Kelompok 7:
Taufiqurrahman (0204182094)
Dosen Pengampu:
MUAMALAH
T.A. 2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul
“Kaidah al-Ummur bi Maqasidih.”
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. .
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1
A. Kesimpulan......................................................................... 10
B. Saran.................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah al-Umuru bi Maqasihida merupakan salah satu daripada kaidah
yang digunakan oleh para Fuqaha’ dalam Qawa’id Fiqihiyyah. Kaidah ini
ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari segi bahasa dan istilah. Pengertian kaidah
dari segi bahasa membawa maksud asas manakla menurut istilah bermaksud
perkara yang dipraktikkan daripada masalah atau perkara pokok kemudian
dipraktikkan terhadap perkara-perakara furu’ atau pecahan.
Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang
melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi
agar disanjung orang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah makna al-Umuru bi Maqasihida?
2. Apa dalil al-Umuru bi Maqasidiha?
3. Apa cabang-cabang dari al-Umuru bi Maqasidiha dan bagaimana
penerapannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui makna al-Umuru bi Maqasihida;
2. Mengetahui dalil al-Umuru bi Maqasihida;
3. Mengetahui cabang-cabang dari al-Umuru bi Maqasihida dan penerapannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Kaidah al-Ummur bi Maqasidiha
Maksud kata ummur. Kaidah pertama ini al-ummuru bi maqasihidiha
terbentuk dari dua unsure yakni lafadz al-ummuru dan al-maqashid terbentuk
dari lafadz al-amru dan al-maqashod. Secara etimologi lafadz al-umuru
merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan,
peristiwa dan perbuatan. Jadi, lafadz al-umuru bi maqashidiha diartikan sebagai
perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut terminologi berarti
perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapa atau tingkah laku, yang dikenai
hukum syara’ sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan
maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashadayaqshidu-
qasdhan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama, beberapa arti
al qashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma, condong, mendatangi
sesuatu dan menuju.
Makna Niat, Kata niat (ُ )نِيَّهdengan tasydid pada ya adalah bentuk
mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang mashyur di kalngan ahli
bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid menjadi
(niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat tidak keluar dari makna
literal linguistiknya, yaitu maksud atau kesengajaan. Sementara Ibnu Abidin
menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati terhadap sesuatu,
sedangkan menurut istilah berarti mengorientasikan ketaatan dan pendekatan
diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. 1
Kaidah pertama ini menegaskan bahwa semua urusan dengan maksud
1
https://www.slideshare.net/dodykstylee/kaidah-cabang-al-umuru-bi-maqasidiha
ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Atau dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain. 2
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu
perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf)
tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan
dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang dalam
syari’at Islam. Sebagai tambahan, apabila tindakan seseorang meninggalkan
hal-hal yang terlarang dilakukannya dengan segala ketundukan karena ada
larangan yang berlaku dalam ketetapan syara’ maka tindakan tersebut
memperoleh pahala. Namun apabila tindakan tersebut berkaitan dengan tabiat
atau perasaan jijik terhadap sesuatu yang ditinggalkan tersebut tanpa
memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa dan
tabiat manusiawi yang tak beroleh pahala.
Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya rukhshah (dipensasi
hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini, terdapat nash syara’ yang
dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai dan melarang tindakan
tersebut. Sehingga apabila melanggar akan memperoleh hukuman dunia dan
akhirat. Nash tersebut adalah firman Allah SWT: “Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi…” dan seterusnya. Apabila seorang
mencegah diri untuk tidak melakukan tindakan tersebut (konsumsi bangkai)
dengan harapan bahwa ia berpegang teguh pada nash dan menerapkan
ketentuan yang berlaku di dalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran
dari Allah SWT dan pelaku mendapatkan pahala kebaikan yang ditambahkan
pada daftar pahala-pahala kebaikannya disisi-Nya. Berbeda halnya apabila
seseorang tidak memakan bangkai karena factor psikologis di dalam diri merasa
jijik atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang
mengharamkannya atau dengan bahasa lain seseorang pasti akan memakannya
seandainya tidak merasa jijik maka tindakan tersebut tidak berpahala sama
sekali.
B. Dalil al-Ummur bi Maqasidiha
2
http://galerypena.blogspot.com/2017/11/kaidah-al-umur-bi-maqoshidiha.html
Al-Qur’an
3
Q.S. 98:5.
4
Q.S. 3:145.
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung dengan yang telah
diniatkan. Bagi setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya.
Karena itu barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya, maka
hijrahnya kepada Allah dan Rasulnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia,
yang akan didapatkannya atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka
hijarahnya itu sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dari Umar Ibn
Khattab). 5
C. Cabang-cabang al-Ummur bi Maqasidiha dan Penerapannya
Adapun cabang dari kaidah al-Ummur bi Maqasidiha yaitu:
1.
ِ العِبرةُ يِف الع ُقو ِد لِلم َقا ِص ِد واملعا يِن الَلِألَل َف
اظ واملبَا يِن
َ َ ََ َ َ ُْ َْ
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannya.”
