Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIQH SIYASAH

KETATANEGARAAN PADA MASA UMAR IBN KHATHTHAB

Dosen

Syaiful Amri., M.Ag

KELOMPOK 2

Disusun Oleh:

Rizky Anisa Kudadiri (0204182092)

Salwa Salsabilla Kansrah (0204182097)

Sindy Mayora (0204182127)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Ketatanegaraan Pada Masa Umar ibn
Khaththab.”

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai
segala usaha kita. .

Medan, 29 Oktober 2019

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1


B. Rumusan Masalah................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................ 2

A. Pengangkatan Umar ibn Khaththab............................................. 2


B. Kebijakan Penting Pada Pemerintahan Umar ibn Khaththab...... 4
C. Sistem Suksesi Pemerintahan Umar ibn Khaththab.................... 10
BAB III PENUTUP................................................................................. 13

A. Kesimpulan.................................................................................. 13
B. Saran............................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umar ibn Al-Khaththab, (583-644) yang memiliki nama lengkap Umar ibn
Khaththab bin Nufail bin Abd Al-Uzza bin Riba’ah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin
‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay adalah khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash-
Shiddiq. Dia adalah salah satu seorang sahabat terbesar sepanjang terbesar sepanjang
sejarah sesudah Nabi Muhammad saw. Kebesarannya terletak pada keberhasilanya, baik
sebagai negarawan yang bijaksana maupun sebagai mujtahid yang ahli dalam
membangun Negara besar yang ditegakkan atas prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan
persaudaraan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Dalam banyak hal, Umar bin
Khaththab dikenal sebagai tokoh yang sangat bijaksana dan kreatif, bahkan genius.
Peranan Umar dalam sejarah Islam masa permulaan merupakan yang paling
menonjol karea perluasan wilayahnya, di samping kebijakan-kebijakan politiknya yang
lain. Adanya penaklukan besar-besaran pada masa pemerintahan Umar merupakan fakta
yang di ikuti kebenarannya oleh para sejarahwan. Bahkan, ada yang mengatakan, kalau
tidak karena penaklukan –penaklukan yang dilakukan pada masa Umar, Islam tidak akan
berkembang, menyebar seperti sekarang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengangkatan Umar ibn Khaththab?
2. Bagaimana kebajikan penting pemerintahan Umar ibn Khaththab?
3. Bagaimana sistem suksesi pemerintahan Umar ibn Khaththab?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengangkatan Umar ibn Khaththab;
2. Mengetahui kebajikan penting pemerintahan Umar ibn Khaththab;
3. Mengetahui sistem suksesi pemerintahan Umar ibn Khaththab.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengangkatan Umar ibn Khaththab


Umar ibn Al-Khaththab yang memiliki nama lengkap Umar ibn Khaththab bin
Nufail bin Abd Al-Uzza bin Riba’ah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘Adi bin Ka’ab
bin Lu’ay.1 Umar ibn Khaththab dilahirkan setelah tiga belas tahun kelahiran Nabi
Muhammad saw. Di Makkah, Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail al-Makhzumi al-
Quraisy dari suku Adi, adapun ibunya bernama Hantimah binti Hasyim Al
Makhzumiyah. Umar dilahirkan 13 setelah kelahiran Nabi Muhammad saw. Beliau
merupakan salah seorang yang budi pkerti yang sangat luhur, seorang yang Fashih,
pemberani beliau juga membantu ayahnya dalam memelihara ternak serta berdagang
sampai ke Syiriyah. Beliau juga di percaya oleh bangsanya. Umar ibn Khaththab masuk
Islam pada tahun ke 7 setelah masa kenabian Muhammad saw., dan beliau berumur 27
tahun. Tepatnya beliau masuk Islam pada bulan Dzul Hijjah, dan juga beliau masuk Islam
setelah Hamzah masuk Islam selisih 3 hari, sedangkan pada saaat itu orang Islam hanya
berjumlah 39.2
Umar bin Khaththab menjabat sebagai Amir Al-Mu’minin kurang lebih selama 10
tahun lamanya, yaitu sejak tahun 13 H/634 M-23 H/644 M.3
Abu Bakar sebelum meninggal pada tahun 634 M/13 H. menunjuk Umar ibn
Khaththab sebagai penggantinya. Kendatipun hal ini merupakan perbuatan yang belum
pernah terjadi sebelumnya, tampaknya penunjukan ini bagi Abu Bakar merupakan hal
yang wajar untuk dilakukan. Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk
menunjuk Umar menjadi Khalifah.
Pertama, kekhawatiran yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang
nyaris menyeret umat Islam kejurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak
menunjuk seorang yang akan menggantikannya.

1
Sori Monang, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, (Medan, Panjiaswaja, 2013), hlm. 65.
2
Masrullah, dkk., Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam, (Jakarta: Literasi Nusantara, 2019) , hlm. 40.
3
Muhamad Tisna Nugraha, Sejarah Pendidikan Islam, (Yogyakarta, Diandra Kreatif, 2019), hlm. 42.

5
Kedua, kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang
berhak menjadi khalifah.
Ketiga, umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan
pembangkang. Sementara sebagian pasukan Mujahidin sedang bertempur di luar kota
Madinah, melawan tentara Persia disatu pihak dan tentara Romawi di pihak lain.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian, tampaknya tidak menguntungkan
apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat secara langsung. Jika
alternatif ini dipilih, besar kemungkinan akan timbul kntroversi berkepanjangan di
kalangan umat Islam tentang siapa yang lebih proposional menggantikan Abu Bakar.
Kondisi demikia jelas akan melahirkan instabilitas politik yang akan membahayakan
umat dan negara, mengingat hal bukan mustahil akan terjadi perang saudara dan
keyakuman pimpinan. Hal ini akibatnya lebih fatal dari pada pemberontakan orang-orang
murtad.
Penunjukan Abu Bakar terhadap Umar yang dilakukan di saat ia mendadak jatuh
sakit pada masa jabatannya merupakan suatu yang baru, tetapi harus dicatat bahwa
penunjukan itu dilakukan dalam bentuk rekomendasi atau saran yang diserahkan pada
persetujuan umat. Abu Bakar dalam menunjuk Umar sebagai pengganti tetap
mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa orang sahabat, antara
lain Abdul Rahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh
Anshar. Konstulasi ini menghasilkan persetujuan atas pilihannya pada Umar secara
objektif. Setelah itu, hasil konsultasi dengan beberapa orang sahabat senior masih
ditawarkan kepada kaum muslimin yang sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Apakah
rela menerima orang yang dicalonkan sebagai penggantiya? Dalam pertemuan tersebut,
kaum muslimin menerima dan menyetujui orang yang telah dicalonkan Abu Bakar.
Setelah Abu Bakar mendapat persetujuan kaum muslimin atas pilihannya, ia memanggil
Utsman bin Affan untuk menuliskan pengangkatan Umar.4
Setelah dilantik menjadi khalifah, Umar berpidato di hadapan umat Islam untuk
menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilaksanakannya dalam memimpin
kaum muslimin.

4
Sori Monang, op.cit., hlm. 67-68.

6
“Aku telah dipilih menjadi Khalifah. Kerendahhatian Abu Bakar sejalan dengan
jiwanya yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga
lebih mampu memikul urusan-urusan kamu yang penting. Aku diangkat untuk
menjadi Khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku tahu ada orang
yang lebih kuat untuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka
memilih memberikan leherku untuk dipenggal dari pada memikul jabatan ini.”
Setelah dilantik menjadi kepala negara, Umar segera melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan. Secara prinsip, Umar melanjutkan garis kebijaksanaan yang telah ditempuh
Abu Bakar. Namun karena permasalahan yang dihadapi Umar semakin berkembang
seiring dengan perluasan daerah Islam, Umar melakukan berbagai kebijaksanaan yang
antisipatif terhadap perkembangan dan tantangan yang dihadapinya. Kebijaksanaan yang
dilakukan Umar sebagai kepala negara meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam,
pembenahan birokrasi pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan
tentara reguler yang digaji oleh negara. Tulisan berikut mencoba mengelaborasi
kebijaksanaan tersebut, sehingga dapat dilihat bagaimana sistem ketatanegaraan yang
dilaksanakan oleh Khalifah Umar.5
B. Kebijakan Penting Pada Pemerintahan Umar ibn Khaththab
1. Perluasan Daerah.
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar (634-644 M), kekuasaan Islam telah
melebarkan sayapnya melampaui jazirah Arabia. Penaklukan demi penaklukan
dilakukan pada masa Umar. Bahkan dua adidaya ketika itu, Persia dan Bizantium,
berhasil jatuh ke tangan umat Islam.
Pada tahun 635 M, tentara Islam di bawah pimpinan Khalid Walid berhasil
menaklukan Damaskus. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantium mengalami
kekalahan pada perang Yarmuk, praktis seluruh wilayah Syria berhasil dikuasai
Islam. Pada tahun 637, dipimpin oleh panglima perang Sa’d ibn Abi Waqqash, Irak
berhasil pula dikuasai setelah berkecamuknya perang di Qadisiyah. Seluruh Irak
praktis berada dalam kekuasaan Islam menjelang Khalifah Umar wafat. Kemudian
pada tahun 639 M, di bawah komando Amr ibn al-‘Ash, Mesir berhasil pula dikuasai.
Setahun kemudian, tentara Islam berhasil pula menghancurkan imperium Persia. Pada

5
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Cet. 3. (Jakarta, Prenadamedia Group, 2018), hlm. 63.

7
tahun berikutnya, 641 M, Palestina yang dikuasai Bizantium jatuh ke tangan Islam.
Kota Yerussalem yang di dalamnya terletak di Baitul Maqdis merupakan yang
terakhir jatuh ke tangan Islam secara damai. Adalah Umar sendiri yang datang ke
sana untuk menandatangani perjanjian damai tersebut.6
Akibat meluasnya kekuasaan daerah Islam, Umar ibn Khaththab harus berpikir
keras untuk memepertahankan kekuasaannya agar tidak goyah demi tegaknya negara
Islam. Dengan pemikiran yang sangat brilian, terciptalah ide-ide yang cemerlang
dengan membuat ijtihad baru yang belum pernah ada sebelumnya.7
2. Penataan Birokrasi Pemerintahan.
Pada era kepemimpinan Umar ibn Khaththab terjadi perubahan yang cukup
mendasar dalam hal konstitusi negara. Di antara Khulafaur Ar-Rasyidin yang
membangun peradaban Islam adalah Umar ibn Khaththab. Ketika menjadi kepala
negara, ia mengubah nama kepala negara yang semula bergelar Khalifatul Rasul
menjadi Amir al-Mu’minin (pemimpin kaum Mukmin) sebagai pengganti dari sebutan
yang kurang praktis “pengganti dari pengganti Rasulullah saw.” Umar ibn Khaththab
pun mengakui bahwa kata-kata tersebut terlalu panjang untuk dibacakan. Ketika
berbicara di depan khalayak, ia berkata, “Kalian adalah orang-orang Mukmin dan aku
adalah pemimpin kalian. Maka, aku adalah pemimpin kaum Mukmin.”
Dalam pemilihan para pejabat pemerintahan, ada beberapa hal yang wajib ditaati,
khususnya bagi para pejabat di antaranya sebagai berikut.
a. Pemilihan pejabat dilakukan oleh majelis atas persetuuan rakyat.
b. Pembayaran gaji yang sangat tinggi, tetapi tetap berasas proposional. Akan tetapi,
banyak pejabat yang menolaknya dengan alasan mereka diangkat menjadi pejabat
bukan untuk mencari kekayaan, melainkan untuk mengabdi pada negara dan
kepentingan umat.
c. Diberlakukannya janji pejabat, yaitu sebagai berikut.
1) Tidak akan menunggang kuda Turki.
2) Tidak mengenakan pakaian bagus.
3) Tidak makan terigu tapis.
4) Tidak menempatkan seorang porter (security) di depan pintunya.
6
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 56.
7
Sulasman dan Suparman, Sejarah Islam di Asia dan Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 88.

8
5) Selalu membuka pintunya bagi mereka yang memerlukan.
d. Menginventarisasi harta kekayaan milik pejabat. Apabila ditemukan hal yang
tidak wajar, akan dilakukan investigasi oleh komisi pemeriksaan.
e. Diwajibakan bagi perwira untuk beribadah haji maka apbila ada kesulitan bisa
diselesaikan. Dalam kitab Futhul Buldan ketika telah melaksanakan ibadah haji,
Umar ibn Khaththab berpesan di hadapan para pejabat, “Saya tidak akan
menampar kalian, tetapi hidup harus seperti Rasulullah saw.”
f. Pemerintah pusat akan melakukan investigasi menyeluruh oleh tim komisi
pemeriksaan (semacam Komisi Pemberantasan Korupsi) yang terdiri atas orang-
orang yang profesional dalam bidangnya. Hal ini diberlakukan bagi seluruh warga
negara, tidak terkecuali para pejabat pemerintahan. Sebagai contoh ketika melihat
Gubernur Mesir, Ayyad bin Yamani, memakai pakaian bagus dan memiliki porter
di rumahnya, seketika itu juga ia diberi kain wol dan harus menggembala. Contoh
lain adalah Sa’ad bin Abi Waqqash yang membuat istana di Kupah dan memiliki
tukang porter, Umar ibn Khaththab memerintahkan Muhammad bin Maslamah
untuk membakarnya. Hal ini berisiko banyak orang yang tidak suka akan
kepempimpinannya. Akan tetapi, Umar ibn Khaththab menerapkan prinsip-
prinsip demokrasi dan semangat persamaan.

Meskipun terkesan otoriter, Umar ibn Khaththab tetap menerapkan kejujuran.


Para pejabat yang jujur dalam mengemban amanahnya diberikannya gaji yang sangat
tinggi 1.000 dinar. Hal ini adalah salah satu cara agar para pejabat tidak melakukan
korupsi. Apabila melakukan hal yang melanggar konstitusi negara, Umar ibn
Khaththab akan memecatnya.8

Selain itu juga, hal ini menjadi simbol perubahan dari pemerintahan kenabian k
negara Muslim dan merupakan terobosan beru dalam tindakan administrasinya. Tidak
hanya itu, dia juga telah mengembangkan demokrasi yang sangat brilian, di antaranya
sebagai berikut.

1. Memperbaharui Organisasi Negara

8
Ibid., hlm. 89-90.

9
Dalam pemerintahan Umar ibn Khaththab, terjadi perubahan dalam bidang
pemerintahan. Ia membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna tanpa
memperoleh contoh sebelumnya, sehingga ia pantas diberi julukan “Peletak
dasar/pembangun negara modern.” Hal-hal penting ini sebagai prasyarat bagi
bentuk pemerintahan yang demokratis.
Pada masa pemerintahan Umar ibn Khaththab, wilayah Negara terdiri atas
provinsi-provinsi yang berotonomi penuh. Kepala pemerintahan provinsi bergelar
amir. Para amir (gubernur) dan para pejabat provinsi sering diangkat melalui
pemilihan. Pemerintahan Umar ibn Khaththab menjamin hak setiap orang untuk
menentukan nasibnya. Dibuatlah peraturan-peraturan pemerintah untuk
menunjang keberadaannya.
Pada masa Rasulullah saw., sesuai dengan keadaannya, Negara masih
sederhana. Akan tetapi, ketika masa Khalifah Umar ibn Khaththab, umat Islam
semakin meluas, sehingga disusunlah organisasi Negara sebagai berikut.
a. Adanya Majelis Permusyawaratan
Majelis ini diwakili oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang terdiri atas
suku Khazraj dan Aus, di antaranya Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib,
Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, dan lainnya.
Majelis ini dimanfaatkan untuk melakukan pertemuan penting untuk
membahas persoalan yang terjadi di masyarakat. Salah satu contohnya ketika
akan melakukan penaklukan, Umar ibn Khaththab melakukan rapat terlebih
dahulu dengan para wakil rakyat untuk membahas masalah tanah rampasan,
pemungutan jizyah, dan sebagainya.
Di samping itu, hak-hak warga Negara sangat diperhatikan. Salah satunya
adalah penunjukan gubernur ditunjuk atas persetujuan warga serta tidak
adanya hak-hak istimewa bagi khalifah dan pejabat pemerintahan.9
b. Organisasi Politik (An-Nidham As-Syiasy)
1) Al-Khilafat, kepala negara. Dalam memilih kepala negara, berlaku sistem
“baiat.” Pada masa sekarang, al-khilafat mungkin sama dengan demokrasi.

9
Ibid., hlm. 90-91.

10
Hanya waktu itu sesuai dengan al-amru syura baenahuim sebagaimana
yang digariskan Allah swt. dalam Al-Qur’an.
2) Al-Wizarat, sama dengan menteri pada zaman sekarang. Khalifah Umar
ibn Khaththab menetapkan Utsman bin ‘Affan sebagai pembantunya untuk
mengurus pemerintahan umum dan kesejahteraan, sedangkan Ali bin Abi
Thalib untuk mengurus kehakiman, surat-menyurat, dan tawanan perang.
3) Al-Kitabat, sekretaris negara. Umar ibn Khaththab mengangkat Zaid bin
Tsabit dan Abdullah bin Arqam menjadi sekretaris untuk menjelaskan
urusan-urusan penting.
2. Menyusun Administrasi Negara
Sesuai dengan kebutuhan, Khalifah Umar ibn Khaththab menyusun
administrasi negara menjadi beberapa diwan (departemen) untuk memudahkan
pengaturan dalam urusan administrasi yang lebih terarah. Langkah-langkah
strategis yang dilakukan Umar ibn Khaththab di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Membentuk Diwan (Departemen)
1) Diwan Al-Jundi/Diwan AL-Harby. Dalam istilah sekarang disebut Badan
Pertahanan Keamanan. Pada masa Rasulullah saw. atau Abu Bakar Ahs-
Shiddiq menyeru umat Islam untuk berperang dan setelah selesai,
dibagikanlah ghanimah (harta rampasan perang), kemudian kembali
seperti semula menjadi masyarakat sipil. Pada masa Umar ibn Khaththab,
keadaan telah berubah, karena telah disusun suatu badan yang mengurus
tentara, baik dari angkatan bersenjata khusus, asrama, latihan militer,
kepangkatan, gaji, persenjataan maupun yang lainnya. Markas militer ini
berada di beberapa tempat, yaitu di Madinah, Kufah, Basrah, Musal,
Fustat, Damaskus, dan Palestina. Di samping itu, Umar ibn Khaththab
membuat jawatan kepolisian yang disebut shahibul ahdas. Adapun
tugasnya adalah untuk mengurus berbagai hukum kriminal, yaitu
perzinaan, pencurian, pembunuhan, dan lain-lain.10

10
Ibid., hlm. 91-92.

11
2) Diwan Al-Kharaj (Diwan Al-Maly), yang mengurus keuangan negara,
pemasukan, dan pengeluaran anggaran belanja negara. Sumber pemasukan
ini berasal dari:
o al-kharaj (pajak bumi);
o al-usyur, yaitu 10% dari perdagangan dan kapal-kapal asing yang
datang ke negara-negara Islam. Istilah sekarang dinamakan bea cukai;
o zakat, berupa zakat harta 2,5% dari harta yang sampai nisab;
o jizyah, diambil dari pajak ahli dzimmah, yaitu orang bukan Islam yang
bertempat tinggal di negara lain;
o al-fa’i dan ghanimah, adalah uang tebusan dari seorang musyrik yang
kalah perang dan harta rampasan perang.
3) Diwan Al-Qudhat, istilah sekarang disebut Dapertemen Kehakiman.
Terobosan yang dibuat oleh Umar ibn Khaththab adalah memisahkan
bidang yudikatif dengan eksekutif dan membuat peraturan hukum yang
terangkum dalam sebuah buku yang dinamakan Farman yang isinya
adalah qadi (hakim) harus memberlakukan semua orang sama; beban
pembuktian terletak pada penuduh; jika tertuduh tidak mempunyai bukti
atau saksi, ia harus mengangkat sumpah; pihak-pihak berperkara dapat
berkompromi, kecuali berlawanan dengan hukum; seorang hakim dapat
memperbaharui keputusannya; diberlakukan tanggal pengaduan; dan di
pengadilan harus ada barang bukti.11
Ketika mengambil sebuah keputusan atau akan menyelenggarakan
pengadilan, Umar ibn Khaththab membuat sebuah peraturan dengan
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu hukum yang baik dan sempurna,
pemilihan hakim, yaitu hukum yang baik dan sempurna, pemilihan hakim
yang berkemampuan dan jujur, hakim tidak berpihak kepada siapa pun,
serta pengangkatan hakim pun dilakukan dengan ujian praktik dan
psikotes. Sebagai antisipasi agar hakim tidak melakukan korupsi, Umar
ibn Khaththab membuat langkah maju, yaitu memberikan gaji tinggi
kepada hakim sebesar 500 dirham; orang yang tidak kaya dan

11
Ibid., hlm. 92-93.

12
berkedudukan tinggi tidak diangkat sebagai hakim; dan jumlah hakim
proposional dengan jumlah penduduk. Umar ibn Khaththab membuat
kebijakan yang cukup kontroversial, tetapi berkeadilan. Hal ini
mengindikasikan bahwa apabila hakim yang diangkat adalah orang yang
tidak kaya akan memberi jalan untuk berkolusi.
b. Membentuk Administrasi Pemerintahan dalam Negeri
Pada era kepemimpinan Umar ibn Khaththab dilakukan pembagian daerah
administratif. Negara dibagi menjadi beberapa provinsi yang dipimpin oleh
seorang gubernur (amir) yang terletak di Ahwaz, Makran, Karman, Irak,
Syam, Palestina, Mesir, Padang Sahara, dan Libia. Di samping itu, juga
membuat al-Barid, semacam Departemen Perhubungan dengan membuat
kuda pos dan asy-Syurthah, semacam polisi.
3. Membentuk Lembaga Konsultasi Hukum
Untuk mengantisipasi adanya penyelewengan dalam penyelenggaraan
kenegaraan, dibentuklah Lembaga Konsultasi Hukum yang dipimpin oleh
beberapa orang mufti yang bertugas untuk mengutarakan pendapat hukum. Mufti
ini beranggotakan delapan orang, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin ‘Affan,
Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Darda, dan Abu Hurairah. Istilah sekarang mungkin disebut Mahkamah
Konstitusi, Komisi Yudisial, atau Penasihat Presiden yang bertugas untuk
memberi masukan kepada Umar ibn Khaththab jika terjadi permasalahan yang
pelik atau adanya penyelewangan dalam penyelenggaraan kenegaraan.12
C. Sistem Suksesi Pemerintahan Umar ibn Khaththab
Dalam masalah suksesi, Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar
sebelumnya. Setelah mengalami luka parah akibat tikaman seorang budak Persia bernama
Abu Lu’luah, para sahabat merasa khawatir kalau-kalau Umar meninggal dunia dan tidak
sempat meninggalkan pesan tentang penggantiya. Ini bisa membahayakan umat Islam,
mengingat trauma Safiqah Bani Sa’idah masih belum hilang dari umat Islam. Mulanya
Umar menolak memenuhi permintaan sahabat-sahabat tersebut. Menurutnya, orang yang
pantas untuk menduduki jabatan puncak menggantikannya sudah lebih dahulu meninggal.

12
Ibid., hlm. 93-94.

13
Di antara sahabat kemudian mengusulkan agar Umar menunjuk putranya Abdullah
menjadi penggantinya. Mendengar permintaan ini Umar pun marah dan menegaskan
bahwa cukup hanya seorang Umar dari keluarganya yang mendapat kehormatan menjadi
pemimpin umat Islam. Akhirnya sahabat pun pulang dari rumah Umar dengan perasaan
kecewa.
Namun, mengingat bahaya perpecahan semakin kelihatan bila Umar tidak
meninggalkan wasiat tentang penggantinya, para sahabat kemudian mengunjungi Umar
lagi dan mendesaknya agar menunjuk pengganti. Umar pun tidak bisa mengelak dari
permintaan tersebut. Hanya saja, Umar tidak langsung menunjuk seseorang sebagai
penggantinya, seperti dilakukan Abu Bakar terhadap dirinya. Umar memilih enam
sahabat yan terdiri dari Utsman, Ali, Abd al-Rahman ibn Awf, Thalhah ibn Ubaidillah,
Zubeir ibn Awwam, Sa’d ibn Abi Waqqash dan putranya sendiri Abdullah. Mereka inilah
“tim formatur” yang akan menunjuk siapa di antara mereka yang akan menjadi khalifah.
Namun Umar menggarisbawahi putranya tidak boleh dipilih. Di samping itu, Umar juga
menjelaskan “aturan main” pemilihan Khalifah. Umar berpesan bahwa lima atau empat
orang sepakat memilih seorang untuk menjadi Khalifah dan satu atau dua orang
membangkang, maka yang membangkang tersebut harus dipenggal lehernya. Kalau suara
berimbang 3:3, maka keputusan akan diserahkan kepada Abdullah ibn Umar. Tapi kalau
keputusan ibn Umar juga tidak disepakati, maka yang menjadi Khalifah adalah calon
yang dipilih oleh kelompok Abd al-Rahman ibn Awf. Kalau ini tidak disetujui juga,
penggal saja leher yang membangkang tersebut.
Setelah Umar wafat dan dimakamkan, mulailah tim formatur Thalhah tidak ikut
karena tidak berada di Madinah mengadakan musyawarah. Sejak semula, jalannya
musyawarah ini benar-benar alot dan ketat. Masing-masing ingin menduduki jabatan
Khalifah. Abd al-Rahman ibn Awf menawarkan agar ada di antara anggota musyawarah
yang mengundurkan diri. Namun tak ada seorang pun yang bersedia. Akhirnya Abd al-
Rahman sendiri yang memulainya. Setelah itu, Abd al-Rahman “melobi” anggota
lainnya. Ia menanyakan kepada Utsman tentang siapa yang pantas menjadi Khalifah,
seandainya ia tidak terpilih. Utsman menjawab: Ali. Lalu pertanyaan yang sama
ditanyakannya kepada Zubeir dan Sa’d secara terpisah. Keduanya menjawab “Utsman.”

