Makalah Ini disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah :
Fiqih Muamalah
DI SUSUN OLEH :
ELSAHARA
(12220522880)
Dosen Pengampu:
Dr. H. Mawardi Muhammad Shaleh, M.A.
2022
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan .......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................3
A. Kesimpulan..............................................................................................37
B Saran.........................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................38
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia memang tidak akan pernah lepas dari peran serta manusia
yang lain, oleh sebab itu manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup
tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisasi dalam upaya untuk
memenuhi kebutuhan kehidupannya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan
ekonomi. Segala bentuk interaksi sosial guna memenuhi kebutuhan hidup manusia
memerlukan ketentuanketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
Selain dipandang dari sudut ekonomi sebagai umat muslim, kita juga perlu
memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang Islam. Ketentuanketentuan yang
harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada sumber-
sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan AlHadits.
Sebagai makhluk sosial manusia memiliki kewajiban untuk menjaga
kerukunan bersama agar tidak terjadi kerusakan pada sistem sosial yang telah
terbangun di masyarakat. Dalam Islam hubungan manusia satu dengan manusia yang
lain disebut sebagai kegiatan muamalah, konsep Islam sendiri mengenai muamalah
amatlah baik. Karena menguntungkan semua pihak yang ada di dalamnya. Namun
jika moral manusia tidak baik maka pasti ada pihak yang dirugikan. Perilaku yang
baik secara menyeluruh harus menjadi rambu-rambu kita dalam ber-muamalah dan
harus dipatuhi sepenuhnya.
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha
mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika.
Kegiatan bermuamalah itu sendiri sejatinya merupakan kegiatan yang
disyariatkan oleh Allah SWT demi memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, serta guna menumbuhkan rasa saling membantu dan tolong menolong
untuk meringankan beban sesama dalam hal kebaikan. Berkenaan dengan
permasalahan yang telah di jabarkan di atas, maka pada makalah ini akan mengulas
terkait Fiqih Muamalah.
1
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan Makalah ini adalah :
1. Jelaskan sejarah perkembangan hukum fiqih?
2. Jelaskan konsep dasar muamalah?
3. Jelaskan pengertian fiqih muamalah?
4. Bagaimana pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah?
5. Bagaimana prinsip dasar dan asas hukum fiqih muamalah?
6. Bagaimana karakteristik fiqih muamalah dalam Islam?
7. Bagaimana sistematika fiqih muamalah?
8. Bagaimana objek hukum fiqih muamalah?
9. Bagaimana hubungan fiqih muamalah dengan fiqih lainnya/ perdata/ romawi?
10. Bagaimana tinjauan islam terhadap fiqih muamalah?
C. TUJUAN
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum fiqih
2. Untuk mengetahui konsep dasar muamalah
3. Untuk mengetahui pengertian fiqih muamalah
4. Untuk mengetahui bagaimana pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah
5. Untuk mengetahui bagaimana prinsip dasar dan asas hukum fiqih muamalah
6. Untuk mengetahui bagaimana karakteristik fiqih muamalah dalam Islam
7. Untuk mengetahui bagaimana sistematika fiqih muamalah
8. Untuk mengetahui bagaimana objek hukum fiqih muamalah
9. Untuk mengetahui bagaimana hubungan fiqih muamalah dengan fiqih lainnya/
perdata/ romawi
10. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan islam terhadap fiqih muamalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Periode ketiga, yaitu periode tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para imam mujtahid (abad
kedua dan ketiga Hijriyah). Pada periode ini bukan hanya periodisasi yang
menjadi faktor perkembangan hukum fiqih semakin kompleks, tetapi juga karena
semakin luasnya kekuasaan Islam dan banyaknya pemeluk Islam dari penjuru
dunia dengan pluralitas sosio kultur dan geografis. Tentu, masalah yang dihadapi
umat Muslim, terutama para imam mujtahid, lebih serius. Pada akhirnya, semua
itu mendorong para imam mujtahid untuk memperluas medan ijtihad dan
menetapkan hukum syara’ atas semua peristiwa yurisprudensi Islam serta
membuka bahasan dan pandangan baru bagi mereka. Ketetapan hukum pada
periode sebelumnya tetap menjadi acuan periode ini. Pada periode ketiga ini,
hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum Allah dan rasul-Nya, fatwa dan putusan
para sahabat, fatwa imam mujtahid dan hasil ijtihad mereka, yang bersumber dari
al-Qur’an, hadits, ijtihad para sahabat, dan ijtihad para imam mujtahid.2
Barulah pada periode ini terjadi kodifikasi hukum Islam yang dipelopori
oleh Imam Malik bin Anas (w. 795 M) dalam kitabnya yang berjudul Al-
Muwattha atas permintaan Khalifah al-Manshur (w. 775 M) (khalifah kedua Bani
Abbasiyah). Kitab ini berisi hadits-hadits dan fatwa para sahabat, tabi’in, serta
tabi’ tabi’in yang valid (sahih) menurut Imam Malik. Kitab ini dijadikan landasan
hukum fiqih oleh penduduk Hijaz. Berikutnya, Abu Yusuf (w. 798 M), pengikut
mazhab Imam Abu Hanifah (w. 797 M), menyusun beberapa kitab fiqih yang
kemudian menjadi rujukan negeri Irak. Disusul oleh Imam Muhammad bin al-
Hasan as-Syaibani (w. 189 H), yang juga pengikut mazhab Imam Abu Hanifah,
menyusun kitab Zahir ar-Riwayah as-Sittah yang kemudian dikomentari oleh
Imam Syamsul A’immah al-Sarkhusy (w. 490 H) dengan kitabnya Al-Mabsuth,
yang menjadi rujukan fiqih mazhab Hanafi. Setelah itu disusul oleh Muhammad
bin Idris as-Syafi’ (w. 820 M) atau yang dikenal dengan Imam Syafi’ menulis
kitab fiqih yang diberi judul Al-Umm di Mseir. Kitab ini menjadi pijakan dalam
fikih mazhab Syafi’i.3
Sebagai data pendukung dari penjelasan di atas jika kita telusuri sejarah
kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua
periode kenabian yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama
2
Ali Fikri, Mu‟a>malah Al-Ma>ddi>yah wa Al-`Adabi>yah, Jilid 1 (Kairo: Muthafa Al-Bab Al-
Halabi, 1998), Cet. 1, hlm. 7
3
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih-imQ0s
4
risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode
kedua risalah kenabian lebih benyak berisi hukum-hukum. Pada periode kenabian
hukum-hukum itu berupa hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum-
hukum yang berasal dari nabi yang merupakan fatwa terhadap suatu peristiwa,
putusan terhadap perselisihan atau jawaban terhadap pertanyaan. Dalam mengambil
putusan amaliyah para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka
dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang
belum mereka katahui. Demikian juga untuk memahami kedua sumber hukum
syari’ah ini para sahabat tidak membutuhkan metodologi khusus, karena mereka
mendengarkannya secara langsung dari Nabi.4
Ilmu fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya
dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal
berkembang agama islam. Secara estensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW,
walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena Semua persoalan
keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka
seketika itu solusi permasalahan bisa tertanggulangi, dengan bersumber pada Al
Qur’an sebagai al wahyu al matlu dan sunnah sebagai alwahyu ghoiru matlu. Baru
sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya
permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui
jalan istimbat.
Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa
khulafa’urrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama’ sholihin
hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu fiqih, bisa kita
kualifikasikan secara periodik sesuai dengan kesepakatan para ulama. Tasyri’ islam,
telah melalui beberapa periode. Para Ulama yang memperhatikan sejarah tasyri’
hukum islam berbeda pendapat tentang membagi periode-periode yang telah dilalui
oleh hukum islam itu, demikian juga jangka lamanya.Yaitu ada enam fase-fase Tarikh
Tasyrik:5
1. Fase pertama
4
Muhammad Ustman Syabir, Al-Madkhal Ila Fiqh Al-Mu‟a>malat Al-Ma>li>yah (Oman, Darul
Nafa`is, 2010), Cet. 2, hlm. 10
5
Ahmad Mukhtar Abdul Hamid Umar, Mu‟jam Al-Lugah Al‟Arabi>yah Al-Mu’a>s{irah, Jilid 2,
(Kairo: ‘A>lam Al-Kutub, 2008), hlm. 1554.
5
Fase tasyri’, yaitu masa Rasulullah, yang lamanya 22 tahun dan beberapa
bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah s/d tahun 11 Hijrah, atau tahun 611
M s/d 632 M.
Masa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam ini juga disebut sebagai
periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada
periode ini, permasalahan fikih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad
shalallahu alaihi wa sallam. Sumber hukum Islam saat itu adalah wahyu dari Allah
SWT serta perkataan dan perilaku Nabi SAW. Periode Risalah ini dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah
lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali
disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan
dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan
puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika
muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara
sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah.
Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan
kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
2. Fase kedua
Fase perkembangan fiqh periode para Khulafaur Rasyidin dan Amawiyin,
yang berlangsung dari tahun 11 H (= 632 M) s/d 40 H (= 720 M).
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa
berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih
pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat
Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah
tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan
yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang
masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi
yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah
masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di Al-
Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua .
Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini
melakukan ijtihad.
6
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria
dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.
3. Fase ketiga
Fase perkembangan fiqh periode kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam
Mujtahidin, yaitu masa keemasan Daulah ‘Abbasiyah. Periode ini berlangsung +-
250 tahun, sejak tahun 101 H (=720 M) s/d 350 H (= 961 M). Atau sampai
permulaan abad 2.
Masa Awal Pertumbuhan Fikih, Masa ini berlangsung sejak berkuasanya
Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam
menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an,
Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang
menghasilkan ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya
para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
4. Fase keempat
Fase perkembangan fiqh periode kemunduran dan periode taqlid atau periode
jumud, beku, statis, dan berhenti pada batas-batas yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama dahulu dengan tak mau beranjak lagi, yaitu sejak pertengahan abad
keempat Hijrah atau tahun 351 H, yang sampai sekarangpun masih banyak
terdapat luas perkembangannya dalam masyarakat.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu
Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih,
karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap
faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-
hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
5. Fase kelima
Periode kebangkitan atau periode Renaissance. Pada masa ini, para faqih
seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala
itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz
tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang
dimana mementingkan kemaslahatan umat dibandingkan dengan keterikatan akan
makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud
untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.
7
Di Indonesia, Fikih, diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan non
formal seperti Pondok Pesantren dan di lembaga pendidikan formal seperti di
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.6
8
1. Konsep Dasar Fiqih
8
Wahbah Al-Zuhaili, Al-fiqhul Islam wa Adillatuhu, (cetakan ke-9) (Damaskus, Dar Al-
Fikr),2016, hlm.29
9
Ibid.,hlm. 30.
10
H. Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institution, Oriental Books Reprint Corporation, (New Delhi,
1979), hlm. 82. Batasan fiqih itu menurutnya, karena Islam adalah agama formal sehingga fiqih mencakup
semua kewajiban; Al-Qur’an membebankan pada kemampuan oran gberiman dan pada manusia sebagai
masyarakat dibawah sistem teokrasi. (Sejarah Hukum Islam)
9
dalil-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.11
e. Al-Jurjani membatasi definisi fiqih sebagai berikut,
11
Al-Majlis Al-A’la Al-Indunisi, Ilm Ushul Al-Fiqh, Jakarta, , 1972, hlm. 11 (Sejarah Hukum Islam)
12
Al-Jurjani, Kitabu At-Ta’rifat, (Beirut, Dar Al-Kitab Al-Ilmiah, 1998), hlm. 34
13
Lihat Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam (Sebuah Pengantar), (Surabaya, Risalah Gusti, 2018),
hlm. 4
14
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra, 1997,
hlm. 4
10
tuntutan ruang yang berbeda, yaitu perpindahan beliau dari Baghdad ke Mesir.
Dalam konteks Islam Indonesia, hal ini akan tampak pada kajian tentang
Hukum Islam Indonesia yang merupakan penjabaran fiqih dalam konteks
Indonesia.
Kedua, fiqih dilihat dilihat dari sudut pandang bahwa ia adalah sebuah
objek kajian pengetahuan, yakni hukum fiqih itu sendiri, pengertian ini
memandang bahwa fiqih adalah suatu rangkaian atau himpunan hukum syariat
yang memiliki dasar atau dalil yang terperinci, pengertian ini adalah
sebagaimana yang dipahami dalam istilah para ulama’ ahli fiqih (fuqaha’).
مجموعة األحكام المشروعية في اإلسالم
15
Ibiid.,hlm. 5
16
Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam., hlm. 28
11
Rasulullah, hal tersbut diperoleh dengan cara ijtihad, untuk melaksanakan ijtihad
dapat menggunakan metode:
a. Analogi (qiyas) yaitu dengan cara mencari perbandingannya atau
pengibaratannya.
b. Maslahah mursalah yaitu bertumpu pada pertimbangan menarik manfaat
menghindari mudharat.
c. Ihtihsan yaitu meninggalkan dalil-dalil khusus dan menggunakan dalil
umum yang dipandang lebih kuat.
d. Ihtihsab yaitu dengan cara melestarikan berlakunya ketentuan asal yang
ada terkecuali dalil yang menentukan lain
e. Mengukuhkan berlakunya adat kebiasaan yang tidak berlawanan dengan
ketentuan syariat.
3. Konsep Dasar Fiqih Muamalah
Fiqih Mumalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang
berdasarkan hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam
kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil islam secara rinci. Ruang lingkup
fiqih muamalah adalh seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-
hukum islam yang berupaperaturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan
seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. hukum-hukum fiqih terdiri dari
hokum hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan
hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya.
12
Pengertian dan definisi fiqih sendiri pada awalnya mencakup seluruh dimensi
hukum syari’at Islam, baik yang berkenaan dengan, masalah aqidah, akhlaq,
ibadah, maupun yang berkenaan dengan masalah muamalah. Sebagaimana yang
ditunjukkan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 122.
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah :122).17
3. Muamalah Secara Bahasa
Muamalah berasal dari kata ’amila ( ل – عاملllة – يعامll )معاملyang berarti
berbuat atau bertindak. Muamalah adalah hubungan kepentingan antar sesama
manusia ( Hablun minannas ). Dimaknai suatu aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang dengan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga
dalam muamalah butuh sebuah aturan yang disebut dengan fikih muamalah.18
Secara etimologi al-mu’amalah yaitu bertindak atau beramal.
Lafadz yang kedua ()المعاملة, arti lughawi dari kata ini adalah kepentingan,
sedangkan lafadz المعامالت memiliki arti hukum syari’ yang mengatur hubungan
kepentingan individu dengan yang lainnya.19
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata 'AMALA- YU'AMILI -
MU'AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling
beramal. Secara istilah fiqih muamalah adalah ilmu yang bersumber dari Al-
Quran dan Al-Sunnah yang mengatur hubungan interaksi antar sesama manusia
demi terciptanya kemaslahatan bersama. Jika melihat hal tersebut, kajian dalam
interaksi sosial tentu memiliki cakupan yang luas. Sehingga wajar jika fiqih
muamalah memiliki andil besar dalam membangun peradaban Islam.
4. Muamalah Secara Istilah
Menurut istilah yang dimaksud mu’amalah adalah bagian fiqih selain ibadah
yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan interpersonal antar manusia.20
Dalam arti luas, arti muamalah adalah hukum syariah yang mengatur manusia
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Tim Perbaikan dan Penyempurnaan Al-
Qur’an, Jakarta, 2019),. hlm. 301
18
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2017), hlm. 2
19
Munawwir, Kamus Arab –Indonesia., hlm. 974.
20
Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam., hlm. 28.
13
dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Dalam arti
khusus, arti muamalah adalah aturan-aturan yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan
harta benda.
Arti muamalah sangat terkait dengan prinsip tolong menolong dalam Islam.
Arti muamalah berisi jalinan pergaulan, saling menolong dalam kebaikan dalam
upaya menjalankan ketaatannya kepada Allah SWT.
Sebagai tuntunan perbuatan dan tindakan dalam syariah Islam, penting
memahami arti muamalah. Tujuan dari muamalah adalah untuk menciptakan
hubungan yang harmonis antara sesama manusia. Arti muamalah mengandung
tujuan menciptakan masyarakat yang rukun dan tentram.
5. Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah tersusun dari dua kata (lafadz), yaitu fiqih ( )الفقهdan
Muamalah ()المعاملة. Lafadz yang pertama ( )الفقهsecara etimologi memiliki
makna pengeritan atau pemahaman,21 sedangkan dalam terminologi kata fiqih
memiliki definisi yang beragam dari kalangan ulama’. Muamalah tersebut
meliputi transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan
hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (gugatan, peradilan,
dan sebagainya) dan pembagian warisan.
Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit yaitu : “muamalah adalah aturan
Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk
mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik” (Idris
Ahmad) atau “muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Sedangkan menurut istilah muamalah dibagi menjadi dua macam yaitu:
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-
peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk
menjaga kepentingan manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang
diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
hidup dan kehidupan. Dari pengertian dalam arti luas di atas, kiranya dapat
21
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab –Indonesia Terlengkap, (Surabaya, Pustaka Progresif,
2018), hlm.1068
14
diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur
manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan social.22
Dapat dipahami, Fiqih muamalah adalah pengetahuan tentang kegiatan atau
transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat. Mengenai perilaku manusia
dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. 23 Fikih
muamalah itu sendiri merupakan aturan hukum Islam mengenai perilaku
manusia di dunia yang berkaitan dengan harta yang mengatur pola akad
atau transaksi antarmanusia, dan memiliki aturan yang mengikat serta
mengatur para pihak yang melaksanakan muamalah tertentu.24
Berikut ini adalah beberapa pengertian fiqih muamalah menurut para ahli
yaitu:
Menurut Ad-Dimyati “Aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan
keberhasilan masalah ukhrawi
Menurut Muhammad Yusuf Musa “Peraturan-peraturan Allah yang di ikuti
dan di taati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
Menurut Mahmud Syaltout “Yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai
hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan
bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama
lain”.
Sehingga fikih muamalah membahas masalah hubungan sesama manusia, baik
hubungan antar individu, hubungan individu dengan masyarakat, atau hubungan
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Bentuk fikih muamalah seperti
transaksi perdagangan, penentuan kejahatan dan sanksi, pengaturan perang dan
perjanjian, perusahaan, dan sebagainya. Fiqih muamalah dalam arti luas25 adalah
aturan-aturan (hukum) Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan
manusia dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan
duniawi dan sosial kemasyarakatan.26
22
Hadi Solikhul, Fiqh Muamalah, (Kudus, Nora Media Enterprise, 2011), hlm.2
23
TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 2020), hlm. 10
24
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.
7
25
Rachmat Syafe’I, “Fiqh Muamalah”, (Bandung: CV. Pustaka Setia), hlm. 13-14.
26
Isamail Nawawi, ”Fiqh Muamalah Klasik dan Kontenporer”, (Bogor: Galia Indonesia), hlm. 15
15
Pembagian fikih muamalah tergantung dari persepsi masing-masing fuqaha,
yaitu muamalah dalam arti luas atau dalam arti sempit atau konteks kekinian.
Seperti mana yang telah dipaparkan sebelumnya, Pembagian fiqih muamalah
menurut Ibn Abidin terbagi dalam lima bagian:27
a. Muawadhah Maliyah ( hukum kebendaan)
b. Munakahat ( hukum perkawinan)
c. Muhasanat ( hukum acara)
d. Amanat dan “aryah ( pinjaman)
e. Tirkah ( harta peninggalan)
Mencerna pembagian di atas maka muamalah menjadi satu pembahasan yang
sangat luas. Setiap interaksi antar manusia masuk ke dalam ruang lingkup
muamalah. Hal ini memungkinkan bila muamalah dikembalikan ke artinya secara
bahasa, yaitu interaksi sesama manusia. Tetapi hal ini membuat muamalah
menjadi ruangan besar yang di isi dengan perkara-perkara yang berbeda-beda
bahkan tidak berhubungan sehingga sekat atau pembatas sangat penting untuk
memperjelas setiap bagian yang ada.
Dalam era kontemporer, ulama sudah mengklasifikan muamalah sesuai
dengan rumpunnya masing-masing. Pernikahan dan segala yang berkaitan
dengannya seperti mahar, syarat sah pernikahan dan perceraian dibahas secara
khusus dalam fikih munakahat. Hal-hal yang berkaitan dengan harta warisan
difokuskan pada fikih mawaris atau tirkah. Demikian pula dengan tindak pidana,
seperti pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya dirincikan di dalam
pembahasan fikih jinayah. Pemisahan ini dianggap penting karena objek
pembahasan setiap rumpunya sangat berbeda.
Kajian dalam satu bidang tidak bersinggungan dengan bidang yang lain. Fikih
munakahat atau pernikahan hampir tidak bersinggungan dengan fikih siyasah
atau politik. Begitu juga fikih jinayah hanya mempunya korelasi yang sangat
sedikit dengan muamalah maliyah. Wajar bila muamalah maliyah atau transaksi
keuangan berdiri sendiri tanpa harus bersinggungan dengan fikih muamalah yang
lainnya.
2. Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Sesuai dengan perkembangan muamalah, maka ruang lingkup fiqh muamalah
juga terbagi dua. Ruang lingkup muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab dan
27
Ibnu Abidin, Radd Al-Muhtar, Jilid 1, hlm. 79
16
kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala
sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran
harta dalam hidup bermasyarakat.
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia
berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi
perintah atau larangan seperti wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Hukum-
hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam
kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan
manusia dengan manusia lainnya. Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup
segala aspek kehidupan manusia, seperti social, ekonomi, politik hukum dan
sebagainya.
Ruang lingkup fiqh muamalah terbagi menjadi dua. Menurut Al Fikri Dalam
kitab Al-Muamalah Al-Madiyah,wa Al-Adabiyah , Fiqih Muamalah dibagi dua
bagian :
Al Muamalah Al-Madiyah, Yaitu muamalah yang mengkaji segi obyeknya
yaitu benda. Dalam arti lain muamalah ini bersifat kebendaan. Yaitu kebendaan
yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjualbelikan.
Al Muamalah Al-Adabiyah, Yaitu muamalah ditinjau dari segi cara tukar
menukar benda, yang sumbernya dari pancaindera manusia, sedangkan unsur-
unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban sperti jujur, iri, hasud dan lainnya.28
Berdasarkan pembagian fiqih muaamalah diatas maka ruang lingkup
muamalah adalah :29
a. Ruang lingkup Al Muamalah Al-Madiyah
Jual beli ( al bai’ at tijarah), Gadai (Rahn), Jaminan dan
tanggungan (kafalah dan dhamam), Pemindahan utang ( hiwalah), Perseroan
/perkongsian ( asy syirkah), Perseoan harta dan tenaga (mudharabah), Sewa
menyewa tanah ( musaqoh mukhabaroh), Upah (ujroh al amah), Sayembara
( al ji’alah), Pemberian (al hibbah), dan lain sebagainya.30
b. Ruang lingkup Al Muamalah Al-Adabiyah
28
Syafei Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia , 2021)., hlm. 17
29
Ibid, hlm. 18
30
Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2021), hlm. 5
17
Yang termasuk dalam muamalah ini adalah ijab dan Kabul, saling
meridhoi, tidak ada paksaan, hak dan kewajiban dan segala sesuatu yang
bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
31
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 4
18
transendental didalamya, sehingga akan bernilai ibadah. selain itu, konsep dasar
Islam dalam kegiatan muamalah juga sangat konsen terhadap nilai humanisme,
diantara prinsip dasar fiqih muamalah adalah:32
a. Hukum asal dalam muamalah adalah mubah (diperbolehkan)
Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah
adalah diperbolehkan (mubah) kecuali terdapat nash yang melarangnya.
االصل في المعا ملة االباحة اال ان يدل دليل علي تحريمها
“hukum asal semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada
hal yang mengharamkannya”
b. Konsep fiqih muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
Fiqih muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan,
mereduksi permusuhan dan perselisihan diantara manusia. Allah SWT tidak
menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan
kemaslahatan hidup hambaNya, tidak bermaksud memberi beban dan
menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.
c. Menetapkan harga yang kompetitif
Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli dia
seorang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan
dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak
mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan harga biaya produksi,
untuk itu harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu
krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.
Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar) karena akan berpotensi
menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen.
Disamping itu, Islam juga tidak suka dengan praktik makelar dan
mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara
produsen dan konsumen tanpa menggunakan jasa perantara, karena upah
makelar pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen.
d. Meninggalkan intervensi yang dilarang
Islam memberikan tuntutan kepada kaum muslimin untuk mengimami
konsepsi qadla dan qodar Allah SWT, apa yang telah Allah SWT tetapkan
untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan hamba lain, dan rizki
seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu
32
Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2010), hlm. 18-19
19
disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan
dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi, untuk itu
Rasulullah SAW, melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang
dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad
ataupun jual beli yang sedang dilakukan orang lain.
Rasulullah bersabda : “seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas
jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya”.
e. Menghindari eksploitasi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang
yang membutuhkan,dimana Rasulullah bersabda :”sesama muslim adalah
saudara,tidak mendzalimi satu sama lainnya,barangsiapa mmenuhi
kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya,dan
barang siapa membantu mengurangi beban sesame saudaranya, maka Allah
akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti”.
Hadis tersebut memebrikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi
sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara
menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh
memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan kita sendiri.
f. Memberikan kelenturan dan toleransi
Toleransi merupakam karakteristik dari ajaran islam yang ingin
direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bias
dipraktekkan dalam kehdiupan politik, ekonomi atau hubungan
kemasyarakatan lain. Khusus dalam transaksi finansial, nilai bias diwujudkan
dengan mempermudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang
terkait. Karena Allah akan memeberikan rahmat bagi yang mempermudah
transaksi jual beli.
Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur
yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalnkan
sedang megalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh
tempo, disesuaikn dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan dismping
itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yag ingin membatalkan
transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ketidakbutuhannya terhadap
obyek transaksi.
g. Jujur dan amanah
20
Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun,
kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip
ini dalam kehidupan.seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan
lisptik kebohongan dalam bertransaksi.sementara orang jujur harus menahan
dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya.perlu perjuangan
keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.
Sedangkan menurut Dr. Muhammad 'Utsman Syabir dalam al-Mu'amalah al-
Maliyah al-Mu'ashirah fil Fiqhil Islamiy menyebutkan prinsip-prinsip itu, yaitu:33
a. Fiqh mu'amalat dibangun di atas dasar-dasar umum yang dikandung oleh
beberapa nash (QS. An-Nisa`: 29), (QS. Al-Baqarah: 188, 275)
b. Pada asalnya, hukum segala jenis muamalah adalah boleh. Tidak ada satu
model/jenis muamalah pun yang tidak diperbolehkan, kecuali jika didapati
adanya nash shahih yang melarangnya, atau model/jenis muamalah itu
bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. Dasarnya adalah firman Allah
dalam (QS. Yunus: 59).
c. Fiqh mu'amalah mengompromikan karakter tsabat dan murunah. Tsubut
artinya tetap, konsisten, dan tidak berubah-ubah. Maknanya, prinsip-prinsip
Islam baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah, bersifat tetap,
konsisten, dan tidak berubah-ubah sampai kapan pun. Namun demikian, dalam
tataran praktis, Islam—khususnya dalam muamalah—bersifat murunah.
Murunah artinya lentur, menerima perubahan dan adaptasi sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang tsubut.
d. Fiqh muamalah dibangun di atas prinsip menjaga kemaslahatan dan 'illah
(alasan disyariatkannya suatu hukum). Tujuan dari disyariatkannya muamalah
adalah menjaga dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Prinsip-prinsip muamalah
kembali kepada hifzhulmaal (penjagaan terhadap harta), dan itu salah satu
dharuriyatul khamsah (dharurat yang lima). Sedangkan berbagai akad—seperti
jual beli, sewa menyewa, dlsb.—disyariatkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia dan menyingkirkan kesulitan dari mereka.
Bertolak dari sini, banyak hukum muamalah yang berjalan seiring
dengan maslahat yang dikehendaki Syari' ada padanya. Maknanya, jika
maslahatnya berubah, atau maslahatnya hilang, maka hukum muamalah itu
33
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta, Raja Grafindo: 2022), hlm. 38-39
21
pun berubah. Al-'Izz bin 'Abdussalam menyatakan, "Setiap aktivitas yang
tujuan disyariatkannya tidak terwujud, aktivitas itu hukumnya batal." Dengan
bahasa yang berbeda, asy-Syathibiy sependapat dengan al-'Izz.. Asy-Syathibiy
berkata, "Memperhatikan hasil akhir dari berbagai perbuatan adalah sesuatu
yang mu'tabar (diakui) menurut syariat."34
34
H. Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institution, (New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation,
2011), hlm. 82.
35
Djuwaini Dimyauddin, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta, pustaka pelajar, 2010). hlm.9
22
yang terlibat melainkan bagi keseluruhan masyarakat, oleh karena itu ada
harta yang dalam muamalat diperlakukan sebagai milik bersama dan sama
sekali tidak dibenarkan dimiliki perorangan.
d. Asas Manfaah (tabadulul manafi’)
Asas manfaah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus
memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat, asas ini
merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun (tolong menolong/gotong
royong) atau mu’awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan
menciptakan kerjasama antar individu atau pihak –pihak dalam masyarakat
dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka
kesejahteraan bersama. Asas manfaah adalah kelanjutan dari prinsip
pemilikan dalam hukum Islam yang menyatakan bahwa segala yang dilangit
dan di bumi pada hakikatnya adalah milik Allah SWT, dengan demikian
manusia bukanlah pemilik yang berhak sepenuhnya atas harta yang ada di
bumi ini, melainkan hanya sebagai pemilik hak memanfaatkannya.
e. Asas Antarodhin
Asas antaradhin atau suka sama suka menyatakan bahwa setiap bentuk
muamalat antar individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-
masing, Kerelaan disini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk
muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau
menyerahkan harta yag dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalat
lainnya.
f. Asas Adamul Gharar
Asas adamul gharar berarti bahwa pada setiap bentuk muamalat tidak
boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu
pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan
hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi.
g. Kebebasan Membuat Akad
Kebebasan berakad/kontrak merupakan prinsip hukum yang
menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa
terikat pada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syariah
dan memasukkan klausul apa saja dalam akad yang dibuatnya itu sesuai
dengan kepentingannya sejauh tidak berakibat makan harta bersama dengan
jalan batil.
23
h. Al Musawah
Asas ini memiliki makna kesetaraan atau kesamaan, artinya bahwa
setiap pihak pelaku muamalah berkedudukan sama.
i. Ash shiddiq
Dalam Islam manusia diperintahkan untuk menjunjung kejujuran dan
kebenaran, jika dalam bermuamalah kejujuran dan kebenaran tidak
dikedepankan, maka akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian.
Perjanjan yang didalamnya terdapat unsur kebohongan menjadi batal atau
tidak sah.
Jika diatas tadi disampaikan, muamalah tidak sah jika tidak mengandung
asas-asas sebagaimana dimaksud, maka ada pula yang harus dihindari dalam
muamalah yang lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, 36 yaitu Maisir,
Gharar, Haram, Riba dan Bathil.
1) Maisir: Maisir sering dikenal dengan perjudian, dalam praktik perjudian
seseorang bisa untung dan bisa rugi.
2) Gharar: Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada
dalam kuasanya alias diluar jangkauan termasuk jual beli gharar, boleh
dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidakjelasan suatu
transaksi dilaksanakan.
3) Haram: Ketika obyek yang diperjualbelikan ini haram, maka transaksinya
menjadi tidak sah.
4) Riba: Yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah, antara lain dalam
transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan
waktu penyerahan.
5) Bathil:Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak
ada kedzaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat, semuanya harus sama-
sama rela dan adil sesuai takarannya. maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi
akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat. Kecurangan,
ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurang timbangan tidak
dibenarkan, atau hal-hal kecil seperti penggunaan barang tanpa izin.
36
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 318
24
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi
kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha
mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya,
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai
materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya
berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya,
sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan
muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara
kaidah dasar fiqh muamalah adalah sebagai berikut:37
1. Hukum asal dalam muamalat adalah mubah
2. Konsentrasi Fiqih Muamalah untuk mewujudkan kemaslahatan
3. Menetapkan harga yang kompetitif
4. Meninggalkan intervensi yang dilarang
5. Menghindari eksploitasi
6. Memberikan toleransi
7. Tabligh, siddhiq, fathonah amanah sesuai sifat Rasulullah
Abdul Wahab Khalaf merinci Fiqih muamalah ini sesuai dengan aspek dan tujuan
masing-masing. sebagai berikut:38
a. Hukum Kekeluargaan (ahwal al-syakhsiyah) yaitu hokum yang berkaitan dengan
urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami
isteri dan keluarga satu dengan lainnya. Ayat Al-Qur’an yang membahas tentang
hal ini terdapat 70 ayat.
b. Hukum Sipil (civic/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-
individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli, sewa-menyewa,
utang piutang, dan lain-lain, agar tercipta hubungan yang harmonis didalam
masyarakat. Ayat Al-Qur’an mengaturnya dalam 70 ayat.
c. Hukum Pidana (al-ahkam al-jinaiyah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk
kejahatan atau pelanggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk
memelihara kehidupan manusia, harta, kehormatan, hak serta membatasi
hubungan pelaku perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30
ayat Al-Qur’an.
37
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014),
hlm. 73
38
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 326-327
25
d. Hukum Acara (al-ahkam al-murafaat) yaitu hukum yang mengatur tata cara
mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai
dengan ketentuan hukum. Hukum ini mengatur cara beracara dilembaga peradilan,
tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Ayat Al-Qur’an yang
mengatur masalah ini ada 13 ayat.
e. Hukum Ketatanegaraan (al-ahkam al-dusturiyah) berkenaan dengan sistem hukum
yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang
dikuasai atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat yang
diatur dalam 10 ayat Al-Qur’an.
f. Hukum Internasional (al-ahkam al-duwaliyah) mengatur hubungan antar negara
Islam dengan negara lainnya dan hubungan warga muslim dengan nonmuslim,
baik dalam masa damai, atau dalam masa perang. Al-Qur’an mengaturnya dalam
25 ayat.
g. Hukum Ekonomi (al-ahkam al-iqtisadiyah wa al-maliyah). Hukum ini mengatur
hak-hak seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya, dan mengatur
sumber keuangan negara dan pendistribusiannya bagi kepentingan kesejahteraan
rakyatnya. Diatur dalam Al-Qur’an sebanyak 10 ayat.39
39
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.10
26
Pemberian wewenang yaitu tindakan yang menyebabkan kebolehan
melakukan tindakan terhadap harta atau hak yang sebelumnya dilarang, seperti
pelimpahan, perwakilan, izin berdagang bagi anak kecil dan anak dalam
pengampuan.
4. Pencabutan wewenang
Pencabutan wewenang dalam arti muamalah adalah tindakan yang
menyebabkan terputusnya wewenang yang diberikan sebelumnya, seperti
penghentian perwakilan dan pencabutan izin bagi anak kecil dalam berdagang.
5. Kerjasama
Kerjasama yaitu transaksi dan kesepakatan bekerjasama baik dari modal
maupun pekerjaan atau keduanya, seperti mudharabah, muzaraah, musaqah, dan
sebagainya.
6. Pemberian kepercayaan
Pemberian kepercayaan adalah segala yang mengandung unsur
mengembalikan atau kerugian, seperti rahn, kafalah, hiwalah, asuransi syari’ah
dan sebagainya.
Beberapa kitab fiqih dari empat madzhab masing-masing dari mereka saling
berlainan dalam mengurutkan sistematika fiqih mu’amalah. Masing-masing kitab
memiliki urutan-urutan sendiri sebagaimana dalam daftar isi (fihris) kitab tersebut.
Hanya saja mereka sepakat dalam pembahasan fiqih mereka senantiasa mendahulukan
pembahasan mengenai ibadah secara keseluruhan baru kemudian disusul dengan
pembahasan mengenai fiqih mu’amalah.
Perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut :
1. Imam Alauddin Al-Kasani
Adalah ulama’ dari golongan Hanafi, dalam kitabnya “Bada’ius
Shanai” memulai pembahasan fiqih mu’amalah dengan “Kitabul Ijarah” (bab
perburuhan atau sewa menyewa) dan diakhiri dengan “Kitabul Qardli” (hutang-
piutang atau pemberian modal). Diantara keduanya dibahas beberapa bentuk
perikatan, bahkan terdapat juga bab-bab tentang penyembelihan dan perburuhan,
nadzar dan kafarah, wakaf dan shadaqah, peradilan dan persaksian dan
sebagainya.
2. Golongan Syafi’i
27
Dengan sistematika sebagai berikut : Jual beli, hutang-piutang, pesan
memesan, gadai menggadai, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan
kebendaan yang lain, diakhiri dengan bab “barang temuan” serta sayembara.
3. Golongan Maliki
Memiliki sistematika setelah selesai pembahasan ibadah, mereka melanjutkan
dengan pembahasan mengenai jihad, perkawinan, jual beli, peradilan, persaksian,
pidana, wasiat dan warisan.
Ibnu Rusydi dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” setelah selesai dengan
pembahasan mengenai ibadah beliau kemudian melanjutkan dengan pembahasan
tentang jihad, sumpah, nadzar, kurban, penyembelihan, perburuan, aqiqoh,
makanan dan minuman. Sesudah itu baru membahas mengenai perkawinan dan
hal-hal yang berhubungan dengan itu.
4. Golongan Ahmad
Memiliki sistematika sebagai berikut : jual beli, pesan memesan, hutang
piutang, perikatan-perikatan yang berhubungan dengan kebendaan yang lain,
wasiat, warisan, kemudian memerdekakan budak dan diakhiri dengan
pembahasan “ummahatil aulad”.40
Salah satu kitab yang pernah menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata
pada masa pemerintahan Turki Utsmani adalah kitab “Majallatul Ahkamil
Adliyah” merupakan kitab fiqih muamalah dari madzhab Hanafi, ditulis dan
disusun menurut undang-undang dan diundangkan pada bulan Sya’ban tahun 1293
Hijriyah, terdiri dari 1851 pasal dan dibagi dalam 16 bab yaitu :
Kitabul Buyu’ (Bab jual beli), Kitabul Ijarat (Bab sewa menyewa perburuhan),
Kitabul Kafalah (Bab tanggung menanggung), Kitabul Hiwalah (Bab pemindahan
hutang piutang, Kitab Ar-Rohni (Bab gadai menggadai), Kitabul Amanah (Bab
penyerahan kepercayaan, titipan), Kitabul Hibah (Bab pemberian), Kitabul Ghosbi
wa Al-Itlaf (Bab penyerobotan dan pengrusakan), Kitabul Hijri wa Al-Ikroh wa
Al-Syuf’ati (Bab pengampunan, paksaan, dan hak beli paksa), Kitabu Al-Syirkah
(Bab serikat dagang), Kitabul Wakalah (Bab perwakilan, pemberian kuasa) Kitabu
Al-Sulhi wa Al-Ibra’ (Bab perdamaian dan pembebasan hak), Kitabu Al-Iqrar
(Bab pengakuan), Kitabu Al-Da’wa (Bab gugatan), Kitabu Al-Bayyinat wa Al-
Tahlif (Bab pembuktian dan sumpah), Kitabu Al-Qadla’ (Bab peradilan).41
40
Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam., hlm. 34-35.
41
Ibid., hlm. 35-36.
28
I. OBJEK HUKUM FIQIH MUAMALAH
Objek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang luas, sehingga al-
Qur‟an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan
muamalahdalam bentuk global. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap
berbagai bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka,
dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi tersebut tidak keluar dari
ketentuan Islam.42
Setiap kegiatan usaha yang dilakukan manusia pada hakekatnya adalah
kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam
Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. kegiatan usaha jasa
yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau
dilakukannya sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan
kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Bekerja sama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi
pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang diperoleh yang timbul dari
pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa
pembiayaan usaha 100% melalui akad mudharaba maupun pembiayaan usaha
bersama melalui akad musyarakat.
2. Kerjasama dalam perdagangan, di mana untuk meningkatkan perdagangan dapat
diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek.
Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak
pemberi fasilitas berhak untuk mendapatjan bagi hasil (keuntungan) yang dapat
berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.
3. Kerja sama dalam penyewaan asset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari
penggunaan asset.
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi
menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu
yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan
mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
42
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. 8
29
a. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli,
penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
b. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
c. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab)
bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang
keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat
pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah
spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas
nilainya. Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa,
bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya
obyek transaksi dapat dibedakan ke dalam:43
1) Obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang sudah jelas keberadaannya
atau segera dapat diperoleh manfaatnya.
2) Obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul
akibat suatu transaksi yang tidak tunai.
Dilihat dari objek hukumnya, fiqih terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a) Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti; toharah, shalat, puasa,
haji, zakat, nazar dan sumpah dan segala sesuatu bentuk ibadah yang
berkaitan langsung antara manusia dengan tuhannya.
b) Hukum-hukum mu’amalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia atau hubungan manusia dan lingkungan sekitarnya
baik yang bersifat kepentingan pribadi maupun kepentingan. Seperti
hukum-hukum perjanjian dagang, sewa menyewa dan lain-lain.
43
Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 132
30
“Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perhubungan manusia sesama
manusia dalam urusan kebendaan dan hak-hak kebendaan serta cara-cara
menyelesaikan persengketaan mereka”. Jadi, fiqih muamalah dapat diartikan dalam
dua pengertian:
a. Fiqih muamalah dilihat dari sisi bahwa ia adalah sebuah kesatuan hukum dan
aturan-aturan tentang hubungan antar sesama manusia dalam hal kebendaan
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
b. Fiqih muamalah dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang hukum.
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara garis besar definisi atau
pengertian fiqih muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara
berhubungan antar sesama manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan
maupun dalam bentuk perjanjian perikatan. Fiqih mu’malah adalah salah satu
pembagian lapangan pembahasan fiqih selain yang berkaitan dengan ibadah, artinya
lapangan pembahsan hukum fiqih mu’amalah adalah hubungan interpersonal antar
sesama manusia, bukan hubungan vertikal manusia dengan tuhannya (ibadah
mahdloh).
Fiqih mu’amalah dapat juga dikatakan sebagai hukum perdata Islam, hanya saja
bila dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW. burgerlijk
wetboek) yang juga berkaitan dengan hukum personal, fiqih muamalah atau dapat
dikatakan sebagai hukum perdata Islam hanya mencukupkan pembahasannya pada
hukum perikatan (verbintenissen recht), tidak membahas hukum perorangan
(personen recht) dan hukum kebendaan (zakenrecht) secara khusus.
Adapun Hukum Perdata menurut ilmu hukum sebagaimana dikutip dalam buku
Asas-asas Hukum Perdata Islam karya Abdurrahman Masduha dibagi menjadi empat
bagian yaitu :
1) Hukum tentang diri seseorang yang memuat peraturan-peraturan tentang
manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-hak tersebut dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu
2) Hukum kekeluargaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul
karena hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam
lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan
anak, perwalian dan curatele
31
3) Hukum kekayaan mengatur perihal hubungan-hubungan yang dinilaikan dengan
uang
4) Hukum warisan mengatur hal ihwal tentang benda atau kekayaan seseorang
bilamana ia meninggal.44
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) terdiri dari empat bagian yang
disebut “buku” dengan sistematika sebagai berikut :
Buku I. Perihal orang, memuat hukum tentang diri seseorang dan hukum
kekeluargaan
Buku II. Perihal benda, memuat hukum kebendaan dan hukum warisan
Buku III. Perihal Perikatan, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak fan
kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu
Buku IV. Perihal pembuktian dan lewat waktu, memuat perihal alat-alat
pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.45
Pembagian sistematika BW sebagaimana tersebut di atas sangat mirip dengan
pembagian mu’amalah (dalam arti luas) yang disampaikan Ibnu Abidin. Buku ke-III
BW terdiri atas bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-
peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya bagaimana lahir
dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Sedang bagian
khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak
dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, yaitu : jual
beli, tukar menukar, sewa menyewa, perburuhan, perseroan, hibah, dan sebagainya.
Bagian khusus inilah yang menjadi pembahasan fiqih mu’amalah secara terperinci
dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya masing-masing.46
44
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989),
hlm. 214-215
45
Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam., hlm. 37
46
Ibid., hlm. 38
32
masyarakat adalah dapat melaksanakan kegiatan ekonomi yang tidak didasarkan
pada bunga. Masyarakat berkepentingan akan munculnya lembaga yang dapat
melayani transaksi kegiatan yang tidak berbasis bunga.
Terwujudnya Undang-undang yang mengatur perbankan syariah melewati
jalan panjang yang tidak mudah. Di era tahun 1970-an, masyarakat muslim
Indonesia diliputi pengharapan untuk dapat melakukan transaksi yang berbasis
syariah. Hal ini tidak lepas dari pengaruh munculnya Mit Ghamr Bank yang ada di
Mesir pada dekade 1960-an dan Islamic Development Bank pada 20 Oktober 1975.
Pada 1990, MUI mengadakan lokakarya pendirian bank syariah. Pada tahun 1992
dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
mengatur bunga dan bagi hasil (dual banking system).47
Ketentuan bagi hasil sebagai salah satu landasan prinsip transaksi syariah yang
terdapat dalam Undang-undang tersebut menjadi dasar hukum beroperasinya bank
syariah di Indonesia. Keberhasilan perbankan syariah dalam menghadapi krisis
moneter, Pemerintah mengokohkan kehadirannya dengan memberikan landasan
hukum yang lebih kuar melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pada
tahun 1999 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang salah satu
pasalnya mengatur kebijakan moneter yang didasarkan prinsip syariah. Undang-
Undang yang paling penting dalam perjalanan perbankan syariah adalah Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam UndangUndang
ini, prinsip kerja perbankan syariah diatur dan kemudian dilindungi oleh Negara.
33
itu. Pada masa itu, segala kegiatan ekonomi seperti jual beli, sewa-menyewa,
pengadaian, penanaman modal dan lain sebagainya berjalan sesuai keinginan
mereka dan berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Oleh karena itu, istilah-istilah
kegiatan dan praktek keuangan seperti bai‟, syirkah, mudharabah, qard dan
istilah lainya telah dikenal luas pada masa itu. Terkait praktik ekonomi masa itu,
Islam datang dengan fungsi untuk memperbaiki, membersihkan dan menolong
praktik ekonomi. Beberapa praktik yang dianggap merugikan satu pihak,
bersifat tidak jelas, adanya unsur paksaan, bersifat berbahaya dan lain
sebagainya dibersihkan oleh syariat Islam. Maka ketika ada alur sebuah praktik
sesuai dengan maslahat tetap dipertahankan dan ketika ada unsur yang
membahayakan dan menyalahi kebaikan maka dihindari bahkan diharamkan.48
2. Islam mengatur muamalah dengan kaidah-kaidah umum. Syariat Islam datang
dengan aturan-aturan umum yang mengatur muamalah dan jarang yang
dijelaskan secara detail dan rinci. Beberapa di antara kaidah itu adalah:49
a. Ridha dan kerelaan diri
Ridha dalam muamalah menjadi salah satu unsur yang penting. Hal ini
sesuai dengan firman Allah ta‟ala: Yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. [Q.S. An-Nisa: 29] Firman Allah ta‟ala: Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui. [Al-Baqarah: 188]
Ibnu Arabi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan
salah satu ayat yang mencakup aturan-aturan muamalah dan akad
mu‟awadhah dibangun di atas ayat ini.50
Ayat ini menjadi landasan dilarangnya akad yang mengandung tipu
muslihat, perjudian, dan hal-hal yang mengandung pengambilan hak orang
48
Muhammad Ustman Syabir, Al-Mu‟a>malah Al-Ma>li>yah Al-Mu’a>s}irah, (Oman. Darul
Nafa`is, 2007), Cet. 6. hlm. 17-19
49
Abu Bakar Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, Jilid 6 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), Cet 3, hlm
166.
50
Ibnu Arabi Al-Maliki, Ahkam Al-Qur‟an, Jilid 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003), Cet 3,
hlm 137
34
lain secara batil. Rasulullah berfirman, “Tidaklah halal harta seorang
muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” [H.R. Imam Baihaqi]
b. Muamalah dibangun atas dasar sebab dan kemaslahatan
Pada dasarnya, sebahagian besar ibadah dalam Islam adalah ghair
ma‟qulah ma‟na atau sesuatu yang tidak dapat dilogikakan sebab
pensyariatannya. Kenapa shalat harus lima kali sehari semalam, puasa
wajib dilaksanakan di bulan Ramadhan dan bukan Muharram atau kenapa
gerakan shalat harus seperti yang kita ketahui saat ini termasuk dalam
ruang lingkup ibadah mahdah atau ibadah yang pensyariatannya murni
karena adanya perintah dari Allah dan bukan karena sebab atau alasan
yang berasal dari akal manusia.
Imam Syathibi dalam Al-Muwafaqat berkata51 “Hukum Asal dalam
ibadah bagi mukallaf adalah penyembahan (kepatuhan) tanpa melihat
kepada makna (sebab) dan hukum asal adat (kebiasaan) dengan melihat
kepada makna (sebab).”
Kaidah ini mengambarkan bahwa dalam bermuamalah, kemaslahatan
harus diperhatikan. Suatu akad diharamkan berlandaskan nash-nash yang
ada tetapi karena adanya kemaslahatan maka suatu akad dapat
diperbolehkan dengan tetap memperhatikan dalil-dalil yang ada. Jual beli
dirham dengan dirham tidak tunai atau dengan tempo diharamkan
berdasarkan hadis Rasulullah Saw.
Hal berbeda kita dapati ketika akadnya berubah menjadi akad qardh
(pinjaman) dirham dengan dirham. Pembolehan ini didasarkan pada
kemaslahatan yang ada pada qardh bagi yang meminjam dirham tersebut.
Selain itu, asas dalam jual beli adalah mendapatkan keuntungan berbeda
dengan qardh yang asasnya adalah sosial sehingga dilarang pengambilan
manfaat dari pinjaman.
c. Praktik Muamalah pada umumnya bersandar pada kebiasaan masyarakat
Praktik muamalah yang berlaku pada masyarakat pada umumnya
adalah sesuatu yang disepakati oleh masyarakat pada umumnya baik
secara lisan maupun non lisan. Pelabelan transaksi, nilai kebendaan,
penetapan harta, cara pembelian, pelayanan dan lain sebagainya tidak di
atur secara detail oleh syariat.
51
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 2 (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), Cet. 1, Hlm. 513.
35
Syariat hanya memberikan aturan-aturan umum yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya kecurangan, perselisihan, penipuan dan hal-hal
negatif lainnya. Sedangkan hal-hal teknis diserahkan kepada kebiasaan dan
kesepakatan masyarakat.
d. Muamalah menyatukan antara syariat dan hukum manusia
Salah satu kelebihan muamalah adalah sifatnya yang affordable
(penerimaan) terhadap syariah dan hukum buatan manusia. Hal ini
didasarkan pada hukum asal muamalah yaitu kebolehan. Syariah tidak
merincikan tata cara suatu akad serta alurnya. Alur suatu akad kembali
kepada kemaslahatan yang ada.
Di sinilah hukum atau pemerintah mempunyai legalitas yang
dibenarkan syariah untuk membuat aturan yang bertujuan untuk
kemaslahatan semua pihak yang bertransaksi. Peraturan pemerintah dalam
syariah yang tidak bertentangan dengan syariat harus dipatuhi oleh
masyarakat. Tidak mematuhi pemimpin yang adil termasuk perbuatan
yang dilarang oleh syariat.52
52
Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 2 (Kairo: Dar Ibn Affan, 1997), Cet. 1, hlm. 513.
36
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Islam adalah agama Rahmatal lil alamiin yang mengatur hubungan antara
Sang Khaliq dengan makhluk dalam bentuk ibadah, Islam pun datang dengan
mengatur hubungan antar sesama makhluk, seperti jual beli, nikah, warisan, dan
lainnya agar manusia hidup bersaudara di dalam rasa damai, adil dan kasih sayang.
Manusia sebagai makhluk individu yang memiliki berbagai keperluan hidup, telah
disedaikan oleh Allah SWT beragam benda yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut tidak mungkin
diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan, dengan kata lain dia harus
bekerja sama dengan orang lain, manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk
sosial yang tidak lepas dari kehidupan bermasyarakat, membutuhkan antara satu
dengan yang lain, sehingga terjadi interaksi dan kontak sesama manusia lainnya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dan manusia berusaha mencari karunia
Allah SWT yang ada di muka bumi ini sebagai sumber ekonomi, interaksi manusia
dengan segala tujuannya tersebut diatur dalam Islam dalam bentuk ilmu yang disebut
fiqih muamalah, berbeda dengan fiqih lain seperti fiqih ibadah, fiqih muamalah lebih
bersifat fleksibel.
Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang
ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah rasul. Bahwa hukum Islam memberi
kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalat baru sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hidup masyarakat. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela,
tanpa mengandung unsur paksaan. Agar kebebasan kehendak pihak-pihak
bersangkutan selalu diperhatikan. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan meghindari mudharat dalam hidup masyarakat.
B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini apabila ada keterangan yang kurang bisa
dipahami, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan penulis sangat
berterimakasih apabila ada saran/kritik yang bersifat membangun sebagai
penyempurna makalah ini
37
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman, dkk, Fiqh Muamalat, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2010)
Abu Azam Al Hadi, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press,
2014)
Abu Bakar Baihaqi, Al-Sunan Al-Kubra, Jilid 6 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003),
Cet 3.
Al-Majlis Al-A’la Al-Indunisi, Ilm Ushul Al-Fiqh, Jakarta, , 1972.(Sejarah Hukum Islam)
H. Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institution, (New Delhi: Oriental Books Reprint
Corporation, 2011).
Hendi Suhendi, “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2021).
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-fiqih-imQ0s
Ibnu Arabi Al-Maliki, Ahkam Al-Qur‟an, Jilid 1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003),
Cet 3.
Isamail Nawawi, ”Fiqh Muamalah Klasik dan Kontenporer”, (Bogor: Galia Indonesia)
38
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka,
1989)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997).
Saiful Jazil, Fiqih Mu’amalah (Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014).
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang, PT Pustaka Rizki Putra,
1997.
TM. Hasbi Ash-Shiddiqy, Pengantar Fiqih Mu’amalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 2020)
Wahbah Al-Zuhaili, Al-fiqhul Islam wa Adillatuhu, (cetakan ke-9) (Damaskus, Dar Al-
Fikr),2016
Zainal Asikin, Dasar- Dasar Hukum Perburuan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997),
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam (Sebuah Pengantar), (Surabaya, Risalah Gusti, 2018)
39