Contohnya: apabila seseorang berkata, “saya hibahkan barang ini
untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah”, meskipun katanya
adalahhibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah
(pemberian), tapi akad jual beli dengan segala akibatnya. 6
2.
ٍ ٍ ِِ ِ ِ
ُالََي ْلَز ُم نيَةُ العبَادة يِف ُك َّل ُج ْزء إِمَّنَا َتلََز ُم يِف مُجْلَة َما َي ْف َعلُه
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan
yang dikerjakan.”
7
http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-maqashidiha.html
8
A. Djazuli, op.cit., hlm. 40.
Contoh: untuk shalat, cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan
rukunnya.
5.
“Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang
kḣas”.
Penerapan kaidah fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang
yang bersumpah. Apabila seseorang bersumpah tdak akan mau berbicara
dengan manusia tetapi, yang dimaksudkannya hanya orang tertentu. Contoh:
yaitu Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar.
Hal serupa juga berlaku pula pada orang yang menerima minuman dari
orang lain. Lalu orang yang menerima minuman bersumpah tidak akan
memanfaatkan minuman itu, tetapi diniatkan untuk semua pemberiannya, maka
ia tidak dinilai melanggar sumpah apabila ia menerima makanan atau pakaian
pemberiannya dan kemudian memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
dirinya.10
9
Ibid., hlm. 41-42.
10
https://kitabkuning90.blogspot.com/2019/10/makalah-kaidah-al-umur-bi-maqashidiha.html?m=1
10.
ِ
ُ ََخطَأ
ضّر َ ض لَهُ مُجْلَةً َوالَ يُثَْتَر ُط َت ْعيِْينُهُ َت ْفصْيالً إِ َذ
ْ اعَّينَهُ َوأ ُ َّعُّر
َ َما يُثَْتَر ُط الت
“Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis besar, jika di dalam
pelaksanaannya ditentukan secara rinci, jika salah dalam penentuan berakibat
fatal.”
Misalnya, orang yang niat melaksanakan sholat jenazah laki-laki, tetapi
ternyata jenazahnya perempuan, maka sholatnya tidak sah. Dalam hal ini
menentukan jika sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.
BAB III
PENUTUP
11
Suwarjin. Ushul Fiqh .(Yogyakarta: Teras, 2012)hlm 215-216.
A. Kesimpulan
Pengertian kaidah al-Umuru bi Maqasihida bahwa hukum yang
berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan
subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara
tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara
hukum yang dilarang dalam syari’at Islam.
Ada 12 cabang dari kaidah al-Umuru bi Maqasihida: Pengertian yang
diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya;
Tidak ada pahala kecuali dengan niat; Apabila berbeda antara apa yang
diucapkan dengan apa yang dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar
adalah apa yang ada dalam hati; Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian,
tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan; Setiap dua kewajian tidak
boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah; Setiap perbuatan
asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat;
Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang
mengucapkan; Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud; Niat dalam
sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas;
Sesuatu yang tidak di syaratkan untuk menyebutkannya, baik secara garis besar,
maupun secara detail, jika disebutkan dan ternyata salah, maka tidak membawa
kerusakan; Sesuatu yang disyaratkan (diharuskan) untuk ditentukan, kesalahan
pada penentuan menjadikan sesuatu itu batal; Sesuatu yang di syaratkan
menyebutkannya secara garis besar, jika di dalam pelaksanaannya ditentukan
secara rinci, jika salah dalam penentuan berakibat fatal.
B. Saran
Makalah yang telah tersusun ini masih terdapat banyak kekurangan atau
dapat dikatakan jauh dari kata sempurna, tetapi kami sebagai tim penyusun
makalah telah menjadi tugas kami,sepenuhnya mengucapkan syukur. Kami
selaku tim penyusun makalah ini mengharapkan agar makalah yang kami susun
ini dapat bermanfaat untuk diri kami sendiri dan orang lain, tidak lupa kami
mengharapkan partispasi dari teman- teman pembaca agar menyalurkan
aspirasinya baik berbentuk saran ataupun kritikan yang membangun yang dapat
memberi kami sebagai tim penyusun motivasi agar menjadi lebih baik lagi di hari
yang mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
A.Djazuli.2019. Kaidah-kaidah fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis.Jakarta: Kencana Ed.1.Cet.ke-8.
Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fiqh). Palembang:
Noefikri.
Suwarjin.2012. Ushul Fiqh .Yogyakarta: Teras.
https://www.slideshare.net/dodykstylee/kaidah-cabang-al-umuru-bi-maqasidiha diakses
pada tanggal 21 April 2020.
http://sycoumm.blogspot.com/2016/05/kaidah-fiqhiyah-al-umuru-bi-maqashidiha.html
diakses pada tanggal 21 April 2020.
http://galerypena.blogspot.com/2017/11/kaidah-al-umur-bi-maqoshidiha.html diakses
pada tanggal 21 April 2020.
https://kitabkuning90.blogspot.com/2019/10/makalah-kaidah-al-umur-bi-
maqashidiha.html?m=1 diakses pada tanggal 21 April 2020.