14
Ketika Ali disodorkan pertanyaan yang sama, jawaban yang diberikannya juga adalah
“Utsman.”
Dari jawaban-jawaban tersebut dapat ditarik polarisasi kekuatan, yaitu Ali dan
Utsman. Polarisasi ini juga mengkristal dalam masyarakat Madinah. Selanjutnya Abd al-
Rahman memanggil Ali dan menanyakan, seandainya ia terpilih menjadi Khalifah,
sanggupkah ia melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
serta kebijaksanaan Abu Bakar dan Umar sebelumnya. Ali karena kepolosan dan rasa
tawadhu’nya, hanya menjawab bahwa ia berharap dapat menjalankan sesuai dengan
pengetahuan dan kemampuannya. Setelah itu, Abd al-Rahman memanggil Utsman dan
menyodorkan pertanyaan serupa. Utsman pun menjawab: “Ya, sanggup.” Akhirnya
Utsman pun dibaiat menjadi Khalifah ketiga dalam usia 70 tahun. Di pihak lain, Ali
sangat kecewa dan merasa dirugikan dengan sistem pemilihan yang dimotori Abd al-
Rahman. Meskipun akhirnya Ali juga ikut membaiat Utsman.
Dari sistem pemilihan yang digariskan di atas, agaknya Umar sudah merasa
kekuatan politik Islam sudah semakin kuat. Umar tidak khawatir akan perpecahan dalam
tubuh umat Islam, seperti halnya Abu Bakar, karena ia telah meletakkan sendi-sendi
demokrasi dan memperkokoh daulah Islamiyah. Oleh sebab itu, Umar memberikan
kesempatan kepada sahabat sepeninggalnya untuk melaksanakan sistem musyawarah
yang digariskannya dalam memilih penggantinya.13

13
Muhammad Iqbal, op.cit., hlm. 65-66.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Abu Bakar sebelum meninggal menunjuk Umar ibn Khaththab sebagai
penggantinya. Setelah dilantik menjadi kepala negara, Umar segera melaksanakan tugas-
tugas kenegaraan. Secara prinsip, Umar melanjutkan garis kebijaksanaan yang telah
ditempuh Abu Bakar. Namun karena permasalahan yang dihadapi Umar semakin
berkembang seiring dengan perluasan daerah Islam, Umar melakukan berbagai
kebijaksanaan yang antisipatif terhadap perkembangan dan tantangan yang dihadapinya.
Selama sepuluh tahun pemerintahan Umar, kekuasaan Islam telah melebarkan
sayapnya melampaui jazirah Arabia. Penaklukan demi penaklukan dilakukan pada masa
Umar. Pada era kepemimpinan Umar ibn Khaththab juga terjadi perubahan yang cukup
mendasar dalam hal konstitusi negara.
Dalam masalah suksesi, Umar menempuh cara yang berbeda dengan Abu Bakar
sebelumnya. Kalau Abu Bakar langsung menunjuk Umar ibn Khaththab, namun Umar
memilih enam sahabat yang terdiri Utsman, Ali, Abd al-Rahman ibn Awf, Thalhah ibn
Ubaidillah, Zubeir ibn Awwam, Sa’d ibn Abi Waqqash dan putranya sendiri, Abdullah.
B. SARAN
Makalah yang telah tersusun ini masih terdapat banyak kekurangan  atau dapat
dikatakan jauh dari kata sempurna, tetapi kami sebagai tim penyusun makalah telah
menjadi tugas kami,sepenuhnya mengucapkan syukur. Kami selaku tim penyusun
makalah ini mengharapkan agar makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat untuk
diri kami sendiri dan orang lain, tidak lupa kami mengharapkan partispasi dari teman-
teman pembaca agar menyalurkan aspirasinya baik berbentuk saran ataupun kritikan yang
membangun yang dapat memberi kami sebagai tim penyusun motivasi agar menjadi lebih
baik lagi di hari yang mendatang.

16
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya
Media Pratama.

______________. 2018. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Cet: 3. Jakarta:
Prenadamedia Group.

Masrullah, dkk. 2019. Sejarah Sosial dan Intelektual Pendidikan Islam. Jakarta: Literasi
Nusantara.

Nugraha, Muhammad Tisna. 2019. Sejarah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Diandra Kreatif.

Monang, Sori. 2013. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern. Medan:
Panjiaswaja Press.

Sulasman dan Suparman. 2013. Sejarah Islam di Asia dan Eropa. Bandung: Pustaka Setia.

17

Anda mungkin juga menyukai