau 2.560 liter. Lihat Imam al-Tabari, Op. Cit., 11: 128.

18
c. Pendapatan Jizyah dari Daerah Taklukan
Ada banyak riwayat yang mencatat tentang banyaknya hasil rampasan perang
yang diperoleh kaum muslimin dalam kampanye militernya menaklukkan
daerah-daerah Kekaisaran Persia dan Romawi Timur. Bagaimanapun juga,
keduanya adalah negara adidaya pada masanya, yang memiliki sumber daya
manusia dan kemakmuran yang tidak dimiliki negara-negara lain. Namun di sisi
lain, rampasan perang- sebanyak apa pun jumlahnya bukanlah sumber
pemasukan utama yang dapat diandalkan untuk mengisi kas negara. Sebab, pada
saatnya tentu peperangan itu sendiri akan berakhir. Maka, jizyah, kharaj, dan
tambahan pajak lainnya yang diperoleh dari penduduk daerah taklukan tentu
menjadi opsi pemasukan utama untuk kekhalifahan dalam jangka panjang.

dalam pemaparan sebelumnya mengenai tarif pembayaran jizyah yang


diterapkan di daerah-daerah taklukan, bahwa besarnya nilai jizyah dan pajak
yang dikenakan di berbagai daerah banyak yang berbeda. Perbedaan ini
kemudian menjadi masalah setelah semakin banyaknya penduduk yang menjadi
warga negara kekhalifahan. Masalah- masalah yang muncul tersebut antara lain
adalah masalah keadilan, masalah pencatatan, dan masalah hukum. Atas dasar
itulah, di kemudian hari, Umar ra. menentukan aturan yang jelas untuk
pemungutan pajak yang akan diterapkan di seluruh daerah kekuasaannya.

Mengutip Abu Yusuf dalam Quthb Ibrahim (2002: 65-66), jizyah yang
distandardisasi Umar ra. adalah sebagai berikut:
1) laki-laki yang mampu, memiliki pekerjaan, berpenghasilan tinggi, pemilik
barang-barang langka, dan pedagang, jizyahnya sebesar 48 dirham;
2) laki-laki berpenghasilan menengah, jizyahnya 24 dirham;
3) laki-laki miskin yang bekerja seperti penjahit, penenun, dan sebagainya,
jizyahnya sebesar 12 dirham;
4) untuk laki-laki penduduk Mesir, standar jizyah yang ditetapkan adalah
sebesar 2 dinar. Tarif ini berdasarkan hasil perjanjian damai antara
penduduk Mesir dengan 'Amr bin al-Ash selaku pemegang komando militer
di Mesir.
Umar ra. juga menetapkan kebijakan bahwa jizyah yang diterima di bawah
administrasinya hanya boleh dibayarkan dalam bentuk uang. Dana jizyah
tersebut juga diambil secara bertahap di setiap pertengahan bulan. Jumlah
besaran tersebut juga bertambah sesuai standar kehidupan dan pendapatan yang
telah ditentukan penguasa daerah setempat. Dalam riwayat lain, Umar ra.
pernah (dan kemungkinan sering) menunda pengambilan jizyah dari para ahlu
dzimmah19 hingga terjadi kenaikan harga dan datangnya masa panen.
Penundaan tersebut sengaja dilakukan Umar ra. untuk memberi kelonggaran
kepada ahlu dzimmah dalam melunasi pembayaran jizyah mereka. Praktik
penarikan jizyahnya yang diperlambat tersebut bahkan kemudian menjadi
tradisi dalam periode administrasi Umar ra.

19
Untuk luas suatu lahan, satu jarib kurang lebih seluas 1,592 meter persegi. Imam al-Tabari Op. Cit., 12: 57.

19
Umar ra. juga memberi keringanan jizyah untuk beberapa golongan, yaitu:
1) kaum miskin yang tidak punya pekerjaan dan keahlian;
2) para pendeta yang hanya tinggal di tempat-tempat peribadatan dan
menjaganya. Namun, apabila mereka kaya dan memiliki pendapatan, pajak
jizyah bisa berlaku untuk mereka,
3) laki-laki tua yang sudah tidak mampu bekerja,
4) orang gila yang hilang ingatan.
Tarif jizyah yang ditetapkan Umar ra., bahkan yang ditetapkan seluruh
Khalifah Rasyidin, umumnya lebih rendah daripada tarif pajak yang diterapkan
Kekaisaran Romawi maupun Persia.
d. Penentuan Pembagian dan Pengelolaan Tanah Daerah Pembebasan
Umar ra. tidak membagikan seluruh lahan daerah yang baru dibebaskan
kepada para prajurit yang membebaskannya. Awalnya, hanya lahan- lahan milik
prajurit musuh dan milik warga sipil biasa yang telah ditinggalkan pemiliknya
yang diperbolehkan untuk dibagi-bagikan kepada para prajurit. Sedangkan
properti milik para bangsawan Persia dan Romawi, baik itu di Irak, Iran, Syam,
maupun Mesir, umumnya tidak dibagi-bagikan, namun dijadikan sumber
pemasukan kharaj bagi kekhalifahan. Keputusan ini diambil Umar ra. setelah
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat yang lain, seperti Ali bin Abi Thalib
ra., Mu'adz bin Jabal ra., Bilal bin Rabah ra., dan beberapa sahabat Muhajirin
maupun Anshar yang lain. Berikut adalah beberapa riwayat yang menjadi
contoh dari diterapkannya kebijakan Umar ra. tersebut.

Pertama, setelah kekalahan pasukan Persia di Al-Qadisiyah pada tahun 16 H.


Kalahnya pasukan Persia di Al-Qadisiyah ini memiliki dampak terhadap
demografi penduduk di Irak. Para penduduk Arab asli Irak yang berkolaborasi
dan yang direkrut secara paksa oleh Kekaisaran Persia antara tahun 13 hingga
15 H banyak yang meninggalkan tanah, rumah, dan harta benda mereka setelah
kekalahan Persia di Al- Qadisiyah. Melihat kondisi tersebut, Sa'ad bin Abi
Waqash ra.-yang saat itu menjadi pemegang komando pasukan Muslim di Irak-
menulis surat kepada Umar ra. mengenai langkah apa yang harus beliau ambil
untuk menghadapi masalah ini.

Penduduk Sawad meninggalkan daerah mereka. Untuk mereka yang tetap


berada di daerahnya masing-masing dan tidak menolong musuh-musuh kita
untuk memerangi kita, kita masih terapkan perjanjian yang sudah mereka buat
dahulu antara mereka dan kaum muslimin sebelum kita. Mereka mengaku
bahwa sebagian (penduduk) Sawad telah pindah menuju ke Mada'in20.
Berikanlah sebuah ketetapan hukum untuk kita atas mereka yang tetap tinggal
(di rumah-rumah mereka), yang sudah pindah meninggalkan (rumah-rumah
mereka), yang mengaku telah direkrut paksa oleh tentara Persia, yang
melarikan diri, yang tidak ikut berperang, dan yang telah menyerah. Kita
berada di daerah yang subur dan menguntungkan. Dan saat ini telah kosong

20
Sebutan orang arab untuk tysfun, ibu kota kekaisaran Persia di tepi timur

20
dari penduduknya, dan jumlah kita hanya sedikit. Mereka yang ingin berdamai
dengan kita sangat banyak jumlahnya. Mendapatkan iktikad baik dari mereka
akan membawa kemakmuran kepada kita dan kelemahan untuk musuh-musuh
kita.

Setelah menerima surat tersebut, Umar ra. kemudian mengeluarkan ultimatum


kepada Sa'ad ra. untuk menawarkan perdamaian kepada orang-orang yang telah
lari dan mengungsi untuk kembali ke kampung halamannya dan memperbarui
perjanjian mereka dengan kekhalifahan, dengan ketentuan tarif jizyah mereka
akan diperbesar apabila mereka terbukti secara sukarela berkolaborasi dengan
Kekaisaran Persia (penerapan tarif jizyah ini tergantung dari pertimbangan
pihak otoritas kekhalifahan di Irak, yaitu Sa'ad ra.).

Adapun tanah-tanah tempat tinggal orang-orang yang tidak mau kembali,


diperbolehkan Umar ra. untuk dijadikan sebagai harta rampasan perang (fa'i)
yang boleh dibagi-bagikan di antara pasukan yang ada di Irak sesuai keputusan
Sa'ad ra. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk properti-properti para
bangsawan Persia. Properti mereka juga diperlakukan sebagai harta fa'i, namun
disita kekhalifahan. Harta fa'i yang didapatkan di seluruh penjuru Irak (terutama
daerah as-Sawad) yang berbentuk properti (harta tidak bergerak) milik para
bangsawan Persia diputuskan untuk tidak dibagi-bagikan kepada ahl fa'i, namun
akan diolah kekhalifahan sebagai sumber pendapatan tetap bagi negara.21

lahan-lahan tersebut diputuskan diolah penduduk asli Irak, lalu sebagian hasil
dari pengolahannya akan dibayarkan kepada pihak otoritas kekhalifahan
sebagai kharaj bagi negara. Pajak kharaj juga diterapkan untuk lahan-lahan
properti yang diklaim dan digarap kembali oleh pemilik aslinya di Irak. Dengan
demikian, hampir seluruh tanah di as-Sawad diolah kembali oleh pemilik
aslinya, baik itu dari kalangan petani biasa maupun dari kalangan dehqan.

Kebijakan ini kemudian sempat mendapat respons negatif dari pihak militer
umat Muslim. Banyak dari mereka yang memprotes dan menuntut untuk
diberikan sebagian lahan di as-Sawad sebagai harta ghanimah, sesuai ketetapan
dalam QS Al-Anfal (8): 41. Tekanan demi tekanan disuarakan, namun Umar ra.
tetap enggan mengabulkan tuntutan mereka dengan meyakinkan pihak militer
bahwa seluruh tanah di as-Sawad adalah harta fa'i (merujuk QS Al-Hasyr [59]:
7) yang kepemilikannya adalah untuk seluruh umat muslimin. Adapun
penduduk Irak dan para tuan tanahnya adalah penyewa lahan negara yang wajib
membayar sewanya dalam bentuk kharaj. Dana kharaj yang terkumpul inilah
yang nantinya akan menjadi sumber utama kekhalifahan untuk membayar gaji
pegawai negeri dan personel militernya.

