Anda di halaman 1dari 13

Makalah Fiqh Muamalah

Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Kelompok 1 (Satu)

Disusun oleh:
Adelia (2021010003)
Adillah A’izzatir Rahmah (2021010194)
Agta Nissa Aulia (2021010256)

Mata Kuliah: Fiqh Muamalah


Dosen: M. Wardani Anwar M.H

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2021/2022
Kata Pengantar

Alhamdulillah segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada Baginda
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’at-Nya di hari akhir
kelak.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada sumber-sumber yang telah


membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Kami telah berusaha dengan
semaksimal mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, kami menyadari
bahwasannya makalah ini belum sempurna karena keterbatasan kemampuan dan
ilmu yang kami miliki. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Fiqh Muamalah dengan judul “Ruang Lingkup Fiqh Muamalah.”

Demikian penyusunan makalah ini, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
membantu pembaca dalam proses belajar dan mengajar. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.

Lampung, 14 September 2021


DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………………………i

Daftar isi…………………………………………………………………………………………………..ii

BAB 1 (Pendahuluan)…………………………………………………………………………………….…1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………….1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………....1

C. Tujuan…………………………………………………………………………………..1

BAB II (Pembahasan)………………………………………………………………………..........2

A. Pengertian Muamalah dan Fiqh Muamalah ………………………………….................2

B. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah …..………………………………………………….2

C. Pembagian Fiqh Muamalah …………………………………………………………...3

D. Prinsip Dasar Fiqh Muamalah ………………………………………………………..3

BAB III (Penutup)…………………………………………………………………………………4

Kesimpulan…………………………………………………………………….………….4

Daftar Pustaka
BAB I

(Pendahuluan)

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama yang universal, mengajarkan seluruh aspek kehidupan penganutnya
seperti masalah ibadah, akhlaq termasuk juga tata cara dalam kehidupan sehari-hari yang sering
kita sebut dengan muamalah. Akan tetapi sebagai salah satu aspek yang sangat penting dalam
kehidupan umat Islam, ketentuannya tidak tercantum secara rinci dan jelas dalam Al-Qur’an
sehingga perlu penjelasan yang lebih rinci dan mendalam melalui ijtihad para ulama.

Pada awal sebelum mengalami revolusi literatur kehidupan, kegiatan manusia dalam
bermualah masih bisa dijangkau dan dipantau oleh hukum-hukum yang telah diatur oleh para
ulama fiqh pada masa itu, di samping itu kegiatan ini juga masih bisa diqiyaskan secara sederhana
oleh para mujtahid yang bersumber dari nash. Namun seiring dengan perkembangan zaman yang
sudah di lingkungi oleh kegiatan yang serba praktis dan canggih serta pengaruh teknologi maka
para ulama fiqh berusaha melakukan penyesuaian hukum dengan cara meng-qiyaskan antara
hukum-hukum yang telah diatur oleh para ulama fiqh pada masa itu dengan kegiatan ekonomi
yang yang sedang berlangsung saat ini dengan melalui prinsip-prinsip yang telah diatur oleh ulama
fiqh. Berangkat dari hal itu semua, dalam buku ini akan membahas tentang bagaimana konsep dan
ruang lingkup serta prinsip dasar fiqih muamalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Fiqh Muamalah?
2. Apa saja ruang lingkup fiqh muamalah?
3. Bagaimana pembagian fiqh muamalah tersebut?
4. Apa saja prinsip dasar Fiqh Muamalah?

C. Tujuan
Tujuan kami membuat makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan baik penulis
maupun pembaca tentang pengertian, ruang lingkup, dan prinsip dasar dari Fiqh Muamalah.
BAB II
(Pembahasan)

A. Pengertian Muamalah dan Fiqh Muamalah


Fiqh muamalah merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata fiqh dan muamalah. Secara
etimologi fiqh berarti paham, mengetahui dan melaksanakan. Adapun kata muamalah berasal dari
bahasa Arab (‫ عامل‬-‫( معاملة – يعامل‬yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah
(saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dengan
orang lain dalam memenuhi kebutuhannya masing-masing. Secara terminologi fiqh muamalah
adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hal
yang berkaitan dengan hartanya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain.

Kata manusia dalam pengertian di atas adalah ditujukan kepada manusia atau seseorang
yang sudah mukallaf, yaitu seseorang yang sudah dibebani hukum, mereka itu sudah baligh dan
berakal lagi cerdas. Muamalah yang merupakan aktifitas manusia muslim tentunya tidak terlepas
sama sekali dengan masalah pengabdiannya kepada Allah, sebagaimana firman Allah dalam Surat
Adz-Dzariyat (QS. 51: 56) yang berbunyi:

ِ ۡ ‫َو َما َخلَ ۡقتُ ۡال ِج َّن َو‬


َ ‫اۡل ۡن‬
‫س ا َِّۡل ِليَعۡ بُد ُۡو ِن‬
Artinya:”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tindakan manusia dalam rangka pengabdian kepada
Allah selalu mengandung nilai-nilai ketuhanan. Pengabdian yang dilakukan haruslah diawali dari
keikhlasan. Kemudian Muamalah sebagai hasil dari pemahaman terhadap hukum Islam tentulah
dalam pembentukannya mengandung ciri intelektual manusia, maka dalam muamalah secara
bersamaan terdapat unsur wahyu dan unsur intelektual, yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Muamalah pada dasarnya
dibolehkan selama tidak ada nash/dalil yang menyatakan keharamannya.

