Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

IJMA’ DAN QIYAS

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur


Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu : Lathifatul Janah, M.Pd

Disusun oleh:
Yusuf Prasandias 2108204162
Windi Aulia 2108204168

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (FEBI)
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur terpanjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan segala
Karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Ijma’ dan Qiyas” sebagai Tugas Terstruktur Mata Kuliah Metodologi Studi
Islam.
Penyusunan makalah ini tidak lain dibuat untuk dipelajari serta dipahami
bersama-sama demi menunjang keberhasilan dalam proses belajar dan mengajar
di perkuliahan ini. Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari
berbagai sumber baik berupa jurnal-jurnal serta buku yang berkaitan dengan mata
kuliah ini. Dan tidak terlepas daripada bimbingan dari Dosen Ampu ibu Lathifatul
Jannah, M.Pd.
Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tidak ada
yang sempurna kecuali Sang Khaliq. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan
saran dan kritik yang membangun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Cirebon, 5 Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................2


DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I .................................................................................................................................4
PENDAHULUAN .............................................................................................................4
A. Latar Belakang .......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................5
BAB II ...............................................................................................................................6
PEMBAHASAN ................................................................................................................6
A. Ijma’ .......................................................................................................................6
1. Pengertian ijma’ .................................................................................................6
2. Syarat-Syarat Ijma' .............................................................................................6
3. Rukun-Rukun Ijma' ............................................................................................7
4. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam...............................................7
5. Macam-Macam Ijma’ .........................................................................................8
6. Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’ ............................................................................8
7. Contoh Penerapan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Ekonomi ..............................9
B. Qiyas ......................................................................................................................9
1. Pengertian Qiyas ................................................................................................9
2. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Qiyas ............................................................10
3. Kedudukan Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam ............................................11
4. Macam-Macam Qiyas ......................................................................................12
5. Sebab-Sebab Dilakukan Qiyas .........................................................................12
6. Contoh Penerapan Qiyas Dalam Istinbath Hukum Ekonomi Dan Keuangan
Syariah .....................................................................................................................13
BAB III ............................................................................................................................14
PENUTUP .......................................................................................................................14
A. Kesimpulan .........................................................................................................14
B. Saran ...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada setiap ajaran yang ada di muka bumi ini, mempunyai ketetapan
hukum yang berlaku dari segi agama yang dimiliki setiap orang dari ketentuan
atau hukum yang mengikat para penganutnya. Agama islam merupakan agama
yang tidak luput dari hukum dan peraturan, islam sebagai agama samawi yang
terjaga kemunianya dan kesucian kitabnya, jauh dari kerusakan dari tangan
jahil manusia. Al Quran merupakan sumber hukum utama dalam agama islam
patutlah di pahami dan kaji secara mendalam oleh manusia yang beriman agar
mampu menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi-Nya Allah SWT.
Islam merupakan ajaran ilahi yang holistik (seragam) dan lengkap
menyangkup semua aspek kehidupan. Itu sebabnya islam di lihat secara global
dari segi hukum berupa Al-Quran , Hadits, Ijma, Qiyas untuk di terapkan
kedalam kehidupan sehari-hari. Setiap pekerjaan atau kegiatan dalam islam,
termasuk kegiatan ekonomi, harus tetap dalam karangka hukum dan syariah
(hukum tuhan), ekonomi islam memiliki sifat dasar sang pencipta dan
ekonomi manuisa. Ekonomi yang di atur oleh islam dapat membawa kebaikan
dan kesejahteraan secara utuh ( falah) dalam hidup dan kehidupan.
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa
ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an
dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di
mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung
kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw
wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-
permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-
Qur`an dan Al-Hadist. Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks,
oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijma’ Qiyas?
2. Apa saja syarat-syarat Ijma' dan Qiyas?

4
3. Apa saja rukun-rukun Ijma' dan Qiyas?
4. Bagaimana kedudukan Ijma’ sebagai sumber hukum islam?
5. Apa saja macam-macam ijma’?
6. Apa yang saja sebab-sebab dilakukan Ijma'dan Qiyas ?
7. Bagaimana Contoh penerapan ijma’ dan Qiyas sebagai Sumber Hukum
Ekonomi?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Ijma’ dan Qiyas.
2. Mengetahui Apa saja rukun-rukun Ijma' dan Qiyas.
3. Mengetahui Apa saja syarat-syarat Ijma' dan Qiyas.
4. Mengetahui Bagaimana kedudukan Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber
hukum islam.
5. Mengetahui apa saja macam-macam ijma’ dan Qiyas.
6. Mengetahui apa yang saja sebab-sebab dilakukan Ijma' dan Qiyas.
7. Mengetahui bagaimana Contoh penerapan ijma’ dan Qiyas sebagai
Sumber Hukum Ekonomi.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijma’
1. Pengertian ijma’
Secara etimologi, ijma’ adalah niat yang kuat dan kesepakatan.
Adapun secara terminologi, ijma’ merupakan kesepakatan para mujtahid
ummat ini setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
suatu hukum syar’i.
Menurut Wahbah Zuhaily, pengertian etimoligi dari Ijma ada dua,
yaitu al-Azm dan al-ittifaq, namun dalam pengertian keduanya memiliki
konsekuensi tersendiri karena yang pertama (al-Azm) cukup hanya
dilakukan oleh satu orang sedangkan yang keduaharus dengan kelompok
(muta’addih). Menurut al-tufi, Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
dari umat islam pada zaman nya tentang problamatika agama. Sedangkan
menurut Al-Ghazali, ijma’ adalah kesepakatan ummat nabi Muhammad
SAW khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama.
Ijma’ merupakan hasil dari argumentasi yang diekposisikan oleh
para mujatahid pada masanya setelah meninggalnya nabi Muhammad
SAW baik dari perkataan(bi al-qaul) maupun perbuatan (bi al-fi’il).
Adapun yang memiliki legalitas ber-Ijma’ adalah orang-orang yang
profesional dalam bidang agama islam. Hal ini di sebabkan oleh dua
alasan : pertama Ijma merupakan landasan hukum yang wajib diikuti dan
tercela jika di tinggalkan. Kedua Ijma’ menentukan hukum satu perkara
dan menafsirkan teks-teks wahyu, menganalogikanya (ta’wil) atau mencari
alasan (ta’lil) hukum dari teks (nash).
2. Syarat-Syarat Ijma'
Ijma’ sangat di perlukan jika persoalan-persoalan ummat yang
tidak ada dalam Al-Quran dan Hadits. Kemudian dalam perkembangan
ulama ushul fiqih memberikan penjelasan pada ijma’ada kaidah-kaidah
dan syarat-syarat yan harus dipenuhi sehingga sebuah ijtihad bisa di
katakan sebuah Ijma’ yaitu:

6
1) Timbulnya kesepakatan artinya, kesepakatan yang dilahirkan atas
dasar kesamaan baik keyakinan, perbuatan dan perkataan.
2) Para mujtahid, mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan
dalam mengambil beberapa hukum.
3. Rukun-Rukun Ijma'
Jumhur ulama’ Ushul Fiqih merumuskan lima rukun yang harus
dipenuhi untuk terjadinya Ijma’, yaitu:
1) Produk hukum yang dihasilkan melaui Ijma’ tersebut harus diperoleh
kesepakatan seluruh mujtahid. Karenanya, apabila daianta para
mujtahid yang berbeda pandangan atas produk hukum yang dibuat,
maka hukum tersebut tidak dinamakn ijma.
2) Mujtahid yang terlibat dalam mencurahkan segenap tenaga untuk
mengistinbatkan hukum tersebut adalah seluruh mujtahid yang ada
pada masaitu yang datang dari penjuru dunia islam.
3) Kesepakatan pendapat/produk hukum itu muncul dari masing-masing
mujtahid setelah mengungkapkan arah pkiranya.
4) Kesepakatan itu terlihat jelas dikemukakan para mujtahid dalam
bentuk pendapat maupun perbuatan.
5) Kesepakatan itu dihasilkan dalam satu perhimpunan para mujtahid.
4. Kedudukan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam
Mayoritas ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah
dan sumber hukum Islam dalam menetapkan suatu hukum dengan nilai
kehujjahan yang bersifat zanni. Ulama-ulama Hanafi dapat menerima
ijma’ sebagai dasar hukum, baik ijma’ qath’i maupun zanni.
Adapun ulama-ulama Syafi’iyah hanya memegangi ijma’ qath’I
dalam menetapkan hukum (Mulyani, et al 2021).
Dalil Al-Qur’an. Dalam QS. An-Nisa ayat 59
َ ‫سو َل َوأُولِي أاْل َ أم ِر مِ أن ُك أم ۖ فَإِ أن تَنَازَ أعت ُ أم فِي‬
ٍ‫ش أيء‬ ُ ‫الر‬َّ ‫َّللاَ َوأَطِ يعُوا‬
َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أَطِ يعُوا‬
‫يل‬ َ ‫اَّلل َو أال َي أو ِم أاْلخِ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌأر َوأَحأ‬
ً ‫س ُن ت َأ أ ِو‬ ِ َّ ‫سو ِل ِإ أن ُك أنت ُ أم تُؤأ مِ نُونَ ِب‬
ُ ‫الر‬ ِ َّ ‫فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬
َّ ‫َّللا َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)

7
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”
Dalil Hadits. “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam
kesesatan.” (HR. At-Tirmizi)
5. Macam-Macam Ijma’
Menurut abdul wahab khallaf, Ijma’ terbagi menjadi dua yaitu
Ijma’sharih (the real Ijma’) dan Ijma’sukuti (the silent Ijma’). Ijma’ sharih
ialah setiap mujtahid wajib menerima kesepakatan atas hujjah (dalil
hukum). Ijma’ sukuti, yaitu Ijma sukuti menurut jumhur ulama ialah
pendapatan suatu kejadian yang terjadi dalam sistem fatwa yang tidak
memberikan komentar terhadap pendapat (Muhammad et al., 2021).
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua
macam Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu :
1) Ijma Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
2) Ijma Sukuti
Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria dibawah
ini.
a. Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya
kesepatakan atau penolakan.
b. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama.
c. Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah
permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yangbersifat
zhanni.
6. Sebab-Sebab Dilakukan Ijma’
1) Karena adanya persoalan-persoalan yang mesti dicari status
hukumnya, sedangkan di Al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan.
2) Karena nash dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak turun lagi atau
sudah terhenti.

8
3) Karena pada saat itu jumlah mujtahid belum terlalu banyak, maka
dalam menentukan status hukumnya masih terbilang mudah.
4) Belum timbul perpecahan di antara para mujtahid, dan jika ada
perselisihan pendapat masih mudah dipersatukan.
7. Contoh Penerapan Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Ekonomi
Di era kontemporer ini, ijma’ dapat direpretasikan melalui forum-
forum ilmiah seperti majma al-fiqh al-islamiy. Dewan syariah nasional-
majelis ulama indonesia sebagainya. Oleh karena itu, jika bentuk
kesepakatan ulama ini di kaitkan dengan problematika mua’amalah
maliyyah mu’ashirah (hukum ekonomi syariah kontemporer, maka dapat
di hasilkan sebagai berikut.
Ijma’ Tentang Kaharaman Bunga Bank
Menurut yusuf al-Qardhawi telah lahir sebuah kesepakatan para
ulama (ijma’) dari berbagai lembaga pusat penelitian, muktamar, dan
seminar-seminar fiqih dan ekonomi islam, yang mengharamkan bunga
bank (fawaid al-bunuk), dan bunga bank tersebut ialah riba yang di
haramkan tanpa di ragukan lagi. Kesepakatan itu lahir sejak tahun 1965
sampai sekarang. Di indonesia majelis ulama imdonesia telah
mengeluarkan fatwa tentang bunga bank. Pada tanggal 16 Desember 2003,
MUI mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk dalam katagori riba
kemudian dikukuhkan dengan pada tanggal 6 januari 2001 dalam fatwa
nomor 1 tahun 2004 tentang bunga (Interst fa’idah).
B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Secara bahasa, qiyas artinya menyamakan, menganalogikan,
membandingkan atau mengukur, seperti sesuatu yang memiliki persamaan
(Naya, F. 2017). Adapun secara istilah, qiyas adalah menetapkan hukum
suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya sehingga
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa lain
yang telah ditetapkan hukumnya dalam suatu nash.
Sedangkan para ulama ushul fiqih memberikan definisi yang
berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan

9
qiyas dalam istinbath hukum yang dalam hal ini, mereka terbagi dalam dua
golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan
manusia yakin pandangan mujtahid sebaliknya menurut golongan kedua
qiyas merupakan ciptaan syari’ yakni merupakan dalil huum yang berdiri
sendiri atau merupakan hujjat ilahyah yang dibuat syari’ sebagai alat untuk
mengetahui suatu hukum.
2. Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Qiyas
Qiyas yang merupakan salah satu metode dalam pengambilan
hukum mempunyai beberapa rukun. Adapun rukun qiyas yang disepakti
para ulama fiqih ada empat macam, yaitu:
1. Ashl (asas, dasar, sumber dan pangkal)
Ashl dalam pembahsan qiyas merupakan kasus lama yang dijadikan
obyek penyerupaan atau kasus yang ada ketetapan hukumnya secara
tekstual dalam nash maupu ijma’.
Sebagai salah satu rukun qiyas, Ashl juga harus memenuhi beberapa
syarat yaitu:
a. Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak akan di
nash-kan.
b. Hukum itu di tetapkan berdasarkan syara’ bukan aqli.
c. Ashl itu bukan merupakan far’u dari nash lainya. Artinya,
ketetapan hukum pada ashl bukanlah berdasarkan qiyas.
d. Dalil yang menetapkan illat pada ashl adalah dalil khusus, tidak
bersifat umum.
e. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
2. Far’u (yang di serupakan, magis atau di qiyaskan)
Dalam konteks qiyas, farú diartikan sebagai kasus yang di serupakan
kepada ashl karena tidak ada nash secara jelas.
Sebagai far’u mempunyai syarat yang harus dipenuhi yakni:
a. Far’u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash
atau ijma’.
b. Harus ditemukan illat ashl pada far’u dengan kadar sempurna dan
tidak kurang dari kadar illat yang terdapat pada ashl.

10
3. Hukum al-ash (hukum asal), yang dimaksud hukum al-ashl adalah
hukum atas suatu peristiwa yang sudah di tetapkan dalam nash dan
dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
4. Al-illah, yang dimaksud al-illah dalam konteks qiyas adalah suatu sifat
yang emperik atau nyata kebenaranya yang terdapat pada peristiwa
asal agar suatu al-illah sah, dijadikan sebagai landasasn qiyas
(Masyhadi, 2020).
3. Kedudukan Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam
Qiyas atau analogical reasoning merupakan suatau metode istinbat
hukum yang menempati posisi keempat, dari sumber hukum yang di
sepakati oleh para ulama. Para ulama menilai bahwa semua produk hukum
fiqih yang di hasilkan oleh metode qiyas benar-benar valid dan memiliki
kekuatan hukum yang dapat di pertanggung jawabkan secara rasional.
Dalam definisi secara implisit di tekankan bahwa aktivitas qiyas membuka
dan memperlihatkan suatu hukum (al-kasyf wa al-izhhar’), bukan
menetapkan dan memunculkan sesuatu hukum (al-itsbat wa al-insya’).
Jumhur ulama telah menyepakti bahwa qiyas sebagi sumber
hukum, akan tetapi tingkat penerimaan sebagi sumber hukumnya
bervariasi, sebagai berikut:
1. Kelompok mayoritas (jumhur) berpendapat bahwa menggunakan
qiyas dalam masalah ibadah, secara akal (logika) boleh (ja’iz) dan
secara syara’ wajib menjalankannya. Al-Qaffal dan Anbu al-husain al-
Bashri al-Mu’tazili mengatakan bahwa secara nalar dan dalil naqli
qiyas wajib dilakukan.
2. Kelompok al-Qosani, al-nahrawani, dan al-Ashfihani: qiyas hanya
bisa dilakukan apabila illat hukumnya ashl (asal) ada nashnya, baik
secara jelas (sharia) maupun secara isyarat (ima’), serta apbila
hukumnya fara’ lebih utama dari ashl.
3. Kelompok Zhahiriyah dan al-Saukani, qiyas secara akal boleh (ja’iz),
tetapi hal itu secara syara’ tidak di wajibkan.
4. Kelompok syi’ah Imamiyah dan al-Nazhzhamdari aliran Mu’tazilah:
qiyas qiyas dalam hal ibadah tidak mungkin (mustahil), karena dalam

11
qiyas akan muncul dua hal yang kontradiktif (al-tanaqudhl). Dalam
hal ini tampak jelas bahwa pandangan al-Nazhzham tidak beba
dengan pandangan al-Qasaniy (Silahuddin, 2021).
4. Macam-Macam Qiyas
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi dalam hal ini dapat
dibagi tiga yaitu sebgai berikut:
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatn iilat pada furu’.
Contoh mengqiyaskan keharaman mumukul orang tua kepada ucapan
“uf” berkata kasar dengan illat menyakiti. Ditegaskan allah berfirman:
Artinya: ...maka sekali-kali jangan kamu mengatakan kepada
keduannya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah perkataan yang mulia”(QS. Al-Isra’:23).
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya pada furu’ sama keadaanya
dengan berlakunya hukum pada ashl karena kekuatan illat-nya sama.
Umpamanya qiyaskan dengan memakan harta anak yatim secara tidak
pantas dalam menetapkan hukum haramnya. Firman Allah artinya: “dan
berikanlah kepada anak-anak yatim(yang sudah baliq) harta mereka.
Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-
tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar”.
3. Qiyas adwan, qiyas yang berlakunya pada furu’lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada asal meskipun qiyas
tersebut memenuhi peryaratan. Mengqiyaskan apel dengan gandum
dalam menetapkan berlakunya riba bila di pertukarkan dengan barang
sejenis. Illat-nya bahwa ia adalah makanan. Memberlakukan hukum
riba pada apel lebih rendah dari pada berlakunya berlakunya hukum
riba pada gandum karena illati-nya lebih kuat (Muslimin, 2019).
5. Sebab-Sebab Dilakukan Qiyas
1. Karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status
hukumnya sedangan di Al-Qur’an dan Hadits belum ditemukan dan
mujtahid pun belum melakukan ijma’.

12
2. Karena nash, baik Al-Qur’an dan Hadits telah berakhir dan tidak turun
lagi.
3. Karena adanya persamaan ‘illat antara peristiwa yang belum ada
hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh
nash (Mulyani, et al 2021)
6. Contoh Penerapan Qiyas Dalam Istinbath Hukum Ekonomi Dan
Keuangan Syariah
Salah satu penerapan Qiyas yang sudah terjadi baru-baru ini yaitu
transaksi e-commerce melalui marketplace diqiyaskan terhadap bai’ as-
salam (as-salaf). Bai’ as-salam merupakan jual beli pesanan, dimana
dilakukan pembayaran di muka dan penyerahan barang pesanan
belakangan di lain waktu (pembayaran tunai,penyerahan barang tunda),
sebab barang tidak ada dan tidak bisa serahkan di majelis akad. Bai’ as-
salam di kenal pula dengan nama as-salaf. (Hidayatullah, 2020).
Pada dasarnya di masa rasullah saw, transaksi bai’ as-salam biasa
diterapkan masyarakat setempat dengan objek transaksi adalah hasil
pertanian/perkebunan. Sebagaimana hadits Nabi SAW, artinya: “Dari Ibnu
'Abbas ra. berkata: Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di
Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-
buahan dengan sistem salaf, yaitu membayar dimuka dan diterima
barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian, Maka
Beliau bersabda: "Siapa yang mempraktekkan salaf (salam) dalam jual beli
buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan
timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang di ketahui.”

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan bahwa Ijma’dan Qiyas
merupakan sumber hukum yang ketiga dan keempat dalam beribadah maupun
bermuamalah. Jumhur ulama Ushul fiqih menyatakan bahwa ijma’ merupakan
suatu prinsip sebagai landasan dasar usaha mujtahid dalam memutuskan
permasalahan terhadap kasus yang belum memiliki nash setelah Al-Quran,
Hadits, Ijma’ memiliki peran dalam pembentukan hukum yang belum ada
nashnya, pada fungsi ijma’ jika mampu meningkatkan hukum yang bersifat
dhony(lemah) menuju Qoth’i (kuat).
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami tulis mengenai, “Ijma’ & Qiyas”
yang telah kami buat. Terima kasih kepada semua pihak yang sudah berkenan
untuk membacanya. Semoga bermanfaat untuk menunjang proses
pembelajaran ini. Mohon maaf atas segala kekurangan, kritik dan saran kami
harapkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, M. S. (2020). KONSTRUKSI BERPIKIR QIYAS SEBAGAI


PENALARAN IJTIHAD DALAM INSTINBATH HUKUM EKONOMI
DAN KEUANGAN SYARIAH. Jurnal Ilmiah Ar-Risalah: Media Ke-
Islaman, Pendidikan Dan Hukum Islam, 18(2), Article 2.
https://ejournal.iaiibrahimy.ac.id/index.php/arrisalah/article/view/970
Masyhadi, A. (2020). Implementasi Qiyas Dalam Ekonomi Islam. Al-Musthofa:
Journal of Sharia Economics, 3(2), Article 2.
https://ejournal.iaitabah.ac.id/index.php/musthofa/article/view/606
Mulyani, S., Iswahyudi, Widodo, S., & Latif, M. (2021). Fikih. Fitrah, 10.2: 34-
51.
Muslimin, E. (2019). Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal
Mamba’ul’ulum, Vol. 15, No. 2.
Naya, F. (2017). Membincang Qiyas Sebagai Metode Penetapan Hukum Islam.
Jurnal Syariah dan ekonomi Islam, 11, 175-177.
Silahuddin, M. (2021). KONTRADIKSI DUA SUMBER HUKUM UTAMA
DIALEKTIKA HADITS AHAD DAN QIYAS. An Nawawi, 1(1), Article
1. https://doi.org/10.55252/annawawi.v1i1.5
Wafa, A. (2020). Kedudukan Qiyas Sebagai Sumber Dalil Hukum Syara’ dan
Problematikanya. IQTISODINA, 3(2), Article 2.
http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/IQTISODINA/article/
view/496
Muhammad, H., Alimuddin, A., Wahdini, M., & Aisyah, L. (2021). Ijma’ Dalam
Konteks Penetapan Hukum Pada Suatu Negara. Istinbath : Jurnal Hukum,
17(2), Article 2. https://doi.org/10.32332/istinbath.v17i2.2391
Putra, P. A. A. (2021). KONSEP IJMÂ’ DAN APLIKASINYA DALAM
MU’ÂMALAH MÂLIYYAH (HUKUM EKONOMI SYARIAH). Islamic
Banking : Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan Perbankan Syariah, 7(1),
149–178. https://doi.org/10.36908/isbank.v7i1.299

15

Anda mungkin juga menyukai