Anda di halaman 1dari 12

STUDI KEISLAMAN

SYARIAH (WAJIB, SUNNAH, MUBAH, MAKRUH DAN HARAM)

Disusun Oleh :
Tia Rahmadanty (1930305010)
Muhammad Iqbal Al Qodar (2130305020)

Dosen Pengampu:
Heni Indrayani, M.A.

PROGRAM STUDI TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Diharapkan
makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan dibidang ilmu pendidikan
terkhusus mengenai Studi Keislaman. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Studi Keislaman yang telah membimbing dalam mata kuliah ini dan kami juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan serta membantu
kami dalam mengerjakan tugas makalah ini.Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas wajib dalam mata kuliah Studi Keislaman. Tugas ini merupakan wujud dari mendalami
pendidikan Studi Keislaman. Kemajuan zaman dan perkembangan dunia yang semakin
berkembang menuntut kita menjadi generasi yang kreatif, cerdas ,mandiri, terampil,
berkualitas, berakhlak mulia serta selalu mengedepankan nilai islam dan memiliki
kepribadian yang sesuai dengan budaya bangsa.Sehingga memiliki daya saing yang tinggi
juga berkarakter dan berakhlak mulia.Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan
sehingga kritik dan saran sangat dibutuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami memanjatkan doa semoga Allah selalu melimpahkan rahmatnya


kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran maupun materi dalam
menyelesaikan makalah ini.Semoga uraian makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Aamiin.

Palembang,08 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Syariah .......................................................................................................2


B. Pembagian Hukum Syariah
a. Wajib.................................................................................................................3
b. Sunnah...............................................................................................................4
c. Mubah................................................................................................................6
d. Makruh...............................................................................................................7
e. Haram................................................................................................................7

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam mengatur seluruh urusan manusia dengan sangat lengkap dan sempurna. Dari
mulai kita bangun tidur sampai kembali tidur di penghujung hari, Allah telah
memberikan dan menjelaskan bagaimana cara manusia menjalani harinya. Dimulai dari
bangun tidur, menyucikan diri, ibadah, memenuhi hak tubuh (makan, minum, istirahat),
bekerja, belajar, bersilaturahim dengan sesama, berkomunikasi dengan orang yang lebih
tua, muda, atau sebaya, berwisata, berniaga, mengaji, dan banyak lagi aktivitas manusia
lainnya sampai kita kembali tidur, semua telah ada aturan mainnya. Aturan-aturan main
tersebut sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang berlaku atas suatu perbuatan.
Di dalam Islam, kita mengenal ada enam hukum yang berdampak pada boleh atau
tidaknya kita mengerjakan sebuah perbuatan. Keenam hukum tersebut adalah waji,
sunah, halal, mubah, makruh, dan haram. Melalui Al-Qur’an, Allah telah menjelaskan
sebuah perbuatan berhukum apa. Jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan, Allah
menjelaskannya melalui sabda Rasulullah yang termaktub di dalam Al-Hadits. Jika di
dalam Al- dan Al-Hadits juga tidak ditemukan, maka hasil dari ijtima’ ulama yang
dijadikan landasan hukum sebuah perkara. Mengapa demikian? Karena zaman semakin
berkembang, maka hadir pula perkara-perkara yang di zaman Rasulullah belum dikenal.
Para ulama akan tetap mencari dalil utama pada Al-Qur’an dan Al-hadits karena di dalam
kedua sumber tersebut terdapat bahasan secara umumnya. Untuk mengetahui lebih lanjut
apa pengertian dari keenam hukum dalam Islam, mari kita bahas satu persatu.

B. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud dengan hukum syariah ?
B. Bagaimana pembagian hukum Syariah (Wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram) ?

C. Tujuan
A. Untuk mengetahui pengertian serta pembagian dari hukum-hukum syariah islam
B. Agar para pembaca mengetahui bagaimana penerapan hukum syariah di Indonesia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hukum Syariah

‫ك َع ٰلى َش ِري َْع ٍة م َِّن ااْل َمْ ِر َفا َّت ِبعْ َها َواَل َت َّت ِبعْ اَهْ َو ۤا َء الَّ ِذي َْن َل َيعْ َلم ُْو َن‬
َ ‫ُث َّم َج َع ْل ٰن‬
Artinya:”Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat
(peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti
keinginan orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al-Jatsiya[48]:18)

Syariah secara sederhana ialah jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah kepada umat
manusia. Jalan ini berupa hukum dan ketentuan dalam agama Islam, yang bersumber dari
al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas.
Sementara menurut para ulama, definisi syariah mencakup hukum dasar yang
ditetapkan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan sesama
manusia, dan juga kepada alam. Hal ini sesuai dengan QS. An-Nisa ayat tiga belas.
Karena syariah adalah hukum dasar, maknanya menjadi masih bersifat terlalu umum.
Hal ini dapat tergambar pada poin-poin hukum yang terdapat dalam al-Quran dan hadis
Nabi Muhammad SAW.
Tujuan dari syariah tidak lain dan tidak bukan adalah agar umat manusia tidak
tersesat dalam hidup, baik di dunia atau di akhirat. Karena Allah telah memberitahukan
jalan mana yang harus dilalui tersebut. Hukum syariah sendiri terbagi atas hukum wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram.
Namun, hukum dasar yang masih sangat umum tersebut tentu perlu dikaji lebih dalam
agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan disesuaikan dengan
perkembangan zaman kehidupan manusia. Oleh karena itu, dibentuklah satu bidang ilmu
pengetahuan yang khusus untuk mempelajari hukum dasar dan menyesuaikannya dengan
hukum-hukum spesifik yang dibutuhkan oleh manusia. Bidang ilmu tersebut bernama
ilmi fiqih dan orang yang memiliki keilmuan dalam bidang itu disebut faqih.

2
B. Pembagian Hukum Syariah ( Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram )
a. Wajib

Wajib adalah satu perkara yang secara syariat harus dikerjakan oleh
seluruh orang beriman. Dengan kata lain, jika dikerjakan mendapat pahala.
Sebaliknya, jika ditinggalkan akan mendapat dosa.Setiap pribadi muslim, baik laki-
laki maupun perempuan yang sudah baligh, harus menjalankan hukum Islam yang
sifatnya wajib ini.Wajib juga dikenal dengan istilah fardhu. Terdapat dua hukum
fardhu yang berlaku bagi orang beriman, yakni fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah.Fardhu ‘ain adalah kewajiban yang berlaku untuk seluruh umat muslim,
seperti shalat lima waktu, puasa, dll. Sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban
yang cukup dilakukan oleh satu orang muslim.Kewajiban menjadi gugur jika sudah
dilakukan, sebaliknya berdosalah semua orang apabila ditinggalkan. Contoh fardhu
kifayah seperti mensholati orang meninggalkan, memandikan hingga
menguburkannya.Selain fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, hukum wajib juga dibagi
menjadi berdasarkan waktu pelaksanaannya serta wajib bagi orang yang
melaksanakannya.

1. Wajib berdasarkan waktu pelaksanaannya


i. Wajib Muthlaq. Untuk melaksanakan kewajiban ini, seorang muslim
tidak ditentukan kapan pelaksanaannya atau tidak memiliki batas waktu
tertentu. Sifat pengerjaannya mutlak, kapanpun mau dikerjakan, boleh
saja. Contohnya adalah seseorang yang telah bersumpah kemudian ia
melanggarnya. Ia wajib melaksanakan denda (kafarah) sumpah yang
waktunya tidak ditentukan, kapanpun ia hendak melaksanakan, boleh
saja.
ii. Wajib Muaqqad. Ialah wajib yang memiliki waktu tertentu, anda tidak
bisa sembarangan waktu menjalankan kewajiban muaqqad karena waktu
pelaksanaannya sudah ditentukan. Tidak sah jika Anda melaksanakan
kewajiban muaqqad di luar waktu yang telah ditentukan. Seperti shalat

3
lima waktu yang telah ditentukan waktunya, di mana pengerjaan shalat
tidak akan sah jika dilakukan sebelum masuknya waktu
iii. Wajib Muwassa. Dalam menunaikan kewajiban ini, waktu yang tersedia bisa
melebihi waktu pelaksanaannya. Contohnya shalat zhuhur (waktunya lebih
dari dua jam) di mana pada saat waktu zhuhur, kita diperbolehkan
melaksanakan shalat zhuhur atau shalat lainnya.
iv. Wajib Mudayyaq. ialah kewajiban yang waktu pelaksanaannya hanya boleh
dipergunakan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Contoh di bulan
Ramadhan, di mana puasa yang boleh dilakukan pada saat itu adalah puasa
Ramadhan, bukan yang lain. Kewajiban ini dilaksanakan sama persis dengan
waktu yang tersedia.1
2. Wajib berdasarkan orang yang melaksanakannya
i. Wajib Aini. Setiap orang beriman punya kewajiban untuk melaksanakan
setiap perintah Allah SWT. Itu yang disebut wajib Aini yang hanya boleh
dilakukan sendiri, tidak boleh diwakilkan. Contoh kewajiban ini seperti
shalat lima waktu atau puasa ramadhan.
ii. Wajib Kifayah (Kafa’i). Kewajiban yang bisa gugur jika salah satu dari
sekelompok orang sudah melaksanakan kewajiban itu. Kewajiban ini bisa
diwakilkan. Sebaliknya, semua orang yang ada di kelompok itu akan
menanggung dosa jika tak satupun orang di kelompok itu melaksanakan
kewajiban kifayah. Misalnya, kewajiban mengurus jenazah, mulai
memandikan hingga menguburnya2.

b. Sunnah

‫ َت َم َّس ُك ْوا ِب َها‬،‫َف َع َل ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِي َو ُس َّن ِة ْال ُخ َل َفا ِء ْال َم ْه ِد ِّيي َْن الرَّ اشِ ِدي َْن‬
‫ت ْاُألم ُْو ِر َفِإنَّ ُك َّل مُحْ دَ َث ٍة‬ ِ ‫ َوِإيَّا ُك ْم َومُحْ دَ َثا‬،ِ‫َو َعض ُّْوا َع َل ْي َها ِبال َّن َوا ِجذ‬
‫ضالَ َل ٌة‬َ ‫ َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬،‫ب ْد َع ٌة‬. ِ
1
Fikri Muhtada dkk. Kajian Hukum Taklifi Menurut Para Imam Mazhab.hal 250.
2
Fikri Muhtada dkk. Kajian Hukum Taklifi Menurut Para Imam Mazhab.hal 251.

4
Artinya: maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia
dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru,
karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah
itu adalah sesat.( HR. At Tirmidzi no. 2676)

Satu tingkat dibawah wajib (fardhu) adalah sunnah. Secara singkat, sunnah
adalah satu perkara atau perintah yang apabila dilaksanakan mendapat pahala namun
jika ditinggalkan tidak berdosa.Hukum melaksanakan sunnah dimaknai sebagai
ibadah pelengkap untuk perintah wajib. Untuk itu, secara bahasa, sunnah juga berarti
mad’u atau dianjurkan.Sedangkan dalam ilmu fiqih, seseorang melakukan ibadah
sunnah karena itu dipandang sebagai perbuatan baik kemaslahatan orang lain. Karena
hanya saran kebaikan, orang yang meninggalkan sunnah tidak ada beban dosa
baginya.Sebaliknya, bagi yang mengerjakan sunnah ini akan dicatat sebagai amal
kebaikan untuk melengkapi amalan-amalan wajib. Jadi, meski hanya bersifat anjuran,
sangat rugi bagi seorang muslim yang meninggalkan sunnah ini.Hukum sunnah bisa
dilihat dari beberapa perspektif, seperti berdasarkan tuntutan melakukannya yang
terbagi menjadi dua yaitu:

i. Sunnah Muakkad. Orang mengenal sunnah ini sebagai ibadah ‘setengah


wajib’ karena sifatnya yang sangat dianjurkan. Sunnah muakkad juga
dimaknai sebagai ibadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW
semasa hidupnya. Contoh sunnah ini adalah seperti shalat tarawih atau shalat
witir.
ii. Sunnah Ghairu Mu’akad. Tidak seperti sunnah mu’akkad, meskipun Nabi
SAW melaksanakan sunnah ini, namun tidak menjadi ibadah yang dijalankan
secara rutin. Dengan kata lain, Nabi SAW tidak menganjurkan umatnya untuk
melaksanakan ibadah sunnah ini, seperti shalat tahiyatul masjid, shalat sunnah
4 rakaat sebelum dzuhur dan sebelum ashar.

5
c. Mubah
Hukum mubah adalah bersifat netral karena hukum ini boleh dilakukan dan boleh
ditinggalkan. Bila dilakukan mendapat pahala, sementara saat ditinggalkan tidak
mendapat dosa. Arti mubah adalah hukum yang ringan karena pahala bisa didapatkan
dan dosa tidak dikenakan. Perbuatan mubah dari Ulama disarankan untuk diganti ke
yang disunnahkan. Tujuan dari mengganti perbuatan mubah adalah agar seorang
muslim bisa mencapai derajat lebih tinggi.

Allah SWT menciptakan hukum mubah bukan tanpa alasan. Hukum mubah
adalah bersifat netral, yang mana dapat meringankan umat muslim melaksanakan
ibadah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hukum mubah memang akan mendapat
pahala, tetapi hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Istilahnya adalah tidak ada
jaminan pahala akan didapat seperti hukum yang wajib dan sunnah. Peran hukum
mubah menjadi sebuah keringanan bagi seorang muslim. Bukan hanya berada di
dalam lingkup sunnah dan wajib saja, namun kita bisa melakukan apapun selagi itu
tidak merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Dan tidak keluar dari syariat agama
serta yang dilarang oleh Allah SWT.

 Salah satu contoh mubah dalam kehidupan sehari-hari adalah melaksanakan salat
dengan cara jamak. Jamak mubah artinya adalah mengumpulkan dua salat fardu yang
dikerjakan dalam satu waktu dan dikerjakan secara berturut-turut. Secara umum,
hukum melaksanakan salat fardu secara jamak adalah mubah atau boleh. Hanya saja,
terdapat sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi sehingga salat fardu boleh dijamak.
Misalnya, salat fardu yang boleh dijamak ialah salat Zuhur dijamak dengan Asar dan
salat Magrib dijamak dengan Isya.

Diperbolehkannya melakukan salat secara jamak sendiri tertuang dalam hadis


Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari. Dikatakan, Nabi
Muhammad SAW pernah melakukan salat jamak ketika sedang melakukan
perjalanan.

6
d. Makruh
Makruh juga bisa diartikan sebagai bentuk larangan yang tidak bersifat pasti. Kenapa
tidak pasti? Sebab, tak ada satupun dalil yang menyatakan makruh sebagai perbuatan
haram. Jadi, hukum makruh adalah satu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak
berdosa namun jika tidak dikerjakan akan mendapat pahala. Boleh dibilang, makruh
adalah kebalikannya sunnah.
Jumhur ulama membagi hukum makruh ini menjadi dua bagian, antara lain:

i. Makruh Tahrim. Anda tidak boleh mengerjakan sesuatu karena sudah ada
larangan yang pasti secara syariat. Misalnya, jika Anda seorang laki-laki
maka dilarang menggunakan perhiasan emas, memakai anting, dll.
ii. Makruh Tanzih. Sebaliknya, karena tidak ada contoh yang pasti secara syariat
maka Anda dianjurkan untuk tidak mengerjakannya. Contoh dari makruh
tanzih seperti mengkonsumsi daging kuda dalam kondisi darurat, misalnya
saat perang, dll.
Banyak umat Islam yang tidak menyadari bahwa yang dikerjakannya sebagai
perbuatan makruh. Padahal, jika mereka meninggalkan akan mendapatkan pahala.
Misalnya, makan minum sambil bicara, ambil makanan dengan tangan kiri, dll.

e. Haram
Secara bahasa, haram atau muharram berarti yang dilarang. Memutuskan
haram atau halal suatu perkara itu tidak mudah. Sebab, harus ada dalil qath’i yang
menjadi dasar untuk memutuskan haram-halal suatu perkara. Ada dua jenis
perbuatan haram yang wajib ditinggalkan oleh seluruh kaum muslimin agar terhindar
dari murka Allah SWT. Yakni, Al-Muharram li Dzatihi dan Al-Muharram li
Ghairihi.
i. Al-Muharram li Dzatihi. Anda wajib meninggalkan perbuatan yang secara
syariat kategorikan sebagai hukum haram ini karena karena esensinya bisa
mendatangkan mudharat yang besar bagi kehidupan manusia, seperti berzina,
mabuk, berjudi, dll.

7
ii. Al-Muharram li Ghairihi. Sebaliknya, hukum haram Al-Muharram li Ghairihi
berlaku bukan karena esensinya. Larangan ini lebih kepada hal-hal yang
bersifat eksternal, seperti praktik riba, dll.

Apapun jenisnya, suatu perkara yang dinyatakan haram secara syariat harus
ditinggalkan. Anda meninggalkan perbuatan haram berarti akan mendapatkan pahala.
Sebaliknya jika Anda kerjakan akan mendapat siksa Allah SWT di akhirat kelak.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di dalam Islam, kita mengenal ada enam hukum yang berdampak pada boleh atau
tidaknya kita mengerjakan sebuah perbuatan. Melalui Al-Qur’an, Allah telah
menjelaskan sebuah perbuatan berhukum apa. Jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan,
Allah menjelaskannya melalui sabda Rasulullah yang termaktub di dalam Al-Hadits. Jika
di dalam Al- dan Al-Hadits juga tidak ditemukan, maka hasil dari ijtima’ ulama yang
dijadikan landasan hukum sebuah perkara. 
Itulah pengertian hukum dalam Islam serta pembagiannya. Harus selalu kita ingat,
bahwa setiap perintah, anjuran, dan larangan yang Allah sampaikan kepada hambaNya
mengandung hikmah yang harus kita renungkan sendiri. Percayalah, Allah hanya
menginginkan kita selamat dunia akhirat. Percayalah, hanya Allah-lah sebaik-baiknya Zat
yang mampu mengurusi hidup kita dengan amat sempurna.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gani Abdullah.(1994) Pengantar kompilasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia.
Jakarta : Gema Insani Press.

Dr. Rohidin, S.H, M.Ag.(2016) Buku Ajar Pengantar Hukum Islam,Dari Semenanjung Arabia
Hingga Indonesia. Lintang Rasi Aksara Books,Yogyakarta.

Fikri Muhtada dkk.(2021). Jurnal Kajian Hukum Taklifi Menurut Para Imam Mazhab Vol. XVII, No.
2.

H. Fuad Riyadi, Lc. M.Ag.(2022) YUDISIA : Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam.
Institut Agama Islam Negeri Kudus. Vol 13, No 1 <
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Yudisia>

Muhammad Al Faruq.(2018) Penerapan Syari'ah Islam dalam Negara Bangsa di Indonesia.


Jurnal El-Faqih, Volume 4, Nomor 2, Oktober.

Sahroni.(2020) Analisis Hukum (Wajib, Sunah, Makruh, Haram Dan Mubah)Melalui Kaidah
Ushul Fiqih(Kitab Faroidul Bahiyah)Terhadap Masalah “Menandatangani Dana
Bantuan Pemerintah Yang Dipotong”. Jurnal Kajian Pendidikan Agama Islam e-ISSN:
2656-9728, p-ISSN: 2656-971XVolume 2, Edisi 2. <
http://ejournal.an-nadwah.ac.id/index.php/Attalim/article/view/170/140 >

Yahya A. Muhaimin dkk.(1991) Bisnis Dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980. Jakarta : LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai