Anda di halaman 1dari 23

REVISI MAKALAH

HUKUM ISLAM TENTANG WAQAF, HIBAH HARTA


SERTA HIKMAHNYA
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqih
Dosen Pengampu Dr. H. Sudirman, S.Ag., M.Ag.

OLEH

1. Nurul yaqin 19190035


2. Sinta Salsabila 19190008

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
KATA PENGANTAR
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬
Bersyukur kepada Allah SWT. dengan mengucapkan alhamdulillah, atas berkat
rahmat serta hidayah-Nya makalah ini dengan judul “HUKUM ISLAM TENTANG
WAQAF, HIBAH HARTA SERTA HIKMAHNYA” bisa disusun dan diselesaikan tepat
waktu. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada pemimpin ummat islam, nabi
Muhammad SAW. yang telah mengangkis ummat manusia dari jaman yang tiada etika
menuju peradaban yang berkemanusiaan, sehingga kita semua bisa menikmati indahnya
kehidupan dengan adanya iman dan islam.
Kami ucapkan banyak terimaksih kepada Dr. H. Sudirman, S.Ag., M.Ag. selaku
dosen pengampu matakuliah studi fiqih, atas berkat bimbingan dan arahannya kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Sehingga nanti bisa dijadikan bahan
diskusi dalam pembelajaran matakuliah studi fiqih sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Kami
juga ucapkan terimakasih kepada semua teman-teman kelas B yang telah memberi dukungan
dan saran demi kebaikan dalam pembahasan makalah ini.
Kami selaku penulis sangat berharap makalah “HUKUM ISLAM TENTANG
WAQAF, HIBAH HARTA SERTA HIKMAHNYA” bisa menjadi bahan bacaan yang
bermanfaat serta bisa memberi pengetahuan lebih luas bagi kita semua mengenai hukum
waqaf dan hibah yang tidak lepas dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Sehingga nanti kita
senantiasa menjadi orang yang lebih baik dan menjalani kehidupan sesuai dengan agama
serta tetap berpegang teguh pada al-qur’an dan hadist.

Sumenep, 17 Oktober 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................3
A. Latar Belakang.............................................................................................3
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan..........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................4
A. Waqaf...........................................................................................................4
1. Pengertian Waqaf..................................................................................4
2. Dasar Hukum Waqaf.............................................................................4
3. Rukun dan syarat waqaf........................................................................6
4. Hikmah Waqaf......................................................................................12
B. HUBAH.......................................................................................................13
1. Pengertian Hibah...................................................................................13
2. Dasar Hukum Hibah..............................................................................14
3. Rukun dan Syarat Hibah.......................................................................15
4. Hikmah Hibah.......................................................................................18
BAB II PENUTUP....................................................................................................20
A. Kesimpulan..................................................................................................20
B. Saran............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................21
5.

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fiqih merupakan ilmu yang membahas tentang cara beribadah dan muamalah
sesuai dengan al-qur’an dan hadist. Fiqih adalah salah satu bidang ilmu yang secara
khusus membahas persoalan mengenai hukum yang mengatur berbagai persoalan
kehidupan manusia baik persoalan pribadi, hubungan individu, serta hubungan
manusia dengan tuhannya. Secara umum ilmu fiqih mencakup 2 hal. Yaitu fiqih
mengenai ibadah, seperti sholat, puasa, haji. Fiqih mengenai muamalah seperti
intraksi sesama manusia.
Ilmu fiqih merupakan ilmu yang sangat penting untuk di pelajari, karena
dalam melakukan ibadah dan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari kita harus
memahami hukum dan ketentuan yang berlaku, agar dalam melakukan aktifitas
kehidupan dan beribadah kita bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT. dan Rasul-
Nya. Sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW. “Barang siapa dikehendaki menjadi
orang yang baik oleh Allah, maka dia diberi kefahaman (yang mendalam) tentang
ajaran agama Allah.”
Waqaf dan hibbah (pemberian) merupakan salah satu kata yang sudah tidak
asing lagi dalam kehidupan kita. Mendengar kata waqaf pasti pikiran kita langsung
mengarah pada sebuah aktifitas dimana ada seseorang yang secara ikhlas
memberikan sebuah barang yang bisa diambil manfaatnya unttuk kebaikan.
Sedangkan hibbah (pemberian) itu merupakan kegiatan untuk bershodaqoh atau
memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. apakah benar waqaf dan hibbah sesuai dengan apa yang kita pikirkan ?.
Hukum waqaf dan hibbah bukan merupakan kewajiban bagi ummat islam,
namun dalam hal ini kita harus mengetahuinya agar aktifitas yang kita lakukan
apakah merupakan waqaf atau hibbah. Karena dalam kegiatan ini memiliki syarat
dan ketentuan yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas kita dapatkan beberapa rumusan masalah, diantaranya;
1. Apa hukum yang mendasari wakaf?.
2. Apa saja rukun dan syarat wakaf?.
3. Apa hikmah dari wakaf?.
4. Apa hukum yang mendasari hibah?
5. Apa saja rukun dan syarat wakaf?.
6. Apa hikmah dari hibah?..
C. Tujuan
Tujuan dari adanya pembahasan akan dapat kita simpulkan;
1. Untuk mengetahui hukum dasar waqaf.
2. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat dalam waqaf.
3. Untuk mengetahui apa saja hikmah dari waqaf.
4. Untuk mengetahui hukum dasar hibah.
5. Untuk mengetahui apa saja rukun dan syarat dalam hibah.

3
6. Untuk mengetahui apa saja hikmah dari hibah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. WAQAF
1. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah fondasi dari agama Islam yang mapan. “Dalam
hukum Islam, wakaf termasuk dalam kategori ibadah sosial (ibadah
ijtimaiyyah)” (Departemen Agama, 2003). Secara bahasa “wakaf berasal
dari kata waqafa yang berarti (menahan) al-habs” (Sabiq tth). Secara
istilah, “wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat
diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri
kepada Allah” (Al-Hussaini tth). Menurut Sayyid Sabiq, “wakaf berarti
menyimpan kekayaan di jalan Allah dan membawa manfaat untuknya”
(Sabiq tth).
Wakaf merupakan Filantrofi Islam (Islamic Philanthrophy) yang
perlu diberdayakan untuk kepentingan umat. Dalam sejarah
perkembangan Islam, wakaf berperan penting dalam mendukung
pendirian masjid, pesantren, majelis taklim, sekolah, rumahsakit,
pantiasuhan, dan lembaga pendidikan, serta lembaga sosial lainnya. Harta
benda yang diwakafkan dapat berupa tanah ataupun benda milik lainnya.
Juhaya S.Praja menjelaskan bahwa “benda yang dapat diwakafkan bukan
hanya tanah milik, melainkan juga dapat dapat berupa benda milik
lainnya, benda yang tetap disebut al-‘aqr atau benda bergerak yang
disebut al-musya” (S.Praja 1995). Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan
benda tetap atau benda tidak bergerak dengan istilah ghayr al-manqulat
dan benda bergerak dengan sebutan al-manqulat.
2. Dasar Hukum Waqaf
Meskipun wakaf tidak jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Qur’an,
tetapi ada beberapa ayat yang digunakan oleh para ahli sebagai dasar
hukum disyariatkannya wakaf. Sebagai contoh misalnya firman Allah
yang artinya lebih kurang sebagai berikut ”Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari usahamu yang baik-
baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu
dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari
padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya...” (al-baqarah,
ayat 267).

4
Wakaf telah disyari’atkan dan telah di praktekkan oleh umat Islam
di seluruh dunia sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang,
tetapi masih ada saja masyarakat yang kurang memahami apa arti dari
pengelolaan wakaf dengan baik dan benar, baik menurut hukum Islam dan
per Undang-Undangan di Indonesia.
Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk kepada tiga corcus:
1. Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya
(meliputiAlQur’an, sunnah dan Ijtihad).
2. Wakaf sebagai lembaga yang di atur oleh negara, yang merujuk pada
peraturan per Undang-Undangan yang berlaku di Negara itu.
3. Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang
hidup di masyarakat, berarti mengkaji wakaf dengan tindakan sosial
yang meliputi fakta dan data yang ada dalam masyarakat. (Praja 1995)
Salah satu benda tidak bergerak yang dapat diwakafkan adalah
tanah yang merupakan sumber dari segala macam kekayaan materi, karena
dari tanah dapat diperoleh berbagai manfaat. Tanah harus dikelola dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang
merupakan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Wakaf
adalah perbuatan hukum wakif (yang mewakafkan) untuk memisahkan
dan menyerahkan sebagian harta benda wakaf miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan kesejahteraan umum menurut
syariah.
Adapun Hadits yang dijadikan landasan khusus perbuatan
mewakafkan harta yang dimiliki seseorang adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Jama’ah; yang mana hadits itu menyebutkan bahwa
“Sesungguhnya Umar tela hmendapatkan sebidang tanah di Khaibar.
Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah
perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau
menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan
manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan
dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
Bentuk perbuatan ibadah yang sangat mulia di mata Allah SWT
yang disebut “wakaf dapat ditafsirkan memberikan harta bendanya secara
cuma-cuma, yang tidak setiap orang bisa melakukannya dan merupakan

5
bentuk kepedulian, tanggung jawab terhadap sesama dan kepentingan
umum yang banyak memberikan manfaat. Wakaf dikenal sejak masa
Rasulullah SAW. Wakaf disyariatkan saat beliau hijrah ke Madinah, pada
tahun kedua Hijriah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli
yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali
melaksanakan Syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakanwakaf adalah
Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun
masjid” (Direktori Pemberdayaan Wakaf 2007).
Pranata wakaf merupakan pranata yang berasal dari Hukum Islam,
oleh karena itu jika berbicara tentang masalah perwakafan pada umumnya
dan perwakafan tanah pada khususnya, kita tidak bisa melepaskan diri dari
pembicaraan tentang konsep wakaf menurut Hukum Islam. Akan tetapi, di
dalam hukum Islam tidak ada konsep yang tunggal tentang wakaf, karena
banyak pendapat yang sangat beragam. Menurut mazhab Syafi’i dan
Ahmad bin Hambal, wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, dan wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap
harta yang diwakafkan (Badan Wakaf Indonesia 2020). Artinya harta yang
diwakafkan sudah tidak bisa diminta kembali, dipindah tangankan atau
dijual atau yang lainnya. Harta wakaf hanya dimanfaatkan sesuai dengan
ikrar wakaf yang telah diucapkan.
3. Rukun dan Syarat Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Rukun wakaf ada empat (4), yaitu :
a. Wakif (orang yang mewakafkan harta);
b. Mauquf bih (barang atau benda yang diwakafkan);
c. Mauquf ‘Alaih (pihak yang diberi wakaf/peruntukan
wakaf);
d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu
kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).1

Para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan rukun


wakaf. Perbedaan tersebut merupakan implikasi dari perbedaan
1
Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah), IV, dikutip oleh Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006, hlm, 21.

6
mereka memandang substansi wakaf. Jika pengikut Malikiyah,
Syafi’iyah, Zaidiyah dan Hanabilah memandang bahwa rukun wakaf
terdiri dari waqif, mauquf alaih, mauquf bih dan sighat, maka hal ini
berbeda dengan pandangan pengikut Hanafi yang mengungkapkan
bahwa rukun wakaf hanyalah sebatas sighat (lafal) yang menunjukkan
makna/ substansi wakaf.2
Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf yaitu Pasal 6 menyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Wakif;
b. Nadzir
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf
Selanjutnya syarat-syarat yang harus dipenuhi dari rukun wakaf
yang telah disebutkan adalah :
1) Waqif (orang yang mewakafkan)
Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabbaru’
(mendermakan harta benda), karena itu syarat seorang wakif cakap
melakukan tindakan tabarru’.3 Artinya, sehat akalnya, dalam
keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa/ dipaksa, dan telah
mencapai umur baligh.4 Dan wakif adalah benar-benar pemilik
harta yang diwakafkan.5 Oleh karena itu wakaf orang yang gila,
anak-anak, dan orang yang terpaksa/dipaksa, tidak sah.6

2
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, op. cit, hlm. 87
3
Muhammad Rawas Qal’ah, Mausuah Fiqh ‘Umar ibn al-Khattab, Beirut : Dar alNafais, 1409H/1989M,
dikutip oleh Ahmad Rofiq, op, cit, hlm. 493
4
Abi Yahya Zakariyah al-Ansari, Fath al-Wahhab, juz 1, Beirut : Dar al-Fikr, dikutip oleh Ahmad Rofiq,
ibid
5
Mohammad Daud Ali, op, cit, hlm.85
6
Sayyid Bakri al-Dimyati, I’anah al-Talibin, juz 3, Beirut : Dar al-Fikr, dikutip oleh Ahmad Rofiq, ibid,
hlm. 494.

7
Abdul Halim dalam buku Hukum Perwakafan di Indonesia
mengatakan ada beberapa syarat bagi waqif, yaitu :
1. Wakaf harus orang yang merdeka;
2. Baligh;
3. Berakal;
4. Cerdas.
Dalam PP No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan
UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 1 ayat 2
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
2) Mauquf bih (harta benda wakaf)
Mauquf dipandang sah apabila merupakan harta bernilai,
tahan lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni.
Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi
syaratsyarat sebagai berikut :
a. Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya sesuatu
yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut
dengan benda, seperti hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain
sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak
berharga menurut syara’, yaitu benda yang tidak boleh diambil
manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-benda
haram lainnya.
b. Benda tetap atau benda bergerak. Secara umum yang dijadikan
sandaran golongan syafi’iyah dalam mewakafkan hartanya
dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut,
baik berupa barang tak bergerak, benda bergerak maupun
barang kongsi (milik bersama).
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi
akad wakaf. Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan
jumlah seperti seratus juta rupiah, atau juga bisa menyebutkan
dengan nisab terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah
yang dimiliki dan lain sebagainnya. Wakaf yang tidak
menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan

8
tidak sah hukumnya seperti mewakafkan sebagian tanah yang
dimiliki, sejumlah buku, dan sebagainya.
d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap
(al-milk at-tamm) si wakif (orang yang mewakafkan) ketika
terjadi akad wakaf. Dengan demikian jika seseorang
mewakafkan benda yang bukan atau belum miliknya, walaupun
nantinya akan menjadi miliknya maka hukumnya tidak sah,
seperti mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau
jaminan jual beli dan lain sebagainya.7
Apabila pemanfaatan harta itu tidak bersifat langgeng,
seperti makanan tidak sah wakafnya. Di samping itu, menurut
mereka, baik harta bergerak, seperti mobil dan hewan ternak,
maupun harta tidak bergerak, seperti rumah dan tanaman, boleh
diwakafkan.8
3) Nadzir (pengelola wakaf)
Nadzir wakaf adalah orang yang memegang amanat
untuk memelihara dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai
dengan tujuan perwakafan. Mengurus atau mengawasi harta
wakaf pada dasarnya menjadi hak wakif, tetapi boleh juga
wakif menyerahkan hak pengawasan wakafnya kepada orang
lain, baik perseorangan maupun organisasi.
Beberapa syarat yang harus dipenuhinya untuk menjadi
Nadzir yaitu terdapat pada pasal 219 KHi:
Nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4)
terdiri dari perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Beragama Islam,
b. Sudah dewasa,
c. Sehat jasmani dan rohani,
d. Tidak berada di bawah pengampuan,
e. Berempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.

7
Elsa Kartika Sari, op. cit, hlm 60-61
8
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Intermasa, 2003, cet 6, hlm.1906

9
Apabila seorang waqif menentukan syarat dalam
pelaksanaan pengelolaan benda wakaf, yang mana syarat
tersebut tidak bertentangan dengan tujuan wakaf, maka nadzir
perlu memperhatikannya. Tetapi apabila syarat tersebut
bertentangan dengan tujuan wakaf semula, seperti masjid yang
jama’ahnya terbatas golongan tertentu saja. Nadzir tidak perlu
memperhatikan.9
4) Sighat (lafadz) / ikrar wakaf
Sighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat
dikemukakan dengan tulisan, lisan atau suatu isyarat yang
dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau
lisan dapat digunakan untuk menyatakan wakaf oleh siapa saja,
sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat
menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu pernyataan
dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti
pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan
di kemudian hari.
Adapun lafadz sighat wakaf ada dua macam, yaitu :
a. Lafadz yang jelas (sharih).
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal itu populer
sering digunakan dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis lafal
yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: al waqf (wakaf), al-
habs (menahan) dan altasbil (berderma).10
Dalam kitab Al-Manhaj, 41 Imam Nawawi
menyepakati kesahihan lafal sarih di atas. Karenanya, jika
seseorang menyatakan, “aku menyedekahkan tanahku ini
secara permanent” atau “aku menyedekahkan tanahku ini tidak
untuk dijual maupun untuk di hibahkan”, maka yang demikian
itu, menurut pendapat yang paling benar, dinilai sebagai lafadz
yang jelas.
Namun kejelasan yang digambarkan oleh Nawawi pada
contoh terakhir bukan merupakan kejelasan secara langsung.
Lafal ini menjadi sarih (jelas) karena adanya indikasi yang
mengarah pada makna wakaf secara jelas. Jika tidak ada

9
Ahmad Rofiq, op. cit, hlm. 501
10
Ibnu Qudama, Al Mughni, juz 6, dikutip oleh Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, op. cit, hlm. 89

10
indikasi tersebut, maka ungkapan itu dengan sendirinya menjadi
samar tau tidak jelas.11
b. Lafaz kiasan (kinayah)
lafadz “tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti
zakat dan shadaqah sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti
dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu”
juga bisa berarti semua pengeluaran harta benda untuk
selamanya. Sehingga semua lafadz kiyasan yang dipakai untuk
mewakafkan sesuatu harus disertai dengan niat wakaf secara
tegas.12

Setiap pernyataan/ ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif


kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi. Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979 maka Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW.
Adapun syarat menjadi saksi dalam ikrar wakaf adalah :
a. Dewasa.
b. Beragama Islam.
c. Berakal sehat.
d. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf
secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar
wakaf, karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat
menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2
(dua) orang saksi.13
5) Jangka Waktu.
Di Indonesia, syarat permanen sempat dicantumkan
dalam KHI. Pada pasal 215 dinyatakan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
11
Ibid
12
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, op, cit, hlm. 56
13
Elsa Kartika Sari, op, cit, hlm. 63.

11
melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam. Jada menurut pasal tersebut wakaf sementara tidak sah.
Namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya
UU No. 41 Tahun 2004. Pada Pasal 1 UU No. 41 Tahun 2004
tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah. Jadi, menurut ketentuan ini, wakaf sementara juga
diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya.14

4. Hikmah wakaf adalah sebagai berikut:


a) Melaksanakan perintah Allah SWT untuk selalu berbuat baik. Firman
Allah SWT:
‫َيٰٓـَيٰٓـَأُّيَهاٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْاٱۡر َڪُعوْاَو ٱۡس ُجُدوْاَو ٱۡع ُبُدوْاَر َّبُك ۡم َو ٱۡف َع ُلوْاٱۡل َخ ۡي َر َلَع َّلُڪۡم ُتۡف ِلُحوَن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu
mendapat kemenangan.” (QS Al Hajj : 77)
b) Memanfaatkan harta atau barang tempo yang tidak terbatas
Kepentingan diri sendiri sebagai pahala sedekah jariah dan untuk
kepentingan masyarakat Islam sebagai upaya dan tanggung jawab kaum
muslimin. Mengenaihal ini, Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu
haditsnya:
)‫َم ْنَالَيْه َتَّمِبَاْمِر اْلُم ْسِلِمْيَنَفَلْيَس ْم ِّنى (الحديث‬
Artinya: “Barangsiap yang tidak memperhatikan urusan dan
kepentingan kaum muslimin maka tidaklah ia dari golonganku.” (Al
Hadits)
c) Mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi
Wakaf biasanya diberikan kepada badan hukum yang bergerak
dalam bidang sosial kemasyarakatan. Hal ini sesuai dengan kaidah usul
fiqih berikut ini.
14
Abdul Ghofur Anshari, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006,
cet 2, hlm. 30.

12
‫َم َص اِلِح اْلَعاِّمُم َقَّد ُم َعلىَم َص اِلِح اْلَج اِّص‬
Artinya: “Kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada
kemaslahatan yang khusus.” Adapun manfaat wakaf bagi orang yang
menerima atau masyarakat adalah: dapat menghilangkan kebodohan
1) Dapat menghilangkan atau mengurangi kemiskinan.
2) Dapat menghilangkanatau mengurangi kesenjangan sosial.
3) Dapat memajukan atau menyejahterakan umat.

B. HIBAH
1. Pengertian Hibah
Hibah ( ‫ ) الهبة‬adalah pemberian. Kata hibah berasal dari bahasa
Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. “Kata ini merupakan
masdar dari kata ‫ وهب‬yang berarti pemberian. Secara etimologis, hibah
berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan
orang yang diberi” (Munawwir 1984). Hibbah secara lugat memberi
sesuatu kepada orang lain tanpa pambri, secara syara’ hibbah adalah
memberi sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan tanpa pambri.
Jadi Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa peihak penghibah
bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan, hibah
merupakan salah satu bentuk pemindahan hak milik jika dikaitkan dengan
perbuatan hukum.
Jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagai akad yang
mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang
dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela. “Ulama mazhab
Hambali mendefinisikan hibah sebagai pemilik harta dari seseorang
kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi hibah boleh
melakukan sesuatu tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu
tertentu maupun tidak, bedanya ada dan dapat diserahkan, penyerahannya
dilakukan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan”
(dahlan 1996). Kedua definisi itu sama-sama mengandung makna
pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan
imbalan apapun, kecuali untuk mendekat kandiri kepada Allah SWT.

13
Menurut beberapa madzhab hibah diartikan sebagai berikut:
1) Memberikan hak memiliki suatu benda dengan tanpa ada syarat harus
mendapat imbalan ganti pemberian ini dilakukan pada saat si pemberi
masih hidup. Dengan syarat benda yang akan diberikan itu adalah sah
milik si pemberi (menurut madzhab Hanafi).
2) Mamberikan hak sesuatu materi dengan tanpa mengharapkan imbalan
atau ganti. Pemberian semata-mata hanya diperuntukkan kepada orang
yang diberinya tanpa mengharapkan adanya pahala dari Allah SWT.
Hibah menurut madzhab ini sama dengan hadiah. Apabila pemberian
itu semata untuk meminta ridha Allah dan megharapkan pahalanya.
Menurut madzhab maliki ini dinamakan sedekah.
3) Pemberian hanya sifatnya sunnah yang dilakukan dengan ijab dan
qobul pada waktu sipemberi masih hidup. Pemberian mana tidak
dimaksudkan untuk menghormati atau memulyakan seseorang dan
tidak dimaksudkan untuk mendapat pahala dari Allah karena menutup
kebutuhan orang yang diberikannya. (menurut madzhab Syafi'i).
(Ramulyo 1994)
Dari beberapa definisi ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hibah
adalah:
a. Merupakan akad atau perjanjian.
b. Pemberian cuma-cuma atau pemberian tanpa ganti.
c. Banda (barang) yang dihibahkan mempunyai nilai.
d. Hibah dapat dilaksanakan oleh seseorang kepada orang lain, oleh
seseorang kepada badan-badan tertentu, juga beberapa orang yang
berserikat kepada yang lain.
Adapun pengertian hibah secara umum itu meliputi tiga perbuatan.
Diantaranya;
a. Ibraa’, yaitu menghibahkan barang yang dia pinjamkan (hutang)
kepada orang yang meminjam (berhutang)
b. Sedekah, yaitu menghibahkan sesuatu dengan tampa adanya transaksi,
atau diberikan secara Cuma-Cuma karena mengharap ridha Allah.
c. Hadiah, yaitu memberikan sesuatau dengan tidak ada tukaran dan
membawa ketempat yang diberi karena memulyakannya.

2. Dasar Hukum Hibah

14
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka
kebajikan antar sesama manusia sangat bernilai positif. Ulama' fiqih
sepakat bahwa hukum hibah adalah sunnah. Hukum dasar dalam Hibah
terdapat dalam firman Allah SWT. serta dalam hadist nabi Muhammad
SAW. sebagai berikut. berdasarkan firman Allah SWT.
" Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa'
: 4)15

Dasar hukum tentang hibah terdapat dalam sebuah hadist Nabi


Muhammad SAW. sebagaimana sabna Rasulullah SAW.
Dari Abu Hurairah r.a menceritakan Nabi SAW. Bersabda, "hadiah
menghadiahilah kamu, niscaya bertambah kasih sayang sesamamu. (H.R
Bukhori)16
Dari hadist diatas dapat dipahami bahwa setiap pemberian atau
hadiah dari orang lain jangan ditolak, walaupun harga pemberian tersebut
tidak seberapa. Selain itu pemberian hadiah dapat menghilangkan
kebencian antar sesama, khususnya antara pemberi dan penerima hadiah.
3. Rukun dan Syarat Hibah
Oleh karena hibah adalah merupakan akad atau perjanjian
berpindahnya hak milik, maka dalam pelaksanaannya membutuhkan
rukun dan syarat-syarat sebagai ketentuan akad tersebut dapat dikatakan
sah. Rukun hibah ada tiga macam:
a. Aqid (wahid dan mauhud lahu) yaitu penghibahan dan penerima
hibah.
b. Mauhud yaitu barang yang dihibahkan
c. Sighat yaitu ijab dan qobul.
Ketiga rukun akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Penghibahan dan Penerima Hibah Penghibahan

Orang yang memberi hibah yaitu orang yang memberikan harta


miliknya sebagai hibah. Orang ini harus Memenuhi syarat-syarat:

15
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya. H.115
16
Bukhari, Terjemah Shohih Bukhari III, Achmad Sunarto, dkk. H.577

15
1) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan
demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
2) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh
sesuatu alasan.
3) Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan
demikian haruslah didasarkan kepada kesukarelaan.
Penerima hibah yaitu orang yang menjadi objek dalam kegiatan hibah,
Adapun syarat dan ketentuan yang harus dimilikinya ialah sebagai
berikut.
1) penerima hibah benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan.
Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang
tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dengan demikian memberi
hibah kepada bayi yang masih ada dalah kandungan adalah tidak
sah.
2) Adanya wali bagi anak kecil
Seorang anak masih kecil diberisesuatu oleh orang lain (diberi
hibah), maka hibah itu tidak sempurna kecuali dengan adanya
penerimaan oleh wali. Wali yang bertindak Untuk dan atas nema
penerimaan hibah dikala penerima hibah itu belum ahlinya al-Ada'
alKamilah.
Selain orang, lembaga juga bisa menerima hadiah, seperti
lembaga pendidikan. Jadi pemeberian hibah tidak harus pada individu,
bisa diberikan kepada kelompok atau Lembaga.
b. Barang yang Dihibahkan Yaitu suatu harta benda atau barang yang
diberikan dari seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya Segala
benda dapat dijadikan hak milik adalah dapat dihibahkan, baik benda
itu bergerak atau tidak bergerak, termasuk Segala macam piutang.
Tentunya benda-benda atau barang-barang tersebut harus Memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Banda tersebut benar-benar ada.
2) Benda tersebut mempunyai nilai.
3) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannyadan
pemilikannya dapat dialihkan.
4) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dandiserahkan kepada
penerima hibah.17
5) Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima.

17
Chairuman Pasaribu, dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, h.115-115 Lihat pula
Helmi karim, Fiqih Muamalah, h.76-78.

16
6) Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan
terhadap barang-barang bercampur dengan milik orang lain,
sedangkan menurut ulama Malikiyah, Hambaliyah, dan Syafi'iyah
hal tersebut dibolehkan.
7) Penerima pemegang hibah atas seizing wahib.18

c. Sigat (Ijab dan Qobul)


Sigat adalah kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang
melaksanakan hibah karena hibah adalah akad yang dilaksanakan oleh
dua pihak yaitu penghibah dan penerima hibah, maka sigat hibah itu
terdiri ijab dan qobul, yang menunjukkan pemindahan hak milik dari
seseorang (yang menghibahkan) kepada orang lain (yang menerima
hibah). Sedangkan pernyataan menerima (qobul ) dari orang yang
menerima hibah. Karena qobul ini termasuk rukun. Bagi segolongan
ulama madzhab Hanafi, qobul bukan termasu rukun hibah
Hibah dalam hukum di Indonesia mengenai batasan usia antara
wasiat dengan hibah terdapat kesamaan keduanya sama batasan
usianya yaitu 21 tahun. “Pada pasal 210 ayat 1: Orang yang telah
berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya
paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya
kepada orang lain atau, lembaga di hadapan dua orang saksi untuk
dimiliki” (Ramulyo, Idris 1992).
Ketentuan ini juga memberikan isyarat bahwa usia dewasa bagi
seseorang dapat menghibahkan harta harus telah mencapai umur 21
tahun. Adanya batasan usia ini menjadi sesuatu yang mep.gikat,
mengingat kedewasan sangat diperlukan, agar penggunaan harta tidak
menjadi mubadzir.
Ketentuan di atas sesuai dengan ketentuan yang terdpat pasal
330 KUH Perdata tentang usia dewasa. Di mana usia dewasa dalam
KUH Perdata adalah 21 tahun. Memperhatikan batasan usia dewasa
tentang wasiat dan hibah dalam KHI berbeda dengan fiqh Islam,
terdapat ketidaksinkronan. Dalam KHI batasan usia penghibah 21
tahun, sedangkan dalam “fiqih Islam batasan usianya 15 tahun” (As’ad
1979). Maka dapat difahami, bahwa batasan usia dewasa 21 tahun
tidak sesuai (sinkron) dengan fiqih Islam.
Hibah tidak dapat dicabut kembali oleh penghibah, pasal 212:
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya. Jumhur ulama berpendapat bahwa pencabutan dalam hibah
18
Rahmat syafi'i, Fiqih Muamalah, hal 247

17
itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami
isteri, kecuali bila hibah itu dari orang tua kepada anaknya. Maka
pencabutannya dibolehkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh para
pemilik sunan, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa Nabi Saw.
bersabda:
“Telah memberitakan pada kami Musaddad, telah memberitakan pada
kami Yazid yaitu Ibnu Zurai', telah memberitakan pada kami Husen
al-Mi'allam dari 'Amr bin Syu'aib dari Thawus dari Ibnu Umar dan
Ibnu Abas dari Nabi bersabda: Tidak halal bagi seorang laki-laki
untuk membenkan pemberian atau menghibahkan suatu hibah,
kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah
itu hibah dari orang tua kepada ankanya. Perumpamaan bagi orang
yang membenkan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya
(menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang
makan, lalu setelah anjing kenyang ia muntah, kemudian ia memakan
muntahnya kembali”. (H.R Abu Dawud dalam al-Maktabah al-
Syamilah)
Berdasarkan pada hadits di atas, maka hibah pada prinsipnya
dalam fiqih Islam tidak boleh dicabut. Hal di atas dituangkan dalam
KHI pasal 212. Terdapat pengecualian bolehnya dicabut apabila
penghibahnya itu orang tua pada anaknya. Hal ini dapat dimakulmi
bahwa orang tua menghibahkan harta pada anaknya, sekalipun di tarik,
maka harta tersebut juga pada akhiraya akan menjadi warisan untuk
anaknya.
4. Hikmah hibah
Setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan memiliki dampak bagi
kita baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Hikmah dari hibah itu
sendiri antara lain:
a. Menghilangkan iri dan dengki
Dalam kitab Abi 'Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhariy,
Shahih Bukhariy, Juz I. h. 90-91 Rasulullah SAW. Bersabda: "Saling beri
memberilah kamu sekalian, sesungguhnya hibah itu menghilangkan iri
dengki"19
b. Menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang
Rosululloh Shollallohu alaihi sa sallam berkata: “Saling memberi
hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai”. (HR. Al Bukhori

19
Abi 'Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhariy, Shahih Bukhariy, Juz I. h. 90-91

18
dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al Imam Al Albani
rohimah…ullohu dalam Irwa’ul Gholil no. 1601).
c. Menumbuhkan jiwa sosial dan akhlaq
Rosululloh Shollallohu alaihi wa Sallam berpesan kepada Abu
Dzar r.a: “Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah
maka perbanyaklah air (kuahnya) dan berikanlah kepada tetanggamu.”
(HR. Muslim no. 6631).
Hikmah hibah yang di sabdakan oleh nabi Muhammad SAW. agar
kita senantiasa suka berlomba-lomba dalam kebaikan dan seling
membantu antar sesama muslim. Dengan berhibah kita tidak hanya akan
mendapatkan keuntungan dalam segi duniawi saja namun juga akan
bedampak pada kehidupan kita yang selanjutnya.

19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil
manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hibbah adalah memberi sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan tanpa
pambri. Hibah juga bisa dikatakan dengan shodaqoh. Waqaf dan hibah
merupan dua perbuatan kebajikan yang bertujuan untuk menharap ridho Allah
SWT. namun diantara keduanya memiliki perbedaan baik dalam persaratan
maupun dalam penerapannya, sehingga memang harus diperhatikan dan
dicermati.
Tujuan dari waqaf dan hibah itu ialah untuk membantu saudara kita
sesama muslim dan demi kesejahteraan ummat islam. Dengan adanya waqaf
dan hibah diharapkan kemiskinan bisa teratasi dan perekonomian ummat bisa
menjadi lebih baik. Waqaf dan hibah merupakan amalan yang berbentuk
sosial, melibatkan beberapa orang atau golongan dari ummat islam. Dengan
demikian waqaf dan hibah bukan hanya tentang harta atau benda yang bisa
meningkatkan perekonomian tapi juga akan menambah rasa kasih sayang dan
lebih mempererat tali persaudaraan antar umat islam.

B. Saran
Setiap perbuatan sosial tentu ada aturan yang mendasarinya, sehingga
kita harus tau dan memahami aturan itu agar kita tidak salah dalam melangkah
atau mengambil keputusan. Ilmu fiqih menjelaskan bagaimana aturan dalam
mejalankan kehidupan sosial serta bagaimana kita menghadap sang ilahi robbi
agar segala sesuatu yang kita lakukan itu tidak sia-sia. Sehinngga akan
menjadi bermakna dan bernilai ibadah
Selanjjutya, kami sebagai penulis mohon maaf apabila banyak terdapat
kekurangan dalam makalah ini baik yang disesngaja atau tidak tidak
disengaja. Kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi kebaikan
kami kedepannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hussaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad. tth. Kifayah Al Akhyar,
Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.
As’ad, Aliy. 1979. "Fathul Mu’in." In Fathul Mu’in Jilid II, by terj. Moh. Tolchah
Mansor, hlm. 232-233. Kudus: Menara.
Badan Wakaf Indonesia. 2020. "BWIBadan Wakaf Indonesia (BWI)." ww.bwi.go.id.
Accessed 10 21, 2020. https://www.bwi.go.id/pengertian-wakaf/.
dahlan, Abdul aziz. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve.
Departemen Agama. 2003. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta:
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan
Haji.
Direktori Pemberdayaan Wakaf. 2007. Fiqih Wakaf. Jakarta: Dirjend Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI.
JavanLabs. 2015. "TafsirQ." www.tafsirq.com. Accessed 10 21, 2020.
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-267.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Ponpes al-
Munawwir.
Praja, Juhaya S. 1995. Perwakafan di Indonesia. Bandung: Yayasan Piara.
Ramulyo, Idris. 1992. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya.
—. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika; Ed. 2.
S.Praja, Juhaya. 1995. Perwakafan di Indonesia. Bandung: Yayasan Piara.
Sabiq, Sayyid. tth. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr.

21
22

Anda mungkin juga menyukai