Kedua, kebijakan seperti di Irak juga terjadi di Syam. Dalam riwayat yang
disampaikan Abu Ubaidah ra., ketika Umar ra. hendak membagi- bagikan lahan
fa'i di Jabiyah (Syam), salah seorang sahabat yang hadir, yaitu Mu'adz ra.,

21
Imam al-Tabari, Ta’rikh ar-Rasul wa al-Mulk, 12:154-156

21
berkata: "Demi Allah, apabila hal itu terjadi pasti kami akan marah. Karena, jika
tanah itu dibagi-bagikan, daerah yang sebelumnya sangat luas dan menjadi
milik orang banyak itu kemudian akan diambil menjadi milik seorang laki-laki
atau menjadi milik seorang wanita. Setelah itu, akan muncul sekelompok orang
yang membela Islam dengan gigih dan mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Maka, perhatikanlah hal-hal yang dapat memberi keleluasaan kepada orang-
orang yang sekarang dan orang-orang yang akan datang." Seruan yang sama
juga disuarakan Ali bin Abi Thalib ra. Atas pertimbangan inilah Umar ra. tidak
jadi membagi-bagikan lahan-lahan tersebut. Alih-alih, beliau menjadikannya
sebagai lahan yang diolah untuk menghasilkan kharaj, sumber pemasukan bagi
kekhalifahan.

Ketiga, riwayat lain mengenai penolakan pembagian lahan-lahan ini


disampaikan Abu Yusuf, yakni bahwasanya Umar ra. bermusyawarah dengan
para sahabat yang lain setelah para prajurit yang ditempatkan di Irak, Syam, dan
Mesir meminta kepada gubernur mereka untuk mengajukan izin kepada Umar
ra. untuk membagi-bagikan lahan rampasan perang. Dalam musyawarah
tersebut, Umar ra, menyampaikan kekhawatirannya dengan berkata, "Lalu
bagaimana dengan kaum muslimin yang akan datang nanti, di mana mereka
akan mendapat tanah ini jika hasilnya telah dibagi dan diwariskan dari bapak-
bapak mereka? Ini bukan pendapat yang tepat." Kemudian Umar ra. juga
berkata, "Demi Allah, tidak akan ditaklukkan setelahku daerah seperti Nil,
bahkan boleh jadi daerah ini menjadi beban atas kaum muslimin. Jika tanah Irak
dan hasilnya dibagi, tanah Syam dan hasilnya dibagi,lalu apa yang akan
digunakan untuk menutup benteng, dan apa yang menjadi milik anak cucu dan
kaum janda di daerah ini dan orang yang ada di luar Irak dan Syam?" Dari
perkataan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Umar ra. memang sudah
berniat untuk tidak membagi-bagikan lahan- lahan yang ada kepada para
prajurit, dan beliau juga sudah secara formal menyampaikan pendapatnya
kepada sahabat-sahabat yang lain perihal kebijakan yang akan beliau ambil
mengenai masalah ini.

Untuk lahan-lahan daerah pembebasan yang berstatus sebagai lahan tidur,


Umar ra. memutuskan untuk mengaveling lahan-lahan tersebut dan
memutuskan memberikan hak pengolahannya kepada pihak-pihak yang beliau
rasa dapat mengolahnya. Proses pengavelingan, pembagian, dan pengolahan
tanah-tanah ini memiliki beberapa peraturan tersendiri yang telah beliau
tetapkan.
Dr. Jaribah (2010) menjabarkan bahwa setidaknya ada dua syarat yang
ditetapkan Umar ra. untuk mengaveling sebuah lahan, yaitu:
Dr. Jaribah (2010) menjabarkan bahwa setidaknya ada dua syarat yang
ditetapkan Umar ra. untuk mengaveling sebuah lahan, yaitu:
1. Bukan tanah milik pribadi;
2. Tidak merugikan orang Muslim maupun orang kafir dzimmi; dan sebagai
tambahan
3. Dalam suatu riwayat lain, tanah jizyah juga beliau larang untuk dikaveling.

22
Riwayat tentang munculnya syarat-syarat pengavelingan tanah ini berasal
dari permintaan seseorang yang bernama Abu Abdillah ats- Tsaqafi kepada
Umar ra. agar memberinya sebuah lahan di Basrah guna dijadikan ladang
pertanian dan ladang untuk beternak kuda. Dikabulkannya permintaan ini, di
sisi lain, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu bahwa pemberian tanah
tersebut tidak merugikan seorang Muslim ataupun seorang kafir dzimmi; bukan
merupakan saluran air atau jalan; bukan milik seseorang; dan dalam riwayat lain
juga disebutkan bukan tanah jizyah ataupun tanah yang menjadi aliran air
jizyah.
Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Umar ra. pernah memberi seperempat
lahan di as-Sawad yang telah ditumbuhi tanam-tanaman kepada kabilah
Bujailah selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu mereka makan dari tanah
tersebut, dan setelah itu Umar ra. mengambil kembali tanah itu dari mereka.
Umar ra. juga pernah memberi sebidang tanah di Damaskus untuk tambatan
kuda kepada sejumlah orang, namun setelah diketahui bahwa orang-orang
tersebut justru menggunakan lahan itu sebagai ladang pertanian, maka Umar
menariknya kembali dari mereka.22
Dari riwayat-riwayat di atas, dapat kita cermati bahwa dalam kebijakannya
mengelola tanah-tanah daerah taklukan, Umar ra. menetapkan bahwa :
1. Tidak semua lahan properti milik musuh boleh dibagi-bagikan kepada para
prajurit yang mengalahkan musuh itu;
2. Perlunya memperhatikan keberlangsungan dan kesejahteraan generasi masa
depan;
3. Pentingnya keberadaan penduduk untuk mengelola tanah mereka guna
menciptakan kemakmuran.
4. Pentingnya menghidupkan lahan tidur agar dapat didayagunakan:
5. Mendukung aktivitas ekonomi masyarakat yang dapat meng- optimalkan
sumberdaya dan kemaslahatan;
6. Pentingnya penggunaan lahan sesuai peruntukkannya;
7. Perlunya membatasi luas tanah yang diberikan kepada seseorang sesuai
dengan keperluan dan kesanggupannya dalam mengelola lahan
Mengutip riwayat yang disampaikan Ibnu Abdul Hakam dalam Futuh Mishra,
bahwa Umar ra. juga mengamanatkan kepada para komandannya agar memberi
tahu seluruh pasukan mereka bahwa pasukan Muslim dilarang melakukan
aktivitas pertanian dan dilarang membeli tanah ladang milik ahlu dzimmah. Hal
ini beliau sampaikan setelah kebijakan pembayaran gaji untuk personel militer
yang akan rutin dibayarkan sudah ditetapkan dan sudah disediakan anggarannya
di dalam buku induk baitulmal.

22
Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin al-Khathab Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hlm, 466-467.

23
Langkah Umar ra. melarang pembagian lahan di daerah taklukan kepada
prajurit ini didasarkan pada delapan alasan (El-Ashker dan Wilson, 2006,
merujuk Abu Yusuf):
Alasan ekonomi: (1) mencegah agar masyarakat Muslim tidak berubah menjadi
masyarakat feodalistik yang dikuasai kalangan militer; (2) mencegah
terbentuknya perbedaan kelas yang terlalu tajam dalam masyarakat. Umar ra.
merujuk pada QS Al-Hasyr (59): 7, bahwa pembagian rampasan perang
dimaksudkan untuk mencegah beredarnya harta hanya di kalangan kaya; (3)
kesejahteraan generasi yang akan datang tidak boleh dikorbankan demi
kesejahteraan generasi sekarang (jika semua tanah habis dibagi, generasi yang
akan datang tidak mendapatkan apa-apa lagi); (4) pembagian lahan akan
membatasi kemampuan negara dalam membangun sistem jaminan sosial yang
tampaknya telah direncanakan Umar ra. ("Apa yang akan tersisa bagi para anak-
anak dan janda negeri ini, dan bagi penduduk Syria dan Irak?" tanya Umar); (5)
Umar tampaknya cenderung pada semacam sosialisme yang berdasarkan Islam,
yang mengizinkan baik kepemilikan pribadi maupun kepemilikan publik demi
kepentingan masyarakat (sebagian rampasan perang tetap dibagi kepada
prajurit, seperlimanya masuk ke kas negara dan dibagikan sesuai ketentuan,
sementara tanah dinasionalisasi dan dikenakan pajak kharaj yang menjadi
sumber pemasukan permanen bagi negara untuk membiayai tentara dan
generasi yang akan datang). Alasan militer: (6) negara membutuhkan tentara
untuk menjaga perbatasan. Jika tentara menguasai lahan, semangat jihad di
kalangan prajurit akan melemah: (7) negara memerlukan sumber keuangan rutin
untuk membiayai pertahanan dan prajurit, yang bisa diperoleh dari pajak kharaj
atas lahan. ("Apakah kalian melihat kota-kota hebat seperti Syria, Jazirah,
Kufah, Basrah, dan Mesir? Gubernur militer mesti ditugaskan di sana dan diberi
gaji. Bagaimana ini semua bisa dibayar jika aku membagi-bagikan semua tanah
dan bagal?" tanya Umar ra. ketika bermusyawarah dengan para sahabat
lainnya). Alasan agama: (8) ayat-ayat Al-Qur'an yang menyerahkan keputusan
pembagian rampasan perang kepada umat Muslim sesuai kebijakan Nabi atau
negara dipandang Umar ra. sebagai ayat yang berlaku umum. Adapun ayat Al-
Qur'an lain yang mengatur bahwa tentara berhak atas 4/5 rampasan perang
dipandang Umar ra. sebagai ayat yang berlaku khusus. Alasan utama Umar ra.
adalah bahwa pembagian rampasan perang justru tidak boleh mengakibatkan
peredaran harta hanya di kalangan kaya (QS Al-Hasyr [59]: 7).
e. Kebijakan dalam Menerapkan Kharaj
Setelah kebijakan untuk tidak membagi-bagikan mayoritas tanah di daerah
yang baru dibebaskan di Irak, Syam, maupun Mesir telah diterapkan, Umar ra.
kemudian menentukan bagaimana seharusnya penarikan kharaj dilaksanakan.
Setelah bermusyawarah dengan para sahabat yang lain, Umar ra. kemudian
memberi amanat kepada Utsman bin Affan ra., Hudzaifah bin Nukman ra., dan
Amru bin Ash ra. untuk mengukur luas tanah-tanah subur yang ada di
kekhalifahan, perkiraan jumlah panen yang dapat dihasilkan tanah-tanah
tersebut, dan perkiraan kharaj yang dapat dibayarkan dari hasil panen tanah-
tanah itu.

24
Untuk mengetahui banyaknya jumlah panen yang dapat dihasilkan suatu
lahan dan besarnya kharaj yang dapat dibayarkan, tiga komponen penting yang
ada pada suatu lahan harus diperhatikan, yaitu:
1. Jenis tanah yang ada pada suatu lahan dan tingkat kesuburannya.
2. Jenis-jenis tanaman yang ditanam pada suatu lahan. Jenis tanam ini penting
untuk diperhatikan karena harga jual setiap tanam berbeda satu sama lain.
Perbedaan harga di pasar ini tentu akar memengaruhi besarnya kharaj vang
dapat dibayarkan.
3. Cara pengairan tanah. Apabila cara pengairan suatu lahan adalah dengan
irigasi buatan, maka seperti layaknya zakat, pajaknya akan lebih rendah.
Berbeda halnya apabila suatu lahan diairi secara alami dengan air hujan,
maka pajaknya akan lebih tinggi.
Salah satu hasil dari survei tanah ini adalah adanya catatan mengenai jumlah
pemungutan pajak kharaj untuk lahan-lahan pertanian yang ada di Irak. Besaran
kharaj yang dipungut di Irak ini tergantung dari jenis tanaman apa yang ditanam
pada suatu lahan.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. setiap satu gantang gandum akan dipungut dua dirham;
2. setiap satu gantang anggur akan dipungut lima dirham;
3. setiap satu gantang kayu krom akan dipungut sepuluh dirham.23

kharaj hanya dikenakan pada lahan-lahan yang dimiliki dan diolah ahlu
dzimmi. Sedangkan untuk umat Muslim, lahan-lahan mereka sudah dikenakan
kewajiban zakat pertanian.

f. Kebijakan dalam Menerapkan Usyur


Usyur secara bahasa berarti sepersepuluh, sedangkan secara istilah berarti
apa-apa yang diambil otoritas kekhalifahan dari harta yang disiapkan untuk
berdagang dari para pedagang yang melintasi daerah negara Islam. Dengan kata
lain, usyur sama seperti yang kita kenal saat ini sebagai pungutan.

Kesimpulannya adalah bahwa pada dasarnya mengambil pajak dan cukai


dalam Islam adalah haram. Namun, keharaman ini masih memiliki beberapa
pengecualian, dan bahkan ada pula yang masih menjadi perselisihan para ulama
dalam menetapkan hukum kebolehannya, "Pungutan yang resmi oleh
pemerintah untuk kemashlahatan umat, boleh dilakukan sebagaimana
dicontohkan oleh Umar ra"

Pengambilan usyur kepada kaum muslimin kemudian dijustifikasi atas dasar


kemaslahatan bersama bagi seluruh umat Muslim dan seluruh warga negara
kekhalifahan dengan persyaratan bahwa pemungutan usyur tersebut dilakukan

23
Quthb Ibrahim, Op. Cit,.hlm. 86-87

25
karena terjadi atas barang yang diimpor, terjadi kekurangan pada dana
baitulmal, dan sifat dari pemungutannya tidak memberatkan.

Dalam penerapannya, Umar ra. memiliki kebijakan yang fleksibel dalam


mengambil cukai usyur ini. Beberapa riwayat mencatat bahwa Umar ra.
menggonta-ganti subjek dan objek hukum usyur ini sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang beliau anggap memiliki maslahat di dalamnya. Fleksibilitas
ini, dengan kata lain, berarti bahwa usyur terkadang besarnya ada di pedagang
Muslim, terkadang di pedagang ahlul dzimmi, dan terkadang pada ahlul harbi.
Pengambilan usyur juga kadang melihat barang dagangan yang diperjualbelikan
dan daerah tempat pedagang menjualbelikan barang dagangannya.

Untuk tarif pengambilan usyur, Umar ra. pernah memerintahkan salah satu
amilnya untuk mengambil satu dirham dari kaum muslimin dalam setiap empat
puluh dirham, dari ahlul dzimmah satu dirham dalam setiap dua puluh dirham,
dan dari orang yang tidak memiliki perlindungan (ahlul harbi) sebesar satu
dirham dari setiap sepuluh dirhamnya. Ada juga riwayat dari Abu Musa yang
mengatakan bahwa Umar ra. pernah memerintahkan beliau mengambil usyur
dari ahlul harbi sesuai tarif yang mereka kenakan kepada kaum muslimin
(sepersepuluh), lalu sebesar seperdua puluh dari ahlul dzimmi dan sebesar lima
dirham dari kaum muslimin apabila jumlah harta perdagangan mereka telah
sampai pada dua ratus dirham, dan jumlahnya akan bertambah sesuai
perhitungan apabila pedagang Muslim tersebut memiliki lebih dari dua ratus
dirham. Dan apabila kurang dari dua ratus dirham maka tidak ada usyur bagi
pedagang Muslim tersebut.

Terkadang tarif usyur yang diterapkan Umar ra: juga dipengaruh jenis barang
yang diperdagangkan. Tujuan beliau adalah untuk mengatur jumlah peredaran
barang yang menjadi objek usyur tersebut. Sebagai contoh, ada riwayat yang
menyebut bahwa Umar ra. pernah memberikan tarif usyur kepada para
pedagang kaum Nabthi atas dasar barang dagangan mereka. Umar ra,
menetapkan untuk gandum dan zaitun, besar usyur-nya adalah seperdua puluh
(5%); dan untuk katun, sepersepuluhnya (10%). Usyur juga dikenakan untuk
barang-barang impor yang masuk ke dalam negara Islam walaupun yang
mengimpor barang tersebut adalah seorang Muslim."24

Terkadang juga usyur diterapkan atas dasar tempat berdagang. Seperti halnya
ketentuan yang mengharuskan para pedagang ahlul dzimmah yang ingin
berdagang di daerah Hijaz dan Madinah untuk membayar usyur sebesar 10%
apabila mereka ingin diizinkan untuk berdagang di sana. "25

Dari penjabaran-penjabaran di atas, yang menceritakan bagaimana Umar ra.


menerapkan kebijakan usyur-nya dan bagaimana para ulama setelah Umar ra.
masih berbeda pendapat mengenai detail hukum usyur ini, dapat dikatakan

24
Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Op. Cit,. hlm. 575.
25
Ibid,. hlm 570-579

26
bahwa hukum usyur ini adalah sebuah ijtihad yang diambil seorang
imam/penguasa yang hukum pemberlakukannya harus memperhatikan
kemaslahatan umat. Seorang penguasa boleh menerapkan kebijakan ini, boleh
juga tidak. Tidak ada pula aturan yang menerangkan secara jelas mengenai
besarnya jumlah usyur yang dapat diambil. Namun, yang jelas adalah bahwa
setiap keputusan yang diambil seorang penguasa haruslah mempertimbangkan
kemaslahatan umat secara luas, baik itu dari segi melindungi pedagang dalam
negeri dari produk impor, melindungi keadilan, hingga mengatur peredaran
barang dan harga yang ada di pasar.
g. Mendirikan Perekonomian Basrah dan Kufah
Pada tahun 16 H, pasukan Muslim yang diutus Umar ra dari Madinah
membangun dua kota baru di Irak yang sekarang dikenal dengan nama Basrah
dan Kufah.26 Dua kota baru itu menawarkan tempat tinggal baru untuk
penduduk Badui Arab yang sebelumnya masih hidup nomaden di padang pasir
untuk kemudian menjadi penduduk sedenter, yang bertempat tinggal tetap dan
untuk para penduduk Yahudi dari Khaibar yang diusir Umar ra. sebelumnya.
Dengan kata lain, kedua kota baru ini membuka kesempatan bagi para
penduduknya untuk melakukan aktivitas bercocok tanam dan menggembala
guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari aktivitas-aktivitas itu tentu juga
akan diperoleh tambahan pendapatan bagi kekhalifahan, baik berupa zakat,
jizyah, maupun kharaj. Berdirinya Kota Basrah juga menjadi staging point
untuk ekspansi berikutnya dalam membebaskan Iran.

h. Menginstitusikan Diwan pada Baitulmal


Baitulmal pada masa Abu Bakar ra., seperti yang sudah disebutkan pada
bagian sebelumnya, masih belum benar-benar bersifat sebagai institusi,
walaupun Abu Bakar ra, sudah memberi tempat khusus dan pegawai khusus
yang bertanggung jawab untuk menerima, mencatat, dan menyalurkan semua
pemasukan harta baitulmal. Cara beliau yang mengikuti Rasulullah Saw.
tersebut terus berlangsung hingga beliau wafat pada tahun 13 H.

Tradisi untuk menyalurkan secara penuh harta baitulmal ini pun sebenarnya
juga masih diadopsi Umar ra. selama beberapa tahun. Hal ini tercatat dari
ucapan beliau saat membagi-bagikan harta fa'i kepada penduduk Mada'in yang
pindah ke Kufah, Basrah, Damaskus, Homs, Jordania, Palestina, dan Mesir yang
terjadi pada tahun 15 H.

Bukti lain bahwa Umar ra. juga tetap menjalankan tradisi selalu langsung
menyalurkan harta baitulmal tanpa menyisakannya tersirat dalam sebuah
riwayat yang mencatat perkataan Umar ra. di akhir ma hidupnya yang berbunyi,
"Ya Allah, sudahkah aku melakukan apa yang har kuperbuat?! Aku telah
meninggalkan untuk khalifah setelah kematianku dalam (kondisi) yang lebih
bersih daripada telapak tangan." Maksud dari perkataan Umar ra. tersebut
adalah bahwa beliau telah mengeluarkan semua kewajiban yang dititipkan

26
Imam al-Tabari, Ta’rikh ar-Rasul al-Mulk,12:144

27
kepada negara di dalam baitulmal kepada mereka-mereka yang berhak
menerimanya.

Praktik untuk selalu mengeluarkan harta baitulmal ini kemudian bertambah


kompleksitasnya saat daerah kekuasaan kekhalifahan semakin luas, pemasukan
semakin bertambah, dan upah serta pemberian tunjangan kepada orang-orang
yang telah ditetapkan juga semakin banyak. Atas dasar pertimbangan-
pertimbangan itulah banyak orang berspekulasi mengapa akhirnya Umar ra.
memutuskan untuk membuat struktur diwan dalam baitulmal.

Riwayat yang menyatakan alasan spesifik dibuatnya sistem diwan pada


baitulmal oleh Umar ra. adalah saat Abu Hurairah ra. mengirim lima ratus ribu
dinar dari Bahrain ke Madinah. Banyaknya dana yang masuk tersebut membuat
Umar ra. sempat kebingungan dan akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan
kaum muslimin guna bermusyawarah dengan mereka tentang apa yang
sebaiknya diperbuat atas dana tersebut. Salah satu yang hadir menyarankan
kepada Umar ra. untuk membuat sebuah buku catatan (diwan) agar Umar ra.
dapat melacak ke mana saja dana-dana tersebut disalurkan.

Diwan sendiri menurut bahasa berarti mengumpulkan dan mencatat.


Sedangkan secara terminologi administrasi, diwan berarti kumpulan lembaran
catatan yang diurus seorang sahibul diwan (sekretaris) untuk menjaga proses
manajamen yang baik pada baitulmal.

Sistem diwan yang dibuat Umar ra. atas usulan Walid bin Mughirah ini
awalnya masih bersifat sederhana dengan memisahkan antara catatan untuk
pemasukan dan catatan untuk pengeluaran. Sistem diwan ini kemudian
berkembang sesuai kebutuhan, dari bertambahnya pemasukan dan pengeluaran,
sampai dibentuknya diwan al-khizanah (diwan untuk mencatat uang dan
pakaian), diwan al-ahra (diwan untuk makanan), dan diwan as-silah (diwan
untuk persenjataan). Sistem diwan ini sendiri kemudian mulai diadopsi tidak
hanya di Madinah, namun juga di Irak dan Syam dengan ciri khas bahwa diwan
di kedua daerah tersebut pada masa kekhalifahan Rasyidin masih dicatat
menggunakan bahasa daerah masing-masing (bahasa Persia dan Yunani).

Seiring berjalannya waktu, istilah diwan itu sendiri kemudi berkembang dari
sekadar catatan yang mencatat pemasukan da pengeluaran baitulmal menjadi
sebuah kata yang digunakan untuk menyebut tempat para sekretaris yang
ditunjuk untuk mengurus baitulmal itu duduk untuk bekerja, dan untuk
menyebut tempat di mana catatan buku besar baitulmal itu disimpan. Kata ini
juga mungkin bisa disamakan dengan "departemen" pada masa modern saat ini.

Baitulmal secara garis besar dibagi ke dalam dua departemen besar, yaitu
Departemen Pemasukan dan Departemen Pengeluaran. Departemen Pemasukan
adalah yang mengurus administrasi dana pemasukan baitulmal, memungutnya,
dan sekaligus juga yang menyimpannya. Di sisi lain, Departemen Pengeluaran

28
adalah departemen yang mengurus administrasi pengeluaran baitulmal, yang
menyimpannya dan juga yang mendistribusikannya.

i. Penerapan Pemberian Upah kepada Pegawai Pemerintah


Dari Salim bin Abdullah, beliau pernah meriwayatkan bahwa gaji yang
diterima Umar ra. pada masa awal jabatannya menjadi khalifah adalah sama
dengan yang diterima Abu Bakar ra., yaitu sebesar enam belas ribu dirham.
Namun, jumlah tersebut tidak mencukupi, sehingga akhirnya para sahabat yang
lain mencoba untuk menaikkan gaji Umar ra., namun beliau menolak.27 Dalam
beberapa riwayat lain juga ada yang mengatakan bahwa setelah Umar ra. telah
menjabat menjadi khalifah, beliau masih berdagang di pasar, menggarap lahan
pertaniannya, dan bahkan berutang ke baitulmal untuk memenuhi kebutuhan
pribadi dan keluarganya.28

Riwayat yang menuturkan bagaimana Umar ra. menentukan besarnya gaji


yang ia terima setelah pembebasan atas Syam selesai, yakni dengan
bermusyawarah terlebih dahulu dengan sahabat- sahabat yang lain.

Saat berita kemenangan di Suriah sampai kepada Umar, beliau kemudian


mengumpulkan kaum Muslimin dan berkata: "Berapa banyak harta (baitulmal)
ini yang bisa diambil penguasa?" Mereka semua berkata: "Cukup untuk
keperluannya, kebutuhannya, dan kebutuhan keluarganya, tidak kurang dan
tidak lebih, pakaiannya untuk musim panas dan musim dingin, dua hewan untuk
tunggangannya untuk pergi berjihad, untuk menunaikan urusan-urusannya, dan
untuk membawanya pergi haji dan umrah. Pembagian yang adil berarti memberi
kepada orang-orang yang gagah berani sesuai dengan keberanian mereka. Dia
akan menyelesaikan urusan orang-orang, dan dia juga akan menjaga orang-
orang di waktu datangnya kemalangan dan bencana, sampai semua masalah
tersebut selesai. Dia juga akan mengurus mereka yang berhak atas harta fa'i
terlebih dahulu." Umar lalu mengatakan: "Aku ingatkan kepada kalian tentang
apa yang menjadi hakku dari harta ini. Halal bagiku dua pakaian: satu pakaian
untuk musim dingin dan satu pakaian untuk musim panas; kendaraan yang aku
pergunakan untuk haji dan umrah, dan kebutuhan pokokku dan keluargaku
seperti seorang dari Quraisy yang bukan yang terkaya di antara mereka dan
bukan pula yang termiskin di antara mereka: kemudian selebihnya aku adalah
seseorang di antara kaum muslimin, apa yang mereka rasakan juga aku
rasakan."

Dalam riwayat lain juga disebutkan:


Seorang pria mendekati Umar dan berkata: "Berapa banyak dari harta benda
ini yang dapat kausimpan?" Umar menjawab: "Apa yang akan membuatku
dalam kondisi yang baik: pakaian untuk musim panas dan pakaian untuk musim
dingin, binatang tunggangan untuk membawa Umar untuk haji dan umrah, dan

27
Imam al-Tabari, Ta’rikh ar-Rasul wa al-Mulk, 12:205
28
Quthb Ibrahim, kebijakan ekonomi umar bin khattab (Jakarta : Pustaka Azzam, 2002), hlm. 128-129

29
hewan tunggangan untuk membawanya menyelesaikan urusan- urusannya dan
untuk membawanya jihad."

Dari kedua riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa gaji yang ditetapkan
Umar ra. untuk dirinya adalah yang dapat mencukupi kebutuhannya, kebutuhan
keluarganya, pakaiannya untuk musim dingin dan panas, serta dua tunggangan
yang digunakannya untuk berjihad serta menyelesaikan urusan-urusannya, dan
satu lagi untuk mengantarnya melaksanakan haji dan umrah.

Sedangkan untuk pemberian upah bagi pegawai pemerintahan di masa Umar


ra., awal tercetuskannya adalah saat pemasukan baru dari jizyah, pajak, dan
harta rampasan perang semakin banyak karena meluasnya daerah kekuasaan
kekhalifahan. Umar ra. sadar akan hal tersebut dan kemudian mengatakan
kepada sahabat-sahabat yang lain bahwa beliau berencana memberikan gaji
kepada orang-orang setiap tahunnya dari pendapatan baitulmal. Usulan tersebut
kemudian diterima sahabat-sahabat yang lain dan akhirnya diterapkan."
Pemberian gaji ini mencakup untuk para pegawai pemerintah, seperti para
gubernur, staf-staf mereka, para hakim, para pengurus baitulmal, para pemungut
pajak, dan juga kepada pihak militer seperti para komandan dan seluruh pasukan
mereka. Penerapan pemberian gaji ini juga didasari dengan kadar kecukupan
seorang pegawai dan keluarganya, dan tergantung pula pada daerah tempat
tinggal pegawai itu.

Dalam penerapannya, waktu pemberian gaji kepada pegawai pemerintah ini


juga berbeda-beda. Sebagian ada yang beliau berikan setiap hari, ada yang
setiap bulan, dan ada pula yang setiap tahun. Keputusan ini juga tentu didasari
atas beban pekerjaan yang diemban para pekerja, besarnya gaji mereka, dan
kebutuhan dasar yang mereka butuhkan untuk kehidupan sehari-hari.

Sumber gaji untuk personel militer berasal dari sumber yang sama seperti
sumber gaji pegawai pemerintah yang lain. Umumnya, sumber dana yang
digunakan untuk membayar personel militer yang ditempatkan di daerah-daerah
tertentu beserta segala infrastruktur dan peralatan pertahanan lainnya berasal
dari jizyah dan kharaj daerah tersebut.

j. Menerapkan Sistem Pemberian Tunjangan dan Pengelolaan Jaminan


Sosial
Makna pemberian tunjangan di sini dijabarkan Dr. Jaribah sebagai: "sesuatu
yang diberikan para pemimpin kepada rakyatnya karena keberhakkan mereka,
sesuai dengan yang ditetapkan atas mereka dalam catatan negara, yang
diberikan kepada mereka dalam waktu tertentu dalam setahun".

