Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH QAWAID FIQHIYAH

AL-ADAH MUHAKKAMAH

Dosen Pengampuh :
Dr. Iim Fahimah, Lc.,M.A

Disusun Oleh :

Ibnu „Afif Mubaraq (2011120020)

Mareren Saputra (2011120023)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
FATMAWATI SUKARNO BENGKULU 2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis
tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat
serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW yang syafa‟atnya
kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya
sehingga makalah “Al-Adah Muhakkamah” dapat diselesaikan. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah. Penulis berharap
makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman yang membaca.

Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena


kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca
agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini, baik terkait penulisan maupun konten penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Wassalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bengkulu, Mei 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 4
C. Tujuan .................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5

A. Pengertian Kaidah Al-Aadah Muhakkamah ........................................ 5


B. Dasar Hukum Dari Al-Aadah Muhakkamah........................................ 6
C. Implementasi Dan Apa Saja Cabang Kaidah
Al-Aadah Muhakkamah ...................................................................... 8
D. Perbedaan Antara Al-Ad Dan Urf ........................................................ 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 13

A. Kesimpulan .......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kulli
(menyeluruh) yang mencakup inti sari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti
pembahasan dalam makalah ini yaitu al-adah almuhakkamah (adat atau
kebiasaan itu bisa menjadidasar dalam menetapkan suatu hukum) yang
diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu
hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.

Dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam


menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji salah satu
kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau
yang sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-
adah al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi
dasar dalam menetapkan suatu hukum. Dalam makalah ini akan dikaji
mengenai pengertian al-aadah, dasar-dasar hukum, cabang kaidah al-adah
muhkamah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian kaidah Al-Aadah Muhakkamah?
2. Apa dasar hukum dari Al-Aadah Muhakkamah?
3. Bagaimana implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-Aadah
Muhakkamah?
4. Apa perbedaan antara al-ad dan urf?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Al Adah Muhakkamah
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Al-Aadah Muhakkamah
3. Untuk mengetahui implementasi cabang kaidah Al-Adah Muhakkamah
4. Untuk mengetahui perbedaan antara Al-Ad dan Urf

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Adah Muhakkamah


Secara bahasa, al-aadah diambil dari kata al-awud atau al-
mu‟awadah yang artinya berulang-ulang1. Adapun definisi al-aadah
menurut Ibn Nuzhaim adalah:“Sesuatu ungkapan dari apa yang
terpendam dalam diri perkara yang berulang-ulang yang bisa diterima
oleh tabi‟at (perangai) yang sehat.”

Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-aadah sebagai pengulangan


sesuatu dankebiasaan yang dilakukan berulang-ulang hingga dia melekat
dan diterima dalambenak orang-orang2. Dalam pengertian dan substansi
yang sama, terdapat istilah lain dari al-aadah, yaitu al-urf yang secara
harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan,perbuatan, atau ketentuan yang
dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untukmelaksanakannya atau
meninggalkannya.3

‟ Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-


ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal
tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.”

Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam


pengadilan dalam menyelesaikan senketa, artinya adat juga bisa menjadi
rujukan hakim dalammemutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja
hijau.4

Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau yang
khususitu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum syariat
islam (hujjah)terutama oleh seorang hakim dalam sebuah pengadilan,

1
H.A. Djazuli, ,Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cet. Ke-2, 2007),hlm.
79
2
Abdul Karim Zaidan, Dr., Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari (Pustaka Al-
Kautsar, cet. Kedua, 2013), hlm. 16
3
Rachmat Syafe'I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia, cet. Ke-3, 2007), hlm. 128.
4
Abbas, Arfan,
Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam danPerbankan Syariah,(
Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat JenderalPendidikan Islam Kementerian
Agama RI,2012).hlm.204

5
selama tidak atau belumditemukan dalil nash yang secara khusus melarang
adat itu, atau mungkinditemukan dalil nash tetapi dalil itu terlalu umum,
sehingga tidak bisamematahkan sebuah adat.

Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu


saja,karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

1. Tidak bertentangan dengan syari'at.


2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya.5

B. Dasar Hukum Kaidah Al-Aadah Muhakkamah


Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233

“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh,


yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua

5
Muchlis, Usman,Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah danFiqhiyah),
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002).hlm.210

6
tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah
bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:
233)

Al-Quran Surah Al-A‟raf Ayat 199

“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakanyang ma'ruf,


serta berpalinglah dari pada orang-orang yangbodoh”

Dijelaskan juga dalam hadist berikut


“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR.
Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)

Berdasarkan dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al-
Aadah dan Al-Urf. Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) menggunakan dua
kata ini secarabergantian untuk menjelaskan kebiasaan. Al-aadah (adat) di
definisikan suatuperbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa
hubungan rasional (MusthafaAhmad Al-Zaqra, 1978: 838-39). Sedangkan
al-urf didefinisikan sebagaikebiasaan mayoritas umat, baik dalam
perkataan maupun perbuatan. Jadi makna kaidah al-aadah wa al-urf itu
sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima dandianggap baik oleh
masyarakat (Al Syatibi, tt: 197).

Al-aadah dan al-urf yang menjadi salah satu aspek penting


dalampenetapan hukum Islam itu bukan merupakan prilaku individual
tetapi sudahberlaku pada kebanyakan masyarakat di daerah tertentu.
Misalnya di daerahtertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga,
diambil dari mahar yangdiberikan suami. Jika kebiasaan ini sudah menjadi
bagian dari cara kehidupanmasyarakat tertentu maka kebiasaan seperti ini
dapat dijadikan sebagai kaidahuntuk menetapkan kebolehan penggunaan
mahar yang seharusnya milik istri.

7
C. Implementasi serta Kaidah-Kaidah Cabang Al-'Aadah Muhakkamah
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada
kaidah asasiyang lebih umum.
“Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan
karena suatu syarat”

Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu‟amalah mempunyai daya


ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas
dinyatakan, dansesuatu yang telah dikenal (masyhur) secara „urf (adat)
dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati posisi (hukumnya)
sama dengan sebuah syaratyang disyaratkan (disebutkan dengan jelas),
walau sesuatu itu tidak disebut dalamsebuah akad (tsansaksi) atau ucapan,
sehingga sesuatu itu harus diposisikan(dihukumi) ada, sebagaimana
sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akadharuslah ada atau
dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf ataumasyhur itu
tidak bertentangan dengan syariat Islam.6

Contoh: jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC


bertanggung jawabatas pemasangannya dan dianggap sebagai syarat dalam
kontrak jual beli, makaitu merupakan tanggung jawabnnya walaupun tak
ada dalam kontrak.

“Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara‟ secara mutlak dan


tidak ada pembatasannya dalam syara‟ dan dalam ketentuan
bahasa,dikembalikan kepada urf”

Banyak ulama fiqh mengartikan „uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan


banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatif-imajenatif manusia
dalam membangun nilai-nilai budaya.

“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat


diantara mereka”

Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara


pedagang,seperti disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih
mengkhususkan adat atau urf yang ada (terbiasa) diantara para pedagang
saja, dimasukan disinidikarenakan masih dalam kaitannya dengan kaidah
al-adah muhakkamah.Sehingga maksud kaidah ini adalah segala sesuatu
yang sudah umum (biasa)dikenal dikalangan para pedagang, maka posisi
(status hukum) sesuatu ini adalahsama dengan seperti sebuah ketetapan

6
A, Dzazuli,Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis),(Jakarta:Kencana,2007).hlm.86

8
syarat yang berlaku diantara mereka, walausesuatu itu tidak disebutkan
dengan jelas dalam sebuah akad atau ucapan.

Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi


antarasesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan
pembeli,selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual
beli. Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli seperti biaya
pengiriman barangmenurut kebiasaan perdagangan di Indonesia adalah
menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun dalam akad
pembelian meubel misalnya, tidakdisebutkan biaya (ongkos) pengiriman,
maka hukumnya tetap ada dan menjaditanggungjawab penjual.7

Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun


arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta‟yin (ketentuan) diganti
dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-urf ka al-
thabit bi al-nas.Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan kaidah
sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek legalitasnya.
Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada adat (tradisi) dengan
beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas hukumnya
dengan nash syariat. Alhasil, sebuah ketetapanhukum atas dasar adat itu
sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariatIslam. Sehinggga
tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jikatelah
diputuskan hakim dalam sebuah sengketa misalnya perdata. Kaidah ini
miripatau searti dengan kaidah Tasbitu al-Ma‟ruf berikut:

“Yang ditetapkan oleh (adat) urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”

Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi
orang lain,maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan
perhitungan, anakpertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua
utuk yang punya, begitulahselanjutnya secara beganti-ganti.

D. Perbedaan Antara Al-Ad dan Urf


Proses pembentukan aadah adalah akumulasi dari pengulangan
aktivitasyang berlangsung terus menerus, dan ketika pengulangan tersebut
bisa membuattertanam dalam hati individu, maka ia sudah bisa memasuki
wilayah muta‟araf, aadah berubah menjadi urf (haqiqat al-urfiyyah),
sehingga aadah merupakan unsur yang muncul pertama kali dilakukan
berulang-ulang, lalu tertanam di dalamhati, kemudian menjadi urf. Oleh
sebab itu, fuqaha menyatakan bahwa aadah dan urf dilihat dari sisi
7
Dahlan, Tamrin,Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah),(Malang: UIN Maliki
Press,2010).hlm.241

9
terminologisnya, tidak memiliki perbedaan prinsipil,artinya penggunaan
istilah aadah dan urf tidak mengandung suatu perbedaan signifikan dengan
konsekuensi hukum yang berbeda.

Sekalipun demikian, fuqaha tetap mendefinisikannya berbeda, dimana


„urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang
(kelompok) dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya. Dari pengertian inilah, baik dan buruknya
suatu kebiasaan, tidak menjadi persoalan urgen, selama dilakukan secara
kolektif, dan hal seperti itu masuk dalam ketegori urf. Sedangkan aadah
didefinisikan sebagai tradisi (budaya)secara umum, tanpa melihat apakah
dilakukan oleh individu maupun kolektif.

Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan


istilah aadah dan urf itu jika dilihat dari aspek yang berbeda, yaitu:
1. Urf hanya menekankan pada adanya aspek pengulangan pekerjaan,
dan harusdilakukan oleh sekelompok, sedang obyeknya lebih
menekankan pada posisipelakunya.
2. Aadah hanya melihat dari sisi pelakunya, dan boleh dilakukan
pribadi ataukelompok, serta obyeknya hanya melihat pada
pekerjaan.

Sedangkan persamaannya,urf dan aadah merupakan sebuah pekerjaan


yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hal dan dilakukan
berulang-ulang serta sesuai dengan karakter pelakunya. Maka, dapat
disimpulkan bahwa istilah al-aadah (adat) dan al-urf memang berbeda jika
ditinjau dari dua aspek yangberbeda pula. Perbedaannya, istilah adat hanya
menekankan pada aspekpengulangan pekerjaan. Sementara al-urf hanya
melihat pelakunya. Di sampingitu, adat bisa dilakukan oleh pribadi
maupun kelompok, sementara al-urf harus dijalani oleh komunitas
tertentu. Dari kata terakhir itulah, kata al-ma‟ruf yang sering disebut
dalam Al-Quran. Oleh karena itu, makna asli al-ma‟ruf ialah segalasesuatu
yang sesuai dengan adat (kepantasan).

a. Kedudukan „adah dan „urf dalam pandangan fuqaha‟


Untuk mengetahui masalah kedudukan „adah atau „urf
sebagai salah satu patokan hukum, fuqohah‟beragam pendapat
dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Abu Hanifah : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan,
dan „urf masyarakat.

