Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

FIQH DAN USHUL FIQH

“FIQH DAN HUKUM POSITIF SERTA

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH”

Dosen Pembimbing : Ust. Abdul Razak, Lc., M.A.

Kelompok 3 :

Maulana Ihsan Ahmad (180502031)


T.M. Haikal Maulana (180502012)
Muhammad Reiqal (180502101)

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY


DARUSSALAM - BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon


pertolongan dari-Nya dan meminta ampunan dari-Nya dan meminta perlindungan
kepada-Nya dari kejahatan diri kita serta keburukan amal perbutaan kita. Shalawat
dan salam semoga terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Karena hidayah-Nya pula, Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Fiqh dan Hukum Positif Serta Sejarah Perkembangan Fiqh”
ini sebagai tugas dari mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh tepat pada waktunya. Pada
kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Ust. Abdul
Razak, Lc., M.A. selaku dosen mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yang telah
memberikan banyak bimbingan dan pengarahan; rekan-rekan, serta semua pihak
yang telah membantu sehingga makalah ini dapat selesai pada waktunya.
Akhirnya penulis mohon kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan
makalah ini. Selanjutnya penulis berharap makalah yang sederhana ini dapat
bermanfaat, terutama bagi yang membutuhkannya.

Banda Aceh, 8 April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
1) Hubungan Fiqh dan Hukum Positif...................................................... 3
a. Pengertian Hukum Islam .......................................................... 3
1. Hukum Islam ...................................................................... 3
2. Syariat ................................................................................ 4
3. Fiqih ................................................................................... 4
4. Hubungan antara Hukum Islam, Syariat, dan Fiqh ............ 5
5. Ushul Fiqih ......................................................................... 6
b. Ruang Lingkup Hukum Islam .................................................. 6
1. Pengertian Ruang Lingkup Hukum Islam .......................... 6
2. Ibadah ................................................................................. 6
3. Muamalah........................................................................... 6
1. Hukum Perdata (Islam) ................................................ 7
2. Hukum Publik (Islam) .................................................. 7
c. Kaidah-kaidah Fiqih yang umum ............................................. 8

2) Konsep Hukum..................................................................................... 10

3) Pengertian Sumber Hukum .................................................................. 12

4) Sumber Hukum Islam dan Hukum Positif ........................................... 14

5) Analisis Perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif ................... 19

6) Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh ........................................................ 21

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 32

A. Kesimpulan .......................................................................................... 32
B. Saran..................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
sunnah Rasul tentang tingakh laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini
berlaku untuk semua umat yang beragama Islam. Seacar singkat bisa dikatakan
bahwa hukum Islam adalah hukum yang berdasarkan wahyu Allah. Sehingag
hukum Islam menurut ta’rif mencakup hukum syari’ah dan hukum fiqih, karena arti
syara’ fdan fiqih terkandung di dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kalau ada yang mengatakan
bahwa hukum Islam itu tidak berubah dan tetap maka yang dimaksudkan dengan
kata hukum islam disini adaalh bermakna syari’ah atau hukum syara’.
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersama-sam dengan masuknya agama
Islam di Indonesia. Mausknya Islam telah masuk Indonesia pada abad pertama
tahun 1963, agaam Islam telah masuk Indonesia pada abad pertama Hijriyah, abad
ketujuh/kedelapan Miladiyah. Meskipun demikian, daalm sejarahnya, hukum Islam
yang bagi umat muslim adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
beragama itu, mengalami berbagai kendaal untuk akhirnya tertuang didalam
peraturan perundang-undangan.
Terminologi hukum umumnya dipahami mengacu pada seperangkat norma
atau aturan tentang segala sesuatu. Di Indonesia, konsepsi hukum mengacu kepada
dua hal, yaitu hukum umum dan hukum Islam. Hukum umum (selanjutnya disebut
hukum positif) yang berlaku di Indonesia berasal dari hukum Barat. Hukum dalam
konsepsi ini sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia
sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan
(Barat) yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia yang
lainnya dan hubungan manusia dengan benda yang ada di dalam masyarakat.
Pengertian hukum dalam konsepsi Barat berbeda dengan pengertian hukum
dalam konsepsi Islam. Dalam konsep Islam, tidak hanya diatur tentang hubungan
manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan benda yang ada dalam
masyarakat saja, tetapi juga diatur hubungan-hubungan lainnya. Manusia yang
hidup di dalam masyarakat memiliki berbagai bentuk hubungan; mulai dari
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan
manusia lain dan hubungan benda dalam masyarakat serta hubungan dengan alam
sekitar.
Dari penjelasan diatas, Hukum positif dan hukum Islam berbeda dalam
berbagai segi. Maka, dalam makalah ini penyusun makalah akan membahas
mengenai sumber hukum positif dan hukum Islam serta analisis perbandingannya.
1
Ilmu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi, ternyata
mampu bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik individu maupun
kelompok. Ushul fiqh juga merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang kaidah
yang menjelaskan cara-cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya. Bahasan
tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini penting mengingat kedua hukum Islam, yaitu
Al-Qur’an dan sunnah berbahasa arab, untuk membimbing mujtahid dalam
memahami al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam menetapkan hukum tentu
perlu mengetahui tentang lafal dan ungkapan yang terdapat pada keduanya.
Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat, sejak
saat itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu
tersebut belum dinamakan ushul fiqh. Perkembangan terakhir dalam penyusunan
buku Ushul Fiqh lebih banyak menggabungkan kedua sistem yang dipakai dalam
menyusun ushul fiqh, yaitu aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.
Keadaan seperti ini terus berlangsung dan akan terus pula diberikan
jawabannya oleh ilmu fiqh terhadap problem yang muncul sebagai akibat dari
perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan umat islam, perkembangan lembaga tidak hanya terjadi sebagai aplikasi
ajaran islam, tetapi juga timbul hanya sebagai interaksi umat islam dengan
kebudayaan lain. Karena didalam kehidupan bersama diperlukan pranata yang
dapat memelihara ketertiban dan ketentraman, termasuk pranata hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan hukum fiqh dan hukum positif?
2. Apa konsep hukum?
3. Apa pengertian sumber hukum?
4. Apa sumber hukum fiqh dan hokum positif?
5. Bagaimana perbandingan antara hokum fiqh dan hokum positif?
6. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu fiqh?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengetahui
tentang sejarah perkembangan ilmu fiqh
2. Memahami tentang perbandingan hokum fiqh dan hukum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1) Hubungan Fiqh dan Hukum Positif

a. Pengertian Hukum Islam


System hukum dikalangan masyarakat mempunyai sifat, watak, dan
sudut pandang tersendiri. Sama juga dengan system hukum didalam ajaran
agama Islam. Islam mempunyai system hukum sendiri dengan julukan hukum
Islam. Ada berbagai macam istilah yang berhubungan dengan materi hukum
Islam, yakni syariat, fiqih, ushul fiqih, dan hukum Islam sendiri.
Istilah syariat, fiqih, dan hukum Islam sangat terkenal di antara para
penguji hukum Islam di Indonesia. Tetapi, dari ketiga istilah tersebut kerap kali
dimaknai secara tidak benar, jadi tak heran istilah ketiganya kerap kali tertukar.
Untuk menjelaskan ketiga istilah tersebut dan hubungan antar ketiganya,
terutama hubungan antara syariat dan fiqih. Ada satu lagi istilah yang termasuk
dengan materi hukum Islam yaitu usul fiqih.
Pada dasarnya hukum Islam bersumber dari wahyu ilahi, yaitu al-
Qur’an, yang selanjutnya diartikan lebih detail oleh Nabi Muhammad SAW.,
perrantara sunnah dan hadisnya. Wahyu tersebut menentukan norma-norma dan
konsep-konsep dasar hukum Islam yang langsung merubah aturan atau norma
yang telah mentradisi di tengah-tengah kalangan masyarakat. Tetapi, hukum
Islam juga sudah menyediakan berbagai macam aturan dan tradisi yang tidak
berbantahan dengan aturan-atuiran dalam wahyu Illahi tersebut.[1]

1. Hukum Islam
Istilah hukum Islam bermula dari dua kata dasar, yakni hukum dan
islam. Dalam kamus Besar Indonesia kata hukum di jelaskan dengan: 1)
peraturan atau adat yang secara sah dianggap mengikat; 2) undang-undang,
perturan, dll. Untuk mengatur sosialisasi hidup masyarakat; 3) patokan,
terkait kejadian tertentu; 4) keputusan yang sudah ditentukan oleh hakim
atau vonis. Secara sederhana hukum bisa di maknai untuk peraturan-
peraturan atau norma-norma yang mengatur attitude manusia dalam
kalangan masyarakat, baik peraturan atau norma tersebut berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat ataupun peraturan
atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan dilaksanakan oleh
pemimpin. Semula kata hukum berwal dari bahasa Arab al-hukm yaitu isim
mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang artinya “memimpin”,

1 Marzuki. Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: ombak). Hal.10

3
“memerintah”, “memutuskan”, “menetapkan”, atau “mengadili”, jadi kata
al-hukm bermakna “putusan”, “ketetapan”, “kekuasaan”, atau
“pemerintahan”. Di dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk
undang-undang sebagai hukum modern (hukum barat) dan ada yang tidak
tertulis sebagai hukum adat dan hukum Islam.
Sedangkan kata kedua yakni Islam memiliki arti yang umum, Islam
adalah agama Allah yang diturunkan oleh Nabi Muhammad saw. lalu
disampaikan kepada umat muslim untuk mencapai jalan yang benar dalam
hidupnya baik di dunia ataupun di akhirat kelak.
Dari gabungan dua kata tersebut hukum dan Islam terdapat istilah
hukum Islam. Kesimpulannnya dari pengertian diatas, bisa kita fahami
bahwa hukum Islam adalah seperangkat norma atau peraturan yang
bersumber dari Allah swt. dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur
attitude manusia ditengah-tengah masyarakatnya. Pengertian yang lebih
singkat, hukum Islam bisa di maknai sebagai hukum yang bersumber dari
ajran Islam.[2]
2. Syariat
Secara lughowi kata syariat berasal dari kata berbahasa Arab al-
syari’ah yang artinya “jalan ke sumber air” atau jalan yang wajib diikuti,
yaitu ke arh sumber poko bagi kehidupan. Bangsa Arab menerapkan istilah
tersebut khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan
diberi tanda yang jelas terlihat mata. Syariat dimaknai jalan air karena siapa
saja yang mengikuti syariat akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagai sebab kehidupan makhluk ciptaannya berupa
tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagaimana Dia menjadiakn syariat
sebagai sebab kehidupan hambanya.
Syariat juga mencakup hukum-hukum Allah bagi setiap perbuatan
manusia, yaitu berupa halal, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Kajian
yang terakhir ini disebut fiqih. Demikian, bisa disimpulkan dan difahami,
bahwa awalnya syariat mempunyai arti luas yang mencakup akidah (teologi
Islam), prinsip-prinsip moral (etika dan karakter Islam, akhlak), dan
peraturan-peraturan hukum (fiqih Islam).[3]
3. Fiqih
Secara etimologis kata “fiqih” berawal dari kata bahasa Arab al-fiqh
yang bermakna pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu. Maksudnya
ialah kata “fiqih” identik dengan kata fahm atau ‘ilm yang mempunyai arti
sama. Dalam bangsa Arab kata fiqih bermula dipakai untuk seseorang yang
ahli dalam mengawinkan unta, yang mampu membedakan unta betina dan
unta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan tersebut fiqih selanjutnya

2 Ibid. Hal. 11-12

3 Ibid. Hal.14-16

4
dimaknai “pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu
hal”.
Seperti halnya syariat, fiiqh awalnya tidak dipisahkan dengan ilmu
kalm hingga masa al-Ma’mun (meninggal 218 H) dari Bani Abbasiah.
Sampai abad ke-2 H fiiqh mencakup masalah-masalah teologis maupun
masalah-masalah hukum.
Adapun secara terminologis fikih diartikan sebagai ilmu tentang
hukum-hukum syarak yang bersifat amaliah yang digali dari dalil-dalil
terperinci. Adapun yang menjadi objek kajian ilmu fiiqih ialah perbuatan
yang mukalaf.[4]
4. Hubungan antara Hukum Islam, Syariat, dan Fiqih
Dari penjabaran diatas tentang hukum islam, syariat dan fiiqh, maka
bisa difahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari
ajaran Islam.
Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah,
maupun literature Islam. Jadi, peril dicari perpaduan istilah hukum Islam ini
dalam literature Islam. Andai hukum Islam difahami sebagai hukum yang
bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari perpaduan yang dalam
literature Islam sama persis dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang
bisa diperpadukan dengan istilah hukum Islam, yakni syariat dan fiqih. Dua
istilah tersebut, sebagaimana sudah diuraikan diatas, adalah dua istilah yang
berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat.
Sehingga memahami kedua sitilah tersebut denagn berbagai macam
karaketristik, dapat disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis
dengan syariat dan sekaligus tidak sama persis dengan fiqih. Namun, tidak
dipungkiri bahwa hukum Islam berbeda sama sekali dengan syarit dan fiqih.
Maksudnya adalah pengertian hukum Islam itu memuat pengertian syariat
dan fiqih, karena hukum Islam yang difahami di Indonesia ini terkadang
dalam bentuk syariat dan terkadang dalam bentuk fiqih, jadi seumpama
seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian
maksudnya,apakah yang berbentuk syariat atau yang berbentuk fiqih. Hal
inilah yang tidak difahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk
sebagian besar kaum muslim, sehingga mengakibatkan hukum Islam
difahami dengan penalran yang salah.
Hubungan antara syariat dan fiqih sangat erat dan tidak dapat
dipisahkan. Syariat adalah sumber atau landasan fiqih, sedangkan fiqih
adalah pemahaman terhadap syariat
Bahwa hukum-hukum fiqih adalah refleksi dari perkembangan dan
dinamika kehidupan masyarakat sesuai dengan situasi dan kondisi
zamnnya.

4 Ibid. hal. 18-20

5
5. Ushul fiqih
Istilah ushul fiqih sesungguhnya adalah gabungan dari kata usul dan
kata fiqih yang sudah dipaparkan di atas baik menurut istilah dan juga
menurut bahasa. Secara etimologis, fikih dimaknai “paham”, dan secara
terminologis fiqih dimaknai ilmu yang membahas hukum-hukum syarak
yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dari al-
Qur’an dan sunnah. Sedangakn kata usul berasal dari bahasa Arab al-ushul
yakni isim jamak dari kata dasar “al-ashl” yang mempunyai makna “poko”,
“sumber”, “asal”, “dasar”, “pangkal”, dan lain seterusnya.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari ilmu usul fiqih ialah agar bisa
menerapkan kaidah-kaidah dari dalil-dalil syarak yang terperinci supaya
sampai kepada hukum-hukum syarak yang bersifat amali yang ditunjuk oleh
dalil-dalil itu.[5]
b. Ruang Lingkup Hukum Islam
1. Pengertian Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Isalam ialah objek kajian hukum Islam atau
bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum
Islam tersebut ada dua yaitu syariat dan fiqih. Hukum Islam sangat berbeda
dengan hukum Barat yang membedakan hukum menjadi hukum privat
(hukum perdata) dan hukum public. Seiring dengan hukum adat di
Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum
public. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih di fokuskan
pada bentukl kegiatan manusia dalam melakukan hubungan.
2. Ibadah
Secara etimologis kata ibadah berasal dari bahasa Arab al-ibadah
ialah masdar dari kata kerja abada-ya’budu yang dimaknai “menyembah”
atau “mengabdi”. Sedngkan secara terminologis ibadah dimaknai dengan
“perbuatan orang mukallafyang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka
mengagungkan Tuhannya.
3. Muamalah
Secara etimoligis kata Muamalah berasal dari bahasa Arab al-
mu’amalah yang berpangkal pada dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang
bermakna membuat, berbuat, bekerja, atau bertindak. Sedangakn secara
terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain ibadah yang
mengatur hubungan orang-orang mukalaf antara yang satu dengan lainnya
baik secara pribadi, dalam keluarga, ataupun di masyarakat.
Dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yaitu pada dasarnya
semua akad dan muamalah boleh dilaksanakan, kecuali ada dalil yang
membatalkan dan melarangnya.
Ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah
menurut Abdul Wahab Khallaf sebagai berikut :

5 Ibid. hal25-26

6
a) Hukum Perdata (Islam) :
1. Ahkam al-ahwal al-syakshiyah, yang mengkaji masalah keluarga, yakni
hubungan suami istri dan antar manusia satu dengan yang lain. Jika
dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian tersebut
meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam.
2. Al-ahkam al-madaniyah, yang mengatur hubungan antar individu yang
mengakaji jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan lain-
lain. Hukum tersebut dalam tata hukum Indonesia di juluki dengan
hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.

b) Hukum Publik (Islam) :


1. Al-ahkam al-jinayyah, yang menkaji pelanggaran-pelamggaran yang
dilakukan oleh orang mukalaf dan hukuman-hukuman baginya. Di
Indonesia hukum ini popular dengan hukum pidana.
2. Ahkam al-murafa’at, yang mengkaji masalah peradilan, saksi, dan
sumpah untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini lebih
popular dengan hukum acara.
3. Al-ahkam al-dustriyyah, yang berhubungan dengan aturan hukum dan
dasar-dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi,
menetukan hak-hak individu dan social.
4. Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berelasi dengan hubungan keuangan
antara Negara Islam dengan Negara lain dan relasi keuangan antara
Negara Islam dengan Negara lain dan relasi masyarakat non muslim
dengan Negara Islam. Di Indonesia hukum ini popular dengan sebutan
hukum internasional.
5. Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang terkait dengan hak
orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber
penghasilan dan sumber pengeluarannya. Maksudnya ialah aturan relasi
keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara Negara
dengan individu.[6]
Sedangkan menurut al-ahkam al-khuluqiyahyang mengatur norma-
norma didal kehidupan social umat Islam, sesungguhnya tidak penting bagi
materi fiqih yang memfokuskan dari segi hukum, karena orientasi akhlaq
lebih ke kualitas norma-norma hukum. Adapun bidang-bidang fiqih sebagi
berikut:
1. Fiqih Ibadah ialah memahami dasar-dasar hukum yang berhubungan
dengan pengabdian seorang mukallaf kepada Allah sebagai Tuhan-Nya,
sebagi hasil penelaahan yang mendasar dari dalil-dalil tafsil yang ada di
dalm al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Fiqih Muamalah ialah terdapat kepentinagn keuntungan material dalam
prosese akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiiqh ibadah yang
dilakukan semaat-mata daalm rangka mewujudkan ketaatan kepada

6 Ibid. hal.27-34

7
Allah tanpa kepentingan material. Jual beli tidak selamanya dilakukan
langsung, yaitu penyerahan uang dan penerimaan barang dilakukan
dalam satu waktu yang sama. Ada juga dengan cara pemesanan, yaitu
uang pembelian di kasihkan dahulu sementara barang belum ada, namun
si pembeli mengatakan cirri-ciri barang yang dininginkan atau dipesan.
3. Al-ahwal al-syakhsyiyah ialah bagian dari lingkup materi fiqih Islam,
yang sejara jelasnya mengkaji tentang ketentuan-ketentuan hukum
islam terkait ikatan keluarga dari masa terbentuknya sampai proses
impilkasinya, proses harta waris, dan terakhir menagtur hubungan
kekeratan antar keluarga satu dengan yang alin.
4. Fiqih Siyasah ialah memahami proses hukum terkait masalah-masalah
politik yang dibahas dari dalil-dalil yang terperinci di daalm al-Qur’an
dan al-Sunnah. Menkaji perlu atau tidaknya Negara bagi umat muslim,
syarat-syarat seorang pemimpin, mekanisme pemilihan pemimpin
Negara, tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin dan relasi
pemerinath dengan rakyatnya.
5. Hubungan antara Fiqih Ibadah dengan yang Lainnya, maksudnya satu
kelebihan dari norma-norma hukum islam ialah bahwa ketentaun
ubudiah mempunyai hikmah yang terkait dengan aspek-aspek social,
semisla pelaksanaan ibadah shalat yang dilaksanakan secara
berjama’ah, dalam aktivitas tersebut, umat Islam bisa melakukan
sosialisasi antar umat muslim satu dengan yang lain tanpa membedaakn
perbedaan.[7]

c. Kaidah-kaidah Fiqih yang umum (Al-Qawaid Al-Fiqhiyah Al-


Ammah)
1. Kaidah-kaidah Khusus di Bidang Ibadah Mahdhah ialah realsi manusia
dengan Tuhan-Nya, yakni realsi yang akrab dan suci antara seoarng
muslim dengan Allah swt. yang bersifat ritual, contohnya, shalat, puasa,
zaakt, haji.
Banyak kaidah yang terkait dengan bidang fiqih ibadah mahdah
sebagai berikut:

• Hukum asal daalm ibadah,


• Suci adri hadas tidak ada batas waktu,
• Percampuran ibadah wajib menyempunakannya,
• Dalam satu jenis benda tidak wajib dua kali zakat
• Dan lain sebagainya.

2. Kaidah-kaidah fiqih khusu dibidang al-Ahwal al;-syakhshiyah ialah


kaidah yang khususu membahas hukum keluarga menjadi pokok
karena titik focus sumber hukum islam yakni al-Qur’an dan al-Hadis

7 Dede Rosyada. HukumIslamdan Pranata Sosial. (Jakarta: Raja Grafindo Persada). 1996. Hal. 63-
98

8
ke permasalahan keluarga yang sangat luas dan mendalam. Hukum
Islam sebagi berikut: pernikahan, wasiat, waris, hibah di kalangan
keluarga, dan terakhir wakaf dzurri.
Kaidah-kaidah daalm bidangnya sebagi berikut:
• Hukum asal pada masalah seks daalm haram,
• Akad nikah tidak rusak dengan rusaknya mahar,
• Wali yang muslim tidak boleh menikahkan wanita yang kafir
• Setiap anggota tubuh yang haram dilihat, maka lebih-lebih
haram pula dirabanya,
• Setiap perceraian karena talak atau fasakh sesudah campur,
maka wajib ‘iddah.

3. Kaidah-kaidah fiqih khusus di bidang muaamalah atau transaksi ialah


manusia diberi kebebasan berusaha di muka bumi ini, contohnya jual
beli. Untuk mensejahterakan umat manusia sebagi khalifah fi al-ardh
harus kreatif, inofatif, kerja keras tanpan pantang mundur.
Berikut bidangnya:
• Hukum asal dalam semua bentuk muamalah ialah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya,
• Dasar dari akad ialah keridhaan kedua belah pihak,
• Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan
• Mafaat suatu benda merupakan factor pengganti kerugian,
• Risiko itu disertai manfaat,

4. Akidah-kaidah fiqih yang khusus di bidang jinayah ialah hukum islam


yang mengkaji tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya,
membahas pelaku kejahatan dan perbuatannya.
Kaidah-kaidahnya sebagai berikut:

• Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa nash.


• Hindari hukuman had karena ada syubhat
• Sanksi ta’zir tergantung kepada kemaslahatan,
• Yang berbuat langsung bertanggung jawab kecuali disertai
kesengajaan,
• Tindakan jahat binatang tidak dikenai sanksi
• Aturan pidana itu tidak berlaku surat.

5. Kaidah-kaidah Fiqih yang khusus di bidang Fiqih Qadha (peradilan


dan hukum acara. Lembaga peradialn saat ini sudah berkembang lebih
ajuh lagi, baik daalm bidangnya, seperti ada Mahkamah Konstitusi,
ataupun tingkatannya muali dari daerah sampai ke Mahkamah Agung.
9
Dalam Islam, hal tersebut sah-sah saja selama sesaui dengan
perkembangan uamt manusia.
Kaidah-kaidah dibidang fiqih sebagi berikut:

• Hukum yang diputuskan oleh hakim daalm masalah-masalah


ijtiahad menghialngakn perbedaan pendapat.
• Membelanjakan harta atas perinath hakim seperti
membelanjakannya atas perintah pemilik.
• Kesalahan seorang hakim di tanggung oleh Bait al-Mal,
• Bukti wajib diberikan oleh penggugat dan sumpah wajib
diberikan oleh yang mengingkari.
• Pertanyaan itu terulang dalam jawaban,
• Orang yang dipercaya, perkataannya di benarkan dengan
sumpah,
• Seseorang dituntut karena penagkuannya,
• Dari mana kamu dapatkan ini.

6. Kaidah-kaidah fiqih yang harus di bidang siyasah ialah hukum Islam


yang objek kajiannya tentang kekuasaan. Meliputi hukum tata Negara,
administrasi Negara, hukum ekonomi, dan terakhir hukum
internasional.
Beberapa kaidahnya di bidang fiqih sebagai berikut:
• Kebijakn seorang pemimpin terhadap rakyatnay bergantung
kepada kemaslahatan
• Perbuaatn khianat itu tidak terbagi-bagi
• Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang
umum.
• Tidak diterima di negri Muslim, pernyataan tidak tahu hukum,
• Hukum asal dalam hubungan antarnegara adalah perdamaian,
• Pungutan harus disertai dengan perlindungan.[8]

2) Konsep Hukum
Konsep paling penting dan komprehensif untuk menggambarkan
Islam sebagai suatu fungsi adalah konsep Syari’ah. Secara harfiah, kata
syara’a berarti menandai atau menggambarkan jalan yang jelas menuju
sumber air. Kata ini juga dipahami sebagai “jalan kehidupan yang baik”
yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam

8 Djazuli. Kaidah-kaidah Fiqih.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group). 2011. Hal. 113-153

10
makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan
manusia.[9]
Syari’ah erat hubungannya dengan ad-din yang secara harfiah
berarti kepatuhan dan ketaatan. Syariah merupakan penentuan jalan dan
subyeknya adalah Tuhan. Ad-din adalah tindakan mengikuti jalan tersebut
dan subyeknya adalah manusia. Korelasinya telah disebutkan dalam Al-
Qur’an yaitu Q.S Al-Fath:13 “Tuhan telah menetapkan jalan yang harus
kau ikuti” dan Q.S Al-Fath:21 “Lalu apakah mereka mempunyai tuhan-
tuhan lain yang telah menetapkan jalan yang harus mereka ikuti?”.[10]
Konsep syari’ah adalah jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana
manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia
adalah konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an
sich yang menyakut seluruh tingkah laku baik spiritual, mental dan
fisik.[11]
Selain Syari’ah, konsep hukum dalam Islam juga mencakup fiqh.
Fiqh dan syari’ah tidak bisa dipisahkan. Syari’ah harus dijelaskan oleh fiqh
dan fiqh membutuhkan syari’ah.[12]
Secara definitif, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang
bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.
Dari pengertian ini, dapat ditemukan hakikat fiqh adalah:
a) Ilmu tentang hukum Allah;
b) Membicarakan mengenai hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah;
c) Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan pada dalil tafsili;
d) Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang
mujtahid atau faqih.[13]
Sebagai salah satu cabang ilmu hukum Islam, fiqh merupakan
kumpulan norma yang berasal dari ijtihad yang mengatur tingkah laku
sebagai perluasan dari syari’ah. Sementara Syari’ah adalah kumpulan
norma yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadis. Disini jelas terlihat
perbedaan antara Syari’ah dan Fiqh yang masyarakat tidak membedakan
keduanya sehingga Fiqh dianggap sakral dan tak bisa diubah.[14]

9 Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung Pustaka, 2000) hlm. 140

10 Ibid

11 Ibid., hlm. 141

12 Catatan Kuliah Ushul Fiqh: Teori dan Metodologi Hukum Islam diampu oleh Prof. Syamsul
Anwar, tanggal 19 November 2013

13 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 3-4

14 Catatan Kuliah Ushul Fiqh Tanggal 19 November 2013 ......

11
Konsep Hukum Islam yang ketiga adalah Hukum Islam itu sendiri.
Hukum Islam adalah murni bahasa indonesia yang tidak digunakan dalam
bahasa Arab terlebih dalam Al-Qur’an. Bila kata “Hukum” dihubungkan
dengan “Islam” atau “Syara’” akan berarti: “Seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-
orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.”[15] Sementara itu Fazlurrahman menegaskan
bahwa hukum Islam adalah merupakan sebuah sistem ‘kewajiban-
kewajiban’ dan ‘larangan-larangan’ daripada hukum yang spesifik.[16]
Dalam Islam, hukum bukan merupakan hubungan sehingga berlaku
walaupun hanya ada 1 orang. Hukum dalam Hukum Islam berfungsi sebagai
penghalang dan sebagai sapaan Ilahi. Wujud sapaan Ilahi adalah
mewajibkan sesuatu, mengharamkan sesuatu, menganjurkan melakukan
sesuatu, menganjurkan tidak melakukan sesuatu dan membolehkan suatu
hal.[17]

3) Pengertian Sumber Hukum


Pada hakekatnya yang dimaksudkan dengan sumber hukum adalah
tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Kata sumber hukum
sering digunakan dalam beberapa arti yaitu, (a) sebagai asas hukum, sebagai
sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya kehendak Tuhan, akal
manusia, jiwa bangsa dan sebagainya. (b) Menunjukkan hukum terdahulu
yang memberi bahan-bahan hukum yang sekarang berlaku. (c) Sebagai
sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal kepada
peraturan hukum (penguasa, masyarakat). (d) Sebagai sumber dari mana
dapat mengenal hukum misalnya dokumen, undang-undang dan sebagainya
dan (e) sebagai sumber terjadinya hukum atau sumber yang menimbulkan
hukum.[18]
Algra, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo
[19] membagi sumber hukum menjadi sumber hukum materiil dan sumber
hukum formil. Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi
hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor membantu
pembentukan hukum, misalnya: hubungan sosial, hubungan kekuatan
politik, situasi sosial ekonomis, tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan),

15 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 5.

16 Fazlurrahman, Islam,...... hlm. 114.

17 Catatan Kuliah Ushul Fiqh Tanggal 19 November 2013 ......

18 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), hlm.
82

19 Ibid

12
hasil penelitian ilmiah (kriminologi, lalu lintas), perkembangan
internasional, keadaan geografis. Sumber Hukum Formil merupakan tempat
atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Ini
berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu
formal berlaku. Sementara yang diakui umum sebagai hukum formil adalah
undang-undang, perjanjian antarnegara, yurisprudensi dan kebiasaan.
Van Apeldoorn [20] membedakan empat macam sumber hukum
yaitu, (1) sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat menemukan
hukum dalam sejarah atau dari segi historis. (2) Sumber hukum dalam arti
sosiologis (teleologis) merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum
positif, misalnya pandangan agama dan sebagainya. (3) Sumber hukum
dalam arti filosofis, yang dibagi menjadi dua yaitu sumber hukum dan
sumber kekuatan mengikat dari hukum. Sumber isi hukum dipertanyakan
asal hukum. Ada tiga pandangan yang menjawab pertanyaan tersebut yaitu,
Pandangan theocratis; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
Tuhan. Pandangan hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal
dari akal manusia. Pandangan mazhab historis; menurut pandangan ini isi
hukum berasal dari kesadaran hukum. Sementara sumber kekuatan
mengikat dari hukum mempertanyakan mengapa hukum mempunyai
kekuatan mengikat dan masyarakat harus tunduk pada hukum. Kekuatan
mengikat dari kaedah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan
yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh
alasan kesusilaan atau kepercayaan. (4) Sumber hukum dalam arti formil;
yang dimaksudkan adalah sumber dilihat dari cara terjadinya hukum positif
merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku yang mengikat
hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran rakyat. Agar dapat
berupa peraturan tentang tingkah laku harus dituangkan dalam bentuk
undang-undang, kebiasaan dan traktat atau perjanjian antarnegara.
Jika sebelumnya telah diterangkan dengan jelas apa itu sumber
hukum umum/positif ada baiknya untuk mengetahui pengertian sumber
hukum Islam pula. Secara etimologis, kata sumber berarti asal sesuatu.[21]
Jika kata “sumber” dirangkaikan dengan kata “hukum Islam” maka dapat
dihasilkan sebuah pengertian sebagai asal (tempat pengambilan) hukum
Islam. Didalam berbagai literatur tentang hukum Islam, kata sumber hukum
Islam disebut dengan berbagai sebutan. Selain sebutan sumber hukum
Islam, disebut juga dengan; dalil hukum Islam, pokok hukum Islam, atau
dasar hukum Islam.

20 Ibid

21 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990), hlm. 974.

13
Secara terminologis, sumber hukum Islam adalah sumber yang
menjadi rujukan atau pegangan di dalam menetapkan hukum atas suatu
masalah. Secara lebih tegas, ahli Ushul Fiqh Abdul Wahhab Khallaf
memaknai sumber, atau dalil hukum Islam sebagai sesuatu yang diambil
darinya hukum syara’ secara amali, mutlak baik dengan jalan qath’i atau
dzanni.[22]

4) Sumber Hukum Islam dan Hukum Positif


Sumber-sumber hukum Islam antaralain:
1) Al-Qur’an
Al-qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan
malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. dengan menggunakan
bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan hujjah
(penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar dijadikan
sebagai undang-undang bagi seluruh ummat manusia, disamping
merupakan amal ibadah jika membacanya.[23]
Menurut istilah, al-Qur’an adalah firman Allah swt. yang berupa
mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, ditulis dalam
mushaf dan dinukilkan secara mutawattir dan merupakan ibadah bagi
yang membacanya.[24]
Dari segi sumbernya, al-Qur’an dikategorikan sebagai sumber ber
qath’i al-wurud (qath’i al-tsubut). Maksudnya, sumbernya dari Allah
swt secara pasti tanpa perlu untuk diragukan lagi.[25] Sebagai sesuatu
yang pasti, maka siapapun yang menolak kebenarannya dapat
dikategorikan sebagai orang kafir.
Pada umumnya, isi kandungan Al-Qur’an bersifat global dalam
membahas sebuah persoalan. Disinilah manusia yang memiliki
kemampuan untuk melakukan ijtihad mendapatkan kesempatan
berkarya dengan merujuk kepada al-Qur’an. Ijtihad merupakan
manifestasi dari interpretasi ayat al-Qur’an dalam menjawab setiap
persoalan yang dihadapi. Ijtihad sangat diperlukan karena dinamika dan
perkembangan sosial terus berlangsung, sementara sumber huku Islam
tetap.

22 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), hlm. 35

23 Ibid., hlm. 39

24 TM Hasbie Ash-Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta, Bulan


Bintang, 1980), hlm. 15-16

25 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 42

14
2) Hadits
Menurut istilah syara’, hadits adalah sesuatu yang datang dari
Rasulullah, baik ucapan, perbuatan dan taqrir (persetujuan).[26] Dalam
sistem hukum Islam, hadits Nabi merupakan sumber hukum Islam yang
kedua setelah al-Qur’an.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, hadits memiliki beberapa
fungsi, yaitu:
a) Sebagai penguat hukum atas suatu peristiwa yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an;
b) Sebagai pemberi keterangan terhadap ayat-ayat yang meliputi:
• Merinci ayat yang bersifat global
• Membatasi kemutlakan suatu ayat
• Membawa hukum baru yang tidak ditetapkan al-Qur’an
Dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam, hanya hadits
shahih [27] dan hasan [28] yang dapat dijadian sumber hukum.
Sedangkan hadits dha’if [29] menjadi bahan perdebatan di kalangan
ulama. Sebagian memperbolehkan dengan persyaratan, sebagian
membolehkan untuk fadha’il al-a’mal, dan sebagian yang lain menolak
secara mutlak.

3) Ra’y
Selain dua sumber hukum di atas, terdapat sumber hukum yang
merupakan hasil pemikiran ulama. Dalam literatur hukum Islam, akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat berijtihad disebut al-ra’y. Dasar
hukum untuk mempergunakan akal pikiran untuk berijtihad dalam
pengembangan hukum Islam adalah: 1) al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59
yang intinya mewajibkan umat Islam untuk menaati ketentuan ulil amri.
2) Hadits Mu’adz bin Jabbal. 3) Contoh yang diberikan Khalifah Umar
bin Khattab dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi dalam
masyarakat.

26 Ibid., hlm. 65

27 Hadits shahih adalah hadits Nabi Muhammad saw yang memenuhi kriteria: sanadnya
bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith, serta di dalamnya tidak
ditemukan adanya syadz dan ‘illah

28 Hadits Hasan adalah hadits Nabi Muhammad saw yang memenuhi kriteria hadits shahih, tetapi
ada diantara periwayatnya yang diduga kurang dhabith, sehingga kualitasnya turun sedikit dari
tingkatan shahih.

29 Hadis Dha’if adalah hadits Nabi Muhammad saw yang tidak memenuhi kriteria shahih maupun
hasan. Hadits dalam kategori ini banyak macamnya antara lain; hadits mursal, mu’allaq, mudallas,
dan mudhtharib.

15
Ra’yu dapat digunakan dalam dua hal: Pertama, dalam hal-hal yang
tidak ada hukumnya sama sekali. Kedua, dalam hal-hal yang sudah
diatur dalam nash tetapi penunjukannya tidak secara pasti.[30]
Nalar berperan dalam penggalian dan penetapan hukum, baik
terhadaphukum yang tersirat apalagi dalam hukum yang tersuruk.
Dalam hukum yang tersuruk yang diperkirakan hukumnya tidak ada,
mujtahid dapat menetapkan hukum. Mujtahid yang menghasilkan
hukum, hukum yang dihasilkannya bukan merupakan hukum mujtahid.
Ia hanya sekedar menggali, menemukan dan melahirkan hukum Allah
yang tersuruk hingga nyata. Ia hanya sekedar menggali, menemukan dan
mengeluarkan hukum yang bersifat di balik yang tersurat dalam
nash.[31]
Dalam berijtihad, ada berbagai metode yang digunakan diantaranya;
a) Ijma’. Menurut istilah, ijma’ adalah kesepakatan para mujtahidin
diantara ummat Islam ada suatu masalah setelah kewafatan
Rasulullah saw atas hukum syar’i mengenai kejadian/kasus.[32]
Ijma’ akan diakui sebagai sumber hukum Islam jika memenuhi
beberapa kriteria, yaitu; Pertama, ketika terjadinya peristiwa harus
ada beberapa orang mujtahid; Kedua, semua mujtahid yang
menyaksikan peristiwa tersebut mengakui hukum syara’ yang telah
mereka putuskan dengan tidak memandang negara, kebangsaan, dan
golongan mereka; Ketiga, kesepakatan itu hendaknya dilahirkan
oleh masing-masing dari mereka secara tegas terhadap peristiwa
tersebut, baik melalui perkataan maupun perbuatan; Keempat,
kesepakatan itu harus merupakan kebulatan pendapat semua
mujtahid.[33]
b) Qiyas. Menurut istilah, qiyas adalah mempersamakan hukum suatu
peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristiwa
lain yang sudah ada ketentuan hukumnya, karena adanya persamaan
‘illat antara keduanya.[34] Ada empat unsur yang menjadi tolok
ukur dalam pemakaian qiyas. Pertama, Ashal (pokok), yakni suatu
peristiwa yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam nash yang
dijadikan patokan dalam meng-qiyas-kan huku suatu masalah, atau
bisa juga disebut dengan maqis ‘alaihi. Kedua, far’u (cabang), yakni

30 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm.108

31 Ibid., hlm. 110

32 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 81

33 Mukhtar Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: PT.
Alma’arif, 1986), hlm. 59-60.

34 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 92

16
suatu peristiwa baru yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam
nash sehingga memerlukan dasar penetapan hukum, atau biasa
disebut dengan maqis. Ketiga, hukum ashal, yakni kesesuaian
ketetapan hukum syara’ yang ditetapkan oleh nash tersebut untuk
menetapkan hukum cabang. Keempat, ‘Illat, yakni kesesuaian sifat
yang terdapat dalam hukum ashal itu sama dengan sifat yang
terdapat dalam peristiwa baru (cabang).[35]
c) Istihsan. Menurut istilah, istihsan adalah mengecualikan hukum
suatu peristiwa terhadap hukum peristiwa lain yang sejenis karena
ada alasan yang kuat dari pengecualian tersebut. Istihsan dapat
dibagi dua bagian yaitu: (a) mengutamakan (memenangkan) kias
khafi daripada kias jali berdasarkan dalil, dan (b) mengecualikan
juz’iyah daripada hukum kully berdasarkan dalil.[36]
d) Mashlahah Murshalah. Menurut istilah Mashlahah Murshalah
adalah menetapkan hukum berdasarkan kepentingan umu terhadap
suatu persoalan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’,
baik secara umum maupun khusus. Maksud dari pengambilan
mashlahah adalah untuk mewujudkan manfaat, menolak
kemudharatan dan menghilangkan kesusahan bagi manusia.[37]
Penggunan mashlahah sebagai sumber hukum harus memenuhi
kriteria, yaitu; 1) penggunaan mashalahah tersebut bertujuan
menyempurnakan maksud-maksud syari’at; 2) penggunaannya
harus (sederhana), seimbang dan dapat diterima akal (logis); 3)
penggunaannya bertujuan mengatasi kesulitan; dan 4) Penggunanya
untuk kepentingan umum.
e) ‘Urf. Menurut istilah, ‘Urf Adalah segala sesuatu yang sudah
dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasan atau tradisi baik
bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitanna dengan
meninggalkan perbuatan tersebut, sekaligus disebut sebagai adat.
‘Urf bermakna adat. Dengan kata lain, ‘Urf dan adat tidak ada
perbedaan.[38]

35 Ibid., hlm. 106

36 Ibid., hlm. 136

37 Ibid., hlm. 142

38 Ibid., hlm. 149

17
Sedangkan sumber-sumber hukum positif antaralain adalah sebagai
berikut [39]:
a) Undang-undang
Dalam arti materiil, yang dinamakan undang-undang
merupakan keputusan atau ketetapan penguasa, yang dilihat dari
isinya undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.
Undang-undang dalam arti formil adalah keputusan penguasa yang
dilihat dari bentuk dan cara terjadinya disebut undang-undang. Jadi,
undang-undang dalam arti formil tidak lain merupakan ketetapan
penguasa yang memperoleh sebutan “undang-undang” karena cara
pembentukannya.
Undang-undang itu bersifat umum karena mengikat setiap
orang dan merupakan produk lembaga legislatif. Undang-undang
terdiri dari dua bagian yaitu; 1) Konsiderans atau pertimbangan yang
berisi pertimbangan-pertimbangan mengapa undang-undat itu
dibuat; 2) undang-undang berisi diktum atau amar. Di dalam amar
inilah terdapat isi atau pasal-pasa undang-undang.
b) Kebiasaan
Kebiasaan atau tradisi adalah sumber huku yang tertua,
sumber darimana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di
luar undang-undang. Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola
tingkah laku yang tetap atau adat dalam masyarakat atau pergaulan
hidup tertentu.
Perilaku yang diulang mempunyai kekuatan normatif dan
kekuatan mengikat. Karena diulang oleh orang banyak, maka
mengikat orang-orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena
menimbulkan keyakinan dan kesadaran bahwa hal itu memang patut
dilakukan.
Kebiasaan dapat menjadi sumber hukum atau menjadi
hukum kebiasaan dengan syarat; 1) syarat materiil, adanya
kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau diulang, yaitu suatu
rangkaian perbuatan yang sama, yang berlangsung untuk beberapa
waktu lamanya. 2) syarat intelektual, kebiasaan itu harus
menimbulkan opinio necessitatis (keyakinan umum) bahwa
perbuatan itu merupakan kewajiban hukum. 3) adanya akibat hukum
apabila hukum kebiasaan itu dilanggar.
c) Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional atau treaty merupakan sumber
hukum dalam arti formal, karena harus memenuhi persyaratan
formal tertentu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional.

39 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, hlm. 87-121

18
Lazimnya, perjanjian internasional atau perjanjian antar negara
memuat peraturan-peraturan hukum yang mengikat secara umum.
d) Yurisprudensi
Yurisprudensi berarti peradilan pada umumnya (judicature
rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi
tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri
dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau
siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat
dan berwibawa.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk
yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat
pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. Bedanya dengan
undang-undang, keputusan pengadilan bersifat konkrit karena
mengikat orang-orang tertentu saja, maka undang-undang berisi
peraturan-peraturan yang bersifat abstrak atau umum karena
mengikat setiap orang.
e) Doktrin
Undang-undang, perjanjian internasional dan yurisprudensi
adalah sumber hukum. Tidak mustahil ketiga sumber hukum itu
tidak dapat memberi semua jawaban mengenai hukumnya, maka
hukumnya dicari dari pendapat-pendapat para sarjana hukum atau
ilmu hukum.
Pendapat para sarjana hokum yang merupakan doktrin
adalah sumber hokum, tempat hakim dapat menemukan hukum dari
satu perkara. Ilmu hukum adalah sumber hukum tetapi bukan hukum
karena tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum.
5) Analisis Perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif
Dari uraian tentang sumber hukum Islam dan hukum positif
pemakalah menganalisis perbandingan diantara keduanya.
Hukum Islam merupakan aturan-aturan yang merupakan hasil
pemahaman dan deduksi dari ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah
swt kepada Nabi Muhamad. Karena itu, sumber utama hukum Islam adalah
al-Qur’an dan Hadis. Bila diperlukan untuk menggali hukum yang belum
ada atau untuk memahami hukum maka perlu ijtihad (ra’yu) dengan
berbagai metode yang telah dirumuskan oleh ahli ushul fiqh. Hukum Islam
tidak identik dengan hukum dalam pengertian aturan yang dibuat oleh suatu
badan yang diberi wewenang dan pemberlakuan sangsi bagi pelanggarnya.
Berbeda dengan hukum positif, sumber hukum positif murni dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan pengambilan atau penemuan hukum positif
menggunakan metode induktif. Yaitu dengan mengamati perbuatan-
perbuatan dan sikapanggota masyarakat. Dari berbagai hasil pengamatan

19
inilah kemudian dibuat peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh
masyarakat.
Hukum Islam dibuat dengan tujuan sebagaimana tujuan hidup
manusia yaitu mengabdi kepada Allah swt. Hukum Islam untuk masyarakat
muslim berfungsi mengatur berbagai hubungan manusia diatas bumi ini.
Manusia yang hidup di dalam masyarakat memiliki berbagai bentuk
hubungan; mulai dari hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya
sendiri, hubungan dengan manusia lain dan hubungan benda dalam
masyarakat serta hubungan dengan alam sekitar. Selain itu, hukum Islam
bertujuan menciptakan kehidupan beragama, bermoral, berkeadilan, tertib,
sejahtera di dunia dan akhirat. Sementara itu, tujuan hukum positif adalah
menciptakan kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat.
Subjek hukum (mahkum ‘alaih) dalam hukum Islam adalah
mukallaf yaitu orang yang telah memenuhi syarat-syarat kecakapan untuk
bertindak hukum (ahliyah al-ada’). Dalam hal ini terdapat persamaan
dengan konsep subjek hukum dalam hukum positif dengan adanya
pengecualian atau perihal cacat hukum.
Hukum Islam tidak selamanya bersifat memaksa. Sebagiannya
bersifat korektif dan persuasif dan memberi kesempatan kepada
pelanggarnya untuk menyesali diri sendiri (taubat). Sementara hukum
positif lebih kepada peraturan-peraturan yang memaksa dan memberikan
sanksi bagi para pelanggarnya.
Dari segi sumber hukum, keduanya sangat berbeda dari segi
pembuat hukum dan metode pengambilan hukum. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa hukum Islam dengan sumber utama al-
Qur’an adalah berasal dari Allah swt. sumber yang kedua adalah hadis yang
beradal dari Nabi Muhammad saw dan selanjutnya ra’yu atau hasil
pemikiran manusia. Hasil pemikiran manusia (ijtihad) inilah yang kemudian
memberikan peluang bagi hukum Islam untuk dapat beradaptasi dengan
perkembangan zaman dan dapat memecahkan berbagai persoalan dalam
masyarakat.
Pada umumnya ayat-ayat dalam al-Qur’an bersifat global. Dengan
kata lain, peraturan-peraturan hukum dalam al-Qur’an diungkapkan secara
garis besar sehingga memerlukan penjelasan Nabi. Penjelasan Nabi
Muhammad pada saat itu bersifat sangat sederhana sehingga tidak mampu
menjangkau seluruh kejadia dan peristiwa yang bermunculan kemudian
seiring dengan perkembangan dan perubahan dalam kehidupan umat Islam.
Tapi tidak dapat disimpulkan seluruh kejadian baru tidak ada ketentuannya
dalam al-Qur’an, hadis dan berada diluar jangkauan syari’at atau terbebas
dari hukum. Aturan Allah dapat ditemukan secara harfiah dalam al-Qur’an
atau dibalik harfiah. Hukum Allah dapat ditemukan dalam tiga
kemungkinan sebagai berikut:

20
1) Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafaz al-Qur’an menurut
yang disebutkan secara harfiyah. Bentuk ini disebut “hukum yang
tersurat dalam al-Qur’an.
2) Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafazh al-
Qur’an maupun sunnah tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau
petunjuk dari lafaz yang disebutkan dalam al-Qur’an. Hukum dalam
bentuk ini disebut “hukum yang tersirat dibalik lafaz al-Qur’an.”
3) Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harifiyah lafazh dan tidak pula
dari isyarat suatu lafaz yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah, tetapi
dapat ditemukan dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam
menetapkan hukum. Hukum Allah dalam bentuk ini disebut: “hukum
yang tersembunyi di balik al-Qur’an.
Pada prinisipnya penalaran dipergunakan dalam menetapkan hukum
terhadap suatu kejadian bila tidak terdapat aturan-aturannya secara
harfiah. Begitu pula dalam keadaan-keadaan tertentu, ra’yu dapat
digunakan terhadap hal-hal yang sudah ada nash tetapi dalam
pengaturannya tidak dikemukakan secara pasti.
Melihat pintu ijtihad yang terbuka bagi hukum-hukum yang belum
jelas dalam Islam, pada prinsipnya sama dengan metode hukum positif
yaitu kebolehan hakim memutus suatu perkara yang belum atau tidak
jelas aturannya dalam undang-undang dengan tetap berada di koridor
undang-undang. Hukum tersebut yang kemudian mengikat pihak-pihak
bersangkutan dan menjadi sumber hukum bagi kasus yang sama.

6) Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh


Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu figh kepada
beberapa periode Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan
(bi'tsah) Nabi Muhammad Saw, sampai beliau wafat (12 Rabi'ul Awwal 11
H/8 Juni 632 M). Kedua, periode sahabat dan tabiin mulai dari khalifah
pertama (khulafat rasyidin) sampai pada masa Dinasti Amawiyyin (11H-
101H/632M-720M). Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-
imam mujtahid besar dirasah Islamiyah pada masa keemasan Bani
Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720M-961M).
Keempat, periode kemunduran--sebagai akibat taklid dan kebekuan karena
hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid
sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad ke-4 sampai akhir abad
ke-13 H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al Ahkam al Adliyat tahun

21
1876 M.[40] Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya
buku itu sampai sekarang.
Masing-masing periode di atas dapat diperinci sebagai berikut:
1. Periode Pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang
dibagi kepada dua masa:

Pertama, ketika Nabi masih berada di Makkah melakukan


dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan
memberikan penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti
dengan dakwah terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13
tahun dan sedikit ayat-ayat hukum yan diturunkan. Hal ini
memang wajar, bagaikan mendirikan sebuah bangunan,
fondasilah yang dibuat terlebih dahulu, dan setelah itu di bagian
lainnya di atas fondasi itu. Bagitu pula halnya membangun
manusia beragama, keimanan dan tauhidlah yang perlu
ditanamkan terlebih dahulu, karena memang itulah dasar dari
agama itu sendiri.
Kedua, sejak Nabi hijrah ke Madinah (16 Juli 622 M). Pada masa
ini terbentuklah negara Islam yang dengan sendirinya
memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur sistem
masyarakat Islam Madinah. Oleh karena itu, sejak masa ini
secara berangsur-angsur wahyu Tuhan mulai berisi hukum-
hukum, baik karena sesuatu peristiwa kemasyarakatan yang
memang memerlukan penanganan yuridis dari Nabi, ataupun
karena adanya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
masyarakat, atau juga wahyu yang diturunkan oleh Allah tanpa
suatu sebab seperti di atas. Pada masa ini fiqh lebih bersifat
praktis dan realis, dalam arti kaum muslimin hukum dari suatu
peristiwa tersebut betul-betul terjadi.
Sumber hukum pada periode ini adalah wahyu Allah diturunkan
kepada Nabi Muhammad, baik yang kata-kata dan maknanya
langsung dari Allah (Al-Qur’an) maupun hanya maknanya dari
Allah, sedang kata-katanya dari Nabi (hadis).

2. Periode Sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak Nabi wafat) sampai
akhir abad pertama Hijriyah ( 101 H) Pada masa ini daerah

40 Buku ini bercorak figh Hanafi. Disusun tahun 1869-1876 M, dan diberlakukan di seluruh
wilayah Turki Usmani. Lihat Su'ud bin Sa'ad Ali Duraib, al-Tanzim al-Qadha'ifial-Mamlakat al-
Arabiyah al-Su' udiyah, (Riyadh, 1983), hlm. 284 13

22
kekuasaan Islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar
semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Irak, dan Iran
(Persia). Dan, bersamaan dengan itu pula, agama Islam
berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah itu
sendiri. Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki
rujukan hukum syariat yang sempurna berupa al-Qur'an dan
Hadis Rasul. Hanya tidak semua orang dapat memahami materi
atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber (al-Qur'an
dan Hadis) itu secara benar. Karena, pertama, baik karena tidak
semua orang yang mempunyai kemampuan yang sama maupun
karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu dekat
dengan Nabi, banyak di antara kaum muslimin yang tidak
memahami sumber tersebut seorang diri tanpa bantuan orang
lain. Kedua, belum tersebar luasnya materi atau teori-teori
hukum itu di kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah
seperti disebut di atas. Ketiga, banyaknya peristiwa hukum baru
yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah yang ketentuan
syariat, hukumnya-secara pasti -tidak ditemukan dalam nash
Didorong oleh ketiga hal tersebut di atas, para sahabat utama
merasa dituntut untuk memberikan jawaban terhadap tantangan
segala hal yang perlu dijelaskan, memberi tafsiran terhadap ayat
atau hadis serta memberi fatwa tentang kasus- kasus yang terjadi
pada masa itu, tapi tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam
nash, dengan melakukan ijtihad. Oleh sebab itu, sumber hukum
Islam pada masa sahabat ini bertambah dengan ijtihad sahabat di
samping al-Qur'an dan Hadis itu sendiri.
Prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh pada masa ini
adalah melalui penelusuran mereka terhadap al-Qur'an dan
Hadis. Bila dari kedua sumber ini tidac ditemukan ketentuan-
ketentuan hukum dari suat yang dihadapi, mereka berijtihad
sendiri, baik den giyas atau berpedoman kepada kemaslahatan
orang banyak Wajar bila di kalangan sahabat dalam melakukan
jtihad ter. dapat perbedaan-perbedaan pendapat. Hal ini karena,
pertama kebanyakan ayat al-Qur'an dan Hadis bersifat zhanny
dari sudut pengertiannya. Kedua, belum termodifikasinya hadis
Nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan men Ketiga,
lingkungan dan kondisi daerah yang dialami persoalan-
persoalan yang dialami serta dihadapi oleh sahabat- sahabat itu
tidak sama. yeluruh. Selain itu, pergolakan politik yang terjadi
pada masa Ali bin Abi Thalib yang berakibat terpecahnya umat
Islam kepada golongan Khawarij, Syi'ah, dan Al-Sunnah, juga
cukup berpengaruh kepada terjadinya perbedaan pendapat itu.

23
Kelompok Khawarij tidak mau menerima hadis riwayat Usman,
Ali, Muawiyah atau siapa saja yang sealiran dengan tiga sahabat
utama tersebut. Tidak hanya riwayat hadis, tetapi pendapat dan
fatwa-fatwa mereka ditolak oleh kelompok Khawarij. Di lain
pihak, kelompok Syi'ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh sahabat-sahabat selain Ali beserta ahl bait dan imam-imam
mereka. Dengan sikap keberagamaan seperti masing-masing
kelompok i atas-dengan sendirinya-mempunyai aliran hukum
dalam Islam. Sedangkan kalangan Ahli Sunnah wal Jama'ah
dapat menerima semua hadis shahih yang diriwayatkan oleh
orang orang yang dipercaya tanpa membeda-bedakan kelompok
mana mereka berasal. Kelompok yang disebut terakhir ini juga
bersedia mengambil fatwa atau pendapat sahabat secara umum.
3. Periode Kesempurnaan
Periode ini disebut jaga sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hukum Islam. Pada masa ini fiqh Islam mengalami
kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
Islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadis-
hadis Nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabiin, tafsir al-Qur'an,
kumpulan pendapat imam-imam figh, dan penyusunan ilmu
ushul figh. Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan
ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaan
Islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah Timur sampai
ke Andalusia (Spanyol), sebelah Barat. Sudah barang tentu,
perluasan daerah dari suatu negara akan berdampak semakin
luas pada jumlah dan bobot persoalan yang dihadapi, baik
menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-hal yang
perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulamanya. Mereka,
terutama ulama-ulama, dituntut untuk berfatwa dalam
menghadapi persoalan-persoalan hukum yang frekuensinya
selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menantang
mereka untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an atau hadis-hadis
Nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad). Dan,
kondisi seperti ini pulalah antara lain yang menyebabkan
lahirnya pemikir- pemikir besar dengan berbagai k masing,
seperti Imam Abu Hanafiah dengan salah seorang muridnya
yang terkenal Abu Yusuf (penyusunan kitab ilmu ushul figh
yang pertama), Imam Malik dengan kitabnya al-Muwatha, Imam
Syaffi dengan kitabnya al-Umm atau al- Risalat, Imam Ahmad
dengan kitabnya Musnad, dan beberapa nama lainnya beserta
karya tulis dan murid-muridnya masing- masing. arya besarnya
masing-masing.

24
Di antara faktor lain yang sangat menentukan pes perkembangan
ilmu figh khususnya atau ilmu pengetahu umumnya, pada periode
ini adalah sebagai berikut:
a. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besa pada
kepa ilmu figh khususnya, atau terhadap ilmu pengetahuan
umumnya.
b. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskis.
diskusi ilmiah di kalangan ulama.
c. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti al
Qur'an (pada masa Khalifah ar Rasyidin), hadis (pada masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, 99-101H dari Dinasti Bani
Umayyah), tafsir dan ilmu tafsir pada abad pertama hijriyah,
yang dirintis oleh Ibnu Abbas (w. 68H) dan muridnya, serin
kebe dan Mujahid (w. 104H) dan kitab-kitab lainnya.
Perlu dicatat masa kecemerlangan ilmu pengetahuan,
khususnya fikih, ini terutama sekali pada jangka waktu 100
tahun pertama berkuasanya Daulat Bani Abbasiyah (750M-
1258M), yang puncaknya terjadi pada masa Khalifah Harun al-
Rasyjd (786M-809M), dan Khalifah Al-Makmun (813M-
833M). Pada masa inilah muncul ilmuwan-ilmuwan besar
dengan berbagai bidang ilmunya. Khusus di bidang fiqh
tercatatlah nama-nama seperti disebut di atas: Abu Hanifah
(699M-767M), Malik (712M-798M), Syafifi (767M-820M),
Ahmad (782M-856M) dan lain sebagainya. Ahli sejarah
mencatat periode ini sebagai periode awa ular hlm peradaban
Islam sangat tinggi.[41]
Banyak Khalifah Bani Abbas yang menaruh perhatian besar
kepada kemajuan ilmu figh. Khalifah Al-Mansur, misalnya,
sering memberi hadiah kepada ulama yang berprestasi di bidang
keilmuannya; khalifah Harun al-Rasyid menugaskan Yusuf
menyusun kitab figh tentang harta kekayaan negara yang ada
sumber-sumber pemasukannya, dan kemudian mengangkatnya
sebagai hakim agung (gadhi al-qudhat). Di masa ini juga Imam
Malik menyusun karya monumentalnya "al-Muwaththa", sebuah
kitab yang dinilai Imam Syafi'i sebagai satu-satunya kitab

41 Baca, Joseph Schaft, An Introduction to Islamic Law, terj, M. Said al., Jakarta: Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Agama/IAIN, 1985) hlm. 13. Lihat juga Harun
Nasution, Islam Ditn Berbagai Aspekrya, il. I, (akarta: Ul Press. 1984) hlm. 73-74. Baca
Ensiklopedi Indonesia, vol 4 dan 6, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 196 eM Tin au dani Ar 73-
74. Baca jug H masing-masing hlm. 65 dan 213 dan 3401

25
terbaik sesudah al-Qur'an.[42] Kitab ini disusun Imam Malik
antara lain atas anjuran Khalifah Abu Ja'far al-Manshur[43]
(Khalifah kedua Bani Abbas, 754M-775M).
Begitu juga khalifah Al-Makmun yang selalu mendorong
ulama untuk mengadakan diskusi dan ia sendiri sering mengikuti
diskusi tersebut. Untuk itu, khalifah memberi kebebasan kepada
para ulama untuk mengeluarkan pendapat dan menyampaikan
hasil ijtihad itu, dan bahkan kepada rakyat awam pun tidak
diharuskan mengikuti pehdapat salah seorang ulama
tertentu.[44]
4. Periode Kemunduran
Seperti diterangkan sebelummya, periode kemunduran
memakan waktu yang cukup panjang yaitu sekitar setengah
abad.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibus berbagai
konflik politik dan beberapa faktor sosiologis[45] dalam keadan
lemah. Banyak daerah yang melepaskan din dari kekuasaannya
dan mendirikan kerajaan sendiri seperti kerajaan Bani Samani di
Turkistan (874-9990, B Ikhsyidi di Mesir (935-1055M) dan
beberapa kerajaan kecil lainnya yang antara satu dengan lain
saling berebut dan banyak terlibat dalam situasi konflik.[46]

42 Lihat Muhammad Fuad Al-Baqy, Mugaddimat al-Muwaththa', (ct.t.p.) hlm. 4

43 Rafi Fauzi Abd Al-Muthalib, Kutb al-Sunnah wa Darisah Tautsigiyah, juz I, (t.p:Maktabah al-
Khanji, 1979) hlm. 9

44 Untuk melihat sejarah dan latar belakang yang memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya, dan ilmu fiqh khususnya, dapat dilihat dalam I) Abd Man'im Majid, Tarikh al-
Hadrat al Islamiyah di asr al-Wustha, (Kairo: Nahdat al-Jadit, 1978) hlm. 167, 173 dan 375. 2)
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz II, (Beirut: Dar al-Kitab, t.th.) hlm. 54-57. 3) Ali Muhammad
Radi, 'Asr al-Islam al-Zhaby al-Ma'mum al-Abbasy, (Kairo:Dar al-Qawa'iyat li al-Thiba'at, t.th)
hlm. 68. 4) Philip K. Hitti, History of the Arabs (London:The Macnillan Press Ltd, 1971) hlm.
392-295 dan 429. 5) Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1986)
hlm. 13 dan Islam Ditinjau..., op.cit, hlm. 8.

45 Antara lain perebutan keluasaan di kalangan keturunan Khalifah konfik antar kelompok-
kelompok keagamaan (seperti Sunni dan Syi’i) faktor perbedaan etnis (Arab dan non-Arab),
kemerosotan moral dan wibawa khalifsh beserta keluarganya dan lain sebagainya. Untuk ini
dibaca: Philip K. Hitti, op.ait, hlm. 290, Harun Nasution, Isan Ditinjes L.L.op.cit, him 67,Hasan
Ibrahim Hasan, Tarikh a Alam a Seyani ws it waal Thaafi wa al-JjtimaiL (maktabah Nahdat al-
Misriyat, 1966) him 5 Ibnu Khaldun, Mukaddimah Maktabat Mustala Mahmud .th)m 1 Walter M.
Patton, Imam Ahmad bis Hanhal and the Mibns (Leiden E.J.Bll 1987) him. 64, dan lain-lain

46 Antara lain Phillp K Hitts, opat, hlm 461-465, Mahmud dan rabin Syarif, al-Alam al-Islami fi
Al-ashr al-Abbasy, (Beirut Dar al-Fikx 977) hlm.08-409,Carl Brockleman, history of the lslamic
People Lordste Raoutladge and Keagen Paul 1982) hlm. 157, Hasan Ibrahim Ras op.cit, hlm. 167

26
Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah
kemauannya untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak
sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada
periode kejayaan seperti disebut di atas. Situasi kenegaraan yang
berada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya it ternyata
sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama mengkaji ajaran
Islam langsung dari sumber aslinya, al Qur dan Hadis. Mercka
merasa puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang
telah ada, dan mengikatkan diri kepada pendapat tersebut ke
dalam mazhab-mazhab fighiyah. Sikap seperti inilah kemudian
yang mengantarkan Dunia Islam ke alam taklid, kaum muslimin
terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.
Sebenarnya, sampai pertengahan abad ke-7 H, umat Islam
belumlah meninggalkan ijtihad sama sekali. Mereka berijtihad,
tetapi terbatas pada persoalan-persoalan yang tidak terdapat
dalam fiqh mazhabnya, dan dalam berijtihad mereka berpegang
kepada metode yang telah ditetapkan imam mazhab tersebut.
Sedangkan untuk persoalan-persoalan yang telah dibicarakan
dalam kitab-kitab figh mazhabnya mereka hanya mengikut yang
sudah ada, tanpa berusaha melakukan ijtihad sendiri. Oleh sebab
itu, pada masa-sampai pertengahan abad ke-7 H-ini masih
didapati ulama yang diklasifikasikan sebagai mujitahid
muggayad atau mujtahid fi al mazhab, berijtihad terkait dengan
sistem mazhab tertentu pada masa ini dalam arti meninggalkan
ijtihad mutlak, bebas dari rasa keterkaitan dengan metode dan
produk-produk mujtahid ulama terdahulu. Semenjak
pertengahan abad ke-6 sampai akhir periode ini, umat Islam
benar-benar berada dalam suasana taklid, statis, dan jumud.
Mereka meninggalkan ijtihad dalam segala tingkatnya, sehingga
perkembangan ilmu fiqh terhenti, statis dan semakin lama
semakin tertinggal jauh dari arus perkembangan zaman. Masa
inilah yang disebut sebagai masa kemunduran, di mana Dunia
Islam bagaikan tenggelam ditelan kemajuan dunia lain (terutama
Barat) yang semakin hari semakin cemerlang dengan ilmu
pengetahuan dan teknologinya.
Di samping kondisi sosiopolitik tersebut, beberapa faktor lain
berikut ini-kelihatannya-ikut mendorong lahirnya sikap taklid
dan kemunduran sebagaimana disinggung tadi. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut.

27
a. Efek samping dari pembukuan fiqh pada periode
sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab figh yang ditulis oleh ulama-
ulama sebelumnya-baik untuk persoalan-persoalan yang
bena benartelah terjadi atau diprediksi akan terjadi-
memudahkan umat Islam pada periode ini merujuk semua
persoala hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu.
Ditambah la dengan suasana yang tidak tentram seperti
disebut dia di mana mereka tidak sempat dan tidak bergairah
lagi untuk melakukan upaya penalaran ilmiah-kitab-kitab
tersebut menjadi pegangan mereka sesungguhnya dan
merasa tergantung kepadanya. Ketergantungan seperti itu
mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas, dan hanya
mencari yang mudah-mudah.
b. Fanatisme mazhab yang sempit
Murid atau pengikut imam mújtahid terdahulu itu berusaha
membela kebenaran pendapat mazhabnya masing-masing
dengan berbagai cara. Mungkin juga akibat pengaruh arus
ketidakstabilan kehidupan politik, di mana frekuensi sikap
curiga dan rasa tidak senang antara seseorang atau
antarkelompoknya dengan mencari-cari argumentasinya-
yang pada umumnya-apologetik serta menyanjung imam dan
mazhabnya dengan sikap emosionalitas yang tinggi.
Keadaan seperti ini membuat sibuk masing-masing golongan
mendalami mazhabnya, mencari-cari dalil untuk
menguatkan pendapat mazhab itu saja, berupaya menangkis
setiap serangan yang datang dari pihak lain dan, sebaliknya,
berupaya pula membahas serangan tersebut dengan
kelemahan tersendiri. Akibatnya, mereka tenggelam dalam
suasana chauvinisme yang tinggi., jauh dari sikap
rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum
Islam yang sesungguhnya, al-Qur'an dan Hadis.
c. Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode ini semakin subur ketika
pihak penguasa (khalifah) mengangkat para hakim dari
orang-orang yang bertaklid. Padahal pada periode
sebelumnya para khalifah memilih dan mengangkat hakim-
hakimnya dari kalangan ulama mujtahid dan mereka diberi
kebebasan berijtihad sendiri.[47]
d. Periode Kebangunan Kembali

47 Lihat dan bandingkan, Hasbi, Pengantar lmu Fiqh...op.cit, hlm. 112-113

28
Pada periode ini, umat Islam menyadari kemunduran dan
kelemahan mereka yang sudah berlangsung sekian lama itu.
Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali
muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada
tahun 1798 M. Kejatuhan Mesir ini menginsafkan umat
Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat
telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan
merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan
pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Dari
sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaruan
dalam Islam, baik di bidang pendidikan, ekonomi, militer,
sosial, dan gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaruan ini cukup berpengaruh pula terhadap
perkembangan fiqh. Banyak di antara pembaharu itu juga
adalah ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan
figh itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam
meninggalkan taklid dan kembali pada al-Qur'an dan Hadis-
mengikuti jejak para ulama di masa sahabat dan tabin
terdahulıu. Mereka inilah yang disebut sebagai golongan
salaf, seperti Muhammad bin Abdul Wahab (1791M-
1787M) di Saudi Arabia, Muhammad Al-Sanusi (1791M-
1859M) di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afgani
(1839M-1897M) Muhammad Abduh (1849M 1906M),
Muhammad Rasyid Rida (1865M-1935M) di Mesir, dan lain
sebagainya.
Sebenarnya, usaha ke arah pembaruan itu telah diawali oleh
Ibnu Taimiyah pada awal abad VII H. Tokoh yang terlahir di
Harran, Syiria, 12 Januari 1236 M (10 Rabiul Awwal 661H)
dan terkenal sebagai tokoh yang sangat keras menentang
"ketidakbenaran" dalam praktik keagamaan umat Islanm ini,
telah meresmikan perang terhadap taklid di peralihan abad
ke-13 dan ke-14 Masehi. Usahanya ini kemudian
membuatnya dijuluki umat Islam sebagai "bapak tajdid"
dalam Islam, [48]bapak yang menggerakkan umatnya agar
keluar dari kungkungan mazhab-mazhab dan mulai
memperbarui sistem berpikir, membangun kembali hukum
Islam sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam al-Kitab dan

48 Baca Philip K. Hitti, op.cit., hlm. 486-187, dan Amien Rais, Kata Pengantar dalam John J.
Donohue dan John L. Esposito, Islam in Transition, lim Perspectives, ter. Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali, 1982) hlm. ix.

29
Sunnah Rasul. Gerakan Ibnu Taimiyah inilah yang kemudian
ditindaklanjuti oleh tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad
bin Abdul Wahab Muhammad Abduh, dan lain sebagainya
itu, membangun kembali pemikiran keagamaan dalam Islam,
termasuk bidang fiqh.
Di antara tanda-tanda kebangunan figh Islam tersebut dapat
dilihat pada periode ini. Umat Islam telah mulai mempe-
lajari fiqh melalui cara perbandingan. Hukum tentang suatu
kasus, misalnya, tidak lagi hanya dilihat dan ditetapkan
berdasarkan satu mazhab tertentu, tetapi dibandingkan
antara satu mazhab dengan mazhab lainnya. Pengaruh seruan
untuk meninggalkan taklid, antara lain, terlihat pada
penyusunan perundang-undangan suatu negara yang tidak
lagi hanya terpaut kepada mazhab tertentu, yaitu seperti di
Turki Usmani dan Mesir.
Sebagaimana disebutkan pada halaman terdahulu, periode
kebangunan ini, antara lain, ditandai dengan disusunnya
kitab Majallat al-Ahkam al-Adliyyat di akhir abad ke-13 H,
mulai 1285 H sampai tahun 1293 H (1869-1876M). Kitab ini
disusun atas dasar keinginan pemerintah kerajaan Turki
Usmani untuk menyusun fiqh dalam bentuk undang- undang
yang diberlakukan di negaranya. Untuk maksud ini,
dibentuklah suatu panitia beranggotakan tujuh orang dan
diketuai oleh Ahmad Jaudat. Kitab ini merupakan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (figh mu'amalat) dan
diberlakukan sebagai undang-undang Pemerintah Turki
Usmani pada tahun selesai penyusunannya, 1293 H atau
bersamaan dengan tahun 1876 M. Isi kitab ini terdiri atas
pendahuluan, 16 Bab dan 1851 pasal. Sungguhpun kitab
tersebut merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
tetapi di dalamnya tidak dimuat hukum keluarga-seperti
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Barat. Untuk itu, pemerintah Turki Usmani menetapkan
Undang-Undang Hukum Keluarga tersendiri pada tahun
1326 (1918M).
Sungguhpun kitab Majallat al-Ahkam al-Adliyat ini
bercorak mazhab Hanafi, tapi tidak berarti harus terkait
kepada mazhab itu. Dalam beberapa persoalan tertentu
diambil dari mazhab- mazhab yang berbeda. Mengenai
pengampuan dan barang yang dirampas, misalnya, ketentuan
hukumnya diambil dari mazhab Syafi'i, kewenangan

30
transaksi jual beli bersyarat di- ambil dari mazhab Ibnu
Syubrumah.
Begitu pula pemerintah Mesir, yang semula mengikuti
mazhab Hanafi, pada tahun 1920 M mengeluarkan Undang-
Undang tentang Hukum Keluarga yang pengambilan
hukumnya tidak lagi terbatas pada mazhab Hanafi tetapi
berkisar dan tidak keluar dari mazhab yang empat.
Kemudian, pada tahun 1929 M, pemerintah Mesir
mengeluarkan undang-undang baru yang berisi pembatalan
terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-
undang keluarga terdahulu, dan tidak lagi terbatas menurut
ketentuan mazhab tertentu, melainkan juga dari mazhab lain
yang sesuai dengan kemaslahatan orang banyak dan
perkembangan zaman.[49]

49 Baca Hasbi Ashshidieqy, Pengantar Imu., op.cit., hlm. 31-86 dan Pengantar hukum....op.cit,
hlm. 62-100. Lihat juga proyek pembinaan... Pengantar Ilmu Figh, op.cit, hlm. 117-118.

31
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep Hukum : Syari’ah, Fiqh dan Hukum Islam. Sumber hukum adalah
tempat dimana hukum diambil atau ditemukan. Sumber hukum juga dipahami
sebagai rujukan atau pegangan dalam menetapkan hukum dari suatu masalah.
Sumber hukum Islam antara lain: Al-Qur’an, hadis dan ra’yu. Sementara
sumber hukum positif adalah: undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi,
perjanjian internasional dan doktrin.
Pembuat hukum dalam hukum Islam adalah Allah swt sementara dalam
hukum positif adalah masyarakat. Hukum Islam bertujuan mengatur hubungan
manusia dengan Penciptanya yaitu Allah swt, dengan manusia lainnya, dengan
benda dan dengan alam sekitar. Sementara hukum positif hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya dan manusia dan kebendaannya.
Hukum Islam berlaku bagi mukallaf sama dengan hukum positif berlaku bagi
seseorang yang sudah dibebankan hukum baginya sesuai ketentuan umur yang
berlaku di undang-undang. Hukum Islam tidak selamanya bersifat memaksa.
Sebagiannya bersifat korektif dan persuasif sementara hukum positif lebih
bersifat memaksa. Hukum islam membuka pintu ijtihad bagi masalah-masalah
yang belum jelas hukum dan ketentuannya dari dua sumber utama hukum Islam
dengan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis. Sama dengan hukum
positif, hakim dapat memutus perkara sesuai dengan nalar dan
kebijaksanaannya bagi berbagai persoalan yang tidak jelas atau belum diatur
dalam undang-undang dengan tidak menentang undang-undang tersebut.
Fiqh adalah Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan
dengan jalan ijtihad.
Kajian Fiqh adalah semua perbuataan mukallaf yang berkaitan dengan
hukum syara’, yang membahas tentang seluk beluk hukum-hukum islam dan
yang ada hubungannya dengan tindakan mukallaf.

32
Kegunaan utama ilmu ini adalah untuk mengeathui kaidah-kaidah yang
bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk diterapkan
pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehingga dapat di istinbathkan hukum
syara’yang ditunjukkan. Dan dengan ushul fiqh dapat dicarikan jalan keluar
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain. Dan juga
kegunaannya dapat menerapkan hukum syara’ terhadap segala perbuatan dan
perkataan mukallaf, yang merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapkan
keputusannya dan menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa.
Bahkan fiqh menjadi petunjuk berharga bagi setiap mukallaf dalam
menetapkan hukum perktaaan dan perbuatannya sehari-hari.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan baik dalam
penyajiannya maupun teknis penyusunannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari
berbagai pihak yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shidieqy, TM Hasbie, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta,

Bulan Bintang, 1980.

Baqy, Muhammad Fuad Al-, Muqaddimat al-Muwaththa’, t.t:t.p,.

Djazuli. 2011. Kaidah-kaidah Fiqih.Jakarta. Kencana Prenada Media.

Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung Pustaka, 2000.

Hasan, Hasan Ibrahim, 1966. Tarikh al-alam al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa

al-Ijtima’i, Maktabah Nahdat al-Misriyat.

Hitti, Philipi K., 1974. History of Arabs, The Macmillan Press Ltd., London.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud dan Balai Pustaka, 1990.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997.

Marzuki.2013. Pengantar Studi Hukum Islam.Yogyakarta. Ombak

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,

2005.

Muhammad dan Ibrahim Syarif, 1977. Al-Alam al-islmai fi al-Ashr al-Abbasy, Dar

al-Fik, al-Araby, Beirut.

Nasution, Harun, 1984. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jil II, UI Press,

Jakarta.

34
Rosyada Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial.Jakarta. Raja Grafindo.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Shiddiqy, Hasbi As-, 1972. Pengantar Ilmu Fiqh, CV. Mulia, Jakarta.

Umar, Main at.al., 1985. Ushul Fiqh I, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana

Perguruan Tinggi Agama/ IAIN, Jakarta.

Yahya, Mukhtar dan Fatkhurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam,

Bandung: PT. Alma’arif, 1986.

35

Anda mungkin juga menyukai