Anda di halaman 1dari 18

Tugas Kelompok Dosen Pengampu

Mata Kuliah Fiqih

MAKALAH

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

Disusun oleh :

KELOMPOK 6

ANGGI PRANATA : 11782100020


M. JOHAN JAYANTO :11780213706
PUTRA SYAKBAN AKAS :11780213708

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2019

i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt tuhan sekalian alam, yang telah memberikan
nikmat,hidayah,serta inayahnya sehingga detik ini kita masih dapat melaksanakan
rutinitas dan kewajiban kita sebagai seorang hamba,dan dengan nikmat itu jualah
alhamdulillah kami dari kelompok lima dapat menuntaskan tugas makalah usul
fiqh tepat pada waktunya.
Kedua kalinya sholawat beriring salam tak lupa kita haturkan keharibaan
junjungan alam nabi besar muhammad saw, beliaulah sosok Revolusioner sejati
yang telah merubah peradaban manusia dari pradaban kejahiliahan menuju
pradaban keislaman yang luar biasa.
Kemudian tentunya semua hal yang berkaitan dengan makalah ini dari mulai
penulisan kami ucapkan termi kasih banyak atas semua pihak yg telah
terlibat,wabil khusus ibu Dosen pengampu mata kuliah fiqh dan usul fiqh yang
telah memberikan masukan utuk penyempurnaan makalah ini,dan tentunya tak
ada gading yang tak retak,tak ada mawar yang tak berduri kami menyadari
dalam makalah ini banyak kekurangan baik dari segi sistematika penulisan
maupun penjelasan materi,dari itu kami mengharapkan tegur sapa serta saran dan
kritikan yang membangun dari pembaca,dan harapan kami semoga makalah ini
dapat menjadi refleksi pembelajaran kita dalam memahami dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pekanbaru,20 Oktober 2019

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah...........................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................1
2.1 Pengertian Hukum Syara’...............................................................................1
2.2 Pembagian Hukum Syara’..............................................................................4

BAB III PENUTUP..................................................................................................13


3.1 Kesimpulan....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23

ii
iii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring berkembang dan pesatnya perubahan zaman dalam dinamika
sosial kehidupan masyarakat umat muslim banyak muncul problematika-
problematika keagamaan yang berkaitan erat dengan hukum syara’,yang dimana
dulu pada zaman rasulullah Saw dan para sahabat tidak pernah dirincikan secara
detail permasalahan tersebut.Tentunya segala amal perbuatan manusia dan tutur
katanya tidak akan lepas dari ketentuan hukum syariat,baik hukum syariat yang
tercantum didalam al-Qur’an dan al-hadis secara langsung maupun hukum syariat
yang yang tidak tercantum pada keduanya,namun terdapat pada sumber hukum
yang lain seperti ijma’ dan qiyas.
Islam, dengan tauhid sebagai elemen dasar, adalah inti ajaran yang
diwahyukan Allah kepada seluruh nabi-Nya. Untuk menjelaskannya,
diturunkanlah pedoman pelaksanaannya, buat Nabi Muhammad SAW dan
umatnya diturunkanlah al-Qur’an.Sebagai sebuah kitab suci yang jadi pedoman
dalam segala hal dan untuk segala zaman, al-Qur’an tidak mengajari dan
menjelaskan segala persoalan secara rinci dan mendetail. Ia hanya memberikan
pedoman atau petunjuk umum. Selanjutnya tugas manusialah untuk
memahaminya agar bisa dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan mengatasi
segala persoalan yang mereka hadapi.
Selama Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan yang
berkaitan dengan kehidupan yang secara rinci tidak diatur dalam al-Qur’an, dapat
langsung ditanyakan kepada beliau. Dengan kata lain, beliaulah yang memegang
wewenang utama dalam memahami dan menjabarkan al-Qur’an. Selama ada
penjelasan (sunnah) beliau, umat Islam tidak bisa membantahnya dan tidak
dibenarkan berbuat lain. Dalam beberapa masalah, terkadang beliau
menyelesaikannya dengan cara (yang disebut sekarang) qiyas.
Setelah beliau meninggal dunia, umat Islam masih memiliki para sahabat
beliau yang sangat paham dengan al-Qur’an dan banyak mengetahui dan
menyertai kehidupan beliau. Sehingga dalam banyak hal, persoalan yang dihadapi
umat Islam bisa diatasi, tanpa menimbulkan masalah yang terlalu mendasar.

1
Namun bukan berarti seluruh hal yang muncul setelah meninggalnya beliau
itu bisa terselesaikan dengan hanya melaksanakan tanpa penyesuaian dan
penjabaran pedoman yang ada. Untuk itu, para sahabat harus menggunakan
pemahamannya terhadap perbendaharaan utama Islam itu untuk menyelesaikan
persoalan tersebut, dengan tetap memelihara tujuan utama risalah Islam. Hal itu
terkadang, sepintas lalu, seperti bertentangan dengan petunjuk zahir nash (al-
Qur’an dan Sunnah). Tapi sesungguhnya tidak ada pertentangan yang
fundamental di dalamnya. Hampir semua sahabat mampu melakukan ijtihad, tapi
yang paling menonjo di antara mereka adalah Umar bin Khaththab, Ali bin Abi
Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud).
Ketika periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat Islam sudah mulai
menghadapi berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak mereka
dengan masa Rasul dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran
Islam itu juga semakin tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka
harus mengumpulkan berbagai riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber
itu dari para pendahulu (guru) mereka yang masih tersisa. Kemudian terhadap
berbagai riwayat itu, yang terkadang saling bertentangan, mereka harus
memaksimalkan daya pikir mereka agar tetap bisa memelihara tujuan
diturunkannya Islam dan agar Islam itu sendiri tetap bisa diaplikasikan dalam
kehidupan. Ketika itulah mereka harus menyusun sebuah kerangka acuan dalam
melakukan pemahaman dan penarikan hukum dari sumber yang ada.
Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul,
di setiap generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai
penyempur-naan dan pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu
Ushul Fiqh, yang dengannya dapat dilakukan penggalian (istinbath) hukum
dengan semaksimal mungkin mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Syari’
(pembuat hukum).
A. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini,maka akan
dibahas sub masalah sesuai dengan latar belakang di atas yaitu sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Syara’?

2
2. Berapa pembagian Hukum Syara’?
B. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apa itu hukum Syara’
2. Mengetahui pembagian hukum syara’

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum Syara’


Secara bahasa hukum berarti mencegah dan memutuskan.Adapun hukum
menurut terminologi ushul fiqh ialah :
َ ‫ِخطَا‬
‫ب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين باالقتضاء أو التخيير أوالوضع‬
Artinya: “Khitob (doktrin) syar’i (Allah) yang bersangkutan dengan
perbuatan orang yang sudah mukallaf,baik doktrin itu berupa tuntutan
(perintah,larangan),anjuran untuk melakukan,atau anjuran untuk
meninggalkan.Atau berupa takhyir (kebolehan untuk memilih antara melakukan
dan tidak melakukan atau wad’i(menetapkan sesuatu sebagai sebab,syarat,atau
mani’/penghalang).”1
Hukum syari adalah pensyariatan yang datang dari Allah swt guna
mengatur kehidupan manusia. Inilah definisi yang disampaikan oleh Syahid Bagir
Shadr di dalam Halaqahnya. Berbeda dengan definisi klasik yang mengatakan:
Hukum syari adalah pesan syari yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Mukallaf, yakni seorang yang memenuhi persyaratan taklif; balig, akal dan
mampu.
Hukum syara' atau hukum syar'i ialah seruan/ketetapan syar'i, pembuat
hukum, dalam hal ini Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf, baik ketetapan itu berupa tuntutan mengerjakan sesuatu, yang
berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, yang
berarti larangan yang haram dikerjakan atau dilaksanakan, atau ketetapan hukum
itu berupa hal yang mubah (fakultatif) yang berarti boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua hal berkaitan
dengan salah satu menjadi sebab atau rintangan terhadap yang lain
Wabah az-zuhaili memasukkan sahih,fasid/batal,azimah,dan rukhsah kedalam
Hukum Wad’i2

1
Saipuddin Shidiq,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada media Group,2014),cet.ke-2,hlm.121.
2
Ibid.,hlm.122.

4
Dari uraian penjelasan di atas ada beberapa kata yang perlu diperjelas
maksudnya.
1. ‫خطا ب الشا رع‬
Yaitu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui kitab sucinya yaitu
Al-Qur’an dengan perbuatan mukallaf seprti hukum suatu perbuatan itu
haram,makruh,mubah,shahih,batil,syarat,sebab,atau penghalang.
Khitob Allah itu ada yang bersifat langsung yaitu ayat-ayat al-Qur’an ,yang
disebut juga dengan kalam lafzi (lawan dari kalam nafsi yang ada pada Allah
yang tidak berhurup dan tidak bersuara).Dan kalam Allah yang melaui
perantara ,yaitu sunnah dan ijma’ yang bersumber kepada al-Qur’an serta dalil-
dalil syariat yang diakui .Sunah disebut juga sebagai khitob Allah ,hal ini didasari
oleh ayat al-qur’an yang menyatakan bahwa nabi tidak berkata berdasarkan nafsu
tetapi didasari oleh wahyu :
}4{‫}ان هو اال وحي يوحى‬3{‫وما ينطق عن الهوى‬
Artinya :Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur’an )menurut kemaun hawa
nafsunya .Ucapannya itu tiadak lain hanyalah wahyu yang diwahyuka
(kepadanya).(QS,An-Najm /53;3-4)
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu
dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu.Demikian pula dengan ijma’ harus
mempunyai sandaran baik al-Qur’an atau sunnah Rasulullah Saw.Sama halnya
dengan itu dali-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagi dasar hukum
kecuali setelah diketaahui adanya pengakuan dari wahyu. 3
Ijma dikatakan khitob Allah karena ijma’ tidak lepas dari dalil al-Qur’an dan
sunnah,begitu juga dalil syara’ yang juga disebut khitob Allah dan menjelalskan
hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya.
2.‫اء‬tt‫االتض‬ialah tuntutan.Tuntutan disini bisa berupa tuntutan untuk mengerjakan
secara pasti(harus)yang kemudian disebut hukum wajib.Dan bisa berupa
tuntutan untuk meninggalkan secara pasti(harus) yang kemudian disebut
dengan hukum haram.

3
Satria Efendi,Ushul fiqh,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2012),cet.ke-4,hlm.37.

5
3‫ير‬tt‫التخي‬. Yaitu artinya memilih,artinya Allah memperbolehkan kepada manusia
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan .Contohnya makan dan tidur
diwaktu tertentu.
4.‫ الوضع‬Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai pengikat atau dua
perkara yang terkait dengan mukallaf.Ketentuan yang mengikat ini berupa tiga
perkara yaiyu sebab ,Syarat,atau mani’.Contohnya hak waris dan
kematian.Dari dua perkara itu kematian dijadikan oelh syara’ sebagai sebab
pembagian waris oleh ahli waris .Syarat,contohnya Wudhu dan sholat,dari dua
perkara ini maka wudhu dijadikan syarat shnya sholat.Contoh mani’adalah
haid dan kewajiban sholat bagi wanita .Dari dua perkara ini haid dijadikan
penghalang kewajiban sholat bagi wanita.
Untuk lebih jelasnya tentang hukum syariat yang berisi tentang
tuntutan,suruhan,dan ketetapan (sebab,syarat,),dapat kita lihat dan perhatikan
dalam contoh berikut ini :
a. Contoh hukum yang beupa Tuntutan :
1.Pertama tuntutan untuk mengerjakan,firman allah SWT.
}1{...‫يأيها الذين ءا منوا أوفوا بالعقود‬
Artinya ; Hai orng –orang yang beriman,penuhilah aqad-aqad itu (janji)...(QS.al-
Maidah/5:1)
Ayat di atas mengandung tuntutan kewajiban menepati janji jika telah
menyatakan janji kepada orang lain.
2.kedua tuntutan untuk meninggalkan .Firman allah SWT:
}11{‫يأ يها الذين ءا منوا ال يسخر قوم من قومزز‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman ,janganlah suatu kaum mengolok-
olok kaum yang lain....(QS.al-hujurat/49;11)
Ayat diatas mengandung tuntutan kepad agar kita menjauhi perbuatan saling
mengolok –olok satu sama lain,karena yang demikian itu akan menyakitkan
perasaan satu sama lain.
b.Contoh hukum yang berupa alternatif untuk memilih.firman Allah SWT:
}60{‫كلوا و اشربوا من رزق هللا و ال تعثوا فى اآلرض مفسدين‬

6
Artinya:Makan dan Minumlah dari rezki yang telah diberikan allah kepadamu
,dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan .
(QS.al-Baqarah/2;60)

Ayat dia atas mengandung tawaran pilihan kepada kita untuk memilih makan dan
minum sesuatu yang halal selam tidak berlebihan .
c.Contoh hukum yang berupaketetapan (sebab,syarat,atau mani’),
contoh tentang sebab yang terkandung dalam sabda Nabi :
‫ث ْالقَاتِ َل‬
ُ ‫اَل يَ ِر‬
Artinya :”Tidaklah mendapatkan hak waris yang membunuh.”
Hadis di atas menetapakan hukum yang harus dipatuhi oleh ahli waris yang
menjadi penyebab kemtian (membunuh)orang yang mewariskan seperti
ayahnya ,bahwa ia (ahli waris )kehilang haknya untuk memperoleh warisan.
Nas atau ayat al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan perintah ,suruhan untuk
memilih atau berupa ketetapan sebagaimana dijelaskan di atas,semuanya
merupakn pengertian hukum Syari’at menurut ulama ushul fiqh.Adapun hukum
syariat menurut ulama’ fiqh adalah efek yang dikhendaki oleh allah dalam
perbuatan Mukallaf seperti Wajib,haram, dan Mubah.Maka kalu kita tampilkan
ayat ‫ اَوفوا بِ ْالعُقود‬Artinya : Tepatilah janji.ayat ini menurt ulam usul fiqh berarti
menghendaki keharusan memenuhi janji .
Adapun menurut ulama fiqh adalah efek atau konsekuensi yang di khendaki
oleh nas al-Qur’an di atas adalah kewajiban untuk memenuhi janji.contoh lain
pada potongan ayat ‫التقربوالزنا‬,artinya:janganlah kamu semua mendekati zina
.hukum menurut ulam ushul fiq apa yang terkandung dalam nas tersebut yaiyu
berupa larangan mendekati zina.adapun menurut ulama fiqh adalah “haram
hukum”mendekati zina.4

B. Pembagian Hukum Syara’


Sebagian besar ulama ushul fiqh membagi hukum menjadi dua bagian
yaitu:(1)Hukum Taklifi,Dan (2)Hukum Wadh’i.Berikut penjelasannya.

4
Saipuddin Shidiq,ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana Perenamedia group,2014),cet.ke-
2,hlm.124.

7
1. Hukum Taklifi
Hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada manusia tidak lain kecuali
untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik didunia maupun diakhirat
kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau mentaati hukum
hukum Allah. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum hukum Allah yang
harus kita taati ada yan bersifat tegas, yaitu tuntutan yang harus dierjakan oleh
kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan hukum wajib seperti shalat dan
puasa. Ada pula sebuah hukum yang diperintahkan secara tidak tegas, yaitu
tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat
selain shalat lima waktu. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan
untukmeninggalkan secata tegas. Yang disebut dengan haram seperti berzina dan
mencuri.dan adakalanya berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara
tidak pasti artinya tidak harus ditinggalkan tetapi meninggalkannya dianggap
lebih baik sepertimakan jengkol dan petai. Dan adakalaya hukum Allah itu
bersifat pilihan artinya seseorang diberikah keleluasaan untuk memilih antara
meninggalkan ataupun mengerjakan seperti makan dan minum.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa hukum taklif iyalah
hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatannya atau meningkalkan
suatu perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau meningalkannya.
Berikut ini contoh contohnya :
- Hukum yang menghendaki untuk dikerjakan oleh mukalaf,seperti berbuat
baik kepada kedua orang tua
- Hukum yang dikehendaki untuk ditinggalkan oleh mukalaf, seperti
mencuri, membunuh dan berzina
- Hukum yang menghendaki untuk ditingkalakan atau dikerjakan (dapat
memilih) oleh mukalaf seperti mencatat transaksi utang piutang.
Hukum Taklifi ialah Khitob Allah atau sabda Nabi Muhammad saw.Yang
mengandung tuntutan ,baik perintah melakukan atau meninggalkan(larangan).
Hukum taklifi ada lima :
a. Ijab (Wajib),artinya mewajibkan atau khitab (firman Allah ) yang meminta
mengerjakannya dengan tuntutan yang pastidenagn konsekuensi bila
dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan mendapata dosa.

8
Definisi wajib menurut syara’ ialah
‫ب َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم فِ ْعلِ ِه‬
َ َ‫َماطَل‬
“sesuatu yang diperintah oleh Allah agar dikerjakan secara pasti”

Contoh :
َ‫ين ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعل َّ ُك ْم تَتَّقُون‬
tَ ‫ب َعلَى ال َّ ِذ‬
َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬ tَ ‫يَا أَيُّهَا ال َّ ِذ‬
َ ِ‫ين آ َمنُوا ُكت‬
“ Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa”(QS. Al Baqaroh 2:183)
b. Nadab (sunah),artinya menganjurkan atau khitab yang mengandung perintah
yang tidak wajib dituruti dengan konsekuensi mendapat pahala jika
mengerjakannya dan tidak mendapat apa apa jika meninggalkannya. Nadeb
atau mandub dalam kajian ushul fiqh juga disebut sunah, nafilah atau
tatawwu’, dan ihsan.contoh dari nadeb seperti azan,shalat berjamaah,berkumur
dalam berwhudu,membaca surat setelah alfatihah dalam shalat,shalat wittir dll.
Tingkatan nadab yang pertama, sunah muakkadah sunah yang kuat yaitu
sunah yang selalu ditekuni oleh Nabi tidak pernah ditinggalkan kecuali sesekali
duakali hal ini sengaja dilakukan untuk menunjukan bahwa hal itu bukan suatu
kewajiban. Sunah muakkadah bila dikatakan penyempurnaan kewajiban. Azan,
shalat berjamaah, berkumur saat whudu’. Shalat whitir, shalat fajar dua rakaat.
Salat sunah qabliyah dan ba’diyah. Yang kedua,sunah gairu muakadah sunah
yang tidak kuat, yaitu sunah yang jika tidak dilakukan tidak mendapat dosa dan
tidak juga celaan seperti puasa sunah senin dan kamis dll . kemudian yang
ketiga, sunah tambahan (ziadah). Maksudnya ialah sesuatu yang dingap
pelengkap bagi mukalaf dan sunah ini tidak sejajar dengan kedua sunah
sebelumnya. Sunah ini adalah sunah yang mengikuti rasul dalam kebiasaan
rasul sebagai manusia biasa. Dan jika ditiru merupakan hal fositif bagi mukalaf
karenamerupakan bukti dari kecintaan pada rasul.dan jika tidak dilakukan
maka tentunya tidak masalah karna hal ini bukan merupakan bagian dari
syariat.

9
c. Tahrim ( haram ), yaitu titah / khitab yang mengandung larangan yang harus
dijauhi. Dengan konsekuensi mendapat pahala jika meninggalkannya dan
mendapat dosa jika melakukannya.
penegrtian menurut hukum syara’
َّ ‫ع ْال َك‬
‫ف ع َْن فِ ْعلِ ِه َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم‬ َ َ‫َماطَل‬
ِ ‫ب ال َش‬
ُ ‫ار‬
"tuntutan secara tegas dari Allah untuk tidak dikerjakan secara tegas /pasti”
Contoh :
ً‫اح َشةً َو َساء َسبِيال‬
ِ َ‫الزنَى إِنَّهُ َكانَ ف‬ ْ ‫َوالَ تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”(QS. Al Isra 17 : 32)
Haram dapat dibagi menjadi dua macam yaitu haram asal, yaitu hukum yang
ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram
secara zat, karna didalamna terkandung zat yang dapat merusak agama, jiwa,
harta, akal, dan keturunan. Contohnya makan bangkai, berzina, dan minum
arak.kemudian yang kedua haram dikarnakan sebab sesuatu yang lain maksudnya
hukum asal sesuatu ini tadinya bukan haram.tetapi hukum itu dibarengi dengan
sesuatu yang lain yang hukumnya haram misalnya seperti shalat menggunakan
pakaian hasil curian jual beli yang asal hukumnya boleh tapi ada unsur menipu
dalam jual beli tersebut ,kemudian manikah dengan segaja untuk kembali bersam
wanita yang telah ditalaknya tiga kali.dll.
d. Karahah (makruh ), yaitu titah /khitab yang mengandung larangan , tetapi tidak
harus dijauhi atau tidak sampai kederajat haram dan dilarang karna apabila
dilakukan akan menysahakan manusia. Seperti makan dan minum sambil
berdiri.
e. Ibahah ( mubah ),yaitu titah atau khitab yang membolehkan sesuatu untuk
diperbuat atau ditinggalkan misalnya berburu setelah haji , bertebaran setelah
shalat jumat.

2. Hukum wadh’i
Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.yaitu sebab,
syarat, mani, ruhksah dan azimah. Ulama ushul fiqh mendefinisikan

10
hukum wadh’i sebagi berikut : “hukum yang menghendaki sesuatu itu
sebagi sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai
penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan atau
rukhsah atau sebagi pengganti hukum keretapan pertama(azimah) atau
sebagai yang sahih dan tidak sahih” Berikut penjelasan dari setiap
pembagianya :
a. Sebab, ialah suatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dan
dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya sesuatu hukum. Misalnya
nikah menjadi sebab adanya hak waris mewarisi \
b. antara suami dan istri sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak waris
antara suami istri tersebut.kemudian contoh lain
ُ tَ‫ ي‬t‫ ْل‬tَ‫ ف‬t‫ َر‬t‫َّ ْه‬t‫ش‬t‫ل‬t‫ ا‬t‫ ُم‬t‫ ُك‬t‫ ْن‬t‫ ِم‬t‫ َد‬t‫ ِه‬t‫ َش‬t‫ن‬tْ t‫ َم‬tَ‫ ۖ ف‬.......
) 185) ...... tُ‫ ه‬t‫ ْم‬t‫ص‬
“Barang siapa diantara kamu melihat bulan itu maka hendaklah ia
berpuasa” (QS. Al Baqarah 2:185)
Akibat melihat bulan hilal (1 ramadan ) dinamakan sabab sedangkan
pekerjaan yang dikenai sebab itu dinamai musbab.
c. Syarat ialah sesuatu yang menjadi syarat sah bagi yang lain atu harus ada
sesuatu tersebut untuk menjalankan sebuah hukum, misalnya whudu adalah
syarat sahnya shalat jika tidak berwhudu maka tidak sahlah shalat tersebut contoh
lainnya
‫النكاح اال بولي وشاهدي عدل‬
“sahnya suatu pernikahan hanya dengan adanya seorang wali dan dua orang
saksi “
Tampa seorang wali dan dua orang saksi maka tidak sahlah pernikhn tersebut
d. Mani’ menjadi penghalang sesuatu atau mnerangkan bahwa adanya
menjadi penghalang terhadap sebuah hukum. Misalnya wanita yang sedag haid
maka tidak wajib baginya untuk menjalani shalat yang asal hukumnya wajib dan
pakaian seseorang yang sedang shalat terkena kotoran/hal yang najis mejadi
penghalang bagi shalat tersebut
e. Azimah dan ruhkshah, iyalah hukum apabila dilihat dari segi berat atau
ringannya

11
- Azimah iyalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf dan dalam semua kedaan waktu misalnya ,shalat fardu yang lima
waktu dan puasa pada bulan ranadhan
- Rukhsah ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubungann dengan
hal hal yang memberatkan massyarakat sebagaipengecualian dari hukum hukum
yyang pokok. Misalnya ,boleh berbuka puasa pada bulan puasa bagi para
musafir ,dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak bermaksud
menentang hukum syara’ da tidak berlebihan
II.

12
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum syara’ berati khitab Allah SWT, yang bersangkutan dengan
perbuatan mukalaf baik berupa tuntutan (perintah maupun larangan ),ataupun
anjuran unutk meninggalkan dan melakuan, dan juga berupa kebebasan memilih
takhyir
Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu Taklifi dan Wadh’i,hukum taklif
iyalah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatannya atau
meningkalkan suatu perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau
meningalkannya pembagian hukum taklifi yaitu wajib,sunah, mubah, makruh,
haram. Yang kedua Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.Kemudian
pembagian hukum wadh’i yaitu sebab, syarat,mani, rukhsah, dan azimah.
Hakim adalah pembuat hukum jelas bahwa hakim disini ialah Allah
SWT.kemudian mahkum fih, mahkum fih ialah objek hukum atau sesuatu yang
dierintahkan oleh Allah untuk dikerjakan maupun ditinggalkan, kemudian
mahkum alaih, mahkum alaih adalah mukalaf yang dikenai khitab namun ada
sesuatu yang menjadi penghalang yaitu (awarid ), awarid adlah keadaan dimana
dimana mukalaf tidak dapat melaksanakan hak dan kewajiban yang ditetapkan.
Awarid dibagi menjadi dua yaitu awarid samawi, penghalang yang tidak
dapat diusahakan oleh manusia atau diluat kuasa manusia seperti gila kurang akal
dll.penghalang kasby yaitu penghalang yang disebabkan lantaran manusia itu
sendiri seperti mabuk, bodoh, boros, banyak utang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Beni Ahmad Saibani, M.Sidan Drs. H. Januri M.Ag, Fiqh dan Ushul Fiqh,
Pustaka Setia Bandung ;2009
Drs. Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,PT. Al Ma’arif Bandung 1973
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A.,Ushul Fiqh, Kencana Jakarta 2014
Prof. Dr. H. Satyria Efendi. M. Zein, MA.,Ushul Fiqh , kencana Jakarta
2012
Suratno dan Anang Zamori. Mendalami Ushul Fiqih ,Aqila Solo 2015

14

Anda mungkin juga menyukai