Dana sumber pemberian yang digunakan untuk merealisasikan kebijakan ini


berasal dari harta fa'i baitulmal yang memang sudah diperuntukkan bagi seluruh
kaum muslimin. Seperti yang sudah kita ketahui, harta fa'i adalah "segala
sesuatu yang didapat kaum muslimin dari harta orang-orang non-Muslim tanpa

30
adanya peperangan". Dengan kata lain, yang termasuk dalam kategori harta fa'i
adalah kharaj, jizyah, usyur, dan seperlima bagian ghanimah yang diserahkan
kepada ulil amri dari setiap peperangan, yang pembagiannya sudah ditetapkan
dalam Al-Qur'an (khums). Karena sistem pemberian tunjangan ini berasal dari
harta fa'i, orang-orang yang telah ditetapkan bagian pemberiannya pada masa
Umar ra. ini sering disebut sebagai ahlul fa'i.

Menurut al-Tabari, sistem pemberian tunjangan ini diperkenalkan Umar ra.


dalam kekhalifahan pada tahun 15 H, namun sifatnya masih merata dan
kemungkinan baru diterapkan kepada keluarga Rasulullah Saw. Sistem
pemberian yang lebih menyeluruh dan lebih detail kemungkinan baru
diterapkan pada tahun 20 H setelah diterapkannya sistem diwan pada baitulmal.
Besarnya pemberian ini didasarkan atas hubungan kekerabatan seseorang
dengan Rasulullah Saw, urutan masuk Islamnya seseorang, besarnya
pengabdian dan jasa seseorang terhadap umat dan kekhalifahan, dan kepada
orang-orang yang perlu ditolong kebutuhannya. Dengan kata lain, orang-orang
yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Saw, akan mendapat
pemberian lebih banyak daripada mereka yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan dengan Rasulullah Saw. Para sahabat yang pertama masuk Islam
mendapat pemberian tunjangan yang lebih banyak daripada orang- orang yang
masuk Islam kemudian. Orang-orang yang masuk Islam kemudian akan lebih
besar pemberian tunjangannya dibandingkan orang-orang dari daerah taklukan
yang baru masuk Islam (ahlul al- fath); dan orang yang menunjukkan
keberaniannya pada peperangan akan diberi pemberian tunjangan yang lebih
besar dibanding mereka yang tidak."

Dalam pembagiannya, Umar ra. menetapkan jumlah yang didapat kelompok-


kelompok tertentu seperti berikut:
1. Untuk para kerabat dan keluarga Rasulullah Saw: 'Abbas bin Abdul
Muthalib ra. sebesar dua puluh ribu dirham, dalam riwayat lain disebutkan
sebesar dua belas ribu dirham setiap tahunnya.
2. Untuk Hasan ra, dan Hussein ra. setiap tahunnya diberikan lima ribu dirham.
3. Untuk para istri Rasulullah Saw, masing-masing diberi sepuluh ribu dirham
setiap tahunnya, kecuali untuk 'Aisyah ra, beliau diberi dua belas ribu
dirham, namun tambahan dua ribu dirham tersebut beliau tolak.
4. Untuk setiap orang ahlul badr (para veteran Perang Badar), setiap tahunnya
diberi lima ribu dirham; dan kepada istri-istri mereka setiap tahunnya lima
ratus dirham.
5. Untuk kaum Muhajirin generasi awal dan kaum Anshar sebesar empat atau
lima ribu dirham setiap tahun
6. Pemberian untuk setiap orang yang masuk Islam setelah kejadian Perang
Badar hingga Perjanjian Hudaibiyah setiap tahunnya sebesar empat ribu
dirham, dan untuk istri-istri mereka sebesar empat ratus dirham.
7. Bagian untuk setiap orang yang baru masuk Islam setelah Perjanjian
Hudaibiyah hingga selesainya Perang Riddah adalah sebesar tiga ribu
dirham setiap tahun.

31
8. Sebagian orang yang ikut berpartisipasi dalam Fathu Makkah, sebagian
yang berperang bersama Abu Bakar ra., dan sebagian yang ikut dalam
pembebasan Irak dan Syam sebelum kejadian Perang Qadisiyah mendapat
tiga ribu dirham setiap tahun.
9. Untuk istri-istri kaum muslimin yang masuk Islam setelah Perjanjian
Hudaibiyah hingga selesainya kampanye militer di Irak dan Syam diberikan
tiga ratus dirham setiap tahun, dengan tambahan bagi istri-istri yang
suaminya berpartisipasi pada peperangan Qadisiyah sebesar dua ratus
dirham setiap tahun.
10. Untuk orang-orang yang berperang di Qadisiyah dan yang ikut dalam
pembebasan Syam setelah Perang Qadisiyah, masing-masing diberi sebesar
dua ribu dirham setiap tahun, dan tambahan dua ribu lima ratus dirham
setiap tahun bagi mereka yang menunjukkan keberanian pada kampanye
militer tersebut sebagai bentuk penghargaan.
11. Sedangkan untuk orang-orang yang baru masuk Islam dan bergabung
dengan pasukan kaum muslimin setelah Perang Yarmuk dan Qadisiyah
diberi seribu dirham setiap tahun.
12. Untuk orang-orang yang baru masuk Islam dan bergabung dengan pasukan
kaum muslimin setelah kelompok sebelumnya, diberi lima ratus dirham
setiap tahun.
13. Tiga ratus dirham setiap tahun untuk kelompok berikutnya.
14. Dan dua ratus lima puluh dirham setiap tahun untuk kelompok berikutnya.
15. Penduduk Hajar (Bahrain) dan penduduk Nasrani Kota al-Hirah yang
bekerja di bawah kekhalifahan juga diberi dua ratus dirham setiap tahun.
16. Sedangkan untuk istri-istri yang suami mereka masuk Islam dan kemudian
mengabdi kepada kekhalifahan setelah Perang Qadisiyah masing-masing
diberi dua ratus dirham.
17. Untuk anak-anak dari seluruh kelompok di atas sebesar seratus dirham per
tahunnya.
18. Untuk orang-orang miskin serta keluarga pribadi Umar ra., beliau
menetapkan pemberian sebesar dua jarib bahan makanan.
19. Dan sebelum Umar ra. wafat, beliau berencana memberi setiap keluarga
kaum muslimin empat ribu dinar setiap tahun, namun rencana ini tidak
sempat terealisasi.
Ada pula tambahan bagi para ahlul fa'i di atas yang diberikan setiap bulan
Ramadan. Narasi mengenai hal ini didapat dalam riwayat dari Amir as-Sya'bi,
bahwa Umar ra. selalu memberi tambahan kepada setiap kaum Muslimin yang
terdaftar sebagai ahlul fa'i dalam catatan baitulmal sebesar satu dinar, dan
kepada istri-istri Rasulullah Saw. sebesar dua dinar setiap hari selama bulan
Ramadan. Bahkan, Umar ra juga mencoba menyediakan makanan yang diantar
langsung ke rumah- rumah mereka sebagai salah satu bentuk pemberian
pemerintah kepada kaum muslimin selama bulan Ramadan.
3. Akhir Masa Kekhalifaan
Akhir masa pemerintahan Umar ra. ditandai dengan insiden penikaman terhadap
beliau oleh Fayruz Abu Lu'lu'ah al-Nihawandi, seorang budak Nasrani

32
berkebangsaan Persia milik al-Mughirah bin Syu'bah. Saat itu, beliau baru mulai
mengimami salat subuh ketika Abu Lulu'ah mendekat dan kemudian menikam
Umar ra. sebanyak enam kali. Ada riwayat yang mengatakan bahwa banyak kaum
muslimın yang gugur dalam jemaah tersebut dalam upaya menangkap Abu
Lu'lu'ah, walaupun pada akhirnya Abu Lu'lu'ah memutuskan bunuh diri setelah
seseorang berhasil menjatuhkan Abu Lu'lu'ah dengan melemparkan sehelai kain ke
atas kepalanya. Kejadian ini terjadi pada 26 Zulhijah 23 H.
Dalam keadaan terluka parah, Umar ra. kemudian dibawa pulang ke rumahnya,
tempat beliau kemudian meminta agar Abdurrahman bin Auf ra., Ali bin Abi
Thalib ra., Utsman bin Affan ra., Zubayr bin 'Awwam ra., dan Sa'ad bin Abi
Waqqash ra. untuk datang menemui beliau. Para sahabat ini kemudian
diperintahkan Umar ra. untuk bermusyawarah guna memilih siapa yang akan
menjadi penerus kekhalifahan apabila Umar ra. tidak selamat dari luka yang
dideritanya.
Umar ra. kemudian berkata: "Aku memercayakan kepada khalifah setelah
kematianku para kaum Anshar, yang telah berdiam di kota (Nabi) dan yang telah
berada dalam Iman, bahwa dia harus berbuat baik kepada orang yang berbuat baik
di antara mereka, dan memaafkan orang yang melakukan kejahatan di antara
mereka. Aku memercayakan kepada khalifah setelah kematianku orang-orang
Arab karena mereka adalah substansi dari Islam-bahwa sedekah mereka harus
diambil dan diberikan kepada mereka yang miskin. Aku menitipkan kepada
khalifah setelah kematianku perjanjian Rasulullah Saw. bahwa (non-Muslim) akan
diberi perjanjian dan akan dipenuhi. Ya Allah, sudahkah aku melakukan apa yang
harus kuperbuat?! Aku telah meninggalkan bagi khalifah setelah kematianku dalam
(kondisi) yang lebih bersih daripada telapak tangan."
Setelah mengatakan wasiat tersebut, Umar ra. kemudian memanggil anaknya,
menanyakan kepadanya siapa yang telah melukainya dan kemudian
memerintahkannya pergi menemui Aisyah radhiyallahu 'anha untuk meminta izin
supaya beliau dapat dikuburkan berdampingan dengan Rasulullah Saw. dan Abu
Bakar ra.
Umar ra. kemudian wafat keesokan harinya pada 27 Zulhijah 23 H. Salat jenazah
untuk beliau dipimpin Suhayb bin Sinan. Kemudian, beliau dimakamkan
berdampingan dengan Rasulullah Saw. dan Abu Bakar ra. dengan diturunkannya
jenazah beliau ke dalam liang lahat oleh kelima anggota syura yang telah beliau
tunjuk untuk memilih khalifah yang baru. Ulama berbeda pendapat mengenai umur
beliau: sebagian berpendapat beliau wafat pada umur lima puluh tiga tahun, lima
puluh lima tahun, enam puluh tiga tahun, enam puluh satu tahun, dan yang
dianggap paling akurat adalah enam puluh tahun. Beliau memerintah selama
sepuluh tahun enam bulan dan empat hari.

33
C. Khalifah Utsman bin Affan ra. (644-656 M)
1. Pengankatan Menjadi Khalifah
Utsman bin Affan ra. diangkat menjadi khalifah pada awal Muharam 24 H,
setelah dewan musyawarah yang ditunjuk Umar ra. di akhir masa hidupnya
menetapkan Utsman ra. menjadi khalifah (penerus) yang berikutnya. Kota-kota lain
dari seluruh penjuru daerah kekhalifahan kemudian melakukan baiat secara penuh
kepada Utsman ra. sebagai khalifah dengan cara mengirimkan utusan-utusan yang
menjadi representasi dari masing-masing kota mereka ke Madinah untuk
melaksanakan proses baiat tersebut.

2. Masa Kekhalifaan
a. Bentuk Kebijakan Ekonomi Masa Utsman bin Affan ra.
Kebijakan ekonomi yang dianut Khalifah Utsman bin Affan ra. pada dasarnya
mengikuti kebijakan kedua khalifah pendahulunya. Bahkan disebutkan pula bahwa
Utsman bin Affan ra. ikut andil dalam menyetujui beberapa kebijakan yang
diusung Khalifah Umar ra. Di saat Umar ra. berdebat dengan para sahabat lain
tentang kebijakan tidak membagi-bagikan lahan taklukan misalnya, Utsman
termasuk sahabat yang mendukung pendapat Umar ra. (Abu Yusuf). Secara fiskal,
sumber utama pemasukan negara pada masa Khalifah Utsman ra. adalah seperti
yang telah ada pada zaman Umar ra. Pendapatan-pendapatan tersebut antara lain
adalah dari zakat, khums, jizyah, kharaj, usyur, dan aset-aset lain yang
kepemilikannya dialihkan kepada negara sebagai akibat dari tidak adanya
kepemilikan pribadi. Pengeluaran publik pada masa Utsman ra. juga sama seperti
pengeluaran utama yang telah ada pada zaman Umar ra., yang secara garis besarnya
dibagi menjadi 3 pos anggaran: untuk bantuan sosial dan pemberian tunjangan,
pengeluaran administratif (gaji rutin), dan pengeluaran investasi.29

Namun, ada dua kebijakan ekonomi Utsman bin Affan ra. yang berbeda dari
kebijakan ekonomi Umar bin Khattab ra., yaitu: pertama, menaikkan jatah
pemberian kepada ahlul fa'i, dan kedua, menyewakan tanah fa'i yang awalnya
diolah pemerintah kepada pihak swasta. Dari riwayat yang disampaikan Amir bin
Syurahbil asy-Sya'bi, bahwa Utsman bin Affan ra. adalah yang pertama menaikkan
jumlah pemberian kepada para ahlul fa'i sebesar seratus dirham, dan beliau juga
menaikkan tambahan pemberian kepada ahlul fa'i pada setiap bulan Ramadan.
Beliau bahkan juga mendirikan diwan untuk makanan pada bulan Ramadan, guna
menyediakan makanan, yang beliau peruntukkan bagi orang-orang yang
melakukan iktikaf di masjid, para musafir, dan orang-orang miskin selama bulan
Ramadan.30

Seperti yang telah disebutkan pada bagian penjelasan kebijakan ekonomi Umar
ra. sebelumnya, negara mengambil alih kepemilikan tanah pertanian yang
pemiliknya melarikan diri dari Irak dan Syam. Khalifah Utsman ra. berpandangan

29
Muhammad, 1986, dalam Ahmed A.F. El-Ashker dan Rodney Wilson, Islamic Economics-A Short History
(Leiden: Brill NV, 2006), hlm. 118.
30
Imam al-Tabari, Op, Cit,. 15:7

34
bahwa tanah-tanah tersebut perlu dan dapat dialihkan manajemennya dari negara
ke individu-individu (swasta), agar dapat dirawat dan diolah dengan basis sewa.
Pemikiran ini muncul pertama kalinya saat beliau memutuskan memberi tanah
untuk Gubernur Syam, Muawiyah ra. Sebelumnya, Muawiyah ra. meminta Utsman
ra. untuk memberinya tanah untuk diolah dengan alasan bahwa gajinya tidak cukup
untuk menutupi pengeluarannya, yang banyak digunakan untuk memberi hadiah-
hadiah yang dimaksudkan agar Kekaisaran Romawi Timur terkesan. Karena
pengeluaran hadiah- hadiah ini bermanfaat secara politis bagi kekhalifahan,
Muawiyah memandang bahwa ia perlu mendapat kompensasi dari negara dalam
bentuk pemberian hak mengelola lahan-lahan. Permintaan ini akhirnya dikabulkan,
bahkan selanjutnya Khalifah Utsman ra. mulai berpandangan untuk
mendistribusikan tanah-tanah tersebut ke pihak swasta.
Pandangan Utsman ra. ini didasarkan pada argumen ekonomi yang masuk akal,
yaitu:
1) tanah diberikan kepada individu atas dasar kontrak sewa dengan prinsip bagi
hasil, sementara kepemilikan penuh masih berada di tangan negara
2) sistem baru ini akan memberi insentif pribadi kepada pengelolanya, yang
kemudian akan meningkatkan produktivitas tanah dan meningkatkan
pendapatan yang dihasilkan dari tanah itu untuk negara, dan
3) pemberian izin pengolahan tanah dari negara kepada individu akan mengurangi
pengeluaran publik negara, karena akan mengurangi biaya administrasi negara
untuk mengolah tanah:
4) tambahan pendapatan yang dihasilkan karena adanya insentif pribadi dan
pengurangan biaya administrasi negara ini pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan bersih negara.31
Kebijakan Utsman ini membuahkan hasil pendapatan negara meningkat
substansial dari yang awalnya hanya di kisaran 4.000.000 dan 9.000.000 dirham
per tahun menjadi 50.000.000 dirham per tahun (Mawardi).32 Besarnya
peningkatan pendapatan tersebut bahkan membuat sejumlah peneliti saat ini
mengatakan bahwa kemakmura bagi rakyat Kekhalifahan Rasyidin mencapai
puncaknya pada mas Utsman bin Affan.
sistem baru yang diperkenalkan Khalifah Utsman ra. ini menjadi cikal bakal
praktik penguasaan lahan dalam sejarah perekonomian umat Islam, suatu
perubahan yang jauh dari harapan beliau. Kebijakan baru ini akhirnya
menimbulkan berbagai konsekuensi yang merugikan: (a) terbukanya pintu
nepotisme: kalangan kerabat atau yang dekat dengan penguasa mendapat peluang
lebih besar untuk mendapat izin mengolah tanah, (b) yang awalnya hanya berupa
pernberian izin penggunaan lahan akhirnya berubah menjadi pemberian hak milik
lahan secara penuh, (c) karena kebijakan itu secara berangsur-angsur mengalihkan
sejumlah besar pendapatan dan hak milik negara kepada individu, kebijakan itu
menyebabkan semakin meluasnya basis sektor swasta dan semakin berkurangnya
basis sektor publik, dan (d) karena daftar tanah-tanah tersebut terbakar selama
kerusuhan sipil yang terjadi selama era kekhalifahan Bani Umayyah pada tahun 82

31
Muhammad, 1986, dalam Ahmed A.F El-Ashker dan Rodney Wilson, Op. Cit., hlm. 119
32
Ibid., hlm. 117-119

35
H, sumber informasi penting negara pun hilang, sehingga menimbulkan kasus
klaim kepemilikan palsu dan dikuasainya lahan oleh bukan pemilik sebenarnya
(Al-Mawardi). Akibatnya, walaupun niat Khalifah Utsman ra. tulus, kebijakannya
disalahgunakan para bawahannya dan di era kekhalifahan Dinasti Umayyah
berikutnya malah melahirkan feodalisme.
El-Ashker dan Wilson menyimpulkan bahwa dalam istilah ekonomi atau politik
modern, dapat dikatakan bahwa Khalifah Utsman ra. lebih mendukung privatisasi
dan sedikitnya peran ekonomi bagi negara. Sebaliknya, Khalifah Umar ra. lebih
mendukung peran ekonomi bagi negara dan lebih sedikit privatisasi. Latar
belakang kedua khalifah ini berbeda: Utsman adalah pedagang kaya, sementara
Umar hidup sederhana.
Pemerintahan Khalifah Utsman ra. berakhir dengan pemberontakan oposisi
bersenjata yang mengepung rumah sang khalifah dan membunuhnya pada 656 M.

D. Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. (656-661 M)


Pihak oposisi terhadap Khalifah Utsman ra. menuding bahwa Utsman ra. melakukan
nepotisme karena banyak mengangkat kaum kerabatnya sendiri sebagai pejabat
kekhalifahan di daerah-daerah. Utsman ra. sendiri pada saat itu sudah sangat tua,
sehingga hal ini pun dimanfaatkan para bawahannya untuk menyalahgunakan
kekuasaan, sehingga menimbulkan protes sebagian rakyat di daerah-daerah. Akhirnya,
kelompok oposisi ini melakukan pemberontakan bersenjata sehingga Utsman ra. pun
mereka bunuh. Setelah itu, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib ra.
sebagai khalifah.

Ali bin Abi Thalib ra. adalah sepupu Nabi Muhammad Saw., sekaligus menantunya,
karena ia menikahi putri Nabi, Fatimah ra. Dari hasil pernikahan Ali dan Fatimah ini
lahirlah dua cucu tercinta Nabi, Hassan ra. dan Husain ra. Namun, selama enam tahun
masa pemerintahannya, Ali ra. terus menghadapi berbagai pergolakan internal dalam
tubuh umat Islam sendiri, yang paling terkenal adalah Perang Jamal (Unta) dan Perang
Shiffin (657 M). Kedua perang ini terkenal dalam sejarah Islam sebagai al-fitnah al-
kubra, ujian yang dahsyat. Sebab, perang ini adalah perang saudara karena perselisihan
politik antarsesama umat Islam sendiri.

Setelah diangkat menjadi khalifah, salah satu langkah yang diambil Ali ra. adalah
memecat para gubernur yang diangkat Utsman ra. Dalam pandangan Ali ra..
pemberontakan pemberontakan yang terjadi yang pada akhirnya membuat Khalifah
Utaman ra, sampai wafat dibunuh terjadi karena keteledoran para gubernur itu. Ali ra
juga menarik kembali tanah-tanah yang dihadiahkan Utsman ra. kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan seperti yang diterapkan Umar dulu.

Kebijakan-kebijakan Ali ra ini menyebabkan perlawanan dari Gubernur Damaskus,


Muawiyah ra., yang merupakan kerabat Khalifah Utsman ra. Tindakan Muawiyah ra,
ini juga didukung sejumlah mantan pejabat yang kehilangan kedudukan. Perlawanan

36
ini pun akhirnya memuncak menjadi perlawanan bersenjata antara pasukan Muawiyah
ra. dan pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Upaya damai, arbitrase yang dilakukan
antara kedua kelompok ini tidak membuahkan hasil, dan pada akhirnya justru
melahirkan kelompok ketiga, yaitu Khawary kelompok yang awalnya adalah bagian
dari pasukan Ali ra, tetapi kemudian memutuskan keluar dari barisan, lalu melawan
balik Ali ra maupun Muawiyah ra, sekaligus. Maka, saat itu umat Islam pun terpecah
menjadi tiga kelompok politik: pengikut Ali ra., pengikut Muawiyah ra., dan kelompok
Khawarij (harfiah: "orang-orang yang keluar (dari barisan)"). Khawarij memandang
bahwa, baik Ali ra. maupun Muawiyah ra. sama-sama melanggar hukum Allah dan
karena itu, menurut mereka, mesti dibunuh.

Muawiyah ra, selamat dari upaya pembunuhan, namun Ali ra, wafat di tangan
pemberontak pada 20 Ramadan 40 H (661 M), saat menjad imam salat subuh
berjemaah. Berbeda dengan pembunuh Umar ra, yang merupakan budak non-Muslim
asal Persia, pembunuh Ali ra adalah seorang Muslim. Kekhalifahan kemudian dijabat
Hassan ra.. putra Ali ra., selama beberapa bulan. Hassan ra. kemudian melakukan
perjanjian damai dengan Muawiyah ra, dan setuju menyerahkan kekhalifahan kepada
Muawiyah ra. Tahun ketika perjanjian damai ini terjadi, yakni tahun 41 H (661 M),
dikenal sebagai tahun Jamaah dalam sejarah Islam: umat bersatu (berjemaah) lagi di
bawah satu kepemimpinan politik, yakni di bawah Muawiyah ibn Abi Sufyan ra. Ini
sekaligus menjadi akhir dari era khulafaurasyidin, dan awal dari kekuasaan Dinasti
Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.

Ada tiga ciri utama Khalifah Ali ra.: kesalehan, pengetahuan, dan keberanian (Al-
Suyuthi). Contoh kesalehannya banyak tercatat dalam buku-buku sejarah. Ia memiliki
pengetahuan yang sangat baik tentang syariat, "Ali adalah pintu gerbang pengetahuan,"
sabda Nabi Saw. Keberaniannya ditunjukkan misalnya ketika Ali ra. sengaja tidur di
tempat tidur Nabi Saw. pada malam ketika Nabi Saw. berangkat hijrah ke Madinah
untuk menghindari orang-orang yang mengepung rumah Nabi Saw. Ali ra. juga
mengajukan diri untuk berduel sebelum dimulainya pertempuran melawan para kesatria
terkenal yang jauh lebih berpengalaman daripada dirinya. Atas keberaniannya, Ali ra.
dijuluki Nabi sebagai "Singa Allah". Fakta bahwa Ali ra. dibesarkan Nabi Saw. sejak
masih kanak-kanak pasti telah memengaruhi karakternya, meningkatkan kesalehannya,
memperdalam pengetahuannya, dan memperkuat keberaniannya. Selain itu, sebagai
khalifah, Ali ra. mudah didekati, berhati lembut, dan ramah.

Pemikiran Ekonomi Khalifah Keempat Ali ra.

Sumber paling bagus yang menunjukkan pemikiran ekonomi Khalifah Ali ra. adalah
sebuah dokumen komprehensif yang berbentuk instruksi sang khalifah kepada
gubernurnya yang baru ditunjuk untuk wilayah Mesir, Malik al-Asytar. Dibanding
instruksi-instruksi yang diberikan kepada para gubernur oleh khalifah-khalifah
sebelumnya dalam kesempatan yang sama, dokumen Khalifah Ali ra. ini lebih panjang

37
dan komprehensif. Instruksinya mencakup berbagai masalah ekonomi dan administrasi
negara, yang dapat dijabarkan sebagai berikut.33

a. Fungsi Umum Pemerintahan


Setelah memuji Allah, Khalifah Ali ra. menetapkan fungsi umum pemerintahan
adalah untuk "mengupayakan kebaikan bagi manusia dan memakmurkan kota-
kota". Secara umum, hal itu dapat dilakukan dengan cara memenuhi perintah Allah,
melindungi hak-hak asasi manusia tanpa membedakan agama atau kelompok
masyarakat, memperhatikan kepentingan orang fakir dan miskin, memberi bantuan
kepada kelompok masyarakat bawah dan tertindas, membangun perdamaian dan
keamanan, dan memakmurkan serta menyejahterakan rakyat.

Ada empat masalah utama dalam panduan umum yang disampaikan sang
khalifah: masalah moral, keadilan, perdamaian dan keamanan, serta kemakmuran
ekonomi. Bagi Ali ra., keempat masalah tersebut harus diintegrasikan bersama-
sama untuk mencapai kesejahteraan umum dalam masyarakat.

Setelah menetapkan tujuan umum dari jabatan gubernur, Khalifah Ali ra.
memberi perincian lebih lanjut. Beliau membagi masyarakat menjadi tujuh sektor:
tentara, hakim, pejabat eksekutif dan panitera, pembudidaya, pedagang, pengrajin
(industrialis) dan terakhir orang miskin, kaum melarat, dan penyandang disabilitas.
Namun, beliau menekankan bahwa semua sektor ini saling bergantung satu sama
lain.

Tentara dan Rakyat


"Tentara adalah benteng bagi rakyat dan alat perdamaian, yang tanpa
kehadirannya, eksistensi rakyat terancam. Tentara hanya dapat dipertahankan
dengan dana yang telah ditetapkan Allah (yang ditarik) dari pendapatan rakyat."

Hakim, Eksekutif, dan Pegawai Administratif


"Tentara dan rakyat ini tidak dapat eksis tanpa hakim, eksekutif, dan pegawai
administratif yang bertugas membuat penilaian tentang kontrak dan menarik iuran
pendapatan (untuk negara). Orang-orang bergantung kepada mereka dalam
urusan khusus maupun umum."

Perdagangan dan Kerajinan


"Kelas-kelas (di atas) ini tidak dapat eksis kecuali dengan adanya pedagang dan
pengrajin, yang menyediakan berbagai barang untuk memenuhi kebutuhan mereka,
membangun pasar, dan membantu orang lain sehingga tidak perlu melakukan
semua hal itu dengan tangan mereka sendiri."

33
Al-Syarief al-Radhie, "Nahj al-Balaghah Imam Ali", lihat dalam Ahmed A.F El-Ashker dan Rodney Wilson,
Islamic Economics-A Short History (Leiden: Brill NV, 2006), hlm. 121-125.

38
Yang Miskin dan yang Membutuhkan
"Kelas ekonomi terendah dalam masyarakat adalah kelas masyarakat miskin dan
melarat: mendukung dan membantu mereka adalah kewajiban yang ditetapkan
Allah."

Setelah menjabarkan struktur masyarakat secara umum dan pentingnya


kesatupaduan antarsektor masyarakat itu, Khalifah Ali ra. meneruskan membahas
masing-masing sektor itu satu per satu.

Pertanian
Pentingnya sektor pertanian ditekankan dengan menyatakan bahwa kemakmuran
sektor-sektor lainnya bergantung pada kemakmuran sektor pertanian ini. Gubernur
harus, "lebih mengawasi pengolahan tanah ketimbang mengawasi pengumpulan
pajak tanah karena pendapatan tidak dapat diperoleh tanpa pengolahan tanah; dan
siapa pun yang meminta pendapatan (pajak tanah) tanpa memperhatikan
pengolahan tanahnya akan merusak daerah tersebut dan membawa kebinasaan bagi
rakyatnya". Melayani kebutuhan para pembudidaya dan menyingkirkan kesusahan
mereka "adalah investasi yang ditanamkan kepada mereka... (ini) melahirkan
kepercayaan di pihak mereka karena mereka diberi keadilan".

Pedagang dan Pengerajin


Dalam masyarakat sederhana, pengrajin diperlukan untuk mencukupi kebutuhan
pangan, sandang, papan, pertahanan, dan transportasi: membuat peralatan makan-
minum dan masak, timba air, pakaian, alas kaki, tenda, rumah, senjata, pelana,
sepatu kuda, gerobak (alat transportasi), alat-alat produksi pertanian, dan lain
sebagainya. Singkatnya, pengrajin membuat berbagai barang yang diproduksi
dengan tangan (Latin: manus; manufaktur). Seiring dengan berkembangnya
masyarakat, skala produksi barang ini pun semakin besar, sehingga lahirlah sektor
manufaktur dan industri yang semakin canggih (kata industri juga berasal dari
bahasa Latin industrius, yang berarti rajin, dan struus, struere: membangun, yakni
membuat barang-barang). Jika manusia tidak bisa memproduksi barang-barang
yang dibutuhkannya dengan tangan sendiri, manusia akan berusaha membelinya
dari orang lain, sehingga muncullah pedagang dan sektor perdagangan.

Sektor Layanan Sipil


Dalam pandangan Ali ra., sektor ini mencakup hakim, pejabat eksekutif, dan
jajaran ulama. Para hakim mesti dipilih dengan saksama dari kalangan orang-orang
yang paling siap untuk menghentikan langkah (demi melakukan perenungan) atas
hal-hal yang meragukan, paling perhatian dalam mempertimbangkan argumen,
paling tidak merasa terganggu dengan pertengkaran antarpihak yang berperkara,
paling sabar dalam membantu penyelesaian masalah-masalah, dan paling tidak
takut pada saat memberi keputusan". Mereka mesti diberi imbalan yang pantas
tanpa ada kekuasaan lain di atas mereka dari jajaran administrasi lainnya.

39
b. Kemakmuran Masyarakat
dalam pandangan khalifah keempat Ali ra., kemakmuran tergantung pada tiga hal
utama: nilai-nilai moral, pembangunan ekonomi, dan distribusi sumber daya
ekonomi secara adil. Nilai-nilai moral berdasarkan ajaran Islam sangat penting bagi
kemakmuran masyarakat demi menghindari penyalahgunaan kemakmuran
ekonomi dan untuk memelihara struktur sosial yang sehat. Pembangunan ekonomi
bergantung pada pengakuan akan pentingnya berbagai sektor dalam masyarakat dan
kebutuhan untuk mencapai integrasi ekonomi di antara sektor-sektor tersebut.
Khalifah keempat memandang masyarakat terbagi secara ekonomi ke dalam
berbagai sektor yang saling terkait yang masing-masingnya harus menjadi perhatian
utama pemerintah dalam proses pembangunan. Klasifikasi masyarakat ini
mengingatkan pada klasifikasi Plato dalam Republic-nya.

Plato, yang hidup pada abad ke-4 SM, membagi masyarakat ke dalam tiga
kelompok besar: kelas pelindung (penguasa), kelas militer, dan kelas produsen.
Kelas produsen menyediakan untuk diri mereka dan untuk kedua kelas lainnya
kebutuhan makanan, tempat tinggal, pakaian, perniagaan, dan perdagangan. Kelas
produsen terdiri dari petani, penggembala, pandai besi, nelayan, tukang kayu,
pembuat sepatu, penenun, buruh, pedagang, pengecer, dan bankir. Sektor ini diisi
orang- orang yang dominan hasrat ragawinya. Kelas militer dan pelengkap terdiri
dari jenis orang yang dominan unsur semangatnya, yang berani bersikap agresif dan
berhasrat menang. Adapun kelas tertinggi adalah kelas pelindung yang berkuasa
mengarahkan dan mengendalikan kelas produsen dan kelas militer. Kelas penguasa
ini terdiri dari orang yang dominan akalnya, kelas elite yang hidup hanya demi
kebenaran.

Pembagian masyarakat ini sejajar dengan pembagian Plato atas jiwa manusia,
yang menurutnya juga terdiri dari tiga unsur: unsur akal, unsur semangat, dan hasrat
ragawi. Unsur ragawi dalam jiwa manusia sejajar dengan kelas produsen, unsur
semangat sejajar dengan kelas militer, sedangkan unsur akal sejajar dengan kelas
pelindung dan penguasa. Sebagaimana dalam jiwa manusia, unsur akal mesti
mengendalikan unsur semangat keberanian dan hasrat ragawi yang ada di bawah
kendalinya, begitu pula dalam masyarakat: kelas penguasa mesti mengendalikan
kelas militer dan kelas produsen di bawahnya."34

meskipun peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi ditekankan secara


khusus dalam pemikiran Khalifah Ali ra., yang dengan demikian sudah
mengantisipasi pemikiran ekonomi mazhab fisiokrat35 di era Pencerahan Eropa
abad ke-18, peran penting perdagangan juga ditekankan, sehingga dengan demikian
pemikiran ekonomi Ali ra. juga seolah sudah mengantisipasi pemikiran ekonomi
mazhab merkantilisme.36 Sektor jasa, termasuk tentara, juga memiliki peran penting
34
T.Z. Lavine, From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest. Penerjemah: Andi Iswanto dan Deddy Andrian
Utama (Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus, 2020), hlm. 72-73
35
mazhab pemikiran ekonomi yang memandang bahwa tanah merupakan sumber segala kekayaan negara.
36
mazhab pemikiran ekonomi yang memandang bahwa sumber kekayaan negara terletak di persediaan logam
mulia yang dimiliki. Jika suatu negeri tidak memiliki tambang, logam mulia itu mesti didapatkan melalui
keuntungan perdagangan yang didapat dari lebih besarnya angka ekspor dibanding angka impor.

40
dalam pembangunan ekonomi. Adapun peran pemerintah dalam pembangunan
sangat penting. Distribusi sumber daya ekonomi yang adil juga sangat penting
dalam proses pembangunan. Pengembangan ekonomi dalam pandangan khalifah
keempat, dan bahkan khalifah pada umumnya, tidak terbatas pada perkembangan
produksi, tetapi juga akan mencakup distribusi nilai produksi itu bagi seluruh
populasi. Menggunakan istilah ekonomi modern, bukan hanya peningkatan nilai
produk nasional atau pendapatan nasional yang menjadi perhatiannya, melainkan
juga bagaimana nilai produk nasional itu dialokasikan kepada individu-individu
dalam masyarakat.

Pemikiran ekonomi khalifah keempat Ali ra. sangatlah kaya. Pada pertengahan
abad ke-7, Ali ra. sudah menangani masalah-masalah ekonomi dan mengantisipasi
ide-ide ekonomi yang pada akhirnya diminati para ekonom di masa-masa
selanjutnya.

Dengan wafatnya Khalifah Ali ra. pada 661 M, era khulafaurasyidin- para
khalifah yang mendapat petunjuk pun berakhir. Ini membuka jalan bagi era baru
pemerintahan dalam Islam: pemerintahan dinasti. Berbeda dengan era
khulafaurasyidin yang di dalamnya khalifah dipilih

41
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari sejarah perekonomian Islam pada zaman Khulafaurasyidin dapat kita simpulkan
bahwa dari zaman kekhalifaan Abu Bakar ra terjadi perkembangan signifikan dalam
praktik perekonomian islam yang di mulai dari pengelolaan Baitulmal pada masa
kekhalifaan Abu Bakar Ra. Pada masa kekhalifaan Umar ra perkembangan ekonomi
dimulai dari kebijakan menerapkan Kharaj, menerapkan Usyur, penerapan pemberian
upah kepada pegawai pemerintah, dan menerapkan sistem pemberian tunjuangan dan
pengelolaan jaminan sosial. Kemudian pada masa kekhalifaan Ustman bin Affan ra
terjadi perbedaan dari masa kekhalifaan sebelumnya, yaitu dengan menerapkan sistem
bagi hasil dengan sistem kontrak sewa kepada individu. Yang mana sebelumnya pada
masa kekhalifaan Umar ra mengambil kepemilikan tanah pertanian yang pemiliknya
melarikan diri dari Irak dan Syam atas milik pemerintah. Dan pada masa kekhalifaan
Ali ra terjadi perang saudara karena perselisihan politik antarsesama umat Islam sendiri.
Perang tersebut terekanal dalam sejarah islam sebagai al-fitnah al-qubra (ujian yang
dahsyat).

B. Saran
Saran yang dapat Anda berikan untuk materi Sejarah Perekonomi Islam pada masa
Khulafaurasyidin yang sudah Anda pelajari:

1. Memahami Kebijakan Kekhalifah: Anda dapat memahami kebijakan-kebijakan


yang diberlakukan oleh setiap kekhalifah pada masa ini, seperti Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali Ini akan membantu Anda memahami konteks dalam sejarah
perekonomi Islam tersebut.
2. Menganalisis Perkembangan Ekonomi: Anda dapat menganalisis perkembangan
ekonomi pada masa ini, termasuk sistem administrasi yang lebih terstruktur dan
pemeliharaan Baitul Mal,Ini akan membantu Anda memahami bagaimana ekonomi
Islam berkembang dengan berbagai kebijakan dan sistem administrasi.

42
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A.F. El Ashker dan Rodney Wilson .(2006). Islamic Economics A Short History.
Leiden : Brill NV.
Abdul Qadeem Zallum. (2002). Funds in the Khalifah State. Uttar Pradesh Publications
Badri Yatim. (2016). Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Depok: PT
RajaGrafindo Persada).
al-Tabari, Ibid, Quthb Ibrahim. (2002). Kebijakan Ekonomi Umar bin Khatab. Jakarta :
Pustaka Azzam
Pilot Sagaran Antonio. (1992). Caliph Umar’s Policy Management of Bait al-Mal and Some
Related Issues. Petaling Jaya : International Islamic University Malaysia.
T.Z. Lavine, Penerjemah : Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama. (2020). From Socrates
to Sartre : The Philosophic Quest. Yogyakarta : Immortal Publishing dan Octopus.

43

Anda mungkin juga menyukai