10
2. Imam Malik : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan,
istishhab, maslahahmursalah, syadduzdharai‟ dan „urf.
3. Malikiyyah, membagi adah kebiasaan atau urf menjadi
empat yaitu:
a) Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash
menunjukkan,
b) Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang
dilarang atau mengabaikan syara‟.
c) Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak
diterima lantaran tidak ada larangan.
d) Imam Syafi‟i tidak mempergunakan „urf atau „adah
sebagai dalil, karena beliau berpegang pada al-Qur‟an,
sunnah, ijma‟, dan ijtihad yang hanya dibatasi dengan
qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil
oleh imam syafi‟i dalam wujud “qaul jadid” itu
merupakan suatu imbanganterhadap penetapan
hukumnya di bagdad dalam wujud “qaul qadim.

b. Penggunaan Kata Aadah dalam Mu‟amalah


Mu‟amalah bermaksud urusan yang melibatkan harta atau
keuangan di antara dua orang atau lebih seperti al-Salam, al-Rahn
dan sebagainya . Ada dalam kalangan penulis yang
menerjemahkannya sebagai “hartadan konsepnya yang didasarkan
atas hukum Islam”.

Dalam bidang muamalah, al-aadah atau kebiasaan yang


diamalkan olehmanusia boleh berubah dari masa ke masa dan dari
generasi ke generasi malahdari satu tempat ke satu tempat yang
lain. Contohnya dalam bidang jual beliseperti yang disebutkan,
kebiasaan yang diamalkan oleh generasi hari inimenggunakan alat
tukar dan timbangan dalam kilogram, liter dan lain-lain yangtentu
berbeda dengan generasi dahulu.

Begitu juga kebiasaan (al-aadah) pada zaman dahulu


manusia berjual belidengan menyatakan ijab dan qabul, namun kini
berubah kepada bay‟ al-mu‟atah (bertukar tangan) saja. Di zaman
modern, orang bisa membayar dengan beragampilihan, bisa tunai,
kartu kredit atau kartu debit tetapi tidak mustahil datang suatu
masa orang tidak lagi menggunakan tunai langsung. Itulah

11
kebiasaan (al-aadah) yang akan berubah-ubah mengikut keadaan
suatu generasi.

Tetapi urf atau adat resmi sesuatu bangsa itu diwarisi turun
temurun danmustahil akan berubah. Pepatah melayu bilang “biar
mati anak asal jangan matiadat” jelas menggambarkan pegangan
mereka kepada adat adalah amat kuat. Olehsebab itulah, mengapa
para ulama cenderung menggunakan kaidah al-Aadah
muhakkamah dari pada al-urf muhakkam. Karena sifatnya yang
lebih fleksibel,mampu berubah sesuai dengan perkembangan
zaman.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau
kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan
dengankebiasaan yaitu al-adat dan al-urf. al-adah atau al-urf adalah Apa
yangdianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan
secaraberulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.Istilah adat dan al-Urf
memang berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula.
Perbedaannya, istilah adathanya menekankan pada aspek pengulangan
pekerjaan. Sementara al-Urf hanya melihat pelakunya.

Di samping itu adat bisa dilakukan oleh pribadi maupun kelompok,


sementara al-Urf harus harus dijalani oleh komunitas tertentu.
Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-Urf lebih
menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-Urf adalah
sebuah pekerjaan yang sudahditerima akal sehat, tertanam dalam hati,
dilakukan berulang-ulang dan sesuaidengan karakter pelakunya. Hukum
yang didasarkan pada adat akan berubahseiring perubahan waktu dan
tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yangtadinya di bentuk
berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamanaadat istiadat
itu berubah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Arfan. Abbas. 2012. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam


Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah.Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi
Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian AgamaRI.

Dzazuli. 2007.Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis). Jakarta: Kencana

Mubarok, Jaih. 2002 .Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi).


Jakarta:PT Raja Grafindo Persada

Syafe'I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Tamrin , Dahlan. 2010.Kaidah-kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-


Khamsah).Malang: UIN Maliki Press.

Usman, Muchlis. 2002.Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-


KaidahUshuliyah dan Fiqhiyah).Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Zaidan ,Abdul Karim. 2013. Al-Wajiz: 100 Kaidah Fikih dalam


KehidupanSehari-hari. Pustaka Al-Kautsa

14

Anda mungkin juga menyukai