Objek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang sangat luas, sehingga Al-Qur’an
dan Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan muamalah secara global. Ini
menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang kepada manusia untuk melakukan inovasi
terhadap berbagai bentuk muamalah yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka dengan syarat
tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan. Perkembangan jenis dan bentuk muamalah
yang dilakukan manusia sejak dahulu sampai sekarang sejalan dengan perkembangan kebutuhan
dan pengetahuan manusia.1

B. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan sosial, atau hablum minannas.
Dalam syariat Islam hubungan manusia tidak dirinci manusia mengenai bentuknya. Islam hanya
membatasi bagian-bagian yang penting dan mendasar berupa larangan Allah dalam Al-Quran atau
larangan Rasul-Nya yang didapat dalam As-Sunnah.

Dari segi bahasa, muamalah bersal dari kata ‘aamala, yu’amilu, mu’amalat yang berarti
perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan (seperti jual-beli, sewa dsb)
(Munawwir, 1997: 974). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah
selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik
secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat (Khallaf, 1978: 32).

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah


terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti
halnya dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk
dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi,
maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi. Dengan
pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun
dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut.

Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni
pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan
dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91). Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa
semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada

1
S.Sudiarti . 2018. Fiqh Munakahat Kontemporer. Hal 23
ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah
dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam.

Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup syariah dalam bidang muamalah,
menurut Abdul Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi:

Pertama, Ahkam al-Ahwal al-Syakhiyyah (Hukum Keluarga), yaitu hukum-hukum yang


mengatur tentang hak dan kewajiban suami, istri dan anak. Ini dimaksudkan untuk memelihara
dan membangun keluarga sebagai unit terkecil.

Kedua, al-Ahkam al-Maliyah (Hukum Perdata), yaitu hukum tentang perbuatan usaha
perorangan seperti jual beli (Al-Bai’ wal Ijarah), pegadaian (rahn), perserikatan (syirkah), utang
piutang (udayanah), perjanjian (‘uqud ). Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur orang dalam
kaitannya dengan kekayaan dan pemeliharaan hak-haknya.

Ketiga, Al-Ahkam al-Jinaiyyah (Hukum Pidana), yaitu hukum yang bertalian dengan
tindak kejahatan dan sanksi-sanksinya. Adanya hukum ini untuk memelihara ketentraman hidup
manusia dan harta kekayaannya, kehormatannnya dan hak-haknya, serta membatasi hubungan
antara pelaku tindak kejahatan dengan korban dan masyarakat.

Keempat, al-Ahkam al-Murafa’at (Hukum Acara), yaitu hukum yang berhubungan dengan
peradilan (al-qada), persaksian (al-syahadah) dan sumpah (al- yamin), hukum ini dimaksudkan
untuk mengatur proses peradilan guna meralisasikan keadilan antar manusia.

Kelima, Al-Ahkam al-Dusturiyyah (Hukum Perundang-undangan), yaitu hukum yang


berhubungan dengan perundang-undangan untuk membatasi hubungan hakim dengan terhukum
serta menetapkan hak-hak perorangan dan kelompok.

Kenam, al-Ahkam al-Duwaliyyah (Hukum Kenegaraan), yaitu hukum yang berkaitan


dengan hubungan kelompok masyarakat di dalam negara dan antar negara. Maksud hukum ini
adalah membatasi hubungan antar negara dalam masa damai, dan masa perang, serta membatasi
hubungan antar umat Islam dengan yang lain di dalam negara.

Ketujuh, al-Ahkam al-Iqtishadiyyah wa al-Maliyyah (Hukum Ekonomi dan Keuangan),


yaitu hukum yang berhubungan dengan hak fakir miskin di dalam harta orang kaya, mengatur
sumber-sumber pendapatan dan masalah pembelanjaan negara. Dimaksudkan untuk mengatur
hubungan ekonomi antar orang kaya (agniya), dengan orang fakir miskin dan antara hak-hak
keuangan negara dengan perseorangan.

Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang objek
kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja berbeda antara ahli hukum yang
satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum Islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara
hukum publik dan hukum privat. Hampir semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan
masalah umum (publik) dan juga terkait dengan masalah individu (privat).2

C. Pembagian Fiqih Muamalah

Pembagian fiqih muamalah dibagi menjadi lima bagian:

a. Muwadhah Madiyah (hukum kebendaan): muamalah yang mengkaji segi objeknya, yaitu
benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah bersifat kebendaan, yakni benda
yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang
menimbulkan kemadaratan dan mendatngkan

kemaslahatan bagi manusia, dan lain-lain.

b. Munakahat (hukum perkawinan): ini Adalah salah satu bagian dari fiqih muamalah yang
mana hubungan seseorang dengan lawan jenisnya dalam satu ikatan yang sah untuk menjalin
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

c. Amanat dan ‘Ariyah (pinjaman): berasal dari kata “’ara” yang berarti datang dan pergi
atau berasal dari kata “attanawulu-wittanawubu”

d. Tirkah (harta peninggalan): ini sama halnya dengan fiqih mawaris. Bahwasanya adalah
pembahasan ini membahas tentang harta yang ditinggalkan mayat kepada si ahli waris yang mana
harta yang harus dibagikan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

2
Tabloid Gema Baiturrahman. 06 Juni 2014 Nomor 1067 Tahun XXI
Objek pembahasan fiqih muamalah adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya. Contohnya seperti hak penjual untuk menerima uang
pembayaran atas barang yang dijualnya, dan hak pembeli untuk menerima barang atas apa yang
dibelinya, hak orang yang menyewakan tadi untuk menerima barang yang disewakannya kepada
orang lain, dan hak penyewa untuk menerima manfaat atas tanah atau rumah yang disewanya. 3

D. Pinsip Dasar Fiqih Muamalah

1. Hukum asal dalam Muamalah adalah mubah (diperbolehkan)

Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan
(mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan
bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/tidak ditemukan nash yang secara sharih
melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan
sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah
tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat darinya. Kaidah yang dasar dan paling utama yang
menjadi landasan kegiatan muamalah adalah ka’idah :

ٚ ‫ و‬ٞ‫له كى‬ٝ ‫ؽز‬ٚ ‫ف اىَؼبٍالد اإلثبؽخ‬


‫ػي فالف‬ ٜ ‫األطو‬.
“Hukum dasar Muamalah adalah diperbolehkan, smapai ada dalil yang melaarangnya”

Landasan prinsip tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Firman Allah SWT al-Maidah ayat 1

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”

b. Firman Allah SWT al-Isra ayat 34

“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”

c. Firman Allah SWT al-An‟am ayat 145

3
Rahcmat syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 16
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor”

2. Sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa‟: 29)

3. Mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.

“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat
kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

4. Memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)

5. Saddu Al-Dzari‟ah

Saddu Al-Dzari‟ah adalah menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan.
Dzari‟ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang
haram. Maka jalan/cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram, jalan/cara
yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta jalan/cara yang menyampaikan
kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya pun wajib.
6. Larangan Ihtikar

Ihtikar atau monopoli artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat
berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang
masyarakat dirugikan Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi
menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen.

7. Larangan gharar

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara
batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya. Surat Al-Baqarah / 2 : 188

ِ َّ‫اط ِل َوت ُ ۡدلُ ۡوا ِب َها ٓۡ اِلَى ۡال ُحـ َّک ِام ِلت َ ۡا ُکلُ ۡوا فَ ِر ۡيقًا ِم ۡن ا َ ۡم َوا ِل الن‬
‫اس‬ ِ ‫َو َۡل ت َ ۡا ُكلُ ۡ ٓۡوا ا َ ۡم َوالَـ ُك ۡم بَ ۡينَ ُك ۡم ِب ۡال َب‬
َ‫اۡل ۡث ِم َوا َ ۡنـت ُ ۡم ت َعۡ لَ ُم ۡون‬
ِ ۡ ِ‫ب‬
Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat
memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

8. Larangan Maisir

Maisir (Judi) dalam terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan
oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan
merugikan pihak lain.

9. Larangan Riba

Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung tidak
diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan kedua barang yang
menjadi objek akad atau salah satunya. Islam melarang perbuatan riba.4

4
H. Syaikhu, Ariyadi, Norwili. Prof. Dr. H. M. Fahmi al Amruzi., M.Hum. Fikih Muamalah: Memahami Konsep dan
Dialektika. Yogyakarta 2020
BAB III

(PENUTUP)

A. Kesimpulan:

Fiqh muamalah merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata fiqh dan muamalah. Secara
etimologi fiqh berarti paham, mengetahui dan melaksanakan. Adapun kata muamalah berasal dari
bahasa Arab (‫ عامل‬-‫( معاملة – يعامل‬yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah
(saling berbuat). Secara terminologi fiqh muamalah adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hal yang berkaitan dengan hartanya, seperti jual beli,
sewa menyewa, gadai dan lain-lain. Objek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang sangat
luas, sehingga Al-Qur’an dan Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan
muamalah secara global. Muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan sosial, atau
hablum minannas. Dalam syariat Islam hubungan manusia tidak dirinci manusia mengenai
bentuknya. Islam hanya membatasi bagian-bagian yang penting dan mendasar berupa larangan
Allah dalam Al-Quran atau larangan Rasul-Nya yang didapat dalam As-Sunnah.
Daftar Pustaka
DR. SRI SUDIARTI, MA. Fiqh Muamalah Kontemporer. Diterbitkan Oleh: FEBI UIN-
SU Press

S.Sudiarti . 2018. Fiqh Munakahat Kontemporer. Hal 23

Